Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Minggu, 28 April 2013

Anak Jalanan, antara Tantangan dan Peluang





Pendahuluan
United Nations Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa) adalah sebuah konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kulural anak-anak. Negara-negara yang meratifikasi konvensi internasional ini terikat untuk menjalankannya sesuai dengan hukum internasional yang berlaku. Pelaksanaan konvensi ini diawasi oleh Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa yang anggotanya terdiri dari berbagai negara di seluruh dunia.
Pemerintah negara yang telah meratifikasi konvensi ini –termasuk Indonesia diharuskan untuk melaporkan dan hadir di hadapan Komite Hak-Hak Anak secara berkala untuk mengevaluasi kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam mengimplementasikan konvensi ini dan status hak-hak anak dalam negara tersebut.
Dua Protokol Tambahan juga diadopsi pada tanggal 25 Mei 2000, yakni: (1) Protokol Tambahan mengenai Keterlibatan Anak-Anak dalam Konflik Senjata (membatasi keterlibatan anak-anak dalam konflik-konflik militer), dan (2) Protokol Tambahan Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Perdagangan Anak-anak, Prostitusi Anak-anak, dan Pornografi Anak-anak (melarang perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak-anak). Kedua protokol tambahan ini telah diratifikasi oleh lebih dari 120 negara.
Akibat situasi krisis ekonomi dan urbanisasi berlebih –over urbanization di kota-kota besar, maka salah satu masalah sosial yang membutuhkan pemecahan segera adalah perkembangan jumlah anak jalanan yang belakangan ini makin mencemaskan. Diberbagai kota besar, nyaris di setiap perempatan atau lampu merah dengan mudah disaksikan jumlah anak jalanan terus tumbuh dan berkembang. Anak jalanan pada hakekatnya adalah korban dan fenomena yang timbul sebagai efek samping dari kekeliruan atau ketidaktepatan pemilihan model pembangunan -yang selama ini terlalu menekankan pada aspek pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang terlalu memusat diberbagai kota besar. Pertumbuhan dan pembangunan wilayah model demikian akan menempatkan anak jalanan sebagai bagian dari kehidupan dunia kriminal, kurang dihargai, melakukan jenis pekerjaan tidak jelas jenjang kariernya, dan tidak ada prospek apapun di masa depan.
Anak adalah generasi mendatang yang sangat berharga. Bisa dikatakan bahwa baik buruknya generasi sebuah bangsa ditentukan oleh tangan-tangan pengembannya -dalam hal ini, ditangan anaklah tergenggam masa depan bangsa. Wajar bila setiap manusia dewasa yang menyadari masalah ini mempersiapkan strategi pendidikan yang baik untuk anak-anak. Tidak hanya itu, proses tumbuh kembang pun sangat diperhatikan dalam rangka mengarahkan dan membimbing mereka menuju tujuan yang diinginkan. Maka, perhatian terhadap hak-hak anak menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan cita-cita ini yaitu membentuk generasi masa depan yang berkualitas.
Namun sekarang ini, anak yang seharusnya mendapat kasih sayang orang tua telah melangkah jauh menjadi anak jalanan. Fenomena ini muncul seiring dengan perkembangan budaya yang sudah bergeser semakin jauh menyimpang. Pergeseran nilai atau sikap anak-anak serta remaja, telah terjadi dan seakan-akan sulit dibendung. Hal ini disebabkan semakin derasnya arus informasi yang cepat tanpa batas dan juga masalah dalam lingkungan keluarga dan masyarakat -yang komitmennya sudah mengalami penurunan terhadap penerapan norma dan nilai.
Jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun, banyak hal menjadi faktor pendorong ataupun penarik bagi seorang anak untuk terjun dan bergabung menjadi anak jalanan, salah satunya masalah kemiskinan -yang tentu saja bukan hal baru di Indonesia. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada tahun 2008 ada 8 ribu anak jalanan. Jumlah ini meningkat 50 % pada tahun 2009 menjadi 12 ribu anak. Tahun 2010 terdapat 5,4 juta anak terlantar sebanyak 232 ribu diantaranya merupakan anak jalanan yang terbagi atas 3 kelompok yakni kelompok anak-anak yang seluruh hidupnya di jalanan, kelompok anak yang 4-5 jam di jalanan dan kelompok anak yang mendekati jalanan. (Komnas PA, 2010).
Faktor-faktor yang menimbulkan pelanggaran hak anak di lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif ini lebih besar didasari atas faktor ekonomi (kemiskinan) dan faktor dis-harmonisnya orang tua sehingga rentan menjadi korban dari faktor tersebut yang notabene adalah anak-anak yang belum dapat menolong dirinya sendiri.
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak jalanan menjadi tidak sehat, karena tidak di rumah dan kurang mendapat perlindungan seperti: akses belajar, kesehatan dan lain-lain. Hal ini akan memberikan dampak sosial dan kesehatan seperti: rentan terhadap kriminalitas, resiko terhadap IMS termasuk HIV/AIDS karena munculnya perilaku tak terkendali anak jalanan untuk melakukan seks bebas.
Dari beberapa penelitian terlihat bahwa sebagian besar anak jalanan telah pernah berhubungan seksual dan bahkan aktif secara seksual yang tentunya mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal tesebut serta tingginya kasus-kasus kekerasan pada anak -baik fisik maupun seksual.
Menurut Sri Sanituti (1999:5) penyebab pokok menjadi anak jalanan dikelompokkan menjadi empat, diantaranya sebagai berikut:
1.      Kesulitan ekonomi keluarga yang menempatkan seseorang anak  harus membantu keluarganya mencari uang dengan kegiatan di jalanan;
2.      Ketidak-harmonisan rumah tangga atau keluarga, baik hubungan antara bapak-ibu  maupun orangtua dengan anak;
3.      Suasana lingkungan yang kurang mendukung untuk anak-anak menikmati kehidupan  masa kanak-kanaknya termasuk suasana perselingkuhan yang kadang-kadang dianggap mereka sangat membelenggu hidupnya;
4.      Rayuan kenikmatan kebebasan mengatur hidup sendiri dan menikmati kehidupan lainnya yang diharapkan oleh anak jalanan.
Salah satu dampak dari hal lain adalah para orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan anak –khususnya dalam hal pendidikan akibat banyak anak, terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah dan melakukan aktivitas di jalanan yang menghasilkan uang untuk dapat membantu orangtua mereka.
Mengingat masalah anak jalanan tidak hanya masalah yang dihadapi oleh negara Indonesia saja -dan negara-negara lain telah melakukan upaya-upaya untuk penanggulangannya, untuk itu perlu diketahui lebih jauh upaya apa saja yang dapat dilakukan, baik penanggulangan terhadap dampak maupun jumlah anak jalanan.
Bersama Bapak Arist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak.
                                                                                                
Studi Kasus
Menurut penelitian Departemen Sosial dan United Nations Development Program (UNDP) di Jakarta dan Surabaya (BKSN, 2000:2-4), anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori:
1. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan kriteria:
a.       Putus hubungan atau lama tidak ketemu dengan orangtuanya.
b.      8-10 jam berada di jalanan untuk “bekerja” (mengamen, mengemis, memulung) dan sisanya menggelandang atau tidur.
c.       Tidak lagi sekolah.
d.      Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:
a.       Berhubungan tidak teratur dengan orangtuanya.
b.      8-16 jam berada di jalanan.
c.       Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orangtua atau saudara, umumnya di daerah kumuh.
d.      Tidak lagi sekolah.
e.       Pekerjaan: penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir sepatu, dll.
f.       Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan dengan kriteria:
a.       Bertemu teratur setiap hari / tinggal dan tidur dengan keluarganya.
b.      4-5 jam kerja di jalanan.
c.       Masih bersekolah.
d.      Pekerjaan: penjual koran, penyemir, pengamen, dll;
e.       Usia rata-rata di bawah 14 tahun.
4. Anak Jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:
a.       Tidak lagi berhubungan/ berhubungan tidak teratur dengan orangtuanya.
b.      8-24 jam berada di jalanan. Tidur di jalan atau rumah orang tua.
c.       Sudah tamat SD atau SLTP, namun tidak bersekolah lagi.
d.      Pekerjaan: calo, mencuci bis, menyemir, dan lain-lain. 
Jumlah anak jalanan di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat, berdasarkan jurnal Komnas PA tahun 2010 dari 5,4 juta anak terlantar 232 ribu diantaranya adalah anak jalanan, yakni kelompok anak-anak yang seluruh hidupnya di jalan, kelompok anak 4-5 jam di jalan, dan kelompok anak yang mendekati jalanan. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya pelanggaran hak anak di lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif ini lebih besar didasari faktor ekonomi  dan faktor dis-harmonisnya orang tua. Jalan, bukan merupakan tempat yang layak bagi anak yang masih dalam tahap tumbuh kembang. Lingkungan di luar rumah merupakan ancaman bagi anak yang memungkinkan timbulnya ekploitasi pada anak.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor yang memicu peningkatan anak jalanan, salah satu penelitian di Kota Medan ditemukan bahwa alasan menjadi anak jalanan adalah: disamping mencari nafkah untuk membantu ekonomi keluarga, jalanan juga menjadi tempat bermain bagi anak. Anak-anak jalanan yang sudah dewasa biasanya mempuyai beberapa titik beroperasi sedangkan anak jalanan yang masih anak-anak menetap pada satu titik. Lebih dari sebagian anak jalanan terlibat dalam penggunaaan narkoba yang dilakukan saat berkumpul bersama teman-teman -biasanya pada malam Minggu dan tidak jarang terlibat dalam aktivitas seksual tidak aman. Penanggulangan anak jalanan di Indonesia belum menyentuh akar permasalahan, dimana pendekatan yang selama ini dilakukan adalah pendekatan ”Kriminal” seperti yang tertera dalam Perda No 11 tahun 1998 dimana dalam Perda itu anak jalanan diposisikan sebagai perusak keindahan kota dan pengganggu ketertiban umum. Perda tersebut memandang anak jalanan sebagai pendekatan Kriminal.
Berdasarkan hasil penelitian pada anak-anak jalanan di Greater Kairo dan Alexandria Mesir -tentang: kekerasan, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, serta perilaku seksual dari 857 anak jalanan yang terdaftar di dua kota tersebut, sebagian besar anak-anak ini telah menghadapi pelecehan seksual atau penyalahgunaan alkohol/narkoba (93%) -biasanya oleh polisi dan anak jalanan lainnya, telah menggunakan obat-obatan (62%), dan di antara remaja yang lebih tua, telah aktif secara seksual (67%). Di antara yang aktif secara seksual dengan rentang umur 15- 17 tahun, dengan banyak partner seks (54%) dan tidak pernah menggunakan kondom (52%). Kebanyakan gadis (53% di Greater Kairo, dan 90% di Alexandria) pernah mengalami pelecehan seksual. Mayoritas anak jalanan mengalami lebih dari satu risiko ini. Kelompok anak jalanan ini berisiko tertinggi untuk tertular HIV, yaitu laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (gay), pekerja seks komersial, dan pengguna narkoba suntikan.
Penelitian terhadap Anak Jalanan sebagai patologi sosial -terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang dan Afrika pada khususnya. Sebagai contoh: Nigeria, dimana korupsi dan maraknya human error para pejabatnya serta kesejahteraan sosial -bahkan untuk anak jalanan hampir tidak tersedia, dan mereka menjadi kelompok yang termarginalkan.
Adapun upaya-upaya yang direncanakan oleh United Nations International Children Emergency Fund (UNICEF) untuk penangulangan anak jalanan di Nigeria adalah:
1.      Membangkitkan kesadaran pemerintah untuk menggali faktor penyebab anak jalanan dan dapat membuat komitmen yang tepat untuk hal tersebut.
2.      Anak-anak yang hidup di jalanan, tanpa rumah-rumah atau keluarga, merupakan tantangan terbesar dalam hal sering membutuhkan rehabilitasi jangka panjang.
3.      Untuk melindungi anak jalanan dari melecehkan atau menghukum mereka.
4.      Mengentaskan buta huruf/memprioritaskan pendidikan untuk anak jalanan.
5.      Penguatan unit keluarga.          
India sebagai negara dengan tingkat buta huruf yang tinggi. Banyaknya orangtua yang meninggal karena HIV/IDS menyebabkan anak harus menggantikan peran orangtua sebagai pencari nafkah. Di India, anak yatim AIDS lebih cederung mengalami kemiskinan, buta huruf, pekerja anak, pelacuran anak, dan kebrutalan polisi. Perkiraan menunjukkan bahwa sekitar 300.000 anak-anak di India terlibat dalam komersial seks. Banyak dari mereka yang juga hidup sebagai anak jalanan, situasi dimana tidak ada perlindungan, pengawasan, atau bimbingan dari orang dewasa. Watch memperkirakan bahwa sekitar 18 juta anak-anak tinggal atau bekerja di jalan-jalan India. Mayoritas anak-anak ini terlibat dalam kejahatan dan prostitusi. (Human Right Watch 1996).
Anak-anak yatim akibat AIDS menghadapi beban tambahan stigma dan diskriminasi -disamping ikut tertular infeksi orangtua mereka. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2005), Penduduk India yang terinfeksi HIV menghadapi diskriminasi dari berbagai sumber termasuk: sekolah, tempat kerja, layanan medis, penggabungan divisi sosial kelas dan kasta. Sebuah studi yang dilakukan oleh International Labor Organization (ILO) menemukan bahwa anak-anak dari orangtua yang terinfeksi HIV mengalami diskriminasi serius dengan 35 persen dari mereka menolak fasilitas-fasilitas pokok dan 17 persen dipaksa untuk mengambil pekerjaan kecil untuk meningkatkan pendapatan mereka (Majumdar 2003). Sementara itu, perampasan ekonomi telah mengakibatkan anak-anak menarik diri dari sekolah -untuk merawat orangtua sakit atau mendapatkan penghasilan tambahan. Diskriminasi sosial telah mengakibatkan penolakan layanan dasar bagi anak-anak yang terkena dampak, terutama layanan kesehatan dan pendidikan.
Salah satu upaya penanggulangan anak jalanan adalah dengan menampung mereka di pusat rehabilitasi atau rumah perlindungan sosial anak. Amerika Latin memiliki persoalan anak jalanan yang cukup pelik, namun mereka bisa menguranginya antara lain dengan memperbanyak akses dan ruang bagi anak untuk berkreasi, terutama mengembangkan diri di bidang olah raga.
Sebuah studi longitudinal anak jalanan dan remaja diikuti di perkotaan drop-in center. Empat ratus anak jalanan (400) dan pemuda menerima kasus manajemen paket terapi multidisipliner didasarkan pada pendekatan penguatan masyarakat. Hasil utama adalah perubahan dalam tekanan psikologis, penyalahgunaan zat dan skor situasi sosial.

Terminologi
Sebenarnya istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalan dan tidak memiliki tali ikatan dengan keluarga (B.S. Bambang, 1993: 9). Namun, di beberapa tempat lainnya istilah anak jalanan berbeda-beda. Di Kolombia mereka disebut gamin (urchin atau melarat) dan chinches (kutu kasur), di Rio de Jenairo dipanggil marginais (kriminal atau marginal), di Peru pa’jaros frutero (burung pemakan buah), di Bolivia disebut polillas (ngengat), di Honduras resistoleros (perampok kecil). Sementara di belahan Asia, dipanggil bui doi (anak dekil) di Vietnam, dan di benua hitam Afrika disebut saligoman (anak menjijikkan) di Rwanda; di Kamerun disebut poussing (anak ayam) atau moustique (nyamuk); di Zaire dan Kongo mereka disebut balados (pengembara). Istilah-istilah tersebut di atas, sebenarnya menggambarkan bagaimana posisi anak-anak jalanan ini dalam masyarakat. Semua anak sebenarnya memiliki hak penghidupan yang layak tidak terkecuali anak jalanan. Namun ternyata realita berbicara lain, mayoritas dan bisa dikatakan semua anak jalanan terpinggirkan dalam segala aspek kehidupan.
Pengertian anak jalanan menurut PBB adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Anak jalanan tinggal di jalan karena dicampakkan atau tercampakkan dari keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai: pengasong; pemulung; tukang semir; pelacur anak; dan pengais sampah. Tidak jarang anak jalanan menghadapi resiko: kecelakaan lalu lintas; pemerasan; perkelahian; dan kekerasan lainnya. Anak jalanan lebih mudah tertular kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan penyalagunaan obat –lebih memprihatinkan lagi, lingkungan akan mendorong anak jalanan menjadi obyek seksual seperti sodomi atau pelacuran anak.
Putranto dalam Agustin (2002) dalam studi kualitatifnya mendefinisikan anak jalanan sebagai anak berusia 6 sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi dan tidak tinggal bersama orangtua mereka, dan bekerja seharian untuk memperoleh penghasilan di jalanan, persimpangan dan tempat-tempat umum. Sementara itu, Sugeng Rahayu mendefinisikan anak jalanan adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di toko/kios). Dalam buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001:20), anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.           
Dalam Lokakarya Kemiskinan dan Anak Jalanan yang diselenggarakan Departemen Sosial, 1995, dirumuskan pengertian anak jalanan sebagai anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan atau tempat-tempat umum lainnya. Definisi tersebut kemudian dikembangkan oleh Ferry Johannes pada seminar tentang Pemberdayaan Anak yang dilaksanakan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung tahun 1996, yang menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktunya di jalanan, baik untuk bekerja ataupun tidak, yang terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan keluarga, dan anak yang mandiri sejak kecil karena kehilangan orang tua/keluarga.
Marginal, rentan, dan eksploitatif adalah istilah-istilah yang sangat tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan pekerjaan yang tidak jelas jenjang karirnya, kurang dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang, benar-benar dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Sedangkan disebut eksploitatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar (bargainning possition) yang sangat lemah, tersubordinasi, dan cenderung menjadi objek perlakuan sewenang-wenang dari ulah preman atau oknum aparat jalanan yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok (Bagong dan Sri, 2002: 41):
1.      Children on the street (anak jalanan yang bekerja di jalanan). Yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalanan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtuanya. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya, fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat ekonomi keluarga.
Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu: 
a.       Anak-anak jalanan yang masih tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari. 
b.      Anak-anak yang tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang, baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.
2.      Children of the street (anak jalanan yang hidup di jalanan). Yakni anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi dan ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Beberapa dari mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak dari mereka karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial emosional; fisik; maupun seksual.
3.      Children from families of the street atau children in street. Yakni anak yang keluarganya memang di jalanan yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan, anak-anak yang berasal dari keluarga di jalanan dengan salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalan sejak anak masih bayi bahkan sejak dalam kandungan.
Menurut Sujana, menyebutkan bahwa faktor yang mendorong anak untuk turun ke jalanan, terbagi dalam tiga tingkatan, sebagai berikut (Depsos, 2001:25-26):
Tingkat Mikro (Immediate Causes). Faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarga. Sebab-sebab yang bisa di identifikasi dari anak jalanan lari dari rumah (sebagai contoh, anak yang selalu hidup dengan orang tua yang terbiasa dengan menggunakan kekerasan: sering memukul, menampar, menganiaya karena kesalahan kecil), jika sudah melampaui batas toleransi anak, maka anak cenderung keluar dari rumah dan memilih hidup di jalanan, disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah, dalam rangka bertualang, bermain-main dan diajak teman. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah: terlantar, ketidakmampuan orangtua menyediakan kebutuhan dasar, kondisi psikologis karena ditolak orangtua, salah perawatan dari orangtua sehingga mengalami kekerasan di rumah (child abuse).
Tingkat Meso (Underlying cause). Yaitu faktor agama berhubungan dengan faktor masyarakat. Sebab-sebab yang dapat di identifikasi adalah: pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, anak-anak diajarkan untuk bekerja. Pada masyarakat lain, pergi ke kota untuk bekerja.
Tingkat Makro (Basic Cause). Yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur ini dianggap memiliki status sebab-akibat yang sangat menentukan –dalam hal ini, sebab: banyak waktu di jalanan, akibatnya: akan banyak uang).
Faktor-faktor yang membuat keluarga dan anaknya terpisah (BKSN, 2000:111) adalah:
1.      Faktor Pendorong:
·         Keadaan ekonomi keluarga yang semakin dipersulit oleh besarnya kebutuhan yang ditanggung kepala keluarga, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, maka anak-anak disuruh ataupun dengan sukarela membantu mengatasi kondisi ekonomi tersebut.
·         Ketidakserasian dalam keluarga, sehingga anak-anak tidak betah tinggal di rumah atau anak lari dari keluarga.
·         Adanya kekerasan atau perlakuan salah dari orangtua terhadap anaknya sehingga anak lari dari rumah.
·         Kesulitan hidup di kampung, anak melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan mengikuti orang dewasa.
2.      Faktor Penarik:
·         Kehidupan jalanan yang menjanjikan, dimana anak mudah mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.
·         Diajak teman.
·         Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.
Disamping faktor-faktor tersebut di atas, lingkungan komunitas juga ditenggarai sebagai penyebab bagi gejala anak di jalanan –terutama yang erat kaitannya dengan fungsi stabilitas sosial dari komunitas itu sendiri. Ada dua fungsi utama stabilitas komunitas, yaitu pemeliharaan tata nilai dan pendistribusian kesejahteraan dalam kalangan komunitas yang bersangkutan. Dalam pemeliharaan tata nilai misalnya, tetangga atau tokoh masyarakat tidak menasehati; menegur; ataupun melarang anak berkeliaran di jalan. Dan berkenaan dengan pendistribusian, kurangnya bantuan dari tetangga atau organisasi sosial kemasyarakatan terhadap keluarga miskin di lingkungannya. Dengan kata lain, belum memberikan perlindungan terhadap anak yang terlantar di lingkungan komunitasnya.
Dalam pandangan Soetarso, bahwa dampak krisis moneter dan ekonomi dalam kaitannya dengan anak jalanan adalah:
1.      Orang tua mendorong anak untuk bekerja membantu ekonomi keluarga.
2.      Kasus kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak oleh orangtua semakin meningkat sehingga anak lari ke jalanan.
3.      Anak terancam putus sekolah karena orangtua tidak mampu membayar uang sekolah.
4.      Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah mahal/meningkat.
5.      Timbulnya persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga anak terpuruk melakukan pekerjaan beresiko tinggi terhadap keselamatanya dan eksploitasi anak oleh orang dewasa di jalanan.
6.      Anak menjadi lebih lama di jalanan sehingga timbul masalah baru.
7.      Anak jalanan jadi korban pemerasan, dan eksploitasi seksual terhadap anak jalanan perempuan. (Huraerah, 2006:78)
                                                                                                 
Tantangan dan Peluang Perbaikan
Kekerasan pada anak merupakan tindak pelanggaran hak anak yang sering kali dilakukan oleh orang-orang terdekat, orang yang dikenal anak, bahkan oleh orangtuanya. Yang lebih mengkhawatirkan adalah tindakan kekerasan pada anak masih dianggap persoalan domestik dan bukan persoalan kemanusiaan. Anak jalanan merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak anak (penelantaran anak), anak jalanan cenderung mengalami eksploitasi, selain dijadikan sebagai sumber penopang ekonomi keluarga, anak yang berada di jalanan sering mendapat tindak kekerasan fisik, emosional bahkan seksual. Dan secara otomatis anak-anak yang berada di jalanan tidak dapat menikmati haknya –baik hak untuk hidup; tumbuh; berkembang dan berpartisipasi secara wajar; hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial; hak untuk mendapatkan pendidikan; hak untuk mendapatkan perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; maupun hak-hak lainnya. Meskipun perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun implikasinya belum bisa dilihat secara maksimal –hal ini salah satunya dapat dilihat dari jumlah anak jalanan yang semakin meningkat.
Keberadaan anak di jalanan tidak hanya berdampak pada perampasan hak anak, namun juga akan berpengaruh pada konstruksi sosial seperti: kriminalitas yang dilakukan anak, anak sebagai pengedar narkoba, serta anak yang menjadi sumber penularan terhadap IMS termasuk HIV/AIDS. Penanganan terhadap anak jalanan di Indonesia belum menyentuh akar masalah, hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini dimana strategi penanggulangan anak jalanan lebih pada pendekatan kriminal seperti yang tertera dalam Perda No 11 Tahun 1988, dimana anak jalanan diposisikan sebagai “perusak keindahan kota dan pengganggu ketertiban umum”. Perda tersebut memandang anak jalanan melalui pendekatan kriminal. Pendekatan ini tidak memberikan solusi, karena seharusnya pemerintah memberi kesempatan pada anak untuk menunjukkan potensinya, artinya pendekatan yang harus dilakukan pemerintah adalah pendekatan kasih sayang. Pemerintah dapat memberikan sejumlah alternatif sehingga mereka bisa memilih mana yang sesuai dengan minat. Dengan demikian, anak jalanan akan dengan senang hati mentaati peraturan yang berlaku untuk menjalankan minat mereka. Sebagai contoh: anak-anak jalanan yang berminat dibidang musik, otomotif, atau yang lainnya harus diarahkan sesuai dengan kemampuannya. Hal ini dapat dilakukan pemerintah melalui bekerja sama dengan stakeholders lewat program corporate social responsibility (CSR) setelah sebelumnya melakukan pemetaan minat terhadap anak jalanan. Alternatif pemecahan masalah ini sejalan dengan yang dilakukan di Amerika Latin melalui salah satu upaya penanggulangan anak jalanan adalah dengan menampung mereka di Pusat Rehabilitasi atau Rumah Perlindungan Sosial Anak. Amerika Latin memiliki persoalan anak jalanan yang cukup pelik, namun mereka bisa menguranginya antara lain dengan memperbanyak akses dan ruang bagi anak untuk berkreasi –terutama mengembangkan diri di bidang olah raga.
Penanggulangan anak jalanan di Indonesia harus ditangani secara bertahap dan terencana. Dengan strategi seperti ini, anak jalanan akan lebih optimis –artinya disini, kunci penanganan anak jalanan adalah jangan pernah menganggap masalah yang ada sebagai sesuatu yang kecil dan diselesaikan dengan kacamata makro tetapi permasalahan anak jalanan harus diselesaikan dengan kacamata mikro.

Penutup
Permasalahan anak sungguh sangat kompleks karena mencakup berbagai dimensi baik, keluarga; lingkungan sosial; pendidikan; sampai ke perangkat hukum. Berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan anak telah dilakukan baik oleh pemerintah; kalangan swasta; maupun lembaga swadaya masyarakat (Non Government Organization/NGO). Permasalahan anak yang masih sering kita jumpai diantaranya adalah: anak yang berhadapan dengan hukum; pekerja anak; eksploitasi seksual; kekerasan terhadap anak; perdagangan anak; anak jalanan; anak terlantar; diskriminasi; kekerasan terhadap anak –baik secara fisik maupun psikis; sampai pada perlakuan salah lainnya.
Kasus eksploitasi terhadap anak, baik secara ekonomi maupun seksual yang disertai dengan kekerasan bahkan pembunuhan secara kejam juga semakin meningkat. Kasus penculikan bayi terutama di kota-kota besar yang disinyalir dilakukan oleh sindikat yang terorganisir untuk diperdagangkan, dieksploitasi maupun pengasuhan secara illegal juga menjadi kasus yang mewarnai pemberitaan di media masa beberapa tahun terakhir ini. Belum lagi munculnya kekerasan atau pembunuhan anak oleh orangtua sendiri atau orang-orang terdekat karena tekanan ekonomi, gangguan jiwa atau karena kelainan seksual.
Faktor terpenting yang menyebabkan tingginya permasalahan anak adalah tingginya tingkat kemiskinan masyarakat. Hal ini terjadi karena: adanya kebijakan pembangunan yang tidak merata antardaerah; serta adanya ketidak-adilan sosial ekonomi yang berimbas pada terjadinya kesenjangan sosial ekonomi yang sangat tinggi antara si kaya dengan si miskin. Kebijakan ekonomi makro yang diterapkan pemerintah terhadap masyarakat marginal, seperti: kasus-kasus penggusuran dan pengusiran keluarga-keluarga miskin dari tanah/rumahnya dengan berbagai macam alasan telah menambah kompleksitas permasalahan anak.
Karena itu, penyelesaian permasalahan anak juga harus dimulai dari pembuatan kebijakan pembangunan negara yang berorientasi pada pemerataan pembangunan sampai ke pelosok-pelosok desa dan perlindungan terhadap kaum marginal. Dengan terjadinya pemerataan pembangunan di daerah-daerah, maka tidak akan terjadi urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota. Selain itu, berbagai kebijakan tentang anak juga harus terpadu sehingga tidak terjadi tumpang tindih/duplikasi program di berbagai kementerian atau lembaga. Saat ini program yang menangani tentang anak ada di Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan di berbagai Kementerian lainnya. Program yang bersentuhan dengan anak di berbagai kementerian, harus didorong agar lebih menyentuh pada persoalan-persoalan anak; advokasi; maupun pemberdayaan anak. Komisi VIII DPR RI secara khusus harus memperhatikan isu-isu anak di Indonesia terutama dalam konteks budgeting, legislasi maupun pengawasan atas pelaksanaan kebijakan oleh eksekutif -terutama yang berkaitan dengan upaya memajukan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak di Indonesia.
Upaya lintas sektoral yang perlu dilaksanakan dalam Perlindungan Anak di Indonesia, meliputi: peningkatan kapasitas kelembagaan; ketersediaan data dan informasi; koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan program perlindungan anak lintas sektoral; serta harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak. Upaya lintas sektoral juga diperlukan dalam upaya mendukung untuk melakukan tindak lanjut dari Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, terutama dalam implementasi dan koordinasi teknis.
Upaya lainnya adalah: mendorong Bareskrim POLRI untuk menindak secara tegas dan konsisten terhadap individu atau kelompok terorganisir dengan memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selanjutnya dalam penanganan penertiban, hendaknya memperhatikan aspek perlindungan anak; penanganan perlindungan dan pelayanan anak secara sistematis dan integratif; serta sosialisasi yang intensif program-program perlindungan anak. Mendukung upaya-upaya dari Kementerian Kesehatan RI dalam memberikan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) kepada anak-anak korban kekerasan, korban eksploitasi, korban perdagangan, korban penelantaran dan anak-anak dari keluarga miskin –termasuk anak-anak jalanan sesuai peraturan yang berlaku.
Langkah strategis lembaga-lembaga yang terkait dengan perlindungan anak diantaranya adalah perlunya ditingkatkan koordinasi, sinkronisasi dan  sinergi  secara intensif antar stakeholders pusat dan daerah dalam mewujudkan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah, penelantaran serta semua permasalahan anak yang dituangkan dalam suatu naskah kerjasama; membangun kemitraan strategis, kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat dalam negeri maupun luar negeri,  yayasan,  organisasi sosial,  rumah singgah, dan pihak-pihak lainnya  untuk meningkatkan jangkauan dan aksesibilitas pelayanan kesejahteraan, rehabilitasi, dan perlindungan anak. Menggerakkan dunia usaha agar melaksanakan tanggung jawab dalam pelayanan rehabilitasi dan perlindungan anak (melalui: corporate social responsibility/CSR); pencanangan gerakan perlindungan anak berbasis keluarga dan masyarakat; mensosialisasikan tanggung jawab keluarga dan masyarakat; serta mempromosikan hak-hak anak –termasuk gerakan penyelamatan anak-anak dari jalanan secara nasional.
Selain melalui ranah kebijakan, langkah-langkah nyata untuk melakukan perlindungan terhadap anak juga harus dimulai dari ranah keluarga, lingkungan masyarakat dan dunia pendidikan. Menciptakan tatanan masyarakat yang sadar akan hak-hak anak dan mampu memberikan suasana yang aman dan nyaman untuk tumbuh dan berkembangnya anak sehingga sepuluh hak anak sebagaimana tercantum di dalam konvensi Hak Anak PBB dapat terpenuhi. Semoga.

Rujukan:
Anwar, Evi Nurvid. dan Toro S Wongkaren. 1967. Masalah Anak dan Implikasi Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Gosita, Arif. 1998. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo.
Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Pada Anak. Bandung: Penerbit Nuansa.
Sri Sanituti Hariadi dan Bagong Suyanto. 1999. Anak Jalanan di Jawa Timur: Masalah dan Upaya Penanganannya. Surabaya: Airlangga University. Press.
Soetomo. 2010. Masalah Sosial dan Upaya Penanganannya. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak
http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/  diakses pada 14 April 2013.
http://www.hrw.org/reports/1996/India3.htm  diakses pada 14 April 2013.



***

Jumat, 26 April 2013

Lumut Cibodas

Taman Lumut Kebun Raya Cibodas Cianjur Jawa Barat

Taman Lumut Kebun Raya Cibodas
Biasanya sebuah taman akan ditanami dengan aneka bunga, namun jika ditanami dengan aneka lumut (Bryophyte) maka akan menjadi sesuatu yang spektakuler. Keluarbiasaan inilah yang bakal kita temukan tatkala bertandang ke Taman Lumut yang berada di kawasan Kebun Raya Cibodas, Sindanglaya, Cipanas, Cianjur Jawa Barat.
Dengan areal seluas 2.500 m2, taman ini diklaim sebagai satu-satunya di dunia yang terletak di luar ruangan dan memiliki koleksi terbanyak. Taman Lumut Kebun Raya Cibodas saat ini menyimpan lebih dari 235 jenis lumut. Taman yang diresmikan pada bulan April 2006 ini persisnya terletak di blok X Kebun Raya Cibodas –sekitar 600 meter dari gerbang utama. Lokasinya tidak jauh dari Taman Bunga Bangkai dan Taman Paku-pakuan dengan kondisi tanah miring, datar, dan berair, ternaungi dan terbuka.






Johannes Elias Teysjmann
Sebagai catatan: Kebun Raya Cibodas ini didirikan oleh Johannes Elias Teysjmann pada 11 April 1852 dengan ditandai tibanya bibit pohon kina dari Belanda, Kebun Raya Cibodas dulunya bernama Bergtuin te Tjibodas atau Kebun Pegunungan Cibodas.
Saat kaki melangkah memasuki Taman Lumut Kebun Raya Cibodas –yang berada tidak jauh dari kaki Gunung Gede-Pangrango ini, maka mata akan langsung disuguhi pemandangan serba lumut. Di depan, belakang, di sisi kanan, dan kiri kita, lumut bertebaran di mana-mana. Nuansa hijau, lembab, basah, dan dingin begitu terasa. Unik, menarik sekaligus mempesona.




Taman Lumut KRC Cianjur


Dengan menerapkan rancangan cultivated landscapeyaitu pembentukan terasering atau petak-petak yang dibatasi jalan kecil dan kolam kecil, aneka lumut ditata sedemikian rupa. Ada yang menempel di batang pohon, ada yang menempel di batu-batu, tembok, dan ada pula yang tumbuh di tanah.
Sebagian besar lumut yang berada di Taman Lumut Kebun Raya Cibodas adalah lumut lokal yang tumbuh di sekitar kawasan Kebun Raya Cibodas –sebagian lainnya diperoleh dari daerah Sumatera dan Kalimantan.
Kebun Raya Cibodas, sebelum 1952.
Salah satu tujuan dibuatnya taman lumut ini adalah untuk memperkuat fungsi dan tugas utama Kebun Raya Cibodas dalam bidang konservasi secara eks situ. Selain itu, taman ini dimaksudkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan, dan rekreasi sekaligus meningkatkan nilai konservasi keragaman jenis-jenis lumut dan apresiasi masyarakat terhadap keragaman lumut.
Taman Lumut Cibodas Cianjur
Menurut Botanic Gardens Conservation International (BGCI) –lembaga amal bagi konservasi tanaman yang bermarkas di London, Inggris, Taman Lumut Kebun Raya Cibodas tercatat sebagai taman lumut satu-satunya yang terbesar dan memiliki koleksi lumut terbanyak di dunia.
Lumut yang tumbuh di Taman Lumut Cibodas ini, berjumlah tak kurang dari 178 spesies. Seluruhnya tumbuh subur di antara percikan air terjun yang menimpa bebatuan. Dari dalam mulut gua, tumbuhan tingkat rendah itu merayap hingga akar dan batang pepohonan. Walhasil, tak ada ruang bebas lumut di taman itu. Ini Taman Lumut terbesar dan satu-satunya yang berada di luar ruangan di dunia





Beberapa negara lain memang ada yang memiliki Taman Lumut –seperti Jepang dan India. Namun, areal Taman Lumut di kedua negara tersebut tidak seluas Taman Lumut Kebun Raya Cibodas. Di samping itu, koleksi lumutnya pun minim. Taman Lumut Kokedera di Kyoto, Jepang, misalnya, hanya memiliki koleksi sebanyak 22 jenis lumut. Sementara itu, Taman Lumut milik The National Botanical Research Institute di India baru memiliki koleksi 18 jenis lumut. Di Jerman dan di Singapura memang ada Taman Lumut juga, tapi berada di rumah kaca, dan koleksinya cuma tujuh spesies. Dengan demikian, Taman Lumut Cibodas ini merupakan taman lumut pertama dan terbesar di dunia.
Kokedera Kyoto Jepang
Secara ekologis, lumut sangat bergantung pada kelembaban untuk bisa tumbuh dengan baik –karena tumbuhan ini mendapatkan zat-zat makanannya dari udara. Oleh karena itu, secara umum tumbuhan ini lebih menyenangi tempat-tempat yang lembab. Untuk bisa bertahan, beberapa jenis lumut memiliki metode khusus untuk menyiasati masa kering berkepanjangan.
Di dunia ini diperkirakan terdapat sekitar 4.000 spesies lumut. Dari jumlah tersebut, setengah di antaranya tumbuh di Indonesia. Secara taksonomi, tanaman lumut berada di antara tanaman Alga dan Pterodophyta. Lumut dibagi menjadi tiga kelas yaitu Musci (Moss), Hepaticae (Liverwot) dan Anthocerotae (Hornwort). Lumut menyukai tanah dengan keasaman antara 5,0 dan 6,0. Tanaman ini tidak bakal tumbuh jika keasaman tanah melebihi dari 6,5.
Selain itu, lumut mempunyai struktur yang sederhana. Perkembangbiakannya secara vegetatif melalui potongan tubuhnya yang menyebar terbawa oleh angin atau dipungut oleh burung untuk membuat sarang.



Air Terjun di Taman Lumut KRC Cianjur

Meski keberadaannya kerap dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang –karena dinilai tidak menarik, lumut sesungguhnya memiliki sejumlah manfaat penting bagi lingkungan dan khazanah medis. Manfaat lumut antara lain sebagai: penyedia oksigen; penyerap air; dan penyerap zat-zat pencemar (polutan). Beberapa jenis lumut bahkan kini telah diketahui memiliki manfaat sebagai bahan obat alami untuk mengobati beberapa jenis penyakit. Di antaranya adalah lumut jenis Marchantia sp. yang digunakan sebagai bahan obat untuk penyakit hepatitis dan lumut jenis Spaghnum sp. yang berkhasiat sebagai obat penyakit kulit serta penyakit mata.




Jembatan Taman Lumut KRC Cianjur Jabar


KRC Cianjur


Peta lokasi Taman Lumut KRC Cianjur Jawa Barat

***