Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Minggu, 09 Maret 2014

Komunitas Adat Terpencil di Baduy



Kampung Ciboleger; Desa Kanekes; Kecamatan Leuwidamar; Kabupaten Lebak - Provinsi Banten.

Sejak adanya perubahan nomenklatur, dari: Suku Terasing –tahun 1971; Masyarakat Terasing –tahun 1980; dan kemudian menjadi Komunitas Adat Terpencil –tahun 1999, populasi Komunitas Adat Terpencil (KAT) telah tersebar di 30 Provinsi yang hampir mendiami seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan hasil pemutakhiran data, Komunitas Adat Terpencil Remote Indigenous Communities secara nasional sebanyak 229,479 KK yang berada di 2.658 lokasi. Baik keterpencilan geografis, maupun keterpencilan kehidupan sosial; ekonomi; hukum, sehingga kebutuhan sosial dasarnya, seperti: sandang; pangan; pendidikan; kesehatan; dan perlindungan sosial, belum sepenuhnya terpenuhi. Mereka tersebar di 246 Kabupaten; 852 Kecamatan; dan 2.037 Desa, mendiami habitat yang bervariasi, seperti: dataran tinggi; dataran rendah/rawa; pedalaman/pegunungan; dan pesisir pantai/laut.
Data kuantitatif tersebut menunjukkan bahwa jumlah populasi dan persebaran Komunitas Adat Terpencil di Indonesia relatif kecil –bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, namun kondisi permasalahannya mempunyai ‘gaung’ yang besar –karena hal ini tidak terlepas dari masalah kemiskinan pada umumnya.
Secara formal, paradigma pembangunan –yang sebelumnya lebih bersifat sentralistik berubah konsepnya menjadi desentralistik. Pada konsep desentralistik ini, basis pembangunan berada pada daerah Kabupaten/Kota. Namun demikian, kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom masih tetap diakui –terutama mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Empowerment for Remote Indigenous Communities, merupakan bidang tugas yang seringkali menuntut peran Provinsi yang optimal –terutama dalam hal koordinasi dan penjaluran program dari Pusat. Hal ini disebabkan lingkup masalahnya yang terjadi, dapat merupakan kejadian lintas Kabupaten/Kota dan lintas sektor. Adapun peran Kabupaten/Kota sangat menentukan ketepatan sasaran dan keberhasilan pencapaian target sasaran fisik maupun fungsional.
Adanya kebijakan otonomi daerah, dapat merupakan tantangan sekaligus peluang untuk menata kembali sistem pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Kebijakan ini, di samping sebagai respons terhadap aspirasi yang berkembang, juga sesuai dengan trend pembangunan yang lebih bernuansa pemberdayaan regional atau lokal. Implikasinya adalah bahwa kebijakan-kebijakan cetakbiru –blueprint policies yang lebih bersifat top-down akan berkurang dan partisipasi daerah menjadi mainstream perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil pada masa yang akan datang. Dalam era otonomi daerah, pelaksanaan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil lebih bernuansa pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah daerah. Implikasinya adalah bahwa kebijakan, strategi dan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil –yang bertumpu pada pendayagunaan potensi dan sumber daya daerah, akan menjadi fokus program pada masa yang akan datang di daerah –dengan tetap berada dalam kerangka kesatuan pembangunan nasional.

Program Kesejahteraan Sosial Anak bagi Komunitas Adat Terpencil Suku Baduy
Program Kesejahteraan Sosial Anak
Sebutan orang Baduy pada awalnya bukanlah berasal dari warga Baduy sendiri. Penduduk wilayah Banten Selatan yang sudah ber­agama Islam, biasa menyebut ’Baduy’ kepada orang-orang Kanekes yang: tidak beralas kaki; pantang naik kendaraan; pantang sekolah formal; dan suka berpindah­-pindah –seperti halnya orang Badawi di Arab Saudi. Keyakinan masyarakat Baduy bersumber dari ajaran Sunda Wiwitan. Ajaran ini melahirkan ‘pikukuh’ sebagaimana titipan karuhunleluhur. Pikukuh berdasarkan sistem budaya dan sistem religi Sunda Wiwitan inilah yang menyebabkan masyarakat Baduy ‘memproteksi diri’ dari pengaruh modernisasi sekaligus menjadi pedoman perilaku orang-orang Baduy.
Prinsip yang dimiliki dan dijalani oleh masyarakat Baduy, antara lain: tidak membangun permukiman dari bebatuan, semen, genting, paku atau produk industri modern lainnya. Berkali-kali tawaran pembangunan dari Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten, berupa: pembangunan jalan; listrik masuk desa; balai pengobatan; sekolah; hingga pengadaan alat tenun,  ditolak masyarakat Baduy karena dianggap bertentangan dengan ketentuan karuhun dan adat. Apabila ‘puun sudah menimbang dan memutuskan sesuatu, maka keputusan itu pula yang akan dilaksanakan segenap warga Baduy. Akibat penolakan-penolakan terhadap modernisasi di atas, program pemerintah hanya bisa dilakukan sampai perbatasan wilayah Baduy Luar, yaitu: sampai Desa Ciboleger. Puun adalah orang suci keturunan karuhun yang berkewajiban menjaga kelestarian ‘pancer bumi’ dan sanggup menuntun warganya berpedoman pada pikukuh atau ketentuan adat, mutlak sebagai panduan perilaku. Dalam masyarakat Baduy, lembaga adat Baduy dipimpin oleh tiga orang puun. Ketiga pimpinan tertinggi ini berasal dari tiga 'kampung keramat' di Baduy Dalam (kawasan Urang Tangtu), yaitu: Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana.
Penyerahan Buku Tabungan, disaksikan Ayah Mursid (paling belakang).
Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus bagi Komunitas Adat Terpencil (PKS-AMPK KAT) di Kampung Ciboleger; Desa Kanekes; Kecamatan Leuwidamar; Kabupaten Lebak – Provinsi Banten ini, ditujukan kepada 200 anak. Program tersebut bertujuan untuk: pemenuhan hak dasar anak, dan perlindungan terhadap anak dari: penelantaran; eksploitasi; dan diskriminasi, sehingga tumbuhkembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud –khususnya anak-anak masyarakat Baduy yang termasuk dalam Komunitas Adat Terpencil. Pendataan awal yang dilakukan oleh: Satuan Bhakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos); Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK); dan pihak Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Banten, cukup menemui beberapa kendala. Tapi setelah diadakan sosialisasi dan pendekatan secara terus menerus –bahwa program ini sangat bermanfaat bagi anak-anak mereka, maka masyarakat Baduy mulai bisa menerimanya, dan pendampingan oleh Sakti Peksos; LPA Banten; maupun TKSK pun dapat dilaksanakan dengan baik.
Masyarakat Baduy di Bank BRI Rangkasbitung Banten
Sebagaimana perlu diketahui, untuk tahun 2011, Kementerian Sosial RI melalui Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Subdit Anak Memerlukan Perlindungan Khusus untuk Komunitas Adat Terpencil (PKS-AMPK KAT), memperluas jangkauan pelayanannya. Bekerja sama dengan LPA Provinsi Banten, memberikan tabungan Program Kesejahteraan Sosial Anak kepada 200 anak Baduy, Provinsi Banten. Proses pengisian formulir di Bank BRI Rangkasbitung –Jalan Haji Mohammad Iko Jatmiko Rangkasbitung Lebak, dimulai tanggal 12 hingga 21 Desember 2011. Masing-masing anak mendapatkan uang tabungan sebesar Rp 1.500.000,00 untuk satu tahun dengan total keseluruhan sebesar 300 juta rupiah. Dengan tertib para orangtua beserta anak-anaknya mengikuti proses administratif di bank, meliputi: pemeriksaan kelengkapan administrasi; tanda tangan; dan tatacara pengambilan tabungan, sesuai dengan petunjuk dari Kemensos RI.
Sehubungan dengan pelaksanaan PKS-AMPK KAT di Baduy tersebut, maka pada tanggal 14 Januari 2012 Dirjen Rehabilitasi Sosial - Makmur Sunusi Ph.D, didampingi oleh Direktur KSA - DR. Ir. Harry Hikmat, M.Si dan Staf beserta rombongan dari Dinas Sosial Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak yang mewakili Gubernur Banten, LPA Banten, Ketua Wambi (Wadah Masyarakat Badui), KODIM Lebak, para Peneliti Baduy dan Media Massa, melakukan supervisi terhadap pelaksanaan PKS-AMPK KAT, di Kampung Ciboleger; Desa Kanekes; Kecamatan Leuwidamar; Kabupaten Lebak Banten. Rombongan disambut secara adat oleh perwakilan masyarakat Baduy, yaitu: Jaro Dainah –Jaro Pamarentah/Kepala Desa Kanekes; dan Ayah Mursid alias Alim –wakil Jaro Tangtu Cibeo/juru bicara warga Baduy Dalam.
Ayah Mursid alias Alim (kanan), merupakan Wakil Jaro Tangtu Cibeo-Juru Bicara Warga Baduy Dalam.
Jaro Dainah (tengah), sebagai Jaro Pamarentah-Kepala Desa Kanekes
Dalam sambutannya di hadapan 200 anak dan orangtuanya, Makmur Sunusi mengatakan bahwa program ini merupakan bentuk perhatian dari Pusat terhadap masyarakatnya yang mempunyai keunikan dan kekhasan dalam menjaga adat istiadat dan kepercayaan para leluhurnya. Anak-anak masyarakat Baduy pun berhak mendapatkan bantuan untuk pemenuhan hak dasarnya tanpa mengurangi penghormatan terhadap adat istiadat dan kepercayaan yang dianut masyarakatnya dan diharapkan mereka dapat memanfaatkan tabungan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan si anak. Ditambahkanya pula, bahwa program ini juga akan menjawab pertanyaan dari pihak luar negeri tentang perlakuan Pemerintah RI terhadap Komunitas Adat Terpencil. Meskipun baru sebagian kecil saja anak-anak yang mendapatkan bantuan dan pendampingan melalui program ini, tapi hal tersebut sudah merupakan salah satu contoh bentuk perhatian dari pemerintah terhadap masyarakat minoritas (khususnya: komunitas adat suku Baduy).
Rekreasi ke TMII Jakarta, bersama 100 warga Baduy.
Dalam bidang pendidikan, walaupun belum bisa mengakses pendidikan formal,  tapi kini anak-anak di Komunitas Adat Terpencil Baduy tersebut dapat mengakses pendidikan melalui pendidikan non-formal dengan media alam –disesuaikan dengan peraturan adat untuk menjaga kearifan lokal yang ada, berkat bantuan para Pekerja Sosial yang bekerja sama dengan LPA Banten. Selain memberikan pendidikan non-formal di lapangan, Pekerja Sosial pun mampu meyakinkan lembaga adat –dalam acara rekreasi untuk mengajak anak-anak Baduy ke Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Pada hari Minggu 6 Januari 2013, para Pekerja Sosial pendamping anak KAT Baduy; bersama Lembaga Adat Baduy; LPA Banten; dan Dinas Sosial Kabupaten Lebak, membawa 100 anak-anak dampingannya. Tidak hanya sebagai salah satu bentuk reward bagi anak, rekreasi juga merupakan kebutuhan mutlak manusia. Dengan rekreasi, berarti melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang menyenangkan hati yang dapat membangun minat serta dapat menciptakan kembali kesegaran pikiran dan perasaan. Khususnya dalam acara ini, rekreasi merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan non-formal bagi anak-anak. Rekreasi dalam pendidikan, merupakan penunjang proses pendidikan dan salah satu media untuk mencapai tujuan pendidikan dalam menambah atau memperkaya pengetahuan dan wawasan bagi anak-anak Baduy. Dengan mengikuti kegiatan rekreasi, maka anak-anak akan memperoleh tambahan pengetahuan dan wawasan yang tidak diperoleh dari kegiatan mereka sehari-hari di daerahnya. Dengan demikian, anak akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru yang beraneka ragam yang di dapat dari kegiatan tersebut.
Gadis Baduy
Di tengah-tengah warga Baduy

Program Kemensos RI
Ada tiga tahapan yang dilakukan Kemensos dalam penanggulangan Komunitas Adat Terpencil dari kemiskinan yang merupakan rangkaian proses pemberdayaan secara berkesinambungan, yaitu: PERTAMA, penyediaan rumah dan pemberian jaminan hidup; KEDUA, penyediaan sarana sosial dan lanjutan jaminan hidup yaitu penguatan hasil-hasil yang telah dicapai pada tahun sebelumnya dengan asumsi perlu dimantapkan eksistensinya untuk tetap tinggal menetap di lokasi pemukiman; dan KETIGA, kelanjutan upaya-upaya penguatan hasil-hasil yang telah dicapai pada tahun-tahun sebelumnya pada aspek lingkungan dan manusianya dari pola pemberdayaan tersebut.
Kementerian Sosial sendiri, memiliki 10 program unggulan dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat pada tahun 2013. Program-program tersebut, antara lain: (1) Program Keluarga Harapan (PKH); (2) Bedah Kampung; (3) Kelompok Usaha Bersama (KUBE); (4) Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak; (5) Rehabilitasi Sosial dengan Kecatatan; (6) Pelayanan Sosial Lanjut Usia; (7) pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil; (8) Taruna Siaga Bencana (Tagana); (9) Kampung Siaga Bencana (KSB); serta (10) Perlindungan Pekerja Migran Bermasalah.
Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial (PMKS) yang memerlukan perhatian khusus oleh negara, yakni: Komunitas Adat Terpencil. Ada beberapa alasan mendasar mengapa pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil menjadi penting yang dapat mempengaruhi proses pembangunan, yaitu: secara kuantitas, populasi Komunitas Adat Terpencil yang belum tersentuh pembangunan cukup tinggi; keberadaan Komunitas Adat Terpencil akan berkaitan dengan masalah harkat dan martabat sebagai suatu bangsa dan isu Hak Asasi Manusia (HAM); Komunitas Adat Terpencil, belum menggambarkan pencapaian tujuan pembangunan nasional bagi bangsa; dan Komunitas Adat Terpencil akan berkaitan dengan masalah ketahanan nasional –terutama KAT yang mendiami wilayah perbatasan antarnegara.
Sebagai warga negara, Komunitas Adat Terpencil memiliki: hak untuk hidup sejahtera; hak memperoleh pelayanan sosial dasar; hak partisipasi dalam pembangunan; dan hak perlindungan dari berbagai kondisi yang mengganggu, baik secara sosial, budaya, ekonomi, hukum maupun politik. Berbagai hak yang dimiliki Komunitas Adat Terpencil tersebut, perlu mendapatkan perhatian dan perlakukan dari pemerintah secara wajar –sebagaimana perilaku negara dalam memenuhi hak-hak warga negara pada umumnya. Perhatian negara terhadap Komunitas Adat Terpencil ini, merupakan implementasi dari kewajiban negara dalam memenuhi kesejahteraan seluruh warga negaranya.
Berbagai kerajinan masyarakat Baduy

Gambaran sekilas masyarakat Baduy
Komunitas orang Baduy yang mendiami lereng pegunungan Kendeng –Banten Selatan, dengan luas wilayah sekitar 5.101,85 hektare. Secara administratif terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Berkisar 160 km sebelah Barat Kota Metropolitan Jakarta. Masyarakat Baduy terbagi atas tiga kelompok, yakni: tangtu, panamping dan dangka. Meski demikian, pengelompokkan yang sering digunakan oleh masyarakat umum hanya dua, yaitu: Baduy Dalam (padanan untuk tangtu) dan Baduy Luar (padanan untuk panamping dan dangka).
Tahun 2006, populasi penduduk umumnya di dominasi oleh penduduk Baduy Luar yang mencapai 8.688 jiwa. Penduduk Baduy Dalam yang berdiam di tiga kampung keramat berjumlah 1.053 jiwa, terdiri atas: 388 jiwa warga Cikeusik; 507 jiwa warga Cibeo; dan 158 jiwa warga Cikartawana. Populasi penduduk Baduy Dalam, hanya 10,8 % dari keseluruhan penduduk Baduy yang mendiami 56 kampung di Desa Kanekes.
Penghuni tiga ‘tangtu’ di kawasan inti, adalah Urang Kanekes Dalam. Letak kawasan inti tersebut, lebih tinggi secara topograpis dan lebih sakral secara sosial-kultural dibanding kampung-kampung Urang Kanekes Luar. Kelompok Dalam, menaati ‘pikukuh karuhun’ dengan sangat patuh, sedangkan untuk Kelompok Luar boleh dikatakan mengikuti pikukuh karuhun lebih longgar. Oleh karena itu, kampung-kampung luar dapat diibaratkan sebagai ‘sabuk pengaman’ dari tiga tangtu di kawasan inti –zona perlindungan kawasan inti; dan kelompok dalam; serta zona penyaringan pengaruh luar. Kedua jenis pemukiman di Desa Kanekes terikat oleh sistem kekerabatan dan sistem pemerintahan tradisional: ‘tangtu telu, jaro tujuh’.
Disini, kewajiban memenuhi perjanjian yang telah dibuat –antara Kesultanan Banten dan komunitas Kanekes, dulu mengenai hak Kanekes bahwa: tidak ada sawah; sekolah formal; dan masjid di tanah hak ulayatnya, nampak sangat jelas dengan mengingatkan peran sentral komunitas Kanekes dalam perlindungan hutan, penyimpanan air, produksi pangan dan pencegahan potensi konflik politik maupun sosial.
Salah satu tujuan UNESCO yang terlontar dalam Millenium Development Goals dan mempunyai pengaruh besar terhadap penyusunan kebijaksanaan pendidikan Indonesia, adalah gagasan Pendidikan Berkualitas dan Pendidikan Untuk Semua. Dalam konteks Pendidikan Untuk Semua dan komunitas Kanekes, kita wajib mengingat dua hal, yakni: 1) Sistem pendidikan nasional menawarkan tiga jalur pendidikan: formal, non-formal dan informal. Dengan demikian, peserta pendidikan –khususnya masyarakat tradisional-lokal, berhak memilih jalur pendidikannya sesuai kebutuhan dan budaya komunitas tersebut –secara implisit, berhak menolak jalur pendidikan formal. 2) Pada tahun 2005, tercatat satu-satunya peristiwa kriminal yang melibatkan orang Kanekes sebagai pelaku kekerasan dalam sejarah. Selain itu tidak tercatat peristiwa kekerasan, penganiayaan atau tawuran antara individu atau kolektif komunitas Kanekes dengan individu atau kolektif masyarakat non-Kanekes. Menyadari bahwa sanksi hukum Kanekes adalah 'sanksi sosial' bukan 'sanksi penalti', dapat diasumsikan bahwa telah tercipta suasana kondusif dalam kesadaran kolektif maupun individual komunitas Kanekes berdasar solidaritas, perdamaian dan pengendalian yang mencegah terulang perang, sehingga tujuan pokok pendidikan harus mempunyai fungsi untuk memberikan komunitas Kanekes sebuah ‘kompas’ dalam mengorientasikan diri dalam arus deras modernisasi dan globalisasi sesuai tuntutan pikukuh karuhun dengan mempunyai akses ke informasi dan media cetak, penyiaran dan online untuk mencari solusi atas tantangan dari perubahan zaman.
Bertentangan dengan fakta bahwa komunitas Kanekes menolak pendidikan dan kebanyakan individu Kanekes buta huruf, fakta di lapangan menunjuk bahwa banyak individu Kankes bisa membaca, menulis dan menghitung. Ada yang memiliki handphone dan akun facebook, ada yang mengoleksi kartu nama untuk menelpon dan ada yang mempunyai koleksi buku. Hanya, pengetahuan tentang aturan pikukuh karuhun, pemerintahan tradisional, dan pengetahuan yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan eksistensi komunitas Kanekes diutamakan dalam sistem pendidikan informal Kanekes agar mampu menyeimbangkan antara kebutuhan zaman dengan aturan pikukuh karuhun pokok.
Urang Kanekes, mengetahui suatu sistem pendidikan informal yang meneruskan pengetahuan relevan dalam konteks kehidupannya secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Pola pendekatannya adalah: imitasi, saling mengajari sesama warga –papagahan, musyawarah, cerita lisan, dan pelajaran dalam kelompok kecil. Hanya, Urang Kanekes menolak menyelenggarakan pendidikan formal bagi anak-anaknya dengan tidak mengizinkan berdirinya 'bangunan modern' sekolah formal di dalam wilayah tanah hak ulayatnya. Alasan penolakan adalah:
Guru; bangunan; dan jadwal pembelajaran tetap, berbenturan dengan kekerapan kegiatan rutin adat dan memerlukan biaya tetap. Gaya bangunan melanggar pikukuh karuhun, dan tanah akan diubah. Ajaran sekolah berpotensi memicu godaan, dan penyimpangan dari pikukuh karuhun dan hukum wiwitan. Pola kehidupan sederhana diamanatkan, sedangkan pendidikan, mengubah pola kehidupan sederhana mengarah ke persaingan dan kemajuan, sehingga pertahanan wiwitan akan terganggu dan tujuan hidup yang sebenarnya akan terlupakan.
Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa mereka terbuka kepada sistem pendidikan informal dan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan tidak bertentangan dengan pikukuh karuhun. Perangkat kepemimpinan adat, membebaskan warganya secara individu untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan untuk keperluan pribadinya sesuai tuntutan zaman ataupun bersekolah formal di luar Kanekes. Bila warga individu menganggap perlu mempelajari menulis atau menghitung, warga bersangkutan pasti akan mempelajarinya. Tanpa proses itu, merupakan pelanggaran aturan pikukuh karuhun.
Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Tradisional-Lokal, Pasal 14 (1-3), mendukung pilihan Urang Kanekes dalam menolak pendirian sekolah dan sistem pendidikan formal di wilayah tanah hak ulayatnya. Dalam pemaknaan luas, pendidikan merujuk kepada penerusan pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas spesifik kehidupan sehari-hari kepada generasi berikutnya, dan penerusan nilai-nilai sosial, kultural, spiritual dan falsafah secara terus-menerus atau turun-temurun. Peng-arti-an luas ini, telah disetujui oleh UNESCO tahun 1974 dan dirumuskan dalam Pasal 1 (a) pada Rekomendasi Tentang Pendidikan Untuk Pengertian Internasional, Kooperasi dan Perdamaian dan Pendidikan terkait Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar.
Setiap komunitas tradisional-lokal, berhak menentukan tanggungjawab tiap-tiap warganya terhadap komunitas tradisional-lokal (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP, Pasal 35). Setiap komunitas tradisional-lokal beserta setiap warganya, mempunyai hak “untuk menciptakan dan mengendalikan sistem pendidikan dan lembaga penyelenggara pendidikan dalam bahasa mereka, dengan cara yang sesuai dengan kebudayaan belajar-mengajar mereka” dan “semua anak berhak atas pendidikan dalam sistem pendidikan negara tanpa diskriminasi“. Komunitas Kanekes secara keseluruhan dan sesuai pendidikan seumur hidup, berhak “mendapatkan pendidikan sesuai budaya mereka dan disampaikan dalam bahasa mereka sendiri“ –dan diselenggarakan oleh negara.
Dengan kata lain, semestinya negara merancang dan menyelenggarakan sebuah model pendidikan bersama dan untuk komunitas Kanekes yang berparadigma pendidikan dalam arti luas sebagai penerusan keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas spesifik kehidupan sehari-hari kepada generasi berikutnya, dan penerusan nilai-nilai sosial, kultural, spiritual dan falsafah dari komunitas Kanekes.

Penutup
Pendekatan yang dikembangkan dalam pemberdayan Komunitas Adat Terpencil sebaiknya lebih bertumpu pada Pendekatan Harmoni daripada Pendekatan Resolusi Konflik. Upaya yang telah dilakukan melalui ‘enclave’ terhadap kehidupan Komunitas Adat Terpencil telah menjadi polemik, merupakan bukti kegagalan sasaran perubahan struktural dan cenderung konfliktual. Maksud dari pendekatan harmoni, yaitu melakukan kajian secara proporsional antara aspek positif (benefit) dan aspek negatif (resiko), sehingga fokus tim kerja akan mengkaji tantangan ke depan, peluang yang ada, kekuatan/potensi yang ada dan kelemahan yang terjadi. Pemetaan interaksi antara unsur-unsur tersebut akan menghasilkan alternatif strategi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Masing-masing strategi, akan dijabarkan dengan langkah-langkah kongkrit berdasarkan urutan prioritas.
Dalam menghadapi perubahan tata ruang yang semakin pesat di sekitar lingkungan Komunitas Adat Terpencil berada, maka pengelolaan kawasan yang didiami oleh mereka sebaiknya dilakukan dengan sistem zonasi. Keterkaitan kehidupan Komunitas Adat Terpencil dengan lingkungan alam sebagai mata uang dengan dua sisi berbeda, artinya kondisi yang paling diharapkan adalah: satu sisi, statusnya dipertahankan tetap sebagai kawasan yang tidak akan memberikan perubahan berarti dalam kehidupan dan tetap memberikan penghidupan bagi mereka. Dari sisi lain, Komunitas Adat Terpencil tetap mempunyai hak yang sama untuk semakin meningkat kualitas hidup dan kesejahteraannya. Penataan ruang sesuai dengan fungsi zonasi ini, dilakukan dengan melibatkan semua pihak pemangku kepentingan secara kolaboratif dan partisipatif. Opsi pembagian zonasi ini, dengan mempertimbangkan existing condition dan faktor-faktor penyebab kerusakan yang terjadi di berbagai zonasi yang ada di wilayah kawasan dan sekitarnya. Sistem zonasi, diprediksi memberi manfaat yang sangat besar bagi kehidupan Komunitas Adat Terpencil. Sebaliknya, resikonya diprediksi sangat kecil –karena dengan manajemen kolaboratif, konflik-konflik dapat dikurangi bahkan dihilangkan, dan semua pihak dapat keuntungan.
Intensifitas dialog dengan para tokoh di lembaga adat, harus lebih ditingkatkan, dengan terlebih dahulu melepas atribut penilaian stereotip bahwa masyarakat Baduy itu: inferior; terbelakang; atau ‘harus di modernisasi’ –karena tidak sama istilah pembangunan dengan modernisasi.




***

1 komentar: