Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Senin, 09 Desember 2013

Pulau Weh, vom Sabang tot Merauke




Pada dasarnya, slogan terkenal ‘Dari Sabang sampai Merauke’ dipopulerkan oleh Presiden Soekarno dari ucapan seorang perwira Belanda bernama Jenderal J.B. van Heutsz saat sang jenderal tersebut mengklaim kemenangannya dalam Perang Aceh tahun 1904, yaitu “vom Sabang tot Merauke”.


Weh, vom Sabang tot Merauke
Sebuah lagu nasional karya R. Surarjo awalnya bersyair: "Dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-pulau", tetapi bait tersebut kemudian diubah atas masukan Presiden Soekarno tahun 1960-an saat mempersatukan Irian Barat ke NKRI. Perubahannya menjadi: ‘Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau’. Kebanggaan itu terus berakar, menanamkan kesan kuat bahwa batas Barat negara Indonesia ialah Kota Sabang dan di sisi Timur-nya ialah Kota Merauke.
Peta Pulau Weh (We), NAD.
Pulau Weh (atau We) adalah pulau vulkanik kecil yang terletak di barat laut Pulau Sumatera, Pulau Weh sendiri merupakan pulau utama dan terbesar yang terpisahkan dari daratan Aceh oleh Selat Benggala. Pulau ini pernah terhubung dengan Pulau Sumatera, namun kemudian terpisah oleh laut setelah meletusnya gunung berapi terakhir kali. Pada masa Kesultanan Aceh, wilayah Pulau Weh sendiri merupakan tempat Geupeuweh –pengusiran atau dipindahkan bagi seseorang yang dikenakan hukuman berat dari kesultanan. Sebutan geupeuweh kemudian dilekatkan kepada nama pulau ini dan seiring dengan waktu kemudian pelafalannya menjadi Weh dan diartikan sebagai: pulau pindah atau pulau yang terpisah. Menurut legenda dari warga di Gampong Pie Ulee Lheueh Banda Aceh, Pulau Weh sebelumnya bersambung dengan Ulee Lheue. Ulee Lheue di Banda Aceh sebenarnya adalah Ulee Lheueh –yang terlepas namun ketika ada gunung berapi yang meletus, menyebabkan kawasan ini menjadi terpisah. Menurut warga yang berasal dari Luar Nanggroe, Pulau Weh terkenal dengan nama: Pulau We –tanpa huruf H. Mungkin diberi nama Pulau We karena bentuknya seperti huruf W.
Pulau We, mirip huruf W.
Sekitar tahun 301 SM, Ptolomacus –seorang ahli bumi Yunani, berlayar ke arah Timur dan berlabuh di sebuah pulau tak terkenal di mulut selat Malaka, tidak salah lagi: pulau Weh. Kemudian dia menyebut dan memperkenalkan pulau tersebut sebagai Pulau Emas di peta para pelaut. Kemudian pada abad ke-12, Sinbad mengadakan pelayaran dari Sohar, Oman, jauh mengarungi melalui rute Maldives –Maladewa, Pulau Kalkit –India, Sri Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton –China. Sinbad berlabuh di sebuah pulau dan menamainya sebagai Pulau Emas, pulau itu yang dikenal orang sekarang dengan nama Pulau Weh atau Pulau Sabang. Kemudian pada awal abad ke-15, Cheng Ho –penjelajah asal China, pernah singgah di sana tahun 1413-1415. Catatan Ma Huan –salah seorang penerjemah Cheng Ho, menjelaskan bahwa di sebelah Barat Laut dari Aceh terdapat daratan dengan gunung menjulang, yang dia beri nama: Gunung Mao –para ahli sejarah menegaskan bahwa yang dimaksud Gunung Mao itu adalah Pulau Weh. Di sana terdapat sekitar 30 keluarga. Dalam bukunya Ying Yai Sheng Lan yang kemudian diterjemahkan menjadi The Overall Survey of The Ocean’s Shores, Ma Huan menceritakan bahwa daratan itu menjadi salah satu tempat persinggahan para saudagar dari berbagai negara. Gunung Mao yang tampak menjolok dari lautan itu menjadi suar atau pertanda bagi para saudagar. Erond juga menduga bahwa Sabang saat itu menjadi salah satu bagian dari jaringan perdagangan maritim yang membentang dari Teluk Persia sampai China Selatan pada abad ke-12 M sampai ke-15 M –Thailand, Sri Lanka, dan India termasuk di dalamnya.
Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue, Banda Aceh.
from Ulee Lheue with Love to Weh Island
Pulau Weh juga terkenal dengan ekoturismenya. Menyelam, mendaki gunung berapi dan resor pantai adalah daya tarik utama dari pulau ini. Desa kecil Iboih, dikenal sebagai lokasi untuk berenang di bawah laut. Beberapa meter dari Iboih adalah Rubiah, yang dikenal dengan terumbu karangnya. Selain daripada ekosistem bawah laut, pulau Weh merupakan satu-satunya habitat dari spesies katak yang terancam, bernama Bufo valhallae (genus "Bufo"). Pulau ini terletak di Laut Andaman. Kota terbesar di Pulau Weh, Sabang, adalah kota yang terletak paling barat di Indonesia dan merupakan Ibukotanya. Pulau ini terbentang sepanjang 15 kilometer (10 mil) di ujung paling utara dari Sumatera. Pulau ini hanya pulau kecil dengan luas 156,3 km² (atau 121 km²), tetapi memiliki banyak pegunungan. Terdapat empat pulau kecil yang mengelilingi Pulau Weh: Klah (0,186 km²), Rubiah (0,357 km²), Seulako (0,055 km²), dan Rondo (0,650 km²). Di antara keempatnya, Rubiah terkenal sebagai tempat pariwisata menyelam karena terumbu karangnya. Rubiah menjadi tempat persinggahan warga Muslim Indonesia yang melaksanakan haji laut untuk sebelum dan setelah ke Mekkah. Dua kota utama di pulau ini adalah Sabang dan Balohan. Balohan adalah pelabuhan kapal feri yang bertugas sebagai penghubung antara pulau Weh dan Banda Aceh di daratan Sumatra. Sabang merupakan dermaga penting semenjak akhir abad ke-19, karena kota ini merupakan pintu masuk ke selat Malaka.
Sampai juga di Pulau Weh, tapi ngga disambut pagar ayu.

Sabang –Santai Banget
Ke Kota Sabang, Pulau Weh.
Kota Sabang berada di Pulau Weh dan merupakan Ibukotanya –karena terletak di Pulau Weh, banyak orang yang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang. Jaraknya sekitar 14 mil atau 22,5 km dari pelabuhan Ulhee lheue Banda Aceh yang dapat ditempuh kurang lebih selama 2 jam dengan kapal Fery, dan 45 menit dengan kapal cepat, setelah itu akan tiba di pelabuhan Balohan Sabang. Sabang merupakan kota kecil yang indah dengan struktur tanah berbukit-bukit sehingga warga setempat menyebut kota Sabang dengan dua nama yaitu: Kota Bawah dan Kota Atas. Dari segi geografis Indonesia, wilayah Kota Sabang berada pada 95°13'02"BT hingga 95°22'36"BT, dan 05°46'28"LU hingga 05°54'28" LU, merupakan wilayah administratif paling utara, dan berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia, Thailand, dan India.
Kantor Walikota Sabang
Wilayah Kota Sabang dikelilingi oleh Selat Malaka di Utara, Samudera Hindia di Selatan, Selat Malaka di Timur dan Samudera Hindia di Barat. Kantor Walikota Sabang terletak di Jalan Diponegoro Nomor 20 – Kota Sabang (Pulau Weh), Nanggroe Aceh Darussalam. Kota Sabang memiliki dua Kecamatan dan 18 Gampong serta 72 Desa (dari total 243 kecamatan dan 5827 gampong di seluruh Aceh).
Kecamatan Sukajaya, terdiri dari:
1.        Gampong Paya;
2.        Gampong Keunekai;
3.        Gampong Beurawang;
4.        Gampong Jaboi;
5.        Gampong Balohan;
6.        Gampong Cot Abeuk;
7.        Gampong Cot Bau;
8.        Gampong Anoi Itam;
9.        Gampong Ujong Kareung; dan
10.    Gampong Ie Meule.
Kecamatan Sukakarya, terdiri dari:
1.        Gampong Iboih;
2.        Gampong Batee Shok;
3.        Gampong Paya Seunara;
4.        Gampong Krueng Raya;
5.        Gampong Aneuk Laot;
6.        Gampong Kota Bawah Timur;
7.        Gampong Kota Bawah Barat; dan
8.        Gampong Kota Atas.
Wilayah Administrasi Kota Sabang
Perairan di Sabang merupakan tempat bertemunya Samudera Hindia dan Selat Malaka, pesona Sabang menawarkan keelokan garis pantai yang indah dengan air laut nan biru dan bersih serta pepohonan nan hijau. Akan tetapi, bukan wisata bahari saja yang dapat ditemukan di Sabang. Ada gunung, danau, pantai, laut, serta hutannya yang masih alami dan terjaga menunggu dikunjungi. Belum lagi interaksi kita dengan masyarakat setempat, akan memberikan pengalaman yang sangat berkesan.
Jalan Diponegoro, tempat Bapak Walikota Sabang berkantor.
Rehat dulu di Kantor Walikota Sabang
Kata "Sabang" berasal dari bahasa Aceh yaitu: Saban –yang berarti, sama hak dan kedudukan dalam segala hal. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Sabang yang dulunya banyak didatangi pendatang dari luar untuk membuka seuneubok –kebun atau usaha lainnya. Pendatang tersebut berasal dari berbagai daerah dengan budaya yang berbeda –baik, sikap; nilai; maupun adat istiadat. Lambat laun terjadi asimilasi dimana beragam perbedaan tersebut akhirnya memudar dan kedudukan mereka menjadi sama. Istilah saban ini telah lama melekat kepada Pulau Weh yang kemudian perlahan berubah penyebutannya menjadi "Sabang".
Dalam literatur lain, nama Sabang berasal dari bahasa Arab: Shabag –yang artinya, gunung meletus. Mungkin dahulu kala masih banyak gunung berapi yang masih aktif di Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi di Jaboi dan Gunung berapi di dalam laut Pria Laot.
Menurut legenda setempat, dahulu kala, ada putri cantik jelita yang mendiami pulau ini meminta kepada Sang Pencipta agar tanah di pulau-pulau ini bisa ditanami. Sang Putri bersedia membuang seluruh perhiasan miliknya sebagai bukti keseriusannya. Dan sebagai balasannya, Sang Pencipta kemudian menurunkan hujan dan gempa bumi di kawasan tersebut. Kemudian terbentuklah danau yang lalu diberi nama Aneuk Laot. Danau seluas lebih kurang 30 hektar itu hingga saat ini menjadi sumber air bagi masyarakat Sabang meski ketinggian airnya terus menyusut. Di akhir legenda, setelah keinginannya terpenuhi, Sang Putripun menceburkan diri ke laut. Wallohu ‘alam. Meski tidak ada sumber tertulis yang jelas, keinginan sang putri agar Sabang menjadi daerah yang subur dan indah setidaknya tercermin dari adanya taman laut yang indah di sekitar Sabang. Kondisi yang demikian kenyataannya juga telah memberi penghidupan kepada masyarakat.
Panorama Pantai Sabang, Monumen Kilometer 0 Indonesia.
Sabang merupakan satu-satunya daerah Kesultanan Aceh yang bisa dikuasai penuh oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak tahun 1881, Sabang ditetapkan sebagai pelabuhan alam yang disebut Kolen Station. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun berbagai sarana dan prasarana. Terutama setelah tahun 1887 saat Sabang Haven memperoleh kewenangan untuk membangun sarana penunjang pelabuhan. Tahun 1895, Sabang menjadi daerah pelabuhan bebas Vrij Haven yang dikelola oleh Sabang Maatschaappij (Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station). Saat itu, nama Sabang semakin populer di Nusantara maupun internasional sebagai pelabuhan sirkulasi perdagangan internasional.
Perang Dunia II telah menghancurkan Sabang hingga tahun 1942 diduduki Jepang dan menjadikannya sebagai basis maritim Angkatan Laut Jepang. Belum selesai perbaikan akibat perang, kerusakan fisik pulau ini semakin parah setelah Pasukan Sekutu membombardirnya sehingga membuat Sabang pun ditutup. Barulah setelah masa kemerdekaan, Sabang ditetapkan sebagai pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat dan semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia.
Tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang dan dirintis upaya untuk membuka kembali Sabang Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas. Upaya ini baru resmi dikukuhkan tahun 2000. Aktivitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang pun mulai berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke Kawasan Sabang. Akan tetapi, tahun 2004 Sabang kembali terhenti karena pemerintah pusat menetapkan status darurat militer bagi Aceh. Pasca perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, Sabang kembali ramai. Pelabuhan Bebas Sabang kembali dibuka untuk mempecepat pembangunan ekonomi Aceh melalui hubungan ekonomi dengan luar negeri. Selain itu, beragam destinasi bahari dan keunikan budaya Aceh pun kembali diperkenalkan agar wisatawan berdatangan menikmati pesona keindahan pulau paling barat di Indonesia ini.
Sabang atau sering dipanjangkan oleh masyarakatnya sebagai “Santai Banget” adalah surga dengan keheningan dibalut hangat keramahan penduduknya. Bahkan suara anjing pemilik rumah di pinggir jalan pun jarang menggonggong orang asing. Inilah bukti hewan pun turut bersantai di pulau ini. Kawasan Sabang –dengan anugerah alam yang indah memiliki berbagai objek wisata yang potensial untuk dikembangkan, diantaranya:
1.    Tugu Kilometer Nol Indonesia
2.    Taman Laut dan Wisata Bawah Laut Iboih dan Pulau Rubiah
3.    Kawasan Wisata Gapang
4.    Kawasan Wisata Lhong Angen dengan Gua Sarang, Pantai Pasir Putih dan Wisata Hutan
5.    Danau Anuek Laot dan Danau Pria Laot
6.    Air Panas Kenekai, Air Panas Jaboi
7.    Pantai Kasih, Pantai Paradisi, Tapak Gajah dan Sumur Tua
8.    Kawasan Wisata Kota Tua/Kota Pelabuhan
9.    Kawasan Wisata Pulau Aceh
Setidaknya ada 26 titik potensial tujuan wisata yang bisa dikunjungi di kota Sabang, namun yang paling populer adalah: Pantai Gapang; Pantai Rubiah; dan Pantai Iboih, yang terkenal dengan keindahan Garden Under Water-nya. Taman Wisata Culiner di Gampong Kuta Barat (Kota Bawah Barat), lokasi terbaik bagi yang ingin mencici kuliner Acehkhusus, kuliner khas Kota Sabang. Terus bagi yang hobi mancing, perairan laut di sekitar Pulau Rondo, adalah lokasi yang tepat.

Tugu Monumen Kilometer Nol Indonesia dan Titik Ba’U
Monumen Kilometer Nol Indonesia, Sabang.
Pulau Weh yang beribukota Kota Sabang adalah bagian dari kepulauan Indonesia yang paling Barat –meskipun pada kenyataannya, titik paling Barat Indonesia adalah Pulau Lhee Blah yakni: pulau kecil di sebelah Barat Pulau Breuh, pulau yang termasuk dalam kelompok Kepulauan Aceh sekitar 20 m di sebelah Barat Pulau Weh. Titik Barat sebenarnya merupakan titik yang terisolasi di sebelah Barat Desa Meulingge yang sangat sulit dijangkau. Untuk menandakan bahwa Pulau Weh adalah bagian paling Barat dari Indonesia, maka Pemerintah Daerah membangun sebuah monumen di Titik Ba’U –di lokasi paling Barat dan paling Utara dari Pulau Weh. Monumen ini dinamakan: “Monumen Kilometer Nol Indonesia“. Monumen ini berada di kawasan Gampong Iboih, Kota Sabang, Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. Monumen di Titik Ba’U ini, berbentuk silinder –bentuk lingkaran berjeruji dengan tinggi sekitar 22,5 meter dan diameter sekitar 15 meter. Bagian tugu dicat putih dan bagian atas lingkaran menyempit seperti mata bor. Di puncak tugu ini, terdapat patung burung Garuda menggenggam angka Nol dilengkapi prasasti marmer hitam yang menunjukkan posisi geografisnya.
Prasasti Posisi Geografis Kilometer 0 Indonesia, Sabang.
Sekilas tampak tak ada yang menarik dari Tugu Monumen Kilometer Nol Indonesia ini, selain sebuah menara usang dengan tiga buah plakat prasasti. Di lantai pertama monumen terdapat sebuah pilar bulat dan terdapat prasasti peresmian tugu yang ditandatangani Wakil Presiden Try Sutrisno, pada 9 September 1997. Di lantai kedua terdapat sebuah beton bersegi empat dimana  tertempel dua prasasti yaitu prasasti pertama ditandatangani Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT BJ. Habibie, pada 24 September 1997. Dalam prasasti itu bertuliskan penetapan posisi geografis KM-0 Indonesia –posisi tersebut diukur oleh pakar BPPT dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS). Prasati kedua  menjelaskan posisi geografis tempat ini yaitu 050 54’ 21,99’’ Lintang Utara - 950 12’ 59,02" Bujur Timur. Data teknis berdirinya tugu ini tertoreh di atas lempeng batu granit yang menyebutkan “Posisi Geografis Kilometer 0 Indonesia, Sabang. Lintang: 050 54’ 21.42” LU dan Bujur: 950 13’ 00.50” BT. Tinggi: 43.6 Meter (MSL). Posisi Geografis dalam Ellipsoid WGS 84”.
Panorama Indah, Sabang.
Monyet dan Babi 'Bro', di tugu monumen.
Namun setelah duduk di tepian yang membatasi pulau dengan lautan lepas, kita akan menyadari bahwa bukan tugu ini yang mengundang para wisatawan asing datang, melainkan pemandangan yang bisa kita nikmati dari area Tugu ini. Hamparan laut lepas dan langit biru dengan angin yang sejuk membuat lokasi ini sebagai yang terbaik. Segerombolan monyet liar bersama dengan babi hutan liar yang jinak sudah menjadi "tuan rumah" di kawasan Tugu Kilometer Nol ini. Babi ini –masyarakat setempat memanggilnya "Bro", begitu jinak dan kerap mengharapkan kemurahan hati dari pengunjung yang datang agar melemparkan makanan.
Jarak tugu monumen dari pusat kota Sabang, kurang lebih 15 km, dengan perjalanan darat. Dalam perjalanan menuju ke Tugu Kilometer Nol, kita akan melewati: Pantai Gapang; Pantai Iboih; dan Pantai/Pulau Rubiah.
Pantai Gapang dan Iboeh (Iboih), Sabang.
Sebagian besar aliran air di Pulau Weh mengalir ke Teluk Pria Laot, teluk ini sangat dalam –sebuah kapal Jerman dari Perang Dunia II terdapat di dasarnya sekitar 60 meter. Di sisi Barat Teluk Pria Laot terdapat sebuah dusun kecil yang disebut Siruit dimana terdapat Lumpur Didih –kolam lumpur mendidih panas di pantai dan sumber air panas bawah laut dengan kedalaman sekitar 6 meter. Hanya beberapa kilometer dari Pantai Gapang –melalui Desa Iboih, terdapat Balek Gunung di sisi pantai Barat Pulau Weh. Pantai ini sangat indah dan terdapat beberapa gua-gua kecil di tebing pantai yang dapat dicapai dengan berjalan kaki dan berenang. Pantai Iboih –masyarakat setempat menyebutnya: Pantai Teupin Layeu, adalah Cagar Kelautan yang dilindungi di mana tidak ada kegiatan penangkapan ikan yang diizinkan.
 
Pantai Iboih, Sabang.
Pesisir Pantai Sabang.
Penutup
Terimakasih Tuhan, telah melahirkanku di negeri ini. Tak hentinya aku ingin sering mengucapkan kalimat itu setiap kali menjadi saksi keindahan negeriku Indonesia. Bahkan, saat aku diberi kesempatan menjelajahi sejumlah tempat di Indonesia. Aku sempat berpikir, mungkin: emas; barang tambang; dan rempah-rempah sudah tidak dapat menghidupi kami di masa depan nanti. Namun, ada satu anugerah yang Tuhan berikan pada Indonesia yang takkan pernah ada habisnya, yaitu: pesona alam. Setiap sudut Indonesia selalu membuat siapapun terperangah, siapapun tidak akan dapat membawanya pulang ke rumah, selain cerita bangga pernah mengunjunginya lewat keabadian teknik fotografi.
Mengunjungi tempat-tempat indah di Indonesia membuat setiap orang merasa kaya raya, meski hanya sekedar memiliki waktu saja.
Percayalah, melihat pemandangan alam yang indah dapat mengubah pribadi diri kita. Tak heran, bila kebanyakan dari kami memang penyabar dan mudah lupa akan kesusahan. Selamat menikmati Indonesia, dengan cara apapun yang kalian senang lakukan. Dan satu doaku, semoga rakyat Indonesia mencintai tanah air ini dan meneriakkannya kepada dunia, kalau kau: CINTA INDONESIA.
 
Tourism Map, Sabang - Pulau Weh.





***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar