Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Sabtu, 21 Desember 2013

Papandayan Panenjoan


Naskah Bujangga Manik

Sadatang ka Saung Galah, [ms. S. Agung] sadiri aing ti inya, Saung Galah kaleu(m)pangan, kapungkur Gunung Galunggung, katukang na Panggarangan, ngalalar na Pada Beunghar, katukang na Pamipiran”.
(Sesampai di Saung Galah, berangkatlah aku dari sana, ditelusuri Saung Galah, Gunung Galunggung di belakangku, melewati Panggarangan melalui Pada Beunghar, Pamipiran ada di belakangku.)
Ngalalar ka Ti(m)bang Jaya, datang ka Bukit Cikuray, nyangla(n)deuh aing ti inya, datang ka Mandala Puntang
(Berjalan melewati Timbang Jaya, pergi ke Gunung Cikuray, seturunku dari sana, pergi ke Mandala Puntang.)
Sana(n)jak ka Papa(n)dayan, ngaran(n)a na Pane(n)joan, ti inya aing ne(n)jo gunung, dereja (?) dangka ri kabeh, para manuh para dangka, pani(ng)gal Nusia Larang
(Setelah menanjak ke Gunung Papandayan, yang juga dipanggil Panenjoan, aku melihat pegunungan dari sana, jajaran (?) pemukiman di mana-mana, semua desa, semua pemukiman, peninggalan Nusia Larang yang mulia.)
Aing milang-melangi/nya, /21v/ Ti kidul na alas Danuh, ti wetan na Karang Papak,”
(Aku melihat mereka satu per satu. Di arah selatan adalah wilayah Danuh, di timur Karang Papak,)
Ti kulon Tanah Balawong, itu ta na gunung Agung, ta(ng)geran na Pager Wesi”.
(di barat tanah Balawong, merupakan Gunung Agung, pilarnya Pager Wesi.)
Eta na bukit Patuha, ta(ng)geran na Majapura. Itu bukit Pam(e)rehan, ta(ng)geran na Pasir Batang”.
(Itu Gunung Patuha, penopang Majapura. Itu Gunung Pamerehan, penopang Pasir Batang.)
Itu ta na Gunung Kumbang, ta(ng)geran alas Maruyung, ti kaler alas Losari,”
(Itu Gunung Kumbang, pilarnya Maruyung, ke arah utara wilayah Losari.)
Itu ta bukit Caremay, tanggeran na Pada Beunghar, ti kidul alas Kuningan, ti barat na Walang Suji, inya na lurah Talaga”.
(Itu Gunung Ceremay, pilarnya Pada Beunghar, di selatan wilayah Kuningan, ke baratnya Walang Suji, di situlah wilayah Talaga.)
Itu ta na To(m)po Omas, lurah Medang Kahiangan”.
(Itu Gunung Tampomas, di wilayah Medang Kahiangan.)
Itu Tangkuban Parahu, tanggeran na Gunung Wangi”.
(Itu Gunung Tangkuban Parahu, pilarnya Gunung Wangi.)
**Naskah Bujangga Manik**
 
Memasuki Kota Intan, Garut
Saat berada di puncak Gunung Papandayan, Bujangga Manik dapat memandang ke berbagai arah, sehingga gunung ini disebut sebagai: Panenjoan.
Pada Januari 1706 atas perintah Residen Priangan, dua orang tentara, Cretain van Houten mengunjungi Gunung Papandayan dan Gunung Patuha untuk melihat kandungan belerang. Pemerintah Kolonial saat itu mewajibkan Bupati Bandung untuk menyediakan 400 pikul belerang murni dan halus yang diterimanya di Tanjungpura, Karawang. Pemerintah kolonial memerlukan belereng untuk berbagai keperluan, baik pertahanan maupun industri.
Satu tahun setelah letusan 11-12 Agustus 1772, J.M. Mohr berkunjung ke sana dan menuliskan catatannya: “Penduduk di kaki gunung dikejutkan dengan munculnya awan yang sangat terang yang menutupi gunung. Mereka melihat kembang api beterbangan di udara, dan dentuman seperti suara meriam. Pukul 02.00 - 03.00 semburat api raksasa memayungi gunung yang berlangsung sangat singkat, hanya lima menit, yang disusul oleh tebing gunung yang terban, lalu terjadi guguran puing, longsor gunung api yang melanda kawasan seluas 250 km2. Empat puluh perkapungan hancur mumur, dan 2 orang kulit putih dan 2957 penduduk di kaki gunung itu seketika kembali ke pangkuan-Nya. (“Semoga Tuhan memuliakannya”). Dari kawasan yang tertimbun sedalam hampir satu meter, ada dua orang yang dapat diselamatkan, dan 40 orang selamat, mereka berlindung di tengah kebun pisang.”
F.W. Junghuhn berkunjung ke Gunung Papandayan pada tahun 1850, dan menulis peristiwa letusan gunung ini yang berdasar pada penuturan penduduk: “Di malam hari tanggal 11-12 Agustus 1772, terjadi letusan yang disertai gemuruh dan ledakan-ledakan setelah lewat tengah malam. Tiba-tiba terlihat sinar api yang menerangi kegelapan, menggugurkan puncak gunung, melontarkannya dan menghamburkan bongkah-bongkah di sekelilignya. 40 kampung dalam sekejap mata tertimbun dan 2957 dan binatang peliharaannya seketika menemui ajalnya di bawah timbunan guguran puing. Penduduk dari kampung-kampung yang terletak lebih jauh dapat terhindar dari hujan batu dan abu dengan berlari tergesa-gesa. Keesokan harinya penduduk tercengang melihat sebagian besar gunung yang semula berbentuk kerucut, kini telah hilang, hancur, dan di sana kini tampak celah kawah yang dalam dan merekah, menghembuskan uap.”
Dengan suara menggelegar dan gemeratak yang hebat, setelah tengah malam mendadak tampak membumbung ke atas sinar-sinar terang, yang menerangi kegelapan, memecah-mecah puncak gunung, melemparkan dan menyebar bongkah-bongkahnya ke sekitarnya”. Demikian catatan F.W. Junghuhn.
F. de Han dalam catatannya begitu gemasnya, bagaimana lambatnya birokrat saat itu melaporkan kejadian letusan Gunung Papandayan yang merenggut nyawa hampir 3000 orang. Satu bulan kemudian, 16 September 1772, peristiwa maut itu baru sampai di pemerintah, dan dimuat dalam dagregister. Oktober baru ada laporan rinci, 19 November baru mengirim surat ke Residen di Cirebon, dan Desember 1772 dikirim surat ke Negeri Belanda.
Pada tahun 1819, pendiri kebun raya Bogor, C.G.C Reindwardt yang berkebangsaan Jerman menjadi orang-orang asing pertama yang mendaki gunung ini. Pada masa-masa inilah, Gunung Papandayan menjadi surga bagi para ahli gunung berapi dan tumbuh-tumbuhan hingga sekarang.
Ch. E. Stehn saat berada di sana, seperti yang ditulisnya tahun 1930. Ahli gunung api ini begitu terkesan saat melintas di Tegal Bungbrung. Stehn menulis: “… Terdapat pemandangan yang sangat baik ke seluruh komplek kawah dengan dilatari Dataran Garut yang dikelilingi Gunung Cikuray dan Karacak di sebelah kanan, Komplek Gunung Galunggung – Talagabodas sebagai latar belakang dan Guntur di kiri, Gunung Cereme di Cirebon menjulang jauh di belakang ujung utara, dan nun jauh sekali lewat lereng Gunung Cikuray masih sekilas tampak Gunung Slamet….”
Haroun Tazieff (1961), Ahli gunung api yang banyak menerbitkan laporannya di Eropa. Oleh karena itu jangan heran bila Gunung Papandayan jauh lebih pupuler di Eropa.
 
Gunung Papandayan, Garut.
Panday dan Papandayan
Gunung Papandayan terletak di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Perjalanan menuju gunung ini dapat ditempuh melalui kota Garut yang terkenal dengan: domba, dodol, batik, produk kulit, jajanan serta kulinernya. Perjalanan dilanjutkan ke arah Cikajang, dan bila sudah sampai di Cisurupan, berbelok menuju Gunung Papandayan. Kondisi jalan antara Garut dan Cisurupan sudah beraspal mulus, sedangkan antara Cisurupan hingga tempat parkir Gunung Papandayan, jalannya rusak.
Nama Papandayan, berasal dari bahasa sunda “Panday” –yang berarti: Pandai Besi. Dahulu, ketika masyarakat melintasi gunung ini, sering terdengar suara-suara yang mirip keadaan ditempat kerja pandai besi, suara itu berasal dari kawah yang sangat aktif. Demikianlah gunung ini kemudian dinamakan Papandayan oleh masyarakat disekitar gunung ini. Gunung Papandayan terletak di sekitar 25 km sebelah Barat Daya Kabupaten Garut, dengan posisi geografis 7o19’ Lintang Selatan dan 107o44’ Bujur Timur dengan ketinggian 2665 meter di atas permukaan air laut atau sekitar 1950 meter di atas dataran Garut. Di sebelah Selatan gunung ini terdapat Gunung Guntur dan disebelah Timurnya terdapat Gunung Cikuray. Gunung Papandayan merupakan kerucut paling Selatan dari deretan gunung api di Priangan Selatan yang telah diklasifikasikan –sejak zaman penjajahan Belanda sebagai gunung aktif yang cukup berbahaya di Jawa Barat. Letusan-letusan yang terjadi sejak dahulu kala membuat wujud gunung ini seperti potongan tapal kuda. Kawah tertuanya terletak di Tegal Alun-Alun yang telah lama mati dan berubah menjadi padang terbuka. Dinding kawah tua ini membentuk kompleks pegunungan dengan puncak-puncaknya yaitu Gunung Malang (2675 meter dpl), Gunung Masigit (2619  meter dpl), Gunung Saroni (2611 meter dpl) dan Gunung Papandayan itu sendiri yang mengelilingi Tegal Alun-Alun. Di padang inilah, muncul mata air yang menjelma menjadi Sungai Ciparugpug. Di sekitar areal tapal kuda ini, kita juga dapat melihat gunung-gunung kecil yang mengelilingi Gunung Papandayan, antara lain: Gunung Puntang (2555 meter dpl), Gunung Walirang (2238 meter dpl), Gunung Tegal Paku (2225 meter dpl) dan Gunung Jaya (2422 meter dpl). Sementara di lembah diantara Gunung Puntang dan Gunung Walirang, terdapat sungai Cibeureum Gede yang mengalir ke Sungai Cimanuk.
Gunung Papandayan, Panenjoan Bujangga Manik.
Saat ini, Gunung Papandayan merupakan salah satu gunung api aktif di Jawa Barat yang telah dikembangkan menjadi objek wisata panorama dan tempat tujuan bagi para peneliti gunung api di mancanegara. Objek-objek wisata mempesona yang terdapat di gunung ini terbentuk secara alamiah dari proses vulkanisma yang telah berlangsung di masa lampau. Aktivitas yang terjadi selama beratus-ratus tahun ini, telah menghasilkan dan meninggalkan bentuk-bentuk alam yang khas berupa kerucut gunung api, kawah, singkapan bebatuan dan terbentuknya struktur-struktur baru berupa curug –air terjun, danau, mata air panas, lubang semburan uap panas dari dalam tanah, kolam-kolam mendidih dan endapan belerang berwarna kuning yang menyatu dengan bentang alam yang di penuhi batuan berserakan dan dataran-dataran terbuka yang diselimuti rerumputan dan tumbuhan edelweis yang indah atau hutan-hutan tua berbalut lumut yang menakjubkan. Keunikan-keunikan inilah yang membedakan keindahan Gunung Papandayan dengan gunung api-gunung api lainnya di Indonesia.
 
Kawah Gunung Papandayan, Garut.
Vulkanowisata
Gunung Papandayan telah menjadi cagar alam sejak tahun 1924 –ketika itu, pemerintah kolonial Belanda menetapkan kawasan hutan dan kawah Papandayan seluas 884 hektar menjadi cagar alam. Saat ini total luas cagar alam telah bertambah menjadi 6.807 Ha, ditambah taman wisata alam seluas 225 Ha. Penambahan luas cagar alam dan taman wisata alam ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 226/kpts/1990 tanggal 8-5-1990. Wilayahnya meliputi: Gunung Papandayan, Gunung Puntang, Gunung Jaya, Gunung Kendang, Tegal Panjang dan kawah Darajat. Dengan statusnya sebagai cagar alam, berarti Gunung Papandayan beserta keanekaragaman hayati didalamnya dilindungi oleh negara Republik Indonesia.
Gunung Papandayan memiliki hutan alami yang hening –hutan alami ini dapat kita jumpai pada ketinggian 1900 – 2675 meter dpl. Para ahli tumbuhan menggolongkan hutan pada ketinggian ini sebagai hutan pegunungan atas dan sub-alpin. Penelitian tumbuhan pada tahun 2004 di daerah antara Pondok Saladah sampai Tegal Panjang mengungkapkan kondisi hutan sebagai berikut:
Pada daerah kawah, kita dapat menjumpai tumbuhan semak yang tahan terhadap gas beracun seperti: Suwagi, Rumput Kawah dan Paku Kawah. Semakin menjauh dari kawah, tumbuhan semak menjadi lebih beraneka ragam lagi. Selain Suwagi, Pohon Segel, Ramo Gencel, Huru Koneng, Semak Harendong, Edelweiss, Rumput Kawah, Paku Andam, tumbuhan rambat Gandapura dan Bungburn dapat kita jumpai di daerah ini. Semakin ke tepian jalan, kita akan menemui pohon Ki Haruman yang dahannya dipenuhi benjolan mendominasi pemandangan. Ke utara –di belakang daerah bekas pesanggrahan Hoogbert Hut, kondisi hutan mulai berubah karena pengaruh kawah yang mulai berkurang. Hutan di sini dipenuhi oleh pohon-pohon berdiameter sedang yang rapat dengan lantai hutan namun jarang ditumbuhi semak, kita dapat menjumpai Pohon Kendung, Anggrit, Huru Batu dan Huru Sintok. Selain itu, tumbuhan paku Bagedor juga dapat kita jumpai bersama rumput Carex dan semak Teklan. Mulai dari Cisupabeureum (2126 meter dpl), di kaki Gunung Puntang sampai Tegal Panjang, pohon-pohon berdiameter besar yang diselimuti oleh lumut dengan lantai hutan rapat yang ditumbuhi oleh tumbuhan bubukuan dapat kita jumpai disini. Pohon Anggrit dan Ki Hujan sangat mendominasi pada hutan ini, selain pohon Salam Anjing dan Salam Beurit. Dua jenis herba penutup tanah yaitu Elatostema eurhynchum dan Elatostema rostratum mudah terlihat di sini bersama tumbuhan rambat Arbei Hutan. Di Tegal Panjang, kita dapat menemukan 25 jenis tumbuhan herba yang hidup bersama alang-alang. Beberapa diantaranya yang menonjol adalah: Ki Urat, Antanan dan Scleria Terestis. Tumbuhan endemik Alchemilla Villosa dan tumbuhan langka Primula Imperalis dapat ditemukan pula di padang ini. Selain tumbuhan-tumbuhan di atas, kita juga dapat menjumpai dan mengamati beberapa satwa liar yang hidup di hutan Papandayan ini, seperti: monyet surili, lutung, babi hutan, mencek dan macan tutul. Di daerah pinggiran hutan dekat perkebunan, kita akan menjumpai dengan mudah binatang: tando, sigung dan careuh.
Menurut catatan dokumen kolonial Belanda, dahulu kala masih dapat dijumpai banteng, rusa dan pelanduk yang terlihat merumput di Tegal Panjang. Pemangsa berupa harimau jawa juga masih sering muncul. Tetapi sekarang semuanya hanya tinggal kenangan saja, satwa-satwa tersebut telah punah.
Peneliti burung berkebangsaan Belanda bernama Hoogerwerf pada tahun 1948 melaporkan terdapat 115 jenis burung yang hidup di Gunung Papandayan. Penelitian pada tahun 2004 pada sisi Barat Gunung Papandayan –dari Pondok Saladah sampai Tegal Panjang serta daerah perbatasan hutan dengan kebun di Pangalengan, telah ditemukan 73 jenis burung. Delapan jenis diantaranya endemik pulau Jawa dan 15 jenis lainnya dilindungi oleh perundang-undangan. Terdapat 2 jenis burung yang terancam kepunahan, yaitu elang jawa dan luntur gunung serta 2 jenis burung lainnya yang mendekati dan terancam punah yaitu walet gunung dan cica matahari.
Di sekitar dinding kawah, ditemukan burung pemangsa dadali dan alap-alap capung. Sementara di daerah hutan yang didominasi oleh tumbuhan suwagi di sekitar kawah, mudah dijumpai burung kacamata, balecot, tengtelok dan tikukur.
Di hutan selepas kawah hingga Tegal Panjang, kita dapat menjumpai sepah gunung, burung sapu, mungguk loreng, wergan dan burung kacamata bersama dengan puyuh laga dan cincoang biru yang menghuni semak-semak. Burung saeran, saeran kelabu dan walik kepala ungu juga sering terlihat di hutan ini. Sedangkan luntur gunung dan luntur harimau butuh kecermatan untuk menjumpainya.
Sementara di daerah perbatasan hutan dengan kebun sayur atau kebun teh dapat ditemukan burung pemangsa yang terancam kepunahan yaitu elang jawa bersama dengan 2 pemangsa lainnya yaitu elang ruyuk dan elang hitam. Burung saeran, wergan koneng, pijantung kecil dan kepudang sungu jawa juga mudah ditemui di daerah ini. Sementara, burung kandancra dan cica matahari memerlukan kesabaran untuk dapat melihatnya. Di kebun teh itu sendiri merupakan arena bermain dan habitat bagi dua jenis burung toed dan tektek reod.
Berdasarkan dari kebiasaan makannya, burung-burung di Gunung Papandayan sebagian besar (64%) adalah pemakan serangga (insectivor). Kondisi ini menunjukkan peranan burung yang besar dalam menjaga keseimbangan populasi serangga yang terdapat di hutan Papandayan.
Beberapa lokasi yang biasanya dikunjungi oleh para pendaki, wisatawan dan para peneliti adalah sebagai berikut:
1.    Pondok Saladah
Pondok Saladah merupakan areal padang rumput seluas 8 Ha yang terdapat di ketinggian 2288 meter dpl, banyak ditumbuhi tumbuhan edelweis yang abadi dan tidak mudah layu serta memiliki aroma yang khas. Di daerah ini mengalir Sungai Cisaladah yang airnya mengalir sepanjang tahun –tempat ini biasanya dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan perkemahan. Sepanjang perjalanan dari tempat parkir –titik awal pendakian menuju Pondok Saladah, kita akan disuguhi panorama alam yang sangat indah, yakni: pemandangan pembuka berupa bentangan kaldera berbentuk tapal kuda yang sangat luas –mencapai 3 km yang dihiasi oleh bebatuan berserakan yang berwarna-warni. Di sebelah kanan selama perjalanan, kita akan menjumpai dinding batu berwarna perak bernama: Tebing Soni –dimana kota Garut dapat terlihat dari puncak tebing ini, sementara di sebelah kirinya, kita dapat melihat jejak dari daerah bekas aliran letusan gunung pada tahun 2002, pohon-pohon yang hangus terbakar dan lubang-lubang yang mengeluarkan uap panas dari dalam tanah. Tumbuhan suwagi juga menghiasi pemandangan selama perjalanan menuju tempat ini.
2.    Kawah Mas
Bagi para wisatawan –baik lokal maupun mancanegara, para peneliti dan para pendaki, Kawah Mas adalah lokasi yang selalu menjadi tujuan utama dari semua perjalanan menuju gunung ini. Jika dibandingkan dengan lokasi-lokasi objek wisata lainnya yang ada di sekitar Gunung Papandayan, Kawah Mas merupakan lokasi yang sudah dibangun sedemikian rupa dan tampak lebih maju dan berkembang. Hal ini dikarenakan Kawah Mas merupakan pusat dan lokasi terpenting dari rangkaian sejarah letusan Gunung Papandayan. Di sini kita dapat mengamati aktivitas gunung berapi Papandayan yang sedang berjalan sesuai waktunya, di kawah ini terdapat 14 lubang letusan yang mengeluarkan asap dengan warna yang berbeda-beda, beberapa mata air mengandung belerang juga terlihat keluar dari sela-sela bebatuannya dan tentunya kita dapat mengamati aktivitas Kawah Mas dari jarak yang sangat dekat. Kawah Mas merupakan kompleks gunung berapi yang masih aktif seluas 10 Ha. Pada komplek ini terdapat lubang-lubang magma baik yang besar maupun yang kecil, lubang-lubang tersebut mengeluarkan asap dan uap air hingga menimbulkan berbagai macam suara yang unik. Selain kawah di atas, beberapa kawah lainnya seperti kawah Manuk, kawah Baru dan kawah Nangklak juga dapat kita kunjungi untuk memperdalam pengamatan kita tentang aktivitas gunung api Papandayan.
3.    Tegal Alun-Alun
Tegal Alun-Alun merupakan lokasi kawah tertua dari Gunung Papandayan yang telah lama mati dan berubah menjadi padang terbuka yang semua lokasinya hampir dipenuhi oleh tumbuhan edelweis, sehingga selama kita berada di lokasi ini, kita akan selalu mencium harumnya bunga edelweiss yang khas. Lokasi ini menyerupai lembah yang dikelilingi oleh kompleks pegunungan dengan puncak-puncaknya yang menjulang. Di lokasi ini juga muncul sumber mata air bagi Sungai Ciparugpug disamping fumarola, solfatara dan sumber air panas yang keluar melalui retakan atau celah bebatuan yang ada di sekitarnya. Bagi para peneliti, Tegal Alun-alun selalu dijadikan sebagai tempat untuk mengamati satwa-satwa liar dan tumbuhan-tumbuhan endemik. Tegal Alun-Alun dan beberapa lokasi lainnya seperti Lawang Angin dan Tebing Soni, juga merupakan lokasi yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk mengabadikan momen-momen penting lainnya seperti pangambilan momen matahari terbit –sunrise yang sangat menakjubkan.
4.    Lembah Ruslan
Lembah Maut (lembah Ruslan) merupakan salah satu lokasi yang dianggap berbahaya bagi pengunjung di gunung ini. Dilembah ini banyak ditemukan bangkai binatang yang mati akibat terjebak gas beracun. Pada tanggal 18 Desember 1924, diberitakan seorang mantri bernama Ruslan terjatuh ke lembah ini dan tak sadarkan diri, beberapa saat kemudian mantri Ruslan dinyatakan meninggal karena menghirup gas CL2. Setelah kejadian meninggalnya mantri Ruslan, lembah ini dinyatakan berbahaya. Dan karenanya, lembah ini kemudian dikenal dan diberi nama dengan sebutan: Lembah Maut atau Lembah Ruslan.

Letusan Gunung
Dalam catatan sejarah, letusan besar pernah terjadi di Gunung Papandayan pada 11 – 12 Agustus 1772. Letusan besar ini menyebabkan kehancuran pada sebagian tubuh gunung ini hingga membentuk kawah tapal kuda membuka ke arah Timur Laut.
Setelah itu, gunung ini mengalami masa tenang kembali sampai 11 Maret 1923 saat kawah Papandayan (kawah Mas) mulai bergejolak kembali hingga 9 Maret 1925. Selama 2 tahun, letusan kecil tidak membahayakan sering terjadi di gunung ini. Letusan yang terjadi pada 11 Maret 1923 ini tercatat berasal dari kawah yang terdapat di Tegal Alun-Alun, yakni berupa letusan lumpur dan batu-batuan sebesar kepala orang yang terlontar hingga kurang lebih 150 meter. Sepanjang tahun 1924 hingga 1925, letusan-letusan kecil terjadi secara bergantian di masing-masing kawah yang berbeda hingga gunung inipun akhirnya memasuki masa istirahat yang cukup panjang sampai letusan besar terjadi kembali pada 11 November 2002.

Si Jangkung
Kamis pagi, akhir November 2006, warga Dusun Stamplat, Desa Panawa, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Garut dihebohkan dengan penampakan tapak kaki raksasa –Bigfoot di lereng Gunung Papandayan. Banyak yang menduga bila di lereng gunung berapi itu ada penghuninya dari golongan buta –raksasa. Sebab, tak sedikit warga di sana bertutur, kerap melihat penampakan si Jangkung –makhluk tinggi besar. Ada juga yang menyebut sebagai tapak binatang mirip kera semacam gorilla, tapi tidak sedikit pula yang berspekulasi bila tapak itu milik manusia raksasa yang selama ini misterius dan menghuni hutan Gunung Papandayan.
Kabar penampakan tapak kaki raksasa yang oleh masyarakat luas disebut Bigfoot itu, dalam waktu singkat, telah menembus batas-batas desa yang hanya bisa dicapai melalui jalan darat dalam kondisi berbatu dan memprihatinkan. Hampir sebagian besar warga Garut dan Jawa Barat mengetahui kabar tersebut. Banyak yang penasaran datang langsung ke lokasi penampakan, tapi tak sedikit yang cukup hanya mendengar cerita, karena sulitnya mencapai lokasi. Rasa penasaran pun melanda para Pejabat Pemda setempat. Mulai dari kepala desa di sekitar kecamatan Pamulihan, camat, sampai pejabat humas Pemkab Garut, turun ke lapangan. Mereka merasa takjub dengan apa yang dilihatnya, meski demikian, banyak yang bertanya-tanya soal kebenaran pemilik tapak kaki buta itu. Banyak warga yang mengusulkan agar pemda membentuk tim khusus untuk menelusuri kebenaran penemuan itu. Namun tidak sedikit yang sebaiknya tidak usah dibesar-besarkan, dan menganggap itu sebagai kejadian alamiah dan pasrah atas kehendak Yang Maha Kuasa. Setelah melalui penelitian, ditemukan setidaknya 49 jejak Bigfoot. Panjang tapak kaki tersebut mencapai 40-46 cm dengan lebar 17-18 cm dan berkedalaman 3-5 cm. Panjang tapak ibu jarinya mencapai 9 cm dengan lebar 7 cm. Sedangkan jarak satu tapak kaki dengan tapak kaki lainnya berkisar antara 145 cm hingga 245 cm. Bila dilihat dari posisinya, seluruh tapak kaki itu mengarah ke bawah, sehingga diduga makhluk raksasa itu berjalan dari lereng gunung mengarah ke perkampungan warga.
Spekulasi seputar penampakan tapak raksasa di lereng Gunung Papandayan, terus berputar. Menurut cerita orang-orang tua di kawasan Desa Panawa, kemunculan makhluk raksasa itu sebenarnya tidak perlu diributkan. Sebab hal tersebut akan terjadi setiap 50 tahun sekali. Boleh dikata, kemunculan makhluk raksasa itu merupakan siklus 50 tahunan. Karena sebelumnya juga pernah terjadi penampakan seperti ini di tahun 1955. Kawasan Pamulihan –tempat ditemukan tapak buta tersebut, memang unik. Di lihat dari nama dusun dan desanya saja, asumsi orang sudah mengarah pada satu hal. Cobalah simak nama-nama seperti Desa Panawa atau Pandawa. Juga ada nama Desa Arjuna dan Desa Srikandi. Nama yang berhubungan dengan dunia pewayangan itu, adalah peninggalan dari nenek moyang mereka. Bila ditilik secara mendalam, tentu ada makna dan latarbelakang sejarahnya. Bahkan dari segi lokasi, desa-desa di kaki lereng Gunung Papandayan itu sangat sulit ditempuh melalui jalan darat. Sarana transportasi darat kondisinya sangat sulit, berkelok-kelok, berbatu dan rawan longsor. Alat transportasi umum pun hanya tiga buah dan tripnya sehari sekali. Tidak heran bila kampung-kampung di kawasan Pamulihan bagaikan terisolasi. Pendeknya, tiga kata menerangkan kawasan itu: gunung, hutan dan perkebunan.
 
Gunung Papandayan, Panenjoan Bujangga Manik.
Bacaan:
Wahyu Wibisana, Lima Abad Sastra Sunda-Sebuah Antologi, Geger Sunten, 2000.




***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar