Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Selasa, 03 September 2013

Mutiara Di Bibir Pasifik

"Adanya negeri dari timur yang sangat kaya, merupakan tanah surga, dengan hasil alam berupa cengkeh, emas, dan mutiara".


Peta Provinsi Maluku Utara

Maluku atau yang dikenal secara internasional sebagai Moluccas dan Molukken yang bermakna: Kepulauan Rempah-Rempah (spice islands), adalah provinsi tertua yang ada di Indonesia dimana lintasan sejarah Maluku sudah dimulai sejak zaman kerajaan-kerajaan besar di Timur Tengah, seperti kerajaan Mesir yang dipimpin Fir'aun. Bukti bahwa sejarah Maluku adalah yang tertua di Indonesia adalah catatan tablet tanah liat yang ditemukan di Persia, Mesopotamia dan Mesir menyebutkan “adanya negeri dari timur yang sangat kaya, merupakan tanah surga, dengan hasil alam berupa cengkeh, emas dan mutiara, daerah itu tak lain dan tak bukan adalah tanah Maluku yang memang merupakan sentra penghasil Pala, Fuli, Cengkeh dan Mutiara. Pala dan Fuli dengan mudah didapat dari Banda Kepulauan, Cengkeh dengan mudah ditemui di negeri-negeri di Ambon, Pulau-Pulau Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut) dan Nusa Ina. Sedangkan Mutiara dihasilkan dalam jumlah yang cukup besar di Kota Dobo, Kepulauan Aru. Sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara, dengan ibukota di Sofifi. Namun, karena Kota Sofifi dinilai belum siap menjadi ibukota maka pusat pemerintahan sementara sampai 2009 berada di kota Kota Ternate yang berada di Pulau Ternate. Provinsi Maluku dan Maluku Utara membentuk suatu gugus-gugus kepulauan yang terbesar di Indonesia dikenal dengan Kepulauan Maluku dengan lebih dari 4.000 pulau baik pulau besar maupun kecil.
Nama Maluku disebutkan berasal dari 2 bahasa dengan bukti yang sama-sama kuat, yaitu: Berasal dari kata dalam Bahasa Arab yaitu kata Al-Mulk, berarti: Tanah/Pulau/Negeri Para Raja. Hal ini memang benar karena Maluku sampai sekarangpun terdiri atas negeri-negeri kecil yang lumayan banyak dengan rajanya sendiri-sendiri. Berasal dari kata dalam Bahasa Ternate yaitu kata Moloku atau Moloko, dua kata itu sama-sama berarti sebagai: Tanah Air. Hal ini tercermin dari perkataan masyarakat Ternate di masa lampau yang menyebutkan bumi Maluku belahan utara sebagai Moloku Kie Raha yang berarti: Tanah Air dengan Empat Gunung. Keempat gunung yang dimaksud adalah 4 kerajaan atau kesultanan besar dari Maluku Utara yaitu Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, Bacan dan Jailolo. Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di seluruh Indonesia, provinsi Maluku dan Maluku Utara menyusun sebuah big islands yang dinamai Kepulauan Maluku. Banyaknya pulau yang saling terpisah satu dengan yang lainnya.

Maluku Utara
Sebagai salah satu Provinsi termuda di Indonesia, Maluku Utara resmi terbentuk pada tanggal 4 Oktober 1999, melalui UU RI Nomor 46 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 6 Tahun 2003. Sebelum resmi menjadi sebuah provinsi, Maluku Utara merupakan bagian dari Provinsi Maluku, yaitu Kabupaten Maluku Utara. Pada awal pendiriannya, Provinsi Maluku Utara beribukota di Ternate yang berlokasi di kaki Gunung Gamalama, selama 11 tahun. Tepatnya sampai dengan 4 Agustus 2010, setelah 11 tahun masa transisi dan persiapan infrastruktur, ibukota Provinsi Maluku Utara dipindahkan ke Kota Sofifi yang terletak di Pulau Halmahera yang merupakan pulau terbesarnya.
Sofifi ibukota Provinsi Maluku Utara
Geografis Maluku Utara yang terletak pada Koordinat  3º40' LS - 3º0' LU dan 123º50' - 129º50' BT, sebenarnya merupakan gugusan kepulauan dengan rasio daratan dan perairan sebanyak 24 : 76. Memiliki gugusan pulau sebanyak 395 buah, 83% atau sekitar 331 pulaunya belum berpenghuni.
Provinsi Maluku Utara terkenal juga dengan sebutan Moloku Kie Raha atau Kesultanan Empat Gunung di Maluku, karena pada mulanya daerah ini merupakan wilayah 4 kerajaan besar Islam Timur Nusantara, terdiri dari: Kesultanan Bacan; Kesultanan Jailolo; Kesultanan Tidore; dan Kesultanan Ternate.
Terdapat beragam suku yang mendiami wilayah Maluku Utara, yaitu Suku Madole, Suku Pagu, Suku Ternate, Suku Makian Barat, Suku Kao, Suku Tidore, Suku Buli, Suku Patani, Suku Maba, Suku Sawai, Suku Weda, Suku Gane, Suku Makian Timur, Suku Kayoa, Suku Bacan, Suku Sula, Suku Ange, Suku Siboyo, Suku Kadai, Suku Galela, Suku Tobelo, Suku Loloda, Suku Tobaru, Suku Sahu, Suku Arab, dan Eropa.
Pelabuhan Penyeberangan Daruba, Morotai.
Pulau-pulau di gugusan Maluku bagian utara adalah sumber cengkeh dunia yang melegenda. Pedagang India, Arab, Cina dan Jawa sering berkunjung ke Ternate, Tidore, dan Banda yang menjadi sumber rempah-rempah dunia. Mereka pulang membawa komoditi berharga itu ke negara asal untuk dijual dengan harga tinggi. Cengkeh, bersama-sama dengan pala dan fuli itu begitu berharga –sebanding dengan emas, digunakan sebagai bumbu makanan dan untuk mengawetkan makanan atau sebagai bahan obat-obatan.
Ternate dan Tidore adalah dua pulau kecil yang hampir sama besarnya. Berlokasi di sebelah barat pulau utama, yaitu Halmahera. Kedua pulau ini saling berhadapan satu sama lain dan dipancang oleh gunung api yang muncul dari Laut Maluku yang dalam. 
Pulau Ternate sendiri memiliki luas sekira 1.118 km persegi dan sejatinya adalah bagian dari tubuh Gunung Gamalama yang kakinya terbenam di bawah laut. Ketinggian Gunung Gamalama bila diukur dari permukaan laut hanya 1.715 meter namun jika diukur dari dasar laut mencapai 3.000 meter. Kota Ternate menjadi rumah bagi dua pertiga dari penduduk pulau yang mayoritas Muslim. Di sini, Anda dapat mengunjungi banyak peninggalan sejarah dan menyaksikan tradisi budaya lokal yang luar biasa. Kota ini juga merupakan pusat perdagangan pulau dengan fasilitas pendukung bisnis, jaringan transportasi, dan pariwisata. 
Gunung api di pulau Ternate memberikan tanah subur dan pantai dengan pasir hitam yang berkilauan. Anda akan melihat seluruh pulau dihiasi oleh perahu berwarna-warni dalam berbagai ukuran berbaring di air dangkal berbatu virus dan terlindung oleh pohon kelapa yang menari-nari terkibas angin sejuk.
Status Ternate adalah pemerintah kota sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Ternate. Ternate bukan ibukota definitif Provinsi Maluku Utara. Ternate hanyalah ibukota sementara saja, sambil menunggu kesiapan sarana dan prasarana dari ibukota resmi, yakni Kota Sofifi yang terletak di pulau Halmahera. Ternate sudah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Ternate sejak abad ke-13 di Pulau Ternate. Kota yang hari jadinya tanggal 29 Desember 1250 ini merupakan kota kepulauan yang terdiri dari 8 pulau dengan luas wilayah 547,736 km². Hanya lima pulau yang berpenghuni yaitu Pulau Ternate, Pulau Hiri, Pulau Moti, Pulau Mayau, dan Pulau Tifure. Tiga pulau lainnya adalah pulau kecil: Pulau Maka, Pulau Mano dan Pulau Gurida.

Benteng Tolukko (Fort Tolukko)
Benteng Tolukko, Ternate.
Benteng yang mula-mula dikenal dengan nama Tolukko dan kemudian lebih dikenal dengan nama Benteng Hollandia ini, dibangun pada tahun 1540 oleh Francisco Serao, seorang panglima Portugis. Ada yang mengatakan bahwa nama Tolukko adalah nama dari penguasa kesepuluh yang duduk di singgasana Ternate: Kaicil Tolukko; namun karena Sultan ini baru memerintah di tahun 1692 maka tidak mungkin nama benteng ini diberikan mengikuti nama Sultan tersebut. Menurut catatan sejarah Belanda, di tahun 1610 benteng Portugis tersebut diperbaiki oleh Pieter Both, seorang Belanda, dan dimaksudkan sebagai pertahanan terhadap bangsa Spanyol yang memang sedang sibuk menggempur pulau Ternate. Benteng ini juga dijadikan sebagai tempat untuk menggiring rakyat yang melarikan diri dari serangan Spanyol agar mau kembali tinggal di tempat ini. Saat itu sebagian besar rakyat melarikan diri ke Benteng Malayo. Pada tahun 1612, dilaporkan terdapat 15 hingga 20 tentara di dalam benteng ini, yang dilengkapi dengan sejumlah persenjataan dan amunisi. Di bawah pemerintahan Gubernur Jacques le Febre pada tahun 1627, disebutkan bahwa benteng yang terletak tidak jauh di atas bukit di sebelah Utara Benteng Malayo ini, dilengkapi dengan dua menara kecil. Ketika itu benteng tersebut dipimpin oleh seorang Korporal yang didatangkan dari Benteng Malayo yang juga menjadi sumber pemasokan bahan pangan untuk 22 orang tentara yang bertugas di dalam Benteng Tolukko. Pada tahun 1661, Dewan Pemerintahan Belanda mengijinkan Sultan Mandarsyah dari Ternate untuk tinggal di dalam benteng ini bersama pasukannya. Menyusul kehadiran Sultan, maka garnizun Belanda di dalam Benteng Tolukko dikurangi hingga hanya 160 orang. Pada tanggal 16 April 1799, pasukan Kaicil Nuku (Sultan Tidore yang ke-19) menyerang benteng Tolukko tetapi mereka berhasil dipukul mundur oleh pasukan gabungan Ternate-VOC. Namun akibat pertempuran dan khususnya pengepungan yang berkepanjangan oleh pasukan Nuku, penduduk kota Ternate yang di bulan Juni 1797 berjumlah 3.307 jiwa, kemudian tinggal 2.157 jiwa. Yang lainnya meninggal akibat peperangan dan kelaparan atau melarikan diri ke Halmahera. Di bawah pimpinan Residen P. Van der Crab pada tahun 1864, benteng ini dikosongkan karena hampir seluruh bangunan sudah rusak. 1996. Dipugar kembali, tetapi upaya tersebut justru menghilangkan keaslian bangunan seperti dihilangkannya terowongan bawah tanah yang berhubungan langsung dengan laut. Benteng Tolukko adalah satu dari enam benteng yang ada di seputar Ternate. Lima benteng lainnya adalah Benteng Oranje, Benteng Kalamata, Benteng Kotanaka, Benteng Santo Y Pablo, dan Benteng Nustra Se Nohra Del Rosario. Dari nama-namanya, benteng tersebut menyisakan jejak masa penjajahan Belanda dan Portugis di Ternate.

Benteng Kalamata (Fort Kalamata)
Benteng Kalamata, Ternate.
Benteng Kalamata ini biasanya disebut Benteng Santa Lucia atau lebih lebih dikenal dengan nama Benteng Kayu Merah, karena terletak di wilayah kelurahan Kayu Merah, Kota Ternate Selatan. Benteng ini pertama kali di bangun oleh bangsa Portugis (Pigafeta) pada tahun 1540 untuk menghadapi serangan Spanyol dari Rum, Tidore. Benteng ini kemudian dipugar oleh Belanda pada tahun 1609. Pada tahun 1625, benteng ini di kosongkan oleh Geen Huigen Schapenham, yang beberapa tahun sebelumnya tiba dengan armada Nassau di Ternate. Pada tahun 1967 di bawah pemerintahan Gillis van Zeist, benteng ini dikosongkan untuk selama-lamanya. Setelah dikosongkan, benteng ini diduduki oleh Spanyol. Nama Benteng ini diambil dari nama Pangeran Ternate, yaitu pangeran Kalamata yang wafat di Makassar pada bulan Maret 1676.
Pangeran Kalamata –adik Sultan Ternate, Madarsyah, yang memberontak adalah salah seorang pimpinan ekspedisi perang Makassar yang dikirim oleh Sultan Hasanudin pada tahun 1666, menyerang kepulauan Sula, Banggai dan Bungku. Benteng di Kepulauan Sula diserangnya habis-habisan. Sepuluh orang Belanda yang tertangkap di benteng itu di tawan dan dibawa ke Makassar, menjalani hukuman mati. Ketika pada tahun 1663 Spanyol meninggalkan Ternate, Belanda kembali menguasai benteng Kalamata. Dalam tahun 1799 benteng ini diperbaiki oleh Mayor van Lutnow sesuai dengan rencana almarhum Kolonel Reimer. Dalam perbaikan tersebut di buat juga parit kedua disekelilingnya dengan kedalaman antara 5-6 kaki dan dilengkapi sedemikian rupa sehingga merupakan urat nadi. Sampai tahun 1989, benteng ini terbengkalai. Bahkan dibiarkan begitu saja pengambilan pasir di sekelilingnya sehingga terjadi abrasi dan mengakibatkan sebagian besar benteng tergenang air laut dan mengalami kerusakan besar. Pada tahun 1994, benteng ini dipugar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sehingga menjadi utuh kembali tanpa mengurangi bentuk asli benteng. Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Ternate merenovasi benteng ini dengan menambahkan halaman dan rumah untuk penjaga benteng Kalamata. Namun hingga kini, Benteng Kalamata belum dioptimalkan untuk menjadi tempat pariwisata andalan sehingga tidak memberikan pemasukan bagi Pemerintah Kota Ternate.

Benteng Tahula (Fort Tahula)
Benteng Tahula, Ternate.
Tidak diketahui dengan pasti kapan bangsa Spanyol membangun benteng Tahoela yang disebut juga Kota Hula, tetapi karena mereka menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Tidore tahun 1521 dan mendapatkan ijin berdagang cengkeh dari Sultan Tidore kedua, Sultan Mansur, maka tidak mustahil mereka membangun benteng ini sekitar paruh pertama abad ke-16. Sekitar tahun 1605 benteng yang tengah dikuasai oleh Portugis ini diserbu armada gabungan Belanda-Ternate. Peperangan yang dimenangkan oleh armada gabungan Belanda-Ternate ini mengakibatkan benteng rusak berat. Namun sesudah peperangan tersebut benteng ini tidak dipelihara bahkan ditinggalkan sehingga menjadi kumuh. Pada tahun 1613 benteng ini dikuasai oleh bangsa Spanyol lagi dan dipugar oleh Gubernur Geronimo de Silva sehingga banyak pihak menyatakan tahun ini sebagai tahun pembangunan Benteng Tahoela. Tahun 1663 bangsa Spanyol dihalau dari Maluku dan juga dari Tidore, VOC kemudian menduduki benteng ini. Ketika bangsa Spanyol meninggalkan Tidore, VOC mengijinkan Sultan Saifudin memakai benteng tersebut sebagai tempat tinggalnya. Lokasi Benteng Tahoela berada di atas bukit karang yang curam sehingga sulit diserbu musuh. Pada 1799 Sultan Tidore Kaicil Nuku memperkuat dan melengkapi benteng Tahula dengan sejumlah meriam baru dan penambahan amunisi; semua ini dilakukan untuk menghadapi rencana penyerbuan VOC bersama tentara Ternate.
Panorama di Benteng Tahula, Ternate - Maluku Utara.

Batu Angus
Lanskap Gunung Gamalama dari Batu Angus, Ternate.
Di Batu Angus dapat dilihat tumpukan batu hitam yang berserakan di kedua sisi jalan utama mengitari Gunung Gamalama. Batu hitam menjadi bukti aktifnya Gunung Gamalama. Muntahan lahar panas pun sampai ke pantai, lalu membeku menjadi batu angus. Batu Angus merupakan bongkahan lava kering dari letusan Gunung Gamalama ratusan tahun lalu. Setiap wisatawan yang berkunjung ke Ternate, obyek wisata pertama yang ingin dikunjungi adalah Batu Angus. Mereka merasa belum berkunjung ke Ternate jika belum mengunjungi obyek wisata itu. Obyek wisata Batu Angus –yang terletak sekitar 10 km dari Kota Ternate, merupakan hamparan batu yang tampak seperti ‘hangus terbakar’. Hamparan batu itu membentang dari kaki Gunung Gamalama hingga ke pantai. Batu Angus tersebut merupakan sisa lahar letusan Gunung Gamalama pada abad ke-17 (tahun 1673) dan lahar yang telah berubah menjadi batu itu tampak seperti batu yang baru hangus terbakar. Perpaduan onggokan bebatuan –bagaikan stalaktik hitam yang muncul dari permukaan bumi dengan hijauan Gunung Gamalama serta kebiruan laut yang terbentang, sungguh sebuah pemandangan yang unik mempesona dan jarang ditemui. Di Batu Angus terdapat situs sejarah berupa tempat tewasnya seorang tentara Jepang yang parasutnya tidak terbuka normal setelah terjun dari pesawat pada Perang Dunia II. Selain menyajikan keunikan lahar bekas letusan Gunung Gamalama, Batu Angus juga menawarkan panorama pemandangan menarik berupa lereng dan puncak Gunung Gamalama serta birunya laut perairan Ternate.

Danau Tolire
Danau Tolire, Ternate.
Tolire adalah danau yang berlokasi di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasinya persis berada di selatan Gunung Gamalama. Ada dua danau di sini, yaitu yang besar bernama Tolire Besar (lamo) dan yang kecil bernama Tolire Kecil (ici) dan keduanya hanya berjarak sekitar 200 meter. Dari masa ke masa, volume air danau ini tidak tampak berkurang atau bertambah. Air Danau Tolire dikatakan nyaris tak beriak dan saat musim panas akan berubah warnanya menjadi hijau pekat serta menjadi coklat saat musim penghujan.
Danau Tolire Besar bentuknya menyerupai ‘loyang raksasa’ dengan kedalaman dari puncak bukit ke pemukaan airnya mencapai 50 meter dengan luas 5 hektare. Sementara itu, kedalaman danau ini belum diketahui namun masyarakat sekitar percaya dasarnya yang amat berhubungan langsung dengan Laut Ternate.
Habitat Burung di Danau Tolire, Ternate.
Danau Tolire biasa disebut juga Tolire Gam Jaha yang artinya ‘lubang kampung tenggelam’. Nama tersebut diarahkan pada pembentukannya dahulu kala. Menurut cerita masyarakat, Danau Tolire terbentuk saat gempa melanda akibat erupsi Gunung Gamalama pada tahun 1775. Saat itu, guncangan bumi yang kuat terjadi tepat di sebuah desa bernama Desa Soela Takomi dan menimbulkan letusan uap panas menyertai erupsi sehingga desa tersebut terbenam ke bawah bumi seiring terbentuknya dua danau tersebut.
Meski danau ini menjadi habitat banyak ikan dan burung namun warga sekitar tidak berani mengambil atau berburu di sekitarnya karena di danau tersebut diyakini dihuni dan dijaga buaya gaib yang berukuran belasan meter. Buaya putih tersebut hanya sesekali menampakkan diri di permukaan tengah danau dan tidak semua orang bisa melihat kehadirannya.
Selain cerita mistis, Danau Tolire bagi masyarakat Ternate dipercaya sebagai tempat membuang harta berharga penduduk Ternate yang dahulu coba dirampas tentara Portugis. Konon ada pula cerita berkembang bahwa harta tersebut memang diatur pihak Kesultanan Ternate untuk disimpan di dasar danau agar tidak bisa ditemukan tentara Portugis.

Museum Memorial Kadaton Sultan Ternate
Beragam warisan peninggalan Kesultanan Ternate, dapat ditemukan di sini. Berlokasi di Kelurahan Sao Sio, Kecamatan Kota Ternate Utara, Kabupaten Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Museum Memorial Kadaton Sultan Ternate merupakan museum sejarah karena koleksi yang dipamerkan adalah benda-benda yang berasal dari Kesultanan Ternate dan dari sisa perang pada masa kedatangan orang-orang Eropa di Maluku dan Maluku Utara pada abad ke-15 Masehi.
Museum ini berbentuk segi delapan dibangun tahun 1813 oleh seorang arsitektur asal Cina. Berlokasi di bukit Limau dengan bentuk menyerupai seekor singa yang sedang duduk bertopang dengan kedua kaki depannya menghadap ke laut dan dilatarbelakangi Gunung Gamalama. Dari sinilah sejarah pemerintahan Kesultanan Ternate yang pertama dimulai hingga mencapai kejayaannya lalu kemudian direnggut oleh bangsa kolonial. Di antara koleksi berbagai peninggalan bangsa Eropa, museum ini juga memiliki sebuah mahkota yang unik dan sakral yang tidak dimiliki istana lainnya di Indonesia, bahkan di dunia. Itu karena mahkota ini memiliki rambut yang dapat tumbuh layaknya manusia sehingga menjadi satu kewajiban untuk melakukan upacara ritual istampa atau pemotongan rambut mahkota setiap satu tahun sekali setiap hari raya Idul Adha. Mahkota ini diperkirakan telah berumur 500 tahun sejak sultan yang pertama berkuasa.
Museum Memorial Kadaton Sultan Ternate memiliki banyak koleksi mulai dari benda geologi, arkeologi, etnografi, sejarah, numismatik/heraldik, filologi, teknologi, seni rupa, hingga keramik. Untuk masuk ke tempat ini pengunjung tidak dipungut biaya.  Dibangun 24 November 1813 oleh Sultan Muhammad Ali dengan luas bangunan 1500 m² di atas tanah seluas 1,5 ha. Sejak 1981 pengelolaan bangunan diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan meskipun dalam kesehariannya masih digunakan sebagai kediaman Sultan. Tempat ini baru tahun 1982 diresmikan Menteri kebudayaan saat itu, Daud Joesoef. Bangunan Museum Memorial Kadaton Sultan Ternate adalah salah satu Istana Kesultanan yang menjadi situs peninggalan sejarah dan harus dilindungi dan dijaga dari kerusakan, dilestarikan dan dimanfaatkan sesuai Undang-undang Benda Cagar Budaya. Kesultanan Ternate memang runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan Nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Kesultanan Ternate memiliki peran yang besar dalam pengislaman di wilayah timur Nusantara dan bagian selatan Philipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh Sultan Zainal Abidin kemudian menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku. Selain itu keberhasilan rakyat Ternate di bawah Sultan Baabullah dalam mengusir Portugis tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pihak pribumi Nusantara atas kekuatan Barat. Kemenangan rakyat Ternate tersebut telah menunda penjajahan Barat di Nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam di Indonesia Timur.
Kita dapat berkeliling menikmati bermacam-macam benda warisan Kesultanan Ternate dan pendatang Eropa di sini. Fasilitas yang tersedia adalah ruang pameran tetap dan ruang penyimpanan koleksi.  Ada singgasana Sultan Ternate yang berwarna emas begitu megah terpajang di museum ini. Selain itu kita dapat pula melihat peralatan untuk upacara dan acara kesultanan.
Di dalam Kadaton kita dapat melihat benda-benda peninggalan milik kesultanan yang khas serta bernilai sejarah seperti mahkota dan Al-Quran tulisan tangan yang tertua di Indonesia serta berbagai peralatan perang.  Amatilah bagaimana mahkota sultan dengan sejumlah perhiasan batu permata, emas, perak, intan, berlian mira, zamrud akik dan shafir. Uniknya mahkota ini mempunyai rambut yang selalu tumbuh dan dipangkas pada Hari Raya Idul Adha dalam suatu upacara istampa. Masyarakat adat Ternate menyebut mahkota dalam bahasa daerah stampa.
Di depan istana terhampar lapangan Sunyie Ici dan Sunyie Lamo yang biasanya dipergunakan untuk prosesi upacara adat.
Kantor Wali Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.

Apabila Ternate adalah kota pulau yang diperlengkapi dengan denyut aktivitas pemerintahan dan niaga maka berbeda pada kota pulau kembarannya, Tidore. Pulau ini lebih besar dari Ternate namun kontras karena masih terbilang sepi tetapi begitu tentram. Di sini akan Anda temui banyak masjid di sepanjang jalannya. Hampir selang beberapa ratus meter bahkan puluhan meter akan didapati masjid atau mushala. Masyarakat Tidore terkenal kuat menjalankan ajaran Islam dan ramah pada pengunjung.
Tidore, Maluku Utara.


Pulau Seribu Rupiah
Pulau Maitara dan Tidore di pecahan 1000 Rupiah.
Pulau Maitara dan Tidore, kini mendapat julukan menjadi Pulau Seribu Rupiah –karena kedua pulau ini dijadikan gambar pada mata uang kertas, pecahan Rp.1000. Kedua pulau tersebut merupakan pulau yang sangat mempesona untuk ‘cuci mata’ di kala suasana hati sedang tidak bersahabat dengan pikiran. Kata orang-orang Ternate dan Maluku Utara umumnya “Torang lia saja, torang su sanang” (kami lihat saja, kami sudah senang) begitu nada-nada sanjungan mereka.
Untuk melihat pemandangan kedua pulau ini, bagusnya melihat dari Desa Ngade –di selatan kota Ternate. Selain itu, di desa Ngade berdiri kokoh benteng Santo Pedro –disebut juga Kota Janji oleh masyarakat Ternate. Santo Pedro di bangun oleh Portugis abad-15 di benteng ini menurut cerita sejarah, merupakan tempat perjanjian para petinggi dari Portugis dengan Sultan Khairun pada masa itu.
Lanskap Pulau Maitara dan Tidore yang menjadi ikon di uang kertas 1000 Rupiah.
Landskap Pulau Maitara

Kadaton Kie (Kiye)
Kadaton Kie Kesultanan Tidore.
Sejarah pendirian Kadaton Kie di Soasio tidak dapat di lepas pisahkan daripada pusat aktivitas Kesultanan Tidore lama di Rum. Hal ini di katakana demikian karena, Sultan yang pertama sampai Sultan yang ke-14 berkedudukan di Rum. Untuk memperlancar aktivitas pemerintahannya maka pada masa pemerintahan Sultan Djamaluddin (Tjiliriati) tahun 1405-1462 Masehi mendirikan Kadaton dengan nama “Selawaring”. Pendirian Kadaton Selawaring ini dapat mempengaruhi perkembangan aktivitas Kesultanan Tidore, sekaligus menjadi embrio sejarah perjuangan dalam mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore.
Dalam perkembangan selanjutnya pusat aktivitas pemerintahan yang tadinya berkedudukan di Rum di pindahkan ke Toloa juga dalam wilayah Pulau Tidore. Perpindahan berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Syah pada tahun 1633-1653 Masehi dan mendirikan kedaton dengan nama “Biji Nagara” perpindahan pusat pemerintahan dari Rum ke Toloa di dasarkan atas 2 faktor:
Faktor Politik: karena kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate pada saat itu saling merebut dan memperluas wilayah kekuasaan sehingga selalu terjadi peperangan antara Tidore dan Ternate, untuk itu di lihat dari faktor politik tidak menguntungkan dari segi keamanan karena letaknya saling berdekatan dengan Ternate.
Faktor Emosional: karena pada saat itu Pulau Tidore secara keseluruhan terdiri dari 12 Gimalaha yaitu: Gimalaha Dokiri; Gimalaha Banawa; Gimalaha Tomanyili; Gimalaha Gamtohe; Gimalaha Tomaidi; Gimalaha Tahisa; Gimalaha Tomalou; Gimalaha Tonguai; Gimalaha Mare; Gimalaha Mareku Laho; dan Gimalaha Mareku Laisa.
Dari ke-12 Gimalaha di atas 50 % berkedudukan di Toloa yang dalam bahasa Tidore di sebut “Gimalaha Rora” yang artinya Enam Gimalaha. Status Gimalaha pada saat itu kalau di bandingkan dengan sistem pemerintahan sekarang adalah sebagai DPR, atas kesepakatan Gimalaha Rora dan Gimalaha Tuguiha maka mereka memindahkan Sultan yang tadinya berkedudukan di Rum di pindahkan ke Toloa.
Selama pusat pemerintahan berada di Toloa kurang lebih 24 tahun aktivitas kesultanan kurang berkembang, sehingga pada masa pemerintahan Sultan Saifuddin, beliau memerintahkan kepada ahli nujum untuk melihat sebab-sebab kurang berkembangnya aktivitas pemeritahan tersebut. Dari ahli nuzum di ketahui bahwa kurang berkembangnya aktivitas pemerintahan di sebabkan karena Sultan (Jou) berada di daerah matahari terbenam yang sebetulnya Sultan harus berada di daerah matahari terbit. Sehingga hal ini di sampaikan kepada ke-12 Gimalaha, akhirnya ke-12 Gimalaha mengambil keputusan untuk memindahkan aktivitas pemerintahan dari daerah matahari terbenam ke daerah matahari terbit yakni dari Toloa ke Limau Timure sekarang Soasio. Perpindahan berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Saifuddin alias Jou Kota (Sultan yang di antarkan) tahun 1660 Masehi. Setibanya Sultan Saifuddin di Limau Timore maka beliau mendirikan dengan nama “Kie” yang artinya Gunung/Daerah dan peristiwa berlangsung pada tahun 1661 Masehi. Namanya Kadaton Kie, hal ini menunjukan bahwa Kadaton tersebut adalah milik seluruh rakyat Tidore untuk itu tanggung jawab aktivitas pemerintahan bukan hanya berada di tangan seorang Sultan (Jou) tetapi lebih dari itu adalah tanggung jawab seluruh rakyat Tidore. Kadaton Kie di bangun di atas tanah dengan luas keseluruhan 150 x 100 M, berbentuk empat persegi panjang. Bentuk Kadaton mempunyai hubungannya dengan kepercayaan masyarakat setempat, yang dalam bahasa Tidore di sebut “Lang Kie” artinya bagian atas Kadaton tidak bisa membelah gunung tetapi harus sejajar dengan bentuk gunung. Kedudukan Kadaton Kie sangat strategis sebab berada di atas ketinggian 7 meter di atas permukaan air laut.
Kadaton Kie pada saat pertama didirikan belum dalam bentuk permanen tetapi di buat dari bambu (dinding) dan alang-alang (atap), dalam perkembangan selanjutnya yaitu pada masa pemerintahan Sultan ke-30 (Sultan Muhiddin Muhammad Taher) tahun 1811-1831, beliau menggantikan Kadaton bambu dengan permanen. Pembangunan Kadaton permanen di mulai pada tahun 1811 Masehi dan berakhir pada tahun 1861 Masehi (50 tahun). Arsitektur atau tukang (Kipu) bernama “Belo Tuduho”.
Pada masa Pemerintahan Sultan Muhiddin Muhammad Taher Kadaton tersebut belum selesai di bangun, dan di lanjutkan oleh Sultan ke-31 (Sultan Mansur Siradjuddin) berkuasa pada tahun 1831-1856, juga belum bisa diselesaikan pembangunan Kadaton tersebut. Akhirnya di selesaikan oleh Sultan Ahmad Saifuddin (Sultan ke-32) berkuasa pada tahun 1856-1865 Masehi, jadi yang menempati Kadaton permanen pertama adalah Sultan ke-32. Menurut catatan sejarah Kadaton Kie (permanen) hanya di tempati oleh tiga orang Sultan yaitu dari Sultan ke-32 sampai Sultan ke-34 (1905). Setelah berakhirnya masa pemerintahan Sultan ke-34, maka pemerintahan Belanda tidak mau lagi mengangkat Sultan yang baru dengan alasan tidak ada figur yang baik untuk di nobatkan sebagai Sultan. Dengan demikian terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga Sultan yang mengakibatkan kekosongan pemerintahan Kesultanan Tidore selama 42 tahun. Sebagai akibat dari kekosongan pemerintahan maka Kadaton Kie yang tadinya merupakan pusat aktivitas pemerintahan dan tempat tinggal mengalami kehancuran total.

Mutiara di Bibir Pasifik
Pulau Morotai, Maluku Utara.
Pulau Morotai terletak di utara Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Pulau ini merupakan salah satu pulau paling utara di Indonesia dan merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara. Keindahan Morotai dengan segudang sejarah dari Perang Dunia II membuatnya dijuluki sebagai, “Mutiara di Bibir Pasifik”. Kota paling besar di Morotai adalah Daruba yang berlokasi di sebelah selatan. Di bagian utara pulau ini berbatas dengan Philipina, sementara di bagian timurnya adalah Samudera Pasifik. Dengan luas sekitar 1.800 kilometer persegi, pulau ini memiliki beberapa pantai dengan pemandangan memukau.
Morotai pada abad ke-15 hingga abad ke-16 berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate. Missie Yesuit Portugis sempat singgah di sini tetapi tidak diterima oleh Kesultanan Muslim Ternate dan Halmahera, sehingga Portugis pun hengkang. Pulau Morotai lebih terkenal sebagai bagian dari sejarah Perang Dunia II karena dimanfaatkan Jepang dan kemudian direbut oleh Amerika Serikat pada September 1944. Amerika menggunakan pulau ini sebagai landasan serang pesawat sebelum menuju Philipina dan Borneo (Kalimantan) bagian timur. Pulau inipun merupakan basis untuk serangan ke Jawa pada Oktober 1945 –yang kemudian ditunda setelah penyerahan diri Jepang pada bulan Agustus 1945.
Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara.
Pada tahun 1944-1945 tempat ini merupakan lokasi pertempuran sengit dari puluhan pesawat tempur yang menderu ketika lepas landas dan mendarat di sepanjang Teluk Daruba. Puluhan ribu tentara bertebaran di setiap sudut pulau dan kapal angkatan laut berlabuh membawa pasokan kebutuhan harian tentara. Morotai saat itu merupakan salah satu markas tentara Amerika Serikat saat berperang menghadapi Jepang dalam Perang Pasifik (Perang Asia Timur Raya) selama Perang Dunia II. Pada 15 September 1944, tentara sekutu dari Amerika Serikat dan Australia di bawah pimpinan Panglima Pasifik Barat, Jenderal Douglas Mac Arthur mendarat di Morotai –tepatnya di bagian barat daya pulau ini. Sebelum kedatangan sekutu ke Morotai, tentara Jepang sudah terlebih dahulu menduduki tempat tersebut dan membangun sebuah landasan pesawat terbang. Jepang kemudian meninggalkan Morotai untuk mendukung pertempuran di Pulau Halmahera –ketika itu hanya tersisa sebanyak 500 tentara Jepang di Morotai yang bertugas untuk menjaga pulau tersebut. Oleh karenanya, dengan jumlah tersebut mereka dapat langsung ditaklukkan pasukan Amerika Serikat. 
Janji Jendral Douglas Mac Arthur untuk kembali ke Philipina.
Angkatan Laut Jepang berikutnya berusaha merebut kembali pulau ini tetapi gagal. Ketika Jepang meninggalkan Morotai, Jenderal Mac Arthur melihat hal tersebut sebagai kesempatan emas untuk mengambil alihnya karena lokasinya yang strategis untuk merebut kembali Philipina dari Jepang “I shall return” inilah kata-kata terkenal yang diucapkan Mac Arthur ketika Presiden Roosevelt selaku panglima tertinggi angkatan perang Amerika melalui radiogram memerintahkan Mac Arthur meninggalkan Philipina. Sekitar lebih dari 50 ribu tentara sekutu ditempatkan di Morotai dan Mac Arthur membangun beberapa landasan pesawat terbang dan rumah sakit besar dengan 1.900 tempat tidur di dalamnya.
Selama Perang Dunia II berlangsung, pasukan Sekutu terus menempati Morotai hingga akhirnya Jepang menyerah tahun 1945 dan Pasukan Sekutu meninggalkan pulau tersebut. Sebelum meninggalkannya pasukan Sekutu membakar semua bangunan yang mereka dirikan di Morotai.
Karena Pulau Morotai pernah menjadi pangkalan militer pada Perang Dunia II maka tidak heran jika di sekitar pulau ini terdapat banyak peninggalan perang berupa gua persembunyian, landasan pesawat, dan juga kendaraan lapis baja yang masih utuh. Semua itu menjadi saksi bisu betapa hebatnya perang tersebut.
Morotai Selatan


Pulau Zum-Zum
Pulau Zum-Zum - Mac Arthur Island.
Di sekeliling Pulau Morotai, terdapat beberapa pulau kecil lainnya yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah: Pulau Zum-Zum –terletak sekitar tiga mil dari pulau Morotai, atau 20 menit perjalanan menggunakan perahu cepat (speedboat). Seperti Pulau Morotai, pulau Zum-Zum juga merupakan pulau yang bersejarah. Pulau ini juga dinamakan sebagai Pulau Mac Arthur. Pasalnya, pada masa Perang Dunia II, pulau ini pernah ditinggali oleh Jenderal Douglas Mac Arthur. Untuk mengenang Mac Arthur itulah, di pulau ini terdapat monumen Mac Arthur, sebagai tanda bahwa jenderal tersebut pernah berada di pulau kecil ini. Tanda lainnya bahwa pasukan sekutu pernah datang adalah tempat pendaratan amfibi dan tank. Bila berjalan lebih jauh ke dalam hutan di pulau, kita akan tiba di goa tempat persembunyian Mac Artur dan tentaranya sambil mengatur strategi perang dan tempat pertahanan tentara Sekutu melawan Jepang. Dulu, ketika sekutu menyerang Jepang yang menduduki Morotai pada tahun 1944, sebuah jembatan terapung dibangun untuk menyambungkan antara Pulau Morotai dan Pulau Zum-zum. Kini, jembatan tersebut sudah hancur dan bisa dilihat sisanya di Morotai dengan nama tempat Army's Dock. Selain napak tilas jejak Jenderal Mac Arthur, keindahan Pulau Zum-zum yang sepi juga akan mempesona para pengunjung.
Pulau Zum-Zum.
 
Pulau Zum-Zum.

Pulau Dodola
Pantai Dodola.
Pulau Dodola merupakan “pulau kembar” dimana pada waktu pasang surut, dua pulau tersebut menjadi satu yang dihubungkan dengan “jembatan” berupa pasir putih yang bersih, membentang diantara kedua pulau tersebut. Pulau ini terletak di depan Kota Daruba, dan tidak berpenghuni. Di Pantai Dodola –sepanjang pantai berpasir putih yang konon panjangnya 16 km, berserakan kerang-kerang besar yang masih asli dan sangat cantik untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Pulau Dodola terletak di bagian barat Pulau Morotai, daerah kabupaten di Maluku Utara di ujung utara Pulau Halmahera. Kepulauan Morotai dikenal sebagai daerah terluar karena letaknya di bibir pasifik. Karenanya, pemerintah daerah setempat menyebutkan Pulau Dodola sebagai mutiara di bibir pasifik. Alasan penyebutan Pulau Dodola sebagai mutiara di bibir pasifik lantaran pulaunya yang menawan.
Pantai Dodola.
Pulau Dodola memiliki karakteristik tersendiri. Sangat cocok dijadikan sebagai wisata pantai. Terdapat dua buah pulau kecil. Dodola kecil dan Dodola besar. Dua pulau ini dipisahkan oleh laut dengan jarak kurang lebih 500 meter. Yang membuat dua buah pulau kecil ini menjadi unik ketika air laut lagi surut. Betapa tidak, bibir pantai kedua pulau yang dihiasi pasir putih tersambung menjadi satu. Hamparan pasir putih yang menawan memanjakan setiap mata yang memandangnya. Lagi pula, rentang waktu saat terjadi air surut cukup lama. Antara pukul 10.30 - 19.00 WIT. Pasirnya putih, halus bagaikan tepung terigu. Pantulan terik mentari di atas hamparan pasir putih itu bahkan menyilaukan mata. Udara pantai yang sepoi-sepoi justru membuat kita terbuai saat bersantai menikmati keindahan pantainya. Belum lagi desiran ombak kecil yang menciptakan irama menambah keheningan Pulau Dodola.
Pelestarian Terumbu Karang, Morotai.
Karena jauh dari pemukiman penduduk, sepanjang Pantai Pulau Dodola jarang dijumpai warga setempat. Hanya sesekali dihampiri para nelayan lokal yang berkepentingan di pulau ini. Kondisi ini membuat dataran pantainya tetap terjaga keasliannya. Banyak penduduk lokal yang memilih weekend di Pulau Dodola. Demikian pula, wisatawan asing yang sering berkunjung ke Morotai akan menyempatkan diri untuk menginjakkan kakinya di pulau unik ini. Karenanya, ada jargon: 'Anda belum sampai di Morotai bila belum menginjakkan kakinya di Pulau Dodola'.
Pantai Dodoba, Morotai - Maluku Utara.

Air Kaca
Wisata Air Kaca, Morotai.
Pulau Morotai dikenal banyak memiliki potensi wisata, baik bahari maupun sejarah. Melalui event Sail Morotai, Pemkab Pulau Morotai bergeliat mengembangkan potensi-potensi wisata.
Salah satu wisata sejarahnya, yakni: Air Kaca –tempat pemandian Jendral Douglas Mc Arthur.
Mengunjungi lokasi Air Kaca, tidak terlalu sulit. Letaknya tak jauh dari pusat Ibu Kota Morotai, Daruba, hanya memakan waktu sekitar 5 menit bila menggunakan kendaraan roda dua. Di salah satu belokan jalan setelah melalui pintu masuk bandara pintu Morotai, nampak sebuah papan bertuliskan lokasi wisata Air Kaca. Sesampai di situ, disamping jalan utama sekitar 50 meter ke arah laut, kitapun sudah memasuki kawasan Air Kaca.
Saat Perang Dunia II, Air Kaca sering dipakai tempat pemandian Jendral Douglas Mc Arthur –disebut Air Kaca, karena airnya sangat bening sehingga bila membuang jarum saja kedalamnya maka bisa terlihat dari atas. Sumber air yang membentuk danau kecil itu juga konon juga digunakan sebagai sumber air minum oleh tentara sekutu. Sayangnya, bertahun-tahun lokasi ini tidak terawat, dan sumber airnya kerap digunakan penduduk setempat untuk tempat mencuci. Praktis, pesona wisatanya lama-lama menyusut.
Menjelang even Sail Morotai, lokasi Air Kaca dijadikan sebagai salah satu lokasi wisata yang direkomendasikan Pemda Pulau Morotai. Kini, lokasi Air Kaca dibangun beberapa fasilitas meski status tanahnya masih dikuasai penduduk lokal.
Di lokasi Air Kaca, kita juga bisa menikmati pesona goa –yang di bawahnya terdapat sumber air. Sumber air tersebut konon bermuara sampai ke pantai Transmeter yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari lokasi Air Kaca. Dengan demikian, kita juga sekaligus bisa menikmati indahnya pantai Transmeter. Selain menawarkan pesona alam yang indah di sekitar Air Kaca, lokasi itu juga ternyata menyimpan hal-hal mistik. Sebagian besar warga Pulau Morotai secara turun-temurun menyakini Air Kaca ini ada penunggunya yang gaib. Satu wanita dan satunya lagi laki-laki, tapi mereka tidak mengganggu warga sekitarnya. Uniknya, di lokasi wisata Air Kaca terdapat tulisan-tulisan pengalaman mistik pengunjung yang ditempelkan di papan pengumuman. Kitapun bisa membaca artikel-artikel tersebut. Selain mengandung nilai mistis, air yang ada di bawah goa sekitar Air Kaca juga dipercayai membawa berkah. Warga sekitar percaya, bagi yang tidak punya keturunan dapat mengambil airnya untuk diminum. Selain itu, air tersebut dapat mengobati berbagai penyakit.

Lanud Leo Wattimena
Pangkalan TNI AU Leo Wattimena, Morotai.
Kasau Marsekal TNI Imam Sufaat, S.IP., meresmikan penggantian nama Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Morotai menjadi Lanud Leo Wattimena di Kabupaten Pulau Morotai Maluku Utara. Jum’at (14/9-2012). Dikatakan, penggantian nama Lanud Morotai menjadi Lanud Leo Wattimena merupakan tindak lanjut Keputusan Kasau Nomor: 40/V/2012, tanggal 22 Mei 2012. Pergantian nama lanud merupakan bentuk suatu penghargaan atau mengenang terhadap para pahlawan TNI Angkatan Udara yang turut berjuang untuk menegakkan NKRI.
Almarhum Komodor Udara Leo Wattimena merupakan sosok perwira TNI Angkatan Udara yang ulet dan tahan banting, kecerdasan, keberanian, dan keterampilan terbang yang sangat legendaris dan namanya harum dalam era keemasan TNI Angkatan Udara.
Ketika Pemerintah Indonesia melaksanakan Operasi Trikora dalam membebaskan Irian Barat, Komodor Udara Leo Wattimena diangkat menjadi wakil dua Panglima Komando Mandala merangkap sebagai Panglima Angkatan Udara Mandala dengan tugas menyiapkan Pangkalan aju untuk MIG-17, TU-16 KS, Ilyusin-28, B-25 dan B-26 di Lanud Morotai, Amahai, Letfuan dan Laha. Morotai merupakan Pangkalan Operasi TNI Angkatan Udara terdepan yang memiliki posisi sangat strategis menghadap ke arah Utara dan Timur Indonesia, sehingga Lanud Leo Wattimena menjadi Lanud tumpuan bagi pelaksanaan tugas operasi TNI Angkatan Udara di wilayah Timur dan Utara Indonesia.


***