Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Selasa, 11 Maret 2014

Karangan Bunga di Kota Gudeg



Dimasa silam (abad ke-8), Yogyakarta merupakan pusat kerajaan Mataram Kuno yang makmur dan memiliki peradaban tinggi. Namun oleh suatu sebab yang misterius, Kerajaan Mataram Kuno memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur pada abad ke-10. Kemudian, Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram Islam di wilayah ini. Sekali lagi Yogyakarta menjadi saksi sejarah kerajaan besar yang menguasai Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan Mataram Islam ini meninggalkan jejak berupa reruntuhan benteng dan makam kerajaan di Kotagede yang kini dikenal sebagai pusat kerajinan perak di Yogyakarta. Mataram mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu: Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati).

Keraton Yogyakarta
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat –sekarang lebih dikenal dengan nama Keraton Yogyakarta, merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, keraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa –sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di tempat ini, wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Keraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya keraton, dikarenakan tanah tersebut diapit oleh dua sungai –sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867, bangunan Keraton Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik. Keraton yang menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakan Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi ini, memiliki dua loket masuk, yang pertama di Tepas Keprajuritan –depan Alun-alun Utara; dan kedua di Tepas Pariwisata –Regol Keben. Jika masuk dari Tepas Keprajuritan, maka wisatawan hanya bisa memasuki Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil serta melihat koleksi beberapa kereta keraton. Sedangkan jika masuk dari Tepas Pariwisata, maka wisatawan bisa memasuki Kompleks Sri Manganti dan Kedhaton –dimana terdapat Bangsal Kencono yang menjadi balairung utama kerajaan. Jarak antara pintu loket pertama dan kedua tidaklah jauh, wisatawan cukup menyusuri Jalan Rotowijayan dengan jalan kaki atau naik becak.
Keraton Yogyakarta
Lonceng Kyai Brajanala yang berdentang, suaranya tidak hanya memenuhi Regol Keben namun terdengar hingga Siti Hinggil dan Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. Di Sri Manganti, terdengar lantunan tembang dalam bahasa Jawa Kuno yang didendangkan oleh seorang abdi dalem. Suara tembang Jawa yang mengalun pelan, bercampur dengan wangi bunga dan asap dupa, akan menciptakan suasana magis yang melenakan. Di sisi kanan nampak empat orang abdi dalem lain, yang bersiap untuk bergantian nembang. Ada banyak hal yang bisa disaksikan di Keraton Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya atau melihat koleksi barang-barang keraton. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca –yang tersebar di berbagai ruangan tersebut, mulai dari: keramik dan barang pecah belah; senjata; foto; miniatur dan replica; hingga aneka jenis batik, beserta diorama proses pembuatannya.
Ndalem Pujokusuman, Yogyakarta.

Ndalem Pujokusuman
Pendopo ndalem Pujokusuman –yang sekarang menjadi pusat tari tradisional Jogjakarta, dahulu bernama Ndalem Danudiningratan –merupakan tempat tinggal dari GBPH Pujokusumo putra dari Sri Sultan ke-8. Setelah GBPH Pujokusumo menikah, maka oleh ayahnya diberikan ndalem tersebut. GBPH Pujokusumo sendiri sangat menyukai kesenian, terutama tari-tarian. Beliau merupakan pimpinan dari Kridomardawadepartemen tari di keraton Jogjakarta. Di ndalem Pujokusuman, sering diadakan kegiatan tari dan banyak sekali yang mengikuti kegiatan tersebut. Pada tahun 1961 GBPH Pujokusumo wafat, beliau meninggalkan pesan kepada puteranya yaitu KRT.Sasminto Dipura, agar dibuatkan sebuah yayasan atau grup. Sekitar tahun 1962, dibentuklah grup yang dipimpin oleh Romo Sas. Karena begitu banyak peserta dan peminat, maka di bentuklah satu wadah lagi yaitu bernama Panguyuban Kesenian Mardawa Budaya Yogyakarta Pamulangan Beksa Ngayogyakartadipimpin oleh beliau juga. Akhirnya pada tahun 1992 dibentuklah yayasan yang merupakan gabungan dari kedua grup tersebut dan diberi nama oleh Romo Sas sebagai: Yayasan Pamulangan Sasminta Beksa Mardawa. Sekitar tahun 1998, Romo Sas wafat dan mempercayakan yayasan tersebut kepada murid-muridnya. Kini ndalem Pujokusuman sendiri menjadi pusat tari klasik Yogyakarta dan tempat untuk belajar tari-tarian klasik seperti: Bedoyo, Srimpi dan lain-lain. Belajar tari di sanggar tersebut, tidak terbatas untuk orang dewasa saja tapi anak-anak sekolah dasar dan taman kanak-kanak juga bisa belajar tari di sini. Jumlah muridnya sendiri lebih dari 150 orang, dan di ajarkan oleh kurang lebih 14 guru. Banyak juga orang-orang asing yang belajar tari-tari tradisional di ndalem Pujokusuman ini, sehingga ndalem Pujokusuman adalah pusat budaya yang harus tetap dijaga dan dilestarikan.
Perburuan di Malioboro, Yogyakarta.

Malioboro
Malioboro berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti: ‘karangan bunga’ –karena pada jaman dulu ketika keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga. Tak hanya sarat kisah dan kenangan, Malioboro juga menjadi surga perburuan cinderamata yang asyik di jantung Kota Jogja. Berjalan kaki di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki lima, akan menjadi pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan lokal, seperti: blangkon; batik; asesoris; hiasan rotan; perak; kerajinan bamboo; wayang kulit; miniatur kendaraan tradisional; hingga gantungan kunci, semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut bisa dibawa pulang dengan harga yang terbilang murah. Selain menjadi pusat perdagangan, jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini pernah menjadi sarang serta panggung pertunjukan para seniman Malioboro pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka pulalah budaya duduk lesehan di trotoar dipopulerkan, yang akhirnya mengakar dan sangat identik dengan Malioboro.
Patung Kaki di Nol Kilometer, Malioboro - Yogyakarta.

Patung Kaki
Sejumlah wisatawan dapat berfoto ria, pada patung unik di sudut jalan Malioboro –dekat benteng Vredeburg. Patung berwarna kemerah-merahan (oranye), berbentuk kaki manusia yang dibalut akar –namun tanpa badan; tangan; dan kepala, tingginya kurang lebih 6 meter. Kabarnya, patung nyentrik ini dibuat saat digelarnya even Biennale Jogja –tahun 2011 silam. Patung ini memiliki tema: Tropic Effect –simbol cinta lingkungan. Meski matahari bersinar terik, tak menyurutkan semangat para wisatawan untuk mengabadikan momen kenang-kenangan di Patung Kaki ini. Tapi kini, patung tersebut telah dipindahkan. Pemindahan Patung Kaki ‘unik’ di kawasan Nol Kilometer di Daerah Istimewa Yogyakarta oleh pihak UPT Malioboro, menuai gelombang protes. Pemindahan tersebut seiring dengan munculnya isu pornografi dari patung tersebut. Patung unik berbentuk kaki manusia raksasa berwarna kemerah-merahan di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, lenyap dari pemandangan sejak Selasa 21 Januari 2014 dinihari.
Patung Kaki 'unik' di Malioboro, sebelum dipindahkan.

Kuliner
Sejak puluhan tahun lalu, gudeg telah menjadi kuliner Jogja paling populer. Tak hanya sentra gudeg, hampir setiap sudut kota menyajikan masakan berbahan baku nangka muda ini. Masakan lezat berbahan baku nangka muda ini, seolah menjadi ‘makanan wajib’ bagi siapa saja yang sedang berkunjung ke surga wisata di Pulau Jawa ini. Gorinangka muda yang bergetah dibersihkan sedemikian rupa, kemudian dimasak dalam kuah santan bersama bumbu dan rempah-rempah selama berjam-jam. Setelah matang, gori menjadi empuk dan agak manis. Gudeg biasanya disajikan bersama sambal goreng krecekkulit sapi pedas, telur pindang, tahu dan tempe bacem, serta ayam opor atau ayam bacem. Sebagai sentuhan akhir, gudeg disiram areh gurih yang memberikan cita rasa khas yang tidak ada duanya. Sebenarnya ada tiga jenis gudeg yang berbeda: gudeg basah; gudeg kering; dan gudeg manggar. Gudeg basah, disajikan dengan kuah santan nyemek yang gurih dan banyak diburu untuk menu sarapan pagi. Gudeg jenis ini, dapat ditemukan di sepanjang Jalan Kaliurang kawasan Barek; Gudeg Batas Kota (Jl. Adisucipto depan Saphir Square); atau mbok-mbok penjual gudeg di pasar-pasar tradisional. Gudeg kering dimasak dalam waktu yang lebih lama hingga kuahnya mengering dan warnanya lebih kecoklatan, rasanya juga lebih manis. Gudeg jenis ini, bisa tahan hingga 24 jam atau bahkan lebih –jika dimasukkan ke dalam lemari es, sehingga banyak diburu orang sebagai oleh-oleh. Biasanya, penjual mengemasnya dalam: kardus; besekkardus dari anyaman bambu; atau kendil tanah liat. Gudeg manggar –manggar alias bunga kelapa, menghasilkan sensasi kelezatan tersendiri pada sajian kuliner ini. Bunganya terasa crunchy, sementara tangkainya sekilas memiliki rasa mirip jamur tiram. Semakin terbatasnya persediaan manggar, menyebabkan kuliner ini semakin susah ditemukan.
Bakpia Pathok 25, Yogyakarta.
Bakpia dikenal sebagai salah satu kuliner khas kota Jogja –selain gudeg. Setiap musim libur tiba, makanan khas ini menjadi salah satu oleh-oleh wisatawan untuk teman dan sanak saudara di rumah. Bakpia Pathok 25 dikenal luas sebagai salah satu produk kuliner bercitra rasa istimewa dan menjadi legenda kuliner di kota Jogja. Dipandu oleh mbak Tira –salah satu staf Bakpia Pathok 25, wisatawan didampingi untuk melihat proses pembuatan bakpia. Setiap divisi yang menangani proses pembuatan bakpia ini, memiliki tanggunjawab besar dalam menjaga kualitas mutu dan citra rasa istimewa Bakpia Pathok 25. Pada bagian dalam rumah, terdapat sebuah ruangan terbuka –difungsikan sebagai tempat mencampur adonan bakpia. Masih di tempat yang sama, terdapat beberapa meja panjang –difungsikan sebagai landasan pembentukan pola adonan. Selesai pada proses ini, adonan dimasukkan ke dalam oven besar yang menggunakan arang sebagai bara api –untuk menjaga kualitas rasa alami dari bakpia tersebut. Bakpia Pathok 25, dirintis oleh Ibu Tan Aris Nio. Beliau memulai usaha ini dari proses coba-coba, dengan hanya satu orang pegawai saja serta dibantu oleh lima putra-putri beliau, termasuk: Bapak Arlen Sanjaya –kini, pimpinan Bakpia Pathok 25.
Proses Pembuatan bakpia di Bakpia Pathok 25, Yogyakarta.
Bakpia sebenarnya berasal dari negeri Cina dengan nama: Tau Luk Pia –yang memiliki arti ‘kue kacang hijau’. Kue ini mulai diproduksi di kampung Pathuk Yogyakarta, sejak tahun 1948. Pada waktu itu, bakpia masih diperdagangkan secara eceran dan pengemasannya pun masih menggunakan besek –tempat dari anyaman bambu tanpa merk. Peminatnya pun, masih terbatas. Di tahun 1980-an, nama Bakpia Pathok 25 sudah dipatenkan menjadi merk dagang dengan diiringi perubahan kemasan dari besek ke kardus. Di saat yang sama, ide tersebut diikuti dengan munculnya bakpia-bakpia lain dengan merk dagang yang sama dengan ‘nomor berbeda’. Demikian pesatnya perkembangan industri bakpia, hingga menjadi salah satu ciri khas kuliner di kota Jogja hingga sekarang ini. Dengan perjuangan yang gigih pantang menyerah, Ibu Tan Aris Nio mampu menjadikan Bakpia Pathok 25  menjadi makanan khas kota Jogja bercitra rasa istimewa. Keberhasilan beliau, tidak terlepas dari proses regenerasi beliau dalam menjalankan usaha bisnisnya kepada putranya –Bapak Arlen Sanjaya sehingga Bakpia Pathok 25 menjadi besar. Sampai sekarang ini, Bakpia Pathuk 25 memiliki beberapa cabang penjualan resmi.



***

Senin, 10 Maret 2014

Merindukan Daeng di Kota Anging Mamiri



Alkisah, ada seorang wanita yang memendam kerinduan menggunung kepada kekasih hatinya nun jauh di sana. Rasa rindu tersebut, membuat dia tak tenang. Suatu saat, wanita itu berdiri di ujung jendela rumahnya dan melantunkan syair-syair yang berisikan kata sayang dan rindu: ‘Anging Mamiri’. Berharap kepada angin yang berhembus, pesan tersebut sampai kepada sang kekasih hati. Bahkan sebelum tidur, wanita tersebut menepuk-nepuk bantal sambil menyebut nama sang kekasih dan masih berharap angin akan menyampaikan rasa gundah gulananya tersebut. Ajaibnya, beberapa hari setelah sang wanita mengucapkan syair ‘Anging Mamiri’ tersebut, dia pun mendapat kabar bahwa kekasihnya telah tiba dari perantauan dan akhirnya bertemu kembali. Cerita itupun menyebar. Semenjak itu, istilah lagu tradisional suku Bugis ‘Anging Mamiri’ menjadi populer dan erat kaitannya dengan kerinduan.

Pantai Losari
Obyek wisata Pantai Losari berada di jantung Kota Makassar –tepatnya di Jalan Penghibur, jalan ini berada di sebelah Barat Kota Makassar. Jarak dari Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan transportasi kendaraan pribadi maupun umum. Sedangkan dari Bandara Hasanuddin, perjalanan dapat ditempuh dengan waktu 45 menit. Cukup mudah menuju Pantai Losari, banyak Pete-Pete –nama angkutan umum di Makassar yang melewati pantai ini. Selain itu, Bentor –becak motor maupun taksi siap mengantarkan kita menuju pantai ini. Setelah berjalan mendekati arah laut, mulai merasakan ‘ada sesuatu yang aneh’. Bagaimana tidak, katanya: ‘Pantai’, tapi… mengapa tidak ada hamparan pasir di sini. Yang ada adalah sebuah anjungan dengan tulisan: Pantai Losari, tulisan yang cukup besar. Dari daratan, kita langsung menjumpai laut yang dalam –di sini pengunjung dilarang untuk bermain air dan berenang. Losari, pada dasarnya adalah sebuah bentang garis pantai di sisi Barat Makasar. Dahulu, di sepanjang garis pantai ini berderet warung-warung –pantai ini pernah mendapat julukan sebagai pantai yang mempunyai Meja Terpanjang di Indonesia, mungkin juga di dunia. Dalam perjalanan waktu, para pedagang dipindahkan. Hadirlah anjungan Losari di sepanjang garis pantai ini –anjungan yang menjadi batas pantai Laut Sulawesi dengan Kota Makassar. Anjungan Pantai Losari, merupakan ‘bendungan’ yang dibangun pemerintah Makassar di awal-awal Indonesia merdeka. Awalnya ‘bendungan’ itu digunakan oleh masyarakat setempat untuk berniaga hasil laut –tidak heran, jika dulunya ia dikenal sebagai Pasar Ikan. Pada malam harinya, anjungan ini berupa fungsi menjadi pusat jajanan malam. Namun beberapa tahun terakhir, pemerintah Makassar mendesainnya menjadi ruang publik sekaligus destinasi wisata. Melalui Losari, kita bisa melihat budaya orang Bugis-Makassar. Ketika tiba di Pantai Losari, replika perahu Phinisi dan Paraga akan menyambut para pengunjung yang datang ke tempat tersebut. Keberadaan replika Paraga dan Phinisi, seperti hendak mengingatkan generasi muda akan sejarah nenek moyang yang harus terus menerus dijaga dan dilestarikan. Di anjungan ini juga kita dapat belajar tentang sejarah Sulawesi Selatan –khususnya kota Makassar, dengan mengenali tokoh-tokohnya di masa lalu –di anjungan ini terdapat 20 patung berupa wajah-wajah mereka. Ketika kita berjalan sedikit ke luar dari anjungan, di dua bagian Utara dan diujung Selatan terdapat situs benteng dengan karakter yang berbeda. Situs Benteng Somba Opu terdapat di sisi Selatan, sementara di sisi Utara terdapat situs Benteng Port Roterdam –benteng yang menjadi tempat ditawannya Pangeran Diponegoro selama diasingkan itu masih berdiri kokoh. Boleh dikatakan, Benteng Port Roterdam inilah yang menjadi nyawa anjungan Losari. Di Pantai Losari, terdapat ‘Masjid Terapung’ Amirul Mukminin, yang mempunyai arsitektur yang unik untuk kita lihat.
Pantai Losari, Makassar - Sulawesi Selatan.
Replika Perahu Phinisi di Pantai Losari Makassar.
Anjungan Pantai Losari
Lanskap di Anjungan Pantai Losari, Makassar.
Masjid Terapung: Masjid Amirul Mukminin di Pantai Losari.
Keistimewaan Pantai Losari sebenarnya ada pada kemasannya. Namanya laut, sunrise dan sunset adalah momen yang paling penting dan sayang untuk dilewatkan. Tak perlu khawatir soal makanan, di sini banyak pilihan-pilihan kuliner yang siap memanjakan perut kita. Kita dapat merasakan sensasi makanan khas Makassar, seperti: pisang epe –pisang mentah atau muda yang dibakar kemudian di epe atau di pipih dan dicampur air gula merah; pisang ijo; coto Makassar; maupun pallu butung. Tidak lengkap rasanya, jika bermalam di Kota Makassar tanpa meluangkan waktu untuk mencicipi Sop Konro. Sop Konro adalah makanan khas dari Sulawesi Selatan –olahan daging iga tradisional suku Bugis dan Makasar. Iga yang digunakan dalam sop konro, adalah iga sapi atau kerbau. Warna kuahnya bening kehitaman, sangat sedap disantap malam hari –terutama jika ditambahkan sedikit sambal dan jeruk lemon.
Sop Konro Ratulangi di Jalan Sam Ratulangi No. 82 Makassar
Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar - Sulawesi Selatan.
Di Gedung Serbaguna, Makassar.
Di Gedung Kartini, Jalan Masjid Raya Makassar - Sulawesi Selatan.

Ujung Pandang dan Makassar
Nama Ujung Pandang sendiri, adalah nama sebuah kampung dalam wilayah Kota Makassar. Sudah ada, saat Kerajaan Gowa tiba di Semenanjung Selat Makassar –pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, Tunipalangga, yang pada tahun 1545 mendirikan benteng Ujung Pandang sebagai kelengkapan benteng-benteng kerajaan Gowa yang sudah ada sebelumnya, antara lain: Barombong; Somba Opu; Panakukang; dan benteng-benteng kecil lainnya. Di lokasi tersebut banyak sekali ditumbuhi pohon ‘Pandan’ yang tingginya bisa mencapai tujuh meter. Dikarenakan orang Bugis biasa menyebut akhiran ‘an’ menjadi: ‘ang’, maka kata ‘Pandan’ berubah bunyinya menjadi: ‘Pandang’. Jadi saat ditanya di mana lokasinya, orang Bugis jaman dulu menyebut: di Ujung Pandang –di ujung semenanjung selat yang banyak ditumbuhi pandan. Kata Ujung Pandang itupun, kemudian menjadi akrab di telinga warga.
Nama Ujung Pandang, dipakai dari kira-kira tahun 1950-an sampai dengan tahun 2000. Secara resmi, nama Kota Makassar berubah menjadi Ujung Pandang terjadi pada tanggal 31 Agustus 1971 –berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1971. Alasan untuk mengganti nama Makassar menjadi Ujung Pandang, antara lain: karena Makassar adalah nama sebuah suku bangsa –padahal tidak semua penduduk kota Makassar adalah warga dari etnik Makassar. Nama Makassar berasal dari sebuah kata dalam bahasa Makassar: mangkasara, berarti ‘yang menampakkan diri’ atau ‘yang bersifat terbuka’.
Sejak awal, proses perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang, telah mendapat protes dari kalangan masyarakat di ‘Kota Anging Mamiri’ tersebut. Terutama dari kalangan budayawan, seniman, sejarawan, pemerhati hukum dan pebisinis. Bahkan ketika itu, sempat dideklarasikan ‘Petisi Makassar’ oleh: Prof.Dr. Andi Zainal Abidin Farid SH; Prof.Dr. Mattulada; dan Drs.H.D. Mangemba. Nasib kota ‘Daeng’ ini nyaris tak menentu, hingga akhirnya dipenghujung masa jabatan Presiden BJ Habibie, nama Makassar dikembalikan. Dalam konsideran Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 1999, diantaranya menyebutkan: bahwa perubahan itu wujud keinginan masyarakat Ujung Pandang dengan mendapat dukungan DPRD Ujung Pandang dan perubahan ini sejalan dengan pasal 5 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1999, bahwa perubahan nama daerah, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.




***

ada Putri Hijau di Istana Maimoon



Saat tentara Aceh hendak masuk istana membawa Putri Hijau, mendadak terjadi keajaiban, Mambang Khayali tiba-tiba berubah menjadi meriam dan menembak membabi-buta tanpa henti. Karena terus-menerus menembakkan peluru ke arah pasukan Aceh, maka meriam ini terpecah dua –puntung/buntung.
'Putri Hitam' dengan latar belakang 'Putri Hijau' Kota Medan

Istana Maimoon
Merupakan istana kebesaran Kerajaan Deli Tua yang pembangunannya dilakukan pada masa kekuasaan Sultan Makmun al-Rasyid Perkasa Alamsyah –sultan Deli IX, terletak di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja (Aur), Kecamatan Medan Baru (Maimun), Kota Medan, Sumatera Utara (Jl. Sultan Makmun Al Rasyid No. 66 Medan Sumatera Utara). Nama ‘istana’ ini, diambil dari nama isteri Sultan Deli IX sendiri yakni: Maimoon (atau Siti Maimunah). Masyarakat sekitar, sering menamakan istana ini sebagai: Istana Putri Hijau. Berdasarkan prasasti berbahasa Belanda dan Melayu yang terdapat pada sekeping marmer di kedua tiang ujung tangga naik, dapat diketahui bahwa peletakan batu pertama pembangunan Istana Maimoon dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1889 oleh Sultan Makmun al Rasyid Perkasa Alamsyah dan mulai ditempati pada tanggal 18 Mei 1891.
Dari Bandara Internasional Polonia Medan maupun Pelabuhan Belawan, perlu waktu sekitar 30 menit sampai 1 jam. Luas istana lebih kurang 2.772 m, dengan halaman yang luasnya mencapai 4 hektar. Panjang dari depan ke belakang mencapai 75,50 m dengan tinggi bangunan mencapai 14,14 m. Di sebelah Barat istana, mengalir Sungai Deli. Sementara itu, di sebelah Selatannya terdapat bangunan pertokoan dan pemukiman masyarakat. Di sebelah Utara dibatasi oleh Jalan Tanjung Medan, sedangkan di depannya adalah Jalan Brigjen Katamso –yang merupakan salah satu diantara jalan protokol di Kota Medan. Kira-kira 200 meter di depan Istana Maimoon, terdapat bangunan Masjid Al-Manshun –dulu berfungsi sebagai masjid kesultanan, namun kini menjadi masjid untuk masyarakat umum. Masjid ini kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Raya Medan dan merupakan salah satu diantara bangunan masjid yang paling indah di kawasan ini, yang berasal dari masa kerajaan Islam di Indonesia masa lampau. Selain Masjid Raya, di depan Istana Maimoon terdapat juga bangunan lainnya yang memiliki hubungan sejarah dengan Istana Maimoon –karena dibangun oleh tokoh yang sama dan pada kurun waktu yang bersamaan pula, yaitu: Taman Sri Deli.
Istana Maimoon, Medan - Sumatera Utara.
Bangunan Istana Maimoon, bertingkat dua –ditopang oleh 43 tiang kayu dan 82 tiang batu. Arsitektur bangunan merupakan perpaduan antara ciri arsitektur IslamMoghul/India; Timur-Tengah; Turki, EropaBelanda; Spanyol; Italia, dan Melayu. Pengaruh arsitektur Belanda tampak pada bentuk pintu dan jendela yang lebar dan tinggi. Tapi, terdapat beberapa pintu yang menunjukkan pengaruh Spanyol. Pengaruh Islam tampak pada keberadaaan lengkungan –arcade pada atap. Tinggi lengkungan tersebut berkisar antara 5 sampai 8 meter. Bentuk lengkungan ini amat populer di kawasan Timur-Tengah, India dan Turki. Dari luar, istana yang menghadap ke Timur ini tampak seperti istana raja-raja Moghul. Di bangunan ini juga terdapat sebuah lampu kristal besar bergaya Eropa, serta ubin pualam –marmer yang didatangkan langsung dari Eropa. Bangunan istana terdiri dari tiga ruang utama, yaitu: bangunan induk, sayap kanan dan sayap kiri. Bangunan induk (Balairung) dengan luas 412 m2, merupakan tempat dimana singgasana kerajaan berada. Singgasana kerajaan digunakan dalam acara-acara tertentu, seperti penobatan raja, ataupun ketika menerima sembah sujud keluarga istana pada hari-hari besar Islam. Di dalam istana, terdapat 30 ruangan dengan desain interior yang unik, perpaduan seni dari berbagai negeri. Di ruang pertemuan, pengunjung bisa melihat-lihat koleksi yang dipajang, seperti: foto-foto keluarga sultan, perabot rumah tangga Belanda kuno, dan berbagai jenis senjata. Di ruang pertemuan ini, masyarakat dapat bertemu dengan Sultan Deli –dalam masyarakat Melayu, disebut: Angkat Sembah kepada Sultan.
Balairung, bangunan utama Istana Maimoon.
Singgasana Sultan di Balairung Istana Maimoon, Medan - Sumut.
Foto-foto koleksi Sultan di Istana Maimoon
Indahnya Istana Maimoon si Istana Putri Hijau, Medan - Provinsi Sumatera Utara.
Jadwal Berkunjung di Istana Maimoon, Kota Medan - Sumut.
Di sisi kanan istana, terdapat sebuah bangunan khas Batak Karo –bangunan kecil beratap ijuk, di dalamnya terdapat ‘meriam buntung’ yang memiliki legenda tersendiri. Orang Medan menyebut meriam ini dengan sebutan: Meriam Puntung. Arsitek perancang istana ini adalah seorang tentara KNIL Kapitan Belanda bernama T.H. Van Erp. Sumber lain menyebutkan perancangnya adalah seorang arsitek berkebangsaan Italia, namun tidak diketahui namanya secara pasti. Dengan menghabiskan biaya, sebesar Fl. 100.000.
Sejak tahun 1946, Istana ini dihuni oleh para ahli waris Kesultanan Deli. Dalam waktu-waktu tertentu, di istana ini sering diadakan pertunjukan musik tradisional Melayu. Biasanya, pertunjukan-pertunjukan tersebut dihelat dalam rangka memeriahkan pesta perkawinan dan kegiatan sukacita lainnya. Selain itu, dua kali dalam setahun, Sultan Deli biasanya mengadakan acara silaturahmi antar keluarga besar istana. Pada setiap malam Jumat, para keluarga sultan mengadakan acara rawatib adat (semacam wiridan keluarga).

Sultan Makmun
Kemegahan Istana Maimoon, tidak lepas dari perjalanan sejarah Kesultanan Deli di Sumatera Timur. Pada sekitar tahun 1612, Kerajaan Aceh mengutus seorang laksamana bernama Sri Paduka Sultan Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Khoja Bintan ke tanah Deli. Gocah Pahlawan berhasil mengambil alih kekuasaan Kerajaan Haru di Deli Tua pada 1630. Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa di daerah taklukan itu mewakili penguasa Aceh hingga tahun 1653. Pada 1669, Deli melepaskan diri dari Aceh yang semakin melemah akibat situasi politik internal yang menggerogoti kekuasaan raja. Tak banyak catatan sejarah yang membicarakan periode awal pisahnya Kerajaan Deli dari Kerajaan Aceh. Namun, pada tahun 1854, Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh dan Osman Perkasa Alam diangkat sebagai Sultan. Kedudukan Sultan Osman digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah pada tahun 1861-1873. Kegemilangan Kesultanan Deli mencapai puncaknya ketika dipimpin oleh putra sulung Sultan Mahmud Perkasa Alam, yaitu: Sultan Makmun al-Rashid Perkasa Alam –Sultan yang dinobatkan pada usia muda ini, memerintah dari tahun 1873 sampai tahun 1924.
Sultan Makmun al Rasyid Perkasa Alamsyah dalam Perangko tahun 2006
Pada masa pemerintahan beliau, perdagangan tembakau sudah semakin maju dan kemakmuran Kesultanan Deli mencapai puncaknya. Beliau memindahkan pusat kerajaan ke Medan dan mendirikan lstana Maimoon pada tanggal 26 Agustus 1888, yang diresmikan pada tanggal 18 Mei 1891.  Sultan Makmun membangun Masjid Raya Al-Mashun pada tahun 1907 dan diresmikan pada hari Jumat tanggal 10 September 1909 (25 Syaban 1329 H). Pada tahun 1906  dibangun sebuah Kantor Kerapatan, yang berfungsi sebagai mahkamah keadilan bagi pemerintahan Sultan Ma’mun Alrasyid Perkasa Alam Syah –sekarang adalah bekas kantor Bupati Daerah Tingkat II Deli Serdang, dan diresmikan pada tanggal 5 Mei 1913.
Pada 14 November 1875, sultan mengadakan perjanjian ‘Acte van Verband’ dengan Belanda yang diwakili oleh Stoffel Locker de Bruijne –Residen Pesisir Timur Pulau Perca serta disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda –van Lansbergen pada 10 Maret 1976, yaitu: hal ihwal memungut hasil keluar dan masuk. Karena dianggap berjasa dalam memajukan perkebunan tembakau, Ratu Belanda menganugerahinya dengan dua Bahdari –Piagam Penghargaan, yaitu: (1) Commandeur in de Orde van Oranje Nassau; dan (2) Ridder in de Orde van de Nederlandsche Leeuw. Selanjutnya, pada tanggal 5 Maret 1885 ditambah lagi perjanjian antara Kerajaan Negeri Deli dengan Pemerintah Belanda, mengenai: pemungutan cukai keluar-masuk barang, di Padang Bedagai –Tebing Tinggi Deli.
Legenda Meriam Puntung (Meriam Buntung) di Istana Maimoon, Medan.

Meriam Puntung
Di Kerajaan Deli Tua (Kerajaan Timur Raya), hiduplah seorang putri yang cantik jelita, bernama Putri Hijau. Ia disebut demikian, karena tubuhnya memancarkan warna hijau. Ia memiliki dua orang saudara laki-laki, yaitu Mambang Yasid dan Mambang Khayali. Suatu ketika, datanglah Raja Aceh (Sultan Iskandar Muda ?) meminang Putri Hijau, namun, pinangan ini ditolak oleh kedua saudaranya. Raja Aceh menjadi marah, lalu menyerang Kerajaan Deli Tua (Kerajaan Timur Raya). Raja Aceh berhasil mengalahkan Mambang Yasid –meskipun Mambang Yasid sudah menjelma sebagai ular naga. Saat tentara Aceh hendak masuk istana membawa Putri Hijau, mendadak terjadi keajaiban, Mambang Khayali tiba-tiba berubah menjadi meriam dan menembak membabi-buta tanpa henti. Karena terus-menerus menembakkan peluru ke arah pasukan Aceh, maka meriam ini terpecah dua –puntung/buntung. Bagian depannya ditemukan di daerah Surbakti, di dataran tinggi Karo, dekat Kabanjahe (atau ke Kampung Sukanalu-Barus Jahe/Tanah Karo). Sementara bagian belakang terlempar ke Labuhan Deli (Deli Tua/Deli Serdang), kemudian dipindahkan ke halaman Istana Maimoon. (versi lain, meriam tersebut adalah jelmaan dari Mambang Yazid. Sedangkan Puteri Hijau dibawa pergi oleh kakaknya yang bernama Mambang Khayali –yang kemudian menjelma jadi ular naga. Mambang Khayali membawa sang putri ke dalam Laut Cina Selatan dengan dimasukkan ke dalam peti kaca, saat sang putri akan dibawa oleh Raja Aceh)
Meriam Puntung alias Meriam Buntung di Istana Maimoon, Medan.
Bangunan khas Batak beratap ijuk –tempat Meriam Puntung disimpan, ukuran ruangannya sekitar 4x6 meter. Ada semacam altar dengan atap berbentuk rumah Batak dan di bawahnya dibalut kain hijau. Di balik kain hijau itulah terdapat meriam puntung/buntung. Di bagian atas meriam, ditabur aneka bunga –masyarakat sekitarnya percaya, meriam keramat ini membawa berkah. Kalau orang ada kaul atau cita-cita, datang kemari di hari Senin, Kamis atau Jumat, menaruh bunga-bungaan di atasnya, kaulnya akan tercapai.
Wallohu’alam…




***