Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Minggu, 29 Desember 2013

Kayuh Baimbai di Kota Seribu Sungai




Warga Banjarmasin memang merupakan masyarakat yang suka bekerja keras, dan suka berkerja sama atau bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan. Mereka enak diajak bicara, karena pada dasarnya suka ngobrol sebagaimana terlihat dari kebiasaan ”mawarung”, dan juga tercermin dari tradisi mamanda, balamut, dan madihin yang lebih berorientasi budaya lisan. Selain itu, sungai begitu erat dengan kehidupan “urang Banjar” ini.
Alun-alun Martapura, Kabupaten Banjar - Kalimantan Selatan.

Kota Banjarmasin merupakan sebuah ‘kota delta, atau ‘kota kepulauan’ karena terdiri dari sedikitnya 25 buah pulau kecil (delta) –diantaranya: Pulau Tatas, Pulau Kelayan, Pulau Rantauan Keliling, Pulau Insan dan lain-lain yang merupakan bagian-bagian kota yang dipisahkan oleh sungai-sungai. Kota Banjarmasin -yang dikenal dengan julukan: Kota Seribu Sungai, ditetapkan sebagai salah satu dari 10 ikon kota pusaka di Indonesia. Selain itu, Kota Banjarmasin beserta Kota Pekalongan dan Solo ditetapkan sebagai Kota Teladan oleh UN Habitat. Kota ini terletak di tepian Timur Sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura yang berhulu di Pegunungan Meratus.
Martapura, Kalimantan Selatan.
Karakter urang Banjar tercermin dalam kalimat: Kayuh Baimbai, secara harfiah berasal dari kata: "Kayuh" –Dayung atau Mendayung, sementara "Baimbai" –Bersama-sama. Berarti: mendayung secara bersama-sama. Istilah ini sering digunakan dalam masyarakat Banjar untuk merefleksikan suatu bentuk kerjasama untuk mencapai suatu tujuan.
Secara garis besar, masyarakatnya terbagi atas 3 kelompok besar: Suku Banjar, Suku Dayak, dan Suku pendatang (Jawa, Bugis, Madura, dan lain-lain). Pangeran Antasari dalam Perang Banjar (1859-1905), pernah berwasiat: ”Agar Urang Banjar Jangan Suka Bacakut Papadaan”. Wasiat ini dipegang teguh oleh urang Banjar. Meski terdapat perbedaan pada masing-masing kelompok, tetapi di sini jarang ditemukan konflik-konflik yang mengatasnamakan suku-suku.
Pelabuhan Lok Baintan

Pasar Terapung Lok Baintan
Perjalanan dari Bandara –yang berada di pal 26 atau di km 26 Kabupaten Banjar Baru, menuju ibukota Banjarmasin –berada di pal 1 atau di km 1 membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit. Di depan pelabuhan Mesjid Rayapada sebuah dermaga kayu sederhana di pinggiran Kota Banjarmasin, naik klotok –perahu motor. Mulailah perjalanan  menyusuri Sungai Martapura menuju ‘pasar terapung’ Lok Baintan di Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar.
Sungai Martapuranama aslinya: Sungai Kayutangi atau Sungai Banjar Kecil, adalah anak Sungai Barito yang muaranya terletak di Kota Banjarmasin dan di hulunya terdapat Kota Martapura –yang merupakan ibukota Kabupaten Banjar. Nama sungai ini, diambil dari nama Kota Martapura –yang terletak di sebelah hulu Kota Banjarmasin. Nama Martapura sendiri, diberikan oleh raja Banjar ke-4 Sultan Mustain Billah sebagai ibukota yang baru didirikan kira-kira pada tahun 1630 setelah dipindah dari Banjarmasin ke kawasan Kayu Tangi –terletak di sebelah hulu. Karena itu, nama kuno sungai Martapura adalah Sungai Kayutangi. Nama lainnya yang dahulu digunakan adalah: Sungai Tatas, mengacu kepada delta Pulau Tatas, daerah yang pada 13 Agustus 1787 menjadi milik VOC-Belanda (kotta-Blanda) dan sekarang merupakan pusat Kota Banjarmasin modern. Dengan demikian, nama lain Kota Banjarmasin adalah Kota Tatas. Menurut Hikayat Banjar, di tepi sungai inilah Kerajaan Banjarmasih mendirikan Bandarsekarang sering disebut Bandar Patih Masih/Bandar Masih, bukan di tepi Sungai Barito. Bandar tersebut terletak di sebelah hulu dari muara Sungai Kelayan, dimana pada lokasi tersebut terdapat Sungai Palabuhan.
Masjid Raya Sabilal Muhtadin di Kota Banjarmasin - Kalsel.
Tepian Sungai Martapura didekat Masjid Raya Sabilal Muhtadin
Tepian Sungai Martapura dekat Masjid Raya Sabilal Muhtadin (dahulu: Benteng Tatas) di Kota Banjarmasin.
Perahu klotok membawa kita menyusuri sungai yang membelah Kota Banjarmasin ini, menjauhi kota ke arah hulu. Dalam perjalanan tampak rumah-rumah penduduk yang berjejer di sepanjang tepi sungai. Terdapat juga beberapa tempat penggilingan padi, masjid, rumah penangkaran burung walet, dan warung klontong. Rumah-rumah penduduk yang berada di sisi kanan pelintasan –lebih dekat ke pusat Kota Banjarmasin, umumnya didirikan membelakangi sungai. Sebaliknya, rumah-rumah penduduk yang berada di sisi kiri, umumnya menghadap ke sungai. Kondisi ini, menandakan bahwa penduduk yang berada di sisi kanan telah banyak menggunakan alat transportasi darat.
Pasar Terapung Lok Baintan, Kalimantan Selatan.
Pusat berkumpulnya para pedagang terletak di dekat sebuah pelabuhan yang diberi papan bertuliskan “Pelabuhan Lok Baintan”. Letaknya di Desa Lok Baintan Sungai Pinang; Kecamatan Sungai Tabuk; Kabupaten Banjar, berdekatan dengan sebuah jembatan gantung kecil –hanya bisa dilalui orang dan sepeda motor, yang melintasi sungai. Di bawah jembatan itu, perahu-perahu berkumpul, berdempet-dempetan, berinteraksi dan bertransaksi. Karena berada di atas arus sungai, maka pasar terapung ini bergerak ke arah hilir. Ketika melakukan transaksi jual-beli, perahu-perahu akan dibiarkan bergerak terbawa arus. Dan setelah transaksi selesai, baru kemudian dikayuh kembali ke titik kumpul semula. Pola iramanya, seperti tidak menentu –tapi para pedagang di perahu-perahu ini, seperti kompak untuk tetap membentuk kerumunan, baik ketika terbawa ke hilir atau ketika mengayuh kembali ke hulu. Konon, pasar terapung ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Banjar. Karena berada di sungai utama Martapura, maka pasar terapung ini disebut juga dengan nama: Pasar Terapung Sungai Martapura.
Jembatan Gantung Lok Baintan
Perempuan-perempuan perkasa ini, mendayung sejak Shubuh  dari berbagai desa di sekitar Sungai Martapura, dan menjual hasil bumi mereka di Lok Baintan. Mereka berasal dari berbagai anak Sungai Martapura, seperti: Sungai Lenge, Sungai Bakung, Sungai Paku Alam, Sungai Saka Bunut, Sungai Madang, Sungai Tanifah, dan Sungai Lok Baintan. Berdatangan setelah sholat Shubuh, dan mulai bubar sekitar pukul 9 pagi Waktu Indonesia bagian Tengah. Beberapa di antara mereka membawa serta anak-anak balita, tapi umumnya seorang diri dalam satu perahu. Ada aturan tidak tertulis bagi masyarakat yang tinggal di tepi sungai ini. Para wanitanya berjualan di pasar,  para lelakinya bertani dan menjadi nelayan atau memancing ikan di sungai. Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki semacam ini, mungkin merupakan suatu ‘kelaziman’ dalam masyarakat agraris. Rupanya, emansipasi sudah menyentuh tepi Sungai Martapura ini. Mereka menggunakan topi anyaman daun bundar –berdiameter sekitar 50-60 cm, untuk berlindung dari sinar matahari atau hujan. Tampak juga beberapa perempuan menggunakan sejenis pupur wajah. Sangat jarang perahu dagangan yang dibawa oleh laki-laki.
Pasar Terapung Lok Baintan, Kabupaten Banjar - Provinsi Kalimantan Selatan
Pasar terapung Lok Baintan ini, tergolong “pasar induk” –dalam pengertian: jual beli dilakukan dalam proporsi besar untuk kembali dijual ke anak-anak sungai. Meski demikian, di sini tidak ada retribusi –atau iuran sejenis lainnya yang dipungut oleh pemerintah atau oleh masyarakat sendiri.
Juga banyak terdapat buah-buahan segar, seperti: mangga, jeruk khas Banjar –limau, pisang, pepaya, rambutan, dan lainnya. Sementara yang dijual dalam skala yang lebih kecil, adalah: ikan atau hasil laut lainnya, kue-kue tradisional, serta beberapa jenis produk tekstil seperti pakaian, kain, dan tas. Umumnya sistem barter terjadi antara sesama pedagang, sedangkan penggunaan uang ketika bertransaksi dengan pembeli pendatang. Komoditas dagangan yang dibarter adalah hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan. Besaran dan keberimbangan jumlah hasil barter, tergantung kesepakatan antarkedua belah pihak. Jika sepakat, maka masing-masing akan mendapatkan barang sesuai keinginan, dan selanjutnya digunakan untuk keperluan pribadi di rumah.
Sarapan di perahu klotok
Di Lok Baintan, kita dapat menikmati akitivitas pasar tradisional serta keramahan masyarakatnya. Kita juga dapat berbelanja, mencicipi hasil kebun yang mereka jual atau kue-kue tradisional yang mereka jajakan. Biasanya, ada pula klotok khusus tempat makan, dimana kita dapat mencicipi kue dan soto Banjar, serta bersantai minum kopi –sembari menikmati aktivitas pasar. Atau sarapan makanan khas Kalsel lainnya yang ada di pinggir sungai –sekitar daerah Sungai Jingah, seperti: soto Bang Amat, soto Yana-Yani atau soto Bawah Jembatan (SBJ). Bila ingin merasakan sensasi naik jukung, kita bisa ikut di atas jukung pedagang yang ada di sana.
Jika kita menuju ke Lok Baintan sejak pagi buta, kita dapat melihat iring-iringan klotok atau jukung –perahu kecil dengan mesin yang memuat beragam barang dagangan yang akan diperjual belikan di lokasi pasar.
Kedepannya, selain pasar terapung, juga akan dikembangkan agro wisata –setelah mengunjungi pasar terapung, para pelancong bisa melanjutkan dengan wisata petik buah jeruk langsung dari pohonnya. Tetapi yang paling mendesak adalah upaya menjaga kelestarian pasar terapung di sana, salah satunya dengan tidak mengijinkan berdirinya pasar darat di Desa Lok Baintan.

Menjelang siang hari, sudah tidak ada aktivitas 'Perdagangan' di Lok Baintan.
Masjid Agung Al Karomah Martapura
Masjid Agung Al Karomah adalah masjid besar yang terletak di Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan dan merupakan masjid terbesar di Kalimantan Selatan. Masjid ini juga merupakan markah tanah dari Kota Martapura dan mudah diakses dari seluruh kota di Kalimantan Selatan karena terletak di Jalan Ahmad Yani yang merupakan jalan utama –jalan nasional antar kota, terutama dari Kalimantan Timur –arah Utara hingga Kota Banjarmasin.
Sebagai pusat Kerajaan Banjar, Martapura tercatat menjadi saksi 12 sultan yang memerintah. Pada waktu itu masjid berfungsi sebagai: tempat peribadatan, dakwah Islamiyah, integrasi umat Islam dan markas atau benteng pertahanan para pejuang dalam menentang Belanda. Akibat pembakaran Kampung Pasayangan dan Masjid Martapura, muncul keinginan membangun Masjid yang lebih besar. Tahun 1280 Hijriyah (1863 M), pembangunan masjid pun dimulai.
Masjid Agung Martapura 'Al Karomah'
Masjid Agung Al Karomah, dulunya bernama adalah Masjid Jami’ Martapura, yang didirikan oleh panitia pembangunan masjid yaitu HM. Nasir, HM. Taher (Datu Kaya), HM. Apip (Datu Landak). Kepanitiaan ini didukung oleh Raden Tumenggung Kesuma Yuda dan Mufti HM Noor.
Menurut riwayatnya, Datuk Landak dipercaya untuk mencari kayu Ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito, Kalimantan Tengah. Setelah tiang ulin berada di lokasi bangunan masjid, lalu disepakati tepat 10 Rajab 1315 H (5 Desember 1897 M) dimulailah pembangunan Masjid Jami’ tersebut. Secara teknis bangunan masjid tersebut adalah bangunan dengan struktur utama dari kayu ulin dengan atap sirap, dinding dan lantai papan kayu ulin. Seiring dengan perubahan masa dari waktu ke waktu, masjid tersebut selalu di renovasi –tapi struktur utamanya tidak berubah. Malam Senin 12 Rabiul Awal 1415 H dalam perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, Masjid Jami’ Martapura diresmikan menjadi Masjid Agung Al Karomah. Saat ini Masjid Agung Al Karomah berdiri megah dengan konstruksi beton dan rangka atapnya terbuat dari baja stainless, yang terangkai dalam struktur space frame. Untuk kubahnya dilapisi dengan bahan enamel.

Pulau Kembang
Pulau Kembang adalah sebuah delta yang terletak di tengah Sungai Barito yang termasuk di dalam wilayah administratif Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Pulau Kembang terletak di sebelah Barat Kota Banjarmasin, ditetapkan sebagai hutan wisata berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 788/Kptsum12/1976 dengan luas 60 Ha. Pulau Kembang merupakan habitat bagi kera ekor panjang (monyet) dan beberapa jenis burung. Kawasan pulau Kembang juga merupakan salah satu obyek wisata yang berada di dalam kawasan hutan di Kabupaten Barito Kuala.
Di dalam kawasan hutan wisata ini terdapat bangunan Klenteng dan Altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji bagi "penjaga" pulau Kembang yang dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih –hanoman, oleh masyarakat dari etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu. Sesajen seperti: pisang; telur; nasi ketan; mayang-pinang; dan beberapa jenis kembang. Seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas biasanya dilepaskan ke dalam hutan pulau Kembang apabila sebuah permohonan berhasil atau terkabul. Oleh karena sering digunakan untuk tempat berhajat dan menabur kembang, maka pulau tersebut lebih terkenal dengan nama Pulau Kembang.
Wisata Alam 'Pulau Kembang', Kabupaten Barito Kuala - Provinsi Kalimantan Selatan.
Menurut cerita penduduk setempat, Pulau Kembang ini dulunya merupakan sebuah kapal Cina yang bernama "Law Kem Bang" yang tersesat dan kemudian dihancurkan oleh orang-orang Biaju pada tahun 1750-an atas perintah Sultan Banjar. Lambat laun kapal tersebut ditumbuhi pepohonan dan berubahlah menjadi sebuah pulau serta dihuni oleh sekelompok kera. Orang-orang desa yang berada di sekitar Pulau Kembang ini menganggap bahwa kera-kera tersebut merupakan penjelmaan makhluk halus yang memakai sarungan kera. Kelompok kera tersebut dipimpin oleh seekor kera yang sangat besar berwarna putih bernama si Anggur. Dari Law Kem Bang inilah kemudian menjadi Pulau Kembang. Versi lainnya, Pulau Kembang berasal dari kapal Inggris yang dihancurkan oleh orang Biaju pada tahun 1750-an atas perintah Sultan Banjar. Puing-puing bekas kapal tersebut lambat laun ditumbuhi pepohonan dan berubah menjadi sebuah pulau yang kemudian didiami sekelompok kera. Kera-kera di kawasan  ini yang berjumlah ribuan, sangat akrab dengan para pengunjung. Biasanya ketika para wisatawan datang berkunjung, kera-kera tersebut banyak yang menunggu di dermaga, menunggu para wisatawan memberi mereka makanan seperti pisang, kacang, dan sebagainya.
Pulau Kembang ini ditempati oleh ratusan –bahkan ribuan monyet dan beberapa jenis unggas (burung). Bila beruntung, pengunjung dapat bertemu dengan salah satu spesies monyet yang menjadi maskot fauna Kalimantan Selatan; yakni: Bekantan (Nasalis Larvatus). Monyet ini berhidung panjang; berambut cokelat kemerah-merahan; dan memiliki sifat pemalu. Satu hal yang harus diingat, jangan lupa membeli makanan (pisang atau kacang-kacangan) di Pasar Terapung untuk dibagikan kepada monyet-monyet di Pulau Kembang ini.
Tidak sulit untuk berkunjung ke pulau ini, kawasan ini berjarak sekitar 1,5 km dari Kota Banjarmasin. Dari Pasar Terapung di Sungai Barito, tinggal menyewa perahu (perahu klotok sewaan) dari Sungai Kuin Utara. Kita bisa melakukan perjalanan mengelilingi Pasar Terapung dan berkunjung ke Pulau Kembang, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke lokasi sekitar 15 menit.



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar