Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Senin, 10 Maret 2014

Merindukan Daeng di Kota Anging Mamiri



Alkisah, ada seorang wanita yang memendam kerinduan menggunung kepada kekasih hatinya nun jauh di sana. Rasa rindu tersebut, membuat dia tak tenang. Suatu saat, wanita itu berdiri di ujung jendela rumahnya dan melantunkan syair-syair yang berisikan kata sayang dan rindu: ‘Anging Mamiri’. Berharap kepada angin yang berhembus, pesan tersebut sampai kepada sang kekasih hati. Bahkan sebelum tidur, wanita tersebut menepuk-nepuk bantal sambil menyebut nama sang kekasih dan masih berharap angin akan menyampaikan rasa gundah gulananya tersebut. Ajaibnya, beberapa hari setelah sang wanita mengucapkan syair ‘Anging Mamiri’ tersebut, dia pun mendapat kabar bahwa kekasihnya telah tiba dari perantauan dan akhirnya bertemu kembali. Cerita itupun menyebar. Semenjak itu, istilah lagu tradisional suku Bugis ‘Anging Mamiri’ menjadi populer dan erat kaitannya dengan kerinduan.

Pantai Losari
Obyek wisata Pantai Losari berada di jantung Kota Makassar –tepatnya di Jalan Penghibur, jalan ini berada di sebelah Barat Kota Makassar. Jarak dari Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan transportasi kendaraan pribadi maupun umum. Sedangkan dari Bandara Hasanuddin, perjalanan dapat ditempuh dengan waktu 45 menit. Cukup mudah menuju Pantai Losari, banyak Pete-Pete –nama angkutan umum di Makassar yang melewati pantai ini. Selain itu, Bentor –becak motor maupun taksi siap mengantarkan kita menuju pantai ini. Setelah berjalan mendekati arah laut, mulai merasakan ‘ada sesuatu yang aneh’. Bagaimana tidak, katanya: ‘Pantai’, tapi… mengapa tidak ada hamparan pasir di sini. Yang ada adalah sebuah anjungan dengan tulisan: Pantai Losari, tulisan yang cukup besar. Dari daratan, kita langsung menjumpai laut yang dalam –di sini pengunjung dilarang untuk bermain air dan berenang. Losari, pada dasarnya adalah sebuah bentang garis pantai di sisi Barat Makasar. Dahulu, di sepanjang garis pantai ini berderet warung-warung –pantai ini pernah mendapat julukan sebagai pantai yang mempunyai Meja Terpanjang di Indonesia, mungkin juga di dunia. Dalam perjalanan waktu, para pedagang dipindahkan. Hadirlah anjungan Losari di sepanjang garis pantai ini –anjungan yang menjadi batas pantai Laut Sulawesi dengan Kota Makassar. Anjungan Pantai Losari, merupakan ‘bendungan’ yang dibangun pemerintah Makassar di awal-awal Indonesia merdeka. Awalnya ‘bendungan’ itu digunakan oleh masyarakat setempat untuk berniaga hasil laut –tidak heran, jika dulunya ia dikenal sebagai Pasar Ikan. Pada malam harinya, anjungan ini berupa fungsi menjadi pusat jajanan malam. Namun beberapa tahun terakhir, pemerintah Makassar mendesainnya menjadi ruang publik sekaligus destinasi wisata. Melalui Losari, kita bisa melihat budaya orang Bugis-Makassar. Ketika tiba di Pantai Losari, replika perahu Phinisi dan Paraga akan menyambut para pengunjung yang datang ke tempat tersebut. Keberadaan replika Paraga dan Phinisi, seperti hendak mengingatkan generasi muda akan sejarah nenek moyang yang harus terus menerus dijaga dan dilestarikan. Di anjungan ini juga kita dapat belajar tentang sejarah Sulawesi Selatan –khususnya kota Makassar, dengan mengenali tokoh-tokohnya di masa lalu –di anjungan ini terdapat 20 patung berupa wajah-wajah mereka. Ketika kita berjalan sedikit ke luar dari anjungan, di dua bagian Utara dan diujung Selatan terdapat situs benteng dengan karakter yang berbeda. Situs Benteng Somba Opu terdapat di sisi Selatan, sementara di sisi Utara terdapat situs Benteng Port Roterdam –benteng yang menjadi tempat ditawannya Pangeran Diponegoro selama diasingkan itu masih berdiri kokoh. Boleh dikatakan, Benteng Port Roterdam inilah yang menjadi nyawa anjungan Losari. Di Pantai Losari, terdapat ‘Masjid Terapung’ Amirul Mukminin, yang mempunyai arsitektur yang unik untuk kita lihat.
Pantai Losari, Makassar - Sulawesi Selatan.
Replika Perahu Phinisi di Pantai Losari Makassar.
Anjungan Pantai Losari
Lanskap di Anjungan Pantai Losari, Makassar.
Masjid Terapung: Masjid Amirul Mukminin di Pantai Losari.
Keistimewaan Pantai Losari sebenarnya ada pada kemasannya. Namanya laut, sunrise dan sunset adalah momen yang paling penting dan sayang untuk dilewatkan. Tak perlu khawatir soal makanan, di sini banyak pilihan-pilihan kuliner yang siap memanjakan perut kita. Kita dapat merasakan sensasi makanan khas Makassar, seperti: pisang epe –pisang mentah atau muda yang dibakar kemudian di epe atau di pipih dan dicampur air gula merah; pisang ijo; coto Makassar; maupun pallu butung. Tidak lengkap rasanya, jika bermalam di Kota Makassar tanpa meluangkan waktu untuk mencicipi Sop Konro. Sop Konro adalah makanan khas dari Sulawesi Selatan –olahan daging iga tradisional suku Bugis dan Makasar. Iga yang digunakan dalam sop konro, adalah iga sapi atau kerbau. Warna kuahnya bening kehitaman, sangat sedap disantap malam hari –terutama jika ditambahkan sedikit sambal dan jeruk lemon.
Sop Konro Ratulangi di Jalan Sam Ratulangi No. 82 Makassar
Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar - Sulawesi Selatan.
Di Gedung Serbaguna, Makassar.
Di Gedung Kartini, Jalan Masjid Raya Makassar - Sulawesi Selatan.

Ujung Pandang dan Makassar
Nama Ujung Pandang sendiri, adalah nama sebuah kampung dalam wilayah Kota Makassar. Sudah ada, saat Kerajaan Gowa tiba di Semenanjung Selat Makassar –pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, Tunipalangga, yang pada tahun 1545 mendirikan benteng Ujung Pandang sebagai kelengkapan benteng-benteng kerajaan Gowa yang sudah ada sebelumnya, antara lain: Barombong; Somba Opu; Panakukang; dan benteng-benteng kecil lainnya. Di lokasi tersebut banyak sekali ditumbuhi pohon ‘Pandan’ yang tingginya bisa mencapai tujuh meter. Dikarenakan orang Bugis biasa menyebut akhiran ‘an’ menjadi: ‘ang’, maka kata ‘Pandan’ berubah bunyinya menjadi: ‘Pandang’. Jadi saat ditanya di mana lokasinya, orang Bugis jaman dulu menyebut: di Ujung Pandang –di ujung semenanjung selat yang banyak ditumbuhi pandan. Kata Ujung Pandang itupun, kemudian menjadi akrab di telinga warga.
Nama Ujung Pandang, dipakai dari kira-kira tahun 1950-an sampai dengan tahun 2000. Secara resmi, nama Kota Makassar berubah menjadi Ujung Pandang terjadi pada tanggal 31 Agustus 1971 –berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1971. Alasan untuk mengganti nama Makassar menjadi Ujung Pandang, antara lain: karena Makassar adalah nama sebuah suku bangsa –padahal tidak semua penduduk kota Makassar adalah warga dari etnik Makassar. Nama Makassar berasal dari sebuah kata dalam bahasa Makassar: mangkasara, berarti ‘yang menampakkan diri’ atau ‘yang bersifat terbuka’.
Sejak awal, proses perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang, telah mendapat protes dari kalangan masyarakat di ‘Kota Anging Mamiri’ tersebut. Terutama dari kalangan budayawan, seniman, sejarawan, pemerhati hukum dan pebisinis. Bahkan ketika itu, sempat dideklarasikan ‘Petisi Makassar’ oleh: Prof.Dr. Andi Zainal Abidin Farid SH; Prof.Dr. Mattulada; dan Drs.H.D. Mangemba. Nasib kota ‘Daeng’ ini nyaris tak menentu, hingga akhirnya dipenghujung masa jabatan Presiden BJ Habibie, nama Makassar dikembalikan. Dalam konsideran Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 1999, diantaranya menyebutkan: bahwa perubahan itu wujud keinginan masyarakat Ujung Pandang dengan mendapat dukungan DPRD Ujung Pandang dan perubahan ini sejalan dengan pasal 5 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1999, bahwa perubahan nama daerah, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.




***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar