Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Minggu, 31 Agustus 2014

Babancong Swiss van Java



Babancong merupakan sebuah bangunan kecil mirip pesanggarahan berbentuk panggung seluas sekitar lima belas meter persegi serta memiliki kolong yang tingginya kira-kira dua meter, berada di sisi sebuah tanah lapang (alun-alun). Pada dasarnya pola Alun-alun Garut hampir sama dengan pola alun-alun yang ada di kota-kota lain di Indonesia, yakni: pola Pohon Beringin; Masjid Agung; Pendopo; dan embel-embel lainnya yang berhubungan dengan pemerintahan. Babancong berfungsi sebagai tempat parapembesar negara berpidato, menyampaikan pengumuman, atau menyaksikan berbagai keramaian di alun alun.
Babancong Kota Intan Garut

Bangunan Cagar Budaya
Ke Kota Garut tanpa menengok Babancong, seperti sayur tanpa garam. Babancong terletak di depan Pamengkang –rumah dinas Bupati Garut, tepatnya di depan pendopo kabupaten. Dalam tata kota tradisional di Tatar Sunda, babancong merupakan bagian dari alun-alun dan terletak di sebelah Selatan alun-alun. Bangunan berbentuk bundar, beratap seperti “payung geulis” dengan tiang penyangga tujuh buah, ditambah tangga dikiri-kanannya serta tujuh lobang mirip goa dipondasinya, menjadikan Babancong Garut sebagai artefak sejarah Kota Garut. Pipi tangga babancong bermotif lengkung terawangan seperti sisik ular, penutup lantai anak tangga dari keramik –yang tampaknya merupakan penambahan baru. Penutup atap, berupa genteng beton berglasur –juga merupakan penambahan baru. Material penyusun bangunan babancong berupa pasangan bata berplester yang dicat warna putih. Kendati sudah berusia ratusan tahun, bangunan Babancong Garut dengan arsitekturnya yang unik, masih tetap berdiri kokoh. Dimilikinya babancong sebagai podium kebesaran ‘gegeden’ Garut ini, sebagai sisa peradaban Garut yang masih ada. Pasalnya, hanya Garut yang memiliki babancong dibanding daerah lain Jawa Barat. Ada juga babancong di Manonjaya Tasikmalaya, tapi tidak sebesar dan setinggi Babancong Garut.
Bung Karno di atas Babancong Garut, tahun 1960-an.
Para-Inohong Garut di Babancong
Babancong yang terletak antara alun-alun –Lapangan Oto Iskandardinata dan Pendopo Garut tersebut, memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Presiden Soekarno, pernah berpidato di atas babancong disaksikan ribuan warga Garut. Pada waktu itu, Soekarno mengunjungi Garut untuk memberi penghargaan Adipura karena Garut dinilai sebagai “Kota Terbersih” di Indonesia. Sejak Garut menerima Adipura Pertama di Indonesia itulah, Garut dijuluki Kota Intan oleh Soekarno, –karena ketika malam hari, Garut ‘ngaborelak’ seperti kilauan intan yang bisa dilihat dari puncak Jalan Cimanuk di pusat kota.
Diapit oleh Dua Srikandi Garut

Pembangunan Babancong
Babancong didirikan bersamaan dengan pendirian Gedung Pendopo, Alun-alun, Masjid Agung, dan Kantor Karesidenan pada waktu pembangunan ibukota Kabupaten Limbangan pada tahun 1813. Pada tahun itu pula muncul sebutan “Garut” yang belakangan menjadi nama Kabupaten Garut, menggantikan nama Kabupaten Limbangan.
Babancong Garut dengan latar belakang Gunung Cikuray
Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Gubernur Jenderal Herman Wilhem Daendels, dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila –indigo. Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Thomas Stamford Raffles dari Inggris, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribukota di Suci Karangpawitan. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci ini dinilai tidak memenuhi persyaratan –sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit. Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi ibukota kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan tempat di Cimurah, sekitar tiga km sebelah Timur Suci –saat ini, kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun. Akan tetapi di tempat tersebut, air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi ibukota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar lima km, dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan ibukota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti: Gunung Cikuray; Gunung Papandayan; Gunung Guntur; Gunung Galunggung; Gunung Talaga Bodas; dan Gunung Karacak. Saat itu ditemukan mata air berupa telaga kecil –Ci Garut yang tertutup semak belukar berduri –Ki Garut/Marantha. Cetusan nama Garut tersebut, direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan nama baru bagi ibukota Kabupaten Limbangan. Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti: tempat tinggal; pendopo; kantor asisten residen; masjid; dan alun-alun. Di depan pendopo –antara alun-alun dengan pendopo, dibangunlah "Babancong" tempat bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, ibukota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan secara resmi diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribukota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915).
Tugu Holle di Lapang Oto Iskandar Dinata, alun-alun Garut 1910.
Babancong Garut dengan latar belakang Gedung Pendopo dan Gunung Cikuray
Masjig Agung Garut di sekitar Lapang Oto Iskandar Dinata



***

Sabtu, 30 Agustus 2014

Intervensi Pekerja Anak



Anak adalah generasi muda penerus cita-cita bangsa, ia memiliki peran strategis yang diharapkan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Anak seharusnya dibiarkan tumbuh berkembang sehat sehingga dapat memperoleh pendidikan dan jaminan kesehatan yang baik sampai usia dewasa, setelah itu barulah ia disiapkan menjadi pekerja. Karena itu, sebenarnya penentu pilihan ada pada kita sendiri. Apakah anak akan kita jadikan sebagai aset di masa depan dengan segala persiapannnya, ataukah ia hanya sebagai liabilitas (social cost) di hari esok.

Pendahuluan
Pekerja anak di Indonesia, semula lebih berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orangtua. Sebagian besar orangtua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak-anak merupakan upaya proses belajar, seperti: belajar menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada dunia kerja, mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban ekonomi keluarga. Pendapatan orangtua yang sangat sedikit sehingga tidak mampu lagi menutupi kebutuhan hidup keluarga, memaksa anak-anak mereka untuk ikut bekerja. Di pihak lain, biaya pendidikan di Indonesia yang relatif masih tinggi telah ikut memperkecil kesempatan anak-anak untuk mendapatkan pendidikan. Selain itu, masih banyak pekerja anak yang kadang-kadang harus melakukan pekerjaannya di luar batas waktu kerja normal dan batas kemampuannya. Kondisi ini menyebabkan pekerja anak kehilangan kesempatan yang seharusnya mereka alami pada masa kecilnya, seperti: kesempatan bermain dan belajar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pasar kerja anak, dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Dari sisi Penawaran (Supply), ketersediaan tenaga kerja anak sangat tergantung pada partisipasi anak di sekolah dan ketersediaan waktu luang mereka –terutama untuk anak-anak yang bekerja paruh waktu. Selain itu, faktor orangtua sangat menentukan pula keputusan anak untuk bekerja. Sedangkan dari sisi Permintaan (Demand), permintaan terhadap pekerja anak sangat ditentukan oleh adanya kebutuhan perusahaan. Sebagian besar industri yang mempekerjakan anak, ternyata memiliki alasan karena upah mereka yang relatif murah dan kecenderungan dari sikap mereka yang penurut –tidak banyak menuntut.
Di beberapa kawasan Asia, hak-hak dan perlindungan terhadap pekerja anak masih tidak diperhatikan. Status sebagai pekerja anak, terkesan sebagai: “buruh yang terpasung”. Mereka tidak memperoleh jaminan-jaminan normatif sebagai layaknya pekerja pada umumnya. Kalaupun diperoleh, jaminan itu tidak sama besar dengan yang diterima oleh pekerja dewasa.
Jika dilihat dari faktor usia, batasan anak diatur dalam beberapa ketentuan: Pertama, dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18  tahun,  termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Kedua, dalam Pasal 1 angka 26 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa: “Anak  adalah setiap orang yang berumur di bawah 18  tahun”. Jadi, dari segi usia, dapat ditetapkan bahwa siapapun yang berusia dibawah 18 tahun, dikategorikan sebagai anak. Namun fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, masih banyak anak berusia kurang dari 18 tahun harus bekerja dan mengumpulkan uang untuk menyambung hidup. Jumlah pekerja anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, terdapat 2,5 juta pekerja anak di seluruh Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan karena harus bekerja.
International Labour Organization (ILO), memperkirakan bahwa terdapat 152 juta pekerja anak yang berusia antara 5 hingga 14 tahun. Sebagian besar dari anak-anak ini berasal dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat dan datang dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Di saat bersamaan, sekitar 67 juta anak tidak terdaftar di sekolah dasar dan jumlah yang sama tidak terdaftar di tingkat sekolah menengah pertama. Dengan kecenderungan saat ini, masyarakat internasional akan menemukan kegagalan dalam memenuhi Tujuan Pembangunan Milenium yaitu mencapai pendidikan dasar universal pada tahun 2015.
Dalam bulan Mei 2010, Konferensi Pekerja Anak Global –dihadiri oleh perwakilan 97 negara, menyepakati sebuah roadmap untuk mencapai penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak pada tahun 2016. Tindakan-tindakan untuk meningkatkan akses ke pendidikan bebas biaya, wajib, berkualitas untuk semua anak, merupakan bagian pokok dari roadmap tersebut.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 138 tentang Batasan Usia Minimum untuk Bekerja, dan Konvensi ILO 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak. Indonesia juga telah memiliki Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak. Dengan ratifikasi ini, sesungguhnya pemerintah Indonesia terikat untuk melakukan pelarangan terhadap keberadaan pekerja anak. Mempekerjakan anak, termasuk dalam  pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) –karena kedua konvensi ILO tersebut adalah instrumen internasional tentang HAM. Namun kenyataannya, tingginya jumlah anak-anak yang bekerja yang sebagian besar di bawah usia 15 tahun –baik di sektor formal maupun informal, masih kerap kita temui.
Mensos RI, Salim Segaf Al-Jufri.

Intervensi
Problem pekerja anak, juga merupakan persoalan global yang dihadapi oleh setiap negara. Oleh karena itu, penanggulangan masalah pekerja anak pun menuntut intervensi dari berbagai pihak.
1.    Memperluas Akses Pendidikan
Tujuan utama dari intervensi ini adalah untuk memperkuat keterkaitan tingkat kebijakan antara kerja-kerja terkait dengan pekerja anak dengan pendidikan, yang mengarah ke tindakan yang akan meningkatkan peluang bagi mereka yang terlibat dalam pekerja anak ataupun mereka yang rentan menjadi pekerja anak, guna memperoleh manfaat dari pendidikan. Hal ini dapat dicapai khususnya melalui: (a) Mengintegrasikan perhatian ke pekerja anak dalam perencanaan dan diskusi program sektor pendidikan; (b) Inisiatif untuk mengatasi pekerja anak melalui pendidikan dan untuk mengintegrasikan pengetahuan intervensi pengetahuan atas intervensi-intervensi yang berhasil dalam diskusi-diskusi kebijakan; dan (c) Membangun kapasitas pemangku kepentingan untuk terlibat secara aktif dalam advokasi mengenai pekerja anak dan keterkaitan pendidikan.
Strategi yang dapat dijalankan:
A.  Mempromosikan perhatian bagi pekerja anak dalam rencana sektor pendidikan nasional
Tujuan utama dari kebijakan pendidikan seharusnya adalah untuk memperluas akses atas pendidikan berkualitas untuk anak laki-laki dan perempuan. Upaya mengatasi pekerja anak akan membawa lebih banyak anak-anak ke sekolah, dan meningkat aksesibilitas; kuantitas; dan kualitas pendidikan, akan membantu mencegah pekerja anak –sebuah situasi yang sama-sama menguntungkan bagi negara. Kerangka utama untuk perencanaan pendidikan adalah rencana sektor pendidikan. Strategi ini akan membantu menghasilkan momentum guna memasukkan target-target anak-anak dalam pekerja anak ataupun anak-anak yang rentan menjadi pekerja anak dalam proses-proses perencanaan sektor pendidikan. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, basis pengetahuan mengenai pekerja anak telah dikembangkan secara signifikan. Namun, saat ini, hanya sedikit hubungan antara analisis data mengenai pekerja anak yang dikumpulkan melalui survei rumah tangga dan pertimbangan perencanaan pendidikan. Kemungkinan untuk memanfaatkan data ini lebih baik guna mendukung perencanaan pendidikan, semakin diakui dan kerja ini akan dikembangkan melalui strategi ini.
B.  Membangun kapasitas mitra
Strategi ini akan membantu para mitra nasional guna meningkatkan pemahaman atas pekerja anak dan keterkaitan pendidikan, dan memperkuat kapasitas untuk berpartisipasi secara efektif dalam diskusi dan tindakan-tindakan terkait dengan persoalan-persoalan ini. Upaya menghapus pekerja anak –anak-anak yang bekerja khususnya dengan menangani penyebab eksploitasi ekonomi anak melalui akses pendidikan dan penghapusan kemiskinan. Kegiatan ini akan bekerja dengan jejaring sektor pendidikan lokal; mitra-mitra sosial; organisasi masyarakat sipil; dan lainnya, untuk mengembangkan sistem monitoring pekerja anak yang komprehensif dengan pandangan untuk membangun kapasitas mitra-mitra tersebut untuk terus melakukan kerja-kerjanya dalam bidang ini. Kegiatan ini juga akan mendukung sejumlah komunikasi dan pertukaran antarnegara berkembang.
C.  Memperkuat program pelatihan keterampilan
Tanpa akses ke pendidikan dasar, anak-anak dapat menjadi rentan. Namun bagi anak-anak yang lebih tua dan putus sekolah, kembali ke sekolah mungkin bukanlah sebuah pilihan. Anak-anak ini, remaja yang telah mencapai usia minimum untuk bekerja, mungkin akan lebih tertarik pada peluang untuk mengembangkan keterampilan kerja dan hidup melalui pelatihan kejuruan. Berdasarkan pada pengalaman dalam pelatihan kejuruan, strategi ini akan mengembangkan materi-materi baru guna menyediakan panduan bagi mereka yang peduli untuk mengembangkan program-program pengembangan keterampilan bagi anak-anak putus sekolah yang lebih tua.
Implementasi Program Aksi:
A.  Menyediakan peluang pendidikan bagi Pekerja Anak (Pemulung) di Komunitas TPA Antang di Sulawesi Selatan (Badan Pelaksana: Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan).
B.  Meningkatkan Kualitas Layanan Pendidikan untuk Anak-anak Jalanan melalui Pusat Belajar Masyarakat dan Keterlibatan Pekerja Sosial (Badan Pelaksana: Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia).
C.  Mencegah Pekerja Anak di Kabupaten Sukabumi melalui Pendidikan Inklusif, Keterampilan Pribadi dan Sosial serta Pemantauan Berbasis Masyarakat (Badan Pelaksana: Dinas Pendidikan Sukabumi).
D.  Memperkuat kerjasama antarnegara berkembang dalam mengentaskan pekerja anak (Badan Pelaksana: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).

2.    Tanggungjawab Sosial Perusahaan
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat. Secara teoritis, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para stakeholders, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai: agen moral.
Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR, yakni mengedepankan prinsip moral dan etis. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan, adalah: golden rules. Prinsip ini mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain, sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis, akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. CSR akan menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Hal itu diwujudkan melalui perilaku yang transpanran dan etis yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Tak ketinggalan memperhatikan kepentingan dari para stakeholders, sesuai hukum yang berlaku, dan konsisten dengan norma-norma internasional. Di samping itu, juga terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, meliputi: kegiatan; produk; maupun jasa.
Penerapan CSR di perusahaan, akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga lebih mendukung perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial sehingga meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan yang meningkat. Saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan. Akibatnya, banyak kalangan dunia usaha yang bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi usaha. CSR hanya dipandang merupakan komponen biaya yang mengurangi keuntungan.
Praktik CSR akan berdampak positif, jika dipandang sebagai investasi jangka panjang. Dengan melakukan praktik CSR yang berkelanjutan, perusahaan akan mendapat tempat di hati masyarakat. Salah satunya adalah kemitraan dalam bidang pendidikan, seperti yang dilakukan oleh: Indofood/Kalbe Farma/Agung Auto Mall/Bank Niaga dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang didukung oleh instansi pemerintah terkait yakni Departemen Pendidikan Nasional beserta seluruh jajarannya.
CSR Award 2013
Pada acara Malam Apresiasi CSR Award 2013 yang digelar Koran SINDO di Jakarta, 15 November 2013, yang menjalin kemitraan strategis dengan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat –Kemenko Kesra; Kementerian Sosial; dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak –Kemeneg PP dan PA, mengumumkan perusahaan peraih CSR AWARD berjumlah 27 perusahaan.
Wanda Hamidah, pemerhati masalah anak.

Penutup
Keseriusan ILO terhadap penanganan pekerja anak, lebih dipertegas lagi melalui program khusus yang disebut dengan “The International Programme on the Elimination of Child Labor (IPEC)”. Program ini diluncurkan pada tahun 1990 dengan bantuan dana dari Pemerintah Jerman. Program IPEC dimulai dengan 6 negara peserta, yaitu: Indonesia, India, Thailand, (di Asia), Turki (Eropa/Asia), Brazilia (Amerika Latin), dan Kenya (Afrika). Realisasi program IPEC di Indonesia dimulai sejak 1992 sejak ditandatanganinya MOU antara pemerintah Indonesia dengan Direktur Jenderal ILO. Dalam pelaksanaannya program di masing-masing negara, ILO/IPEC dalam hal ini bertindak sebagai catalyst saja. ILO/IPEC percaya bahwa penanganan dan penanggulangan secara tuntas masalah pekerja anak ini hanya dapat dilakukan oleh negara dan masyarakat. ILO/IPEC hanya membantu menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi tumbuhnya berbagai program model penanggulangan pekerja anak, serta terciptanya suatu peraturan dan program strategi yang tepat bagi penanggulangan pekerja anak di masing-masing negara dengan mengacu pada standar internasional yang telah disepakati.
Pemerintah tidak bisa sendirian berupaya mengentaskan masalah pekerja anak; kemiskinan; dan masalah sosial lainnya. Untuk itu, diperlukan kemitraan dengan dunia usaha dan unsur masyarakat. Melalui program CSR, yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk kegiatan filantropi –kedermawanan sosial, perusahaan dapat mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk membantu korban bencana alam dan sosial, serta membantu berbagai persoalan sosial yang dihadapi masyarakat. Kemenko Kesra telah meluncurkan Gerakan Prakarsa Masyarakat Membangun Indonesia Sejahtera (Gema Mitra) dengan moto ”Kami Peduli Kami Bermitra”, dengan tujuan untuk melakukan jejaring kemitraan antar-elemen masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Juga telah menandatangani MoU dengan dunia usaha, dalam hal ini Corporate Forum for Comdev (CFCD), serta antara CFCD dan pemerintah kabupaten/kota. Hal ini penting, mengingat perusahaan itu keberadaannya di tengah masyarakat dan faktanya masyarakat juga lebih menyukai perusahaan yang aktif berkomunikasi dengan sekitarnya.

***