Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Selasa, 11 Maret 2014

Karangan Bunga di Kota Gudeg



Dimasa silam (abad ke-8), Yogyakarta merupakan pusat kerajaan Mataram Kuno yang makmur dan memiliki peradaban tinggi. Namun oleh suatu sebab yang misterius, Kerajaan Mataram Kuno memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur pada abad ke-10. Kemudian, Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram Islam di wilayah ini. Sekali lagi Yogyakarta menjadi saksi sejarah kerajaan besar yang menguasai Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan Mataram Islam ini meninggalkan jejak berupa reruntuhan benteng dan makam kerajaan di Kotagede yang kini dikenal sebagai pusat kerajinan perak di Yogyakarta. Mataram mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu: Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati).

Keraton Yogyakarta
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat –sekarang lebih dikenal dengan nama Keraton Yogyakarta, merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, keraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa –sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di tempat ini, wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Keraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya keraton, dikarenakan tanah tersebut diapit oleh dua sungai –sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867, bangunan Keraton Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik. Keraton yang menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakan Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi ini, memiliki dua loket masuk, yang pertama di Tepas Keprajuritan –depan Alun-alun Utara; dan kedua di Tepas Pariwisata –Regol Keben. Jika masuk dari Tepas Keprajuritan, maka wisatawan hanya bisa memasuki Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil serta melihat koleksi beberapa kereta keraton. Sedangkan jika masuk dari Tepas Pariwisata, maka wisatawan bisa memasuki Kompleks Sri Manganti dan Kedhaton –dimana terdapat Bangsal Kencono yang menjadi balairung utama kerajaan. Jarak antara pintu loket pertama dan kedua tidaklah jauh, wisatawan cukup menyusuri Jalan Rotowijayan dengan jalan kaki atau naik becak.
Keraton Yogyakarta
Lonceng Kyai Brajanala yang berdentang, suaranya tidak hanya memenuhi Regol Keben namun terdengar hingga Siti Hinggil dan Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. Di Sri Manganti, terdengar lantunan tembang dalam bahasa Jawa Kuno yang didendangkan oleh seorang abdi dalem. Suara tembang Jawa yang mengalun pelan, bercampur dengan wangi bunga dan asap dupa, akan menciptakan suasana magis yang melenakan. Di sisi kanan nampak empat orang abdi dalem lain, yang bersiap untuk bergantian nembang. Ada banyak hal yang bisa disaksikan di Keraton Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya atau melihat koleksi barang-barang keraton. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca –yang tersebar di berbagai ruangan tersebut, mulai dari: keramik dan barang pecah belah; senjata; foto; miniatur dan replica; hingga aneka jenis batik, beserta diorama proses pembuatannya.
Ndalem Pujokusuman, Yogyakarta.

Ndalem Pujokusuman
Pendopo ndalem Pujokusuman –yang sekarang menjadi pusat tari tradisional Jogjakarta, dahulu bernama Ndalem Danudiningratan –merupakan tempat tinggal dari GBPH Pujokusumo putra dari Sri Sultan ke-8. Setelah GBPH Pujokusumo menikah, maka oleh ayahnya diberikan ndalem tersebut. GBPH Pujokusumo sendiri sangat menyukai kesenian, terutama tari-tarian. Beliau merupakan pimpinan dari Kridomardawadepartemen tari di keraton Jogjakarta. Di ndalem Pujokusuman, sering diadakan kegiatan tari dan banyak sekali yang mengikuti kegiatan tersebut. Pada tahun 1961 GBPH Pujokusumo wafat, beliau meninggalkan pesan kepada puteranya yaitu KRT.Sasminto Dipura, agar dibuatkan sebuah yayasan atau grup. Sekitar tahun 1962, dibentuklah grup yang dipimpin oleh Romo Sas. Karena begitu banyak peserta dan peminat, maka di bentuklah satu wadah lagi yaitu bernama Panguyuban Kesenian Mardawa Budaya Yogyakarta Pamulangan Beksa Ngayogyakartadipimpin oleh beliau juga. Akhirnya pada tahun 1992 dibentuklah yayasan yang merupakan gabungan dari kedua grup tersebut dan diberi nama oleh Romo Sas sebagai: Yayasan Pamulangan Sasminta Beksa Mardawa. Sekitar tahun 1998, Romo Sas wafat dan mempercayakan yayasan tersebut kepada murid-muridnya. Kini ndalem Pujokusuman sendiri menjadi pusat tari klasik Yogyakarta dan tempat untuk belajar tari-tarian klasik seperti: Bedoyo, Srimpi dan lain-lain. Belajar tari di sanggar tersebut, tidak terbatas untuk orang dewasa saja tapi anak-anak sekolah dasar dan taman kanak-kanak juga bisa belajar tari di sini. Jumlah muridnya sendiri lebih dari 150 orang, dan di ajarkan oleh kurang lebih 14 guru. Banyak juga orang-orang asing yang belajar tari-tari tradisional di ndalem Pujokusuman ini, sehingga ndalem Pujokusuman adalah pusat budaya yang harus tetap dijaga dan dilestarikan.
Perburuan di Malioboro, Yogyakarta.

Malioboro
Malioboro berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti: ‘karangan bunga’ –karena pada jaman dulu ketika keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga. Tak hanya sarat kisah dan kenangan, Malioboro juga menjadi surga perburuan cinderamata yang asyik di jantung Kota Jogja. Berjalan kaki di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki lima, akan menjadi pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan lokal, seperti: blangkon; batik; asesoris; hiasan rotan; perak; kerajinan bamboo; wayang kulit; miniatur kendaraan tradisional; hingga gantungan kunci, semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut bisa dibawa pulang dengan harga yang terbilang murah. Selain menjadi pusat perdagangan, jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini pernah menjadi sarang serta panggung pertunjukan para seniman Malioboro pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka pulalah budaya duduk lesehan di trotoar dipopulerkan, yang akhirnya mengakar dan sangat identik dengan Malioboro.
Patung Kaki di Nol Kilometer, Malioboro - Yogyakarta.

Patung Kaki
Sejumlah wisatawan dapat berfoto ria, pada patung unik di sudut jalan Malioboro –dekat benteng Vredeburg. Patung berwarna kemerah-merahan (oranye), berbentuk kaki manusia yang dibalut akar –namun tanpa badan; tangan; dan kepala, tingginya kurang lebih 6 meter. Kabarnya, patung nyentrik ini dibuat saat digelarnya even Biennale Jogja –tahun 2011 silam. Patung ini memiliki tema: Tropic Effect –simbol cinta lingkungan. Meski matahari bersinar terik, tak menyurutkan semangat para wisatawan untuk mengabadikan momen kenang-kenangan di Patung Kaki ini. Tapi kini, patung tersebut telah dipindahkan. Pemindahan Patung Kaki ‘unik’ di kawasan Nol Kilometer di Daerah Istimewa Yogyakarta oleh pihak UPT Malioboro, menuai gelombang protes. Pemindahan tersebut seiring dengan munculnya isu pornografi dari patung tersebut. Patung unik berbentuk kaki manusia raksasa berwarna kemerah-merahan di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, lenyap dari pemandangan sejak Selasa 21 Januari 2014 dinihari.
Patung Kaki 'unik' di Malioboro, sebelum dipindahkan.

Kuliner
Sejak puluhan tahun lalu, gudeg telah menjadi kuliner Jogja paling populer. Tak hanya sentra gudeg, hampir setiap sudut kota menyajikan masakan berbahan baku nangka muda ini. Masakan lezat berbahan baku nangka muda ini, seolah menjadi ‘makanan wajib’ bagi siapa saja yang sedang berkunjung ke surga wisata di Pulau Jawa ini. Gorinangka muda yang bergetah dibersihkan sedemikian rupa, kemudian dimasak dalam kuah santan bersama bumbu dan rempah-rempah selama berjam-jam. Setelah matang, gori menjadi empuk dan agak manis. Gudeg biasanya disajikan bersama sambal goreng krecekkulit sapi pedas, telur pindang, tahu dan tempe bacem, serta ayam opor atau ayam bacem. Sebagai sentuhan akhir, gudeg disiram areh gurih yang memberikan cita rasa khas yang tidak ada duanya. Sebenarnya ada tiga jenis gudeg yang berbeda: gudeg basah; gudeg kering; dan gudeg manggar. Gudeg basah, disajikan dengan kuah santan nyemek yang gurih dan banyak diburu untuk menu sarapan pagi. Gudeg jenis ini, dapat ditemukan di sepanjang Jalan Kaliurang kawasan Barek; Gudeg Batas Kota (Jl. Adisucipto depan Saphir Square); atau mbok-mbok penjual gudeg di pasar-pasar tradisional. Gudeg kering dimasak dalam waktu yang lebih lama hingga kuahnya mengering dan warnanya lebih kecoklatan, rasanya juga lebih manis. Gudeg jenis ini, bisa tahan hingga 24 jam atau bahkan lebih –jika dimasukkan ke dalam lemari es, sehingga banyak diburu orang sebagai oleh-oleh. Biasanya, penjual mengemasnya dalam: kardus; besekkardus dari anyaman bambu; atau kendil tanah liat. Gudeg manggar –manggar alias bunga kelapa, menghasilkan sensasi kelezatan tersendiri pada sajian kuliner ini. Bunganya terasa crunchy, sementara tangkainya sekilas memiliki rasa mirip jamur tiram. Semakin terbatasnya persediaan manggar, menyebabkan kuliner ini semakin susah ditemukan.
Bakpia Pathok 25, Yogyakarta.
Bakpia dikenal sebagai salah satu kuliner khas kota Jogja –selain gudeg. Setiap musim libur tiba, makanan khas ini menjadi salah satu oleh-oleh wisatawan untuk teman dan sanak saudara di rumah. Bakpia Pathok 25 dikenal luas sebagai salah satu produk kuliner bercitra rasa istimewa dan menjadi legenda kuliner di kota Jogja. Dipandu oleh mbak Tira –salah satu staf Bakpia Pathok 25, wisatawan didampingi untuk melihat proses pembuatan bakpia. Setiap divisi yang menangani proses pembuatan bakpia ini, memiliki tanggunjawab besar dalam menjaga kualitas mutu dan citra rasa istimewa Bakpia Pathok 25. Pada bagian dalam rumah, terdapat sebuah ruangan terbuka –difungsikan sebagai tempat mencampur adonan bakpia. Masih di tempat yang sama, terdapat beberapa meja panjang –difungsikan sebagai landasan pembentukan pola adonan. Selesai pada proses ini, adonan dimasukkan ke dalam oven besar yang menggunakan arang sebagai bara api –untuk menjaga kualitas rasa alami dari bakpia tersebut. Bakpia Pathok 25, dirintis oleh Ibu Tan Aris Nio. Beliau memulai usaha ini dari proses coba-coba, dengan hanya satu orang pegawai saja serta dibantu oleh lima putra-putri beliau, termasuk: Bapak Arlen Sanjaya –kini, pimpinan Bakpia Pathok 25.
Proses Pembuatan bakpia di Bakpia Pathok 25, Yogyakarta.
Bakpia sebenarnya berasal dari negeri Cina dengan nama: Tau Luk Pia –yang memiliki arti ‘kue kacang hijau’. Kue ini mulai diproduksi di kampung Pathuk Yogyakarta, sejak tahun 1948. Pada waktu itu, bakpia masih diperdagangkan secara eceran dan pengemasannya pun masih menggunakan besek –tempat dari anyaman bambu tanpa merk. Peminatnya pun, masih terbatas. Di tahun 1980-an, nama Bakpia Pathok 25 sudah dipatenkan menjadi merk dagang dengan diiringi perubahan kemasan dari besek ke kardus. Di saat yang sama, ide tersebut diikuti dengan munculnya bakpia-bakpia lain dengan merk dagang yang sama dengan ‘nomor berbeda’. Demikian pesatnya perkembangan industri bakpia, hingga menjadi salah satu ciri khas kuliner di kota Jogja hingga sekarang ini. Dengan perjuangan yang gigih pantang menyerah, Ibu Tan Aris Nio mampu menjadikan Bakpia Pathok 25  menjadi makanan khas kota Jogja bercitra rasa istimewa. Keberhasilan beliau, tidak terlepas dari proses regenerasi beliau dalam menjalankan usaha bisnisnya kepada putranya –Bapak Arlen Sanjaya sehingga Bakpia Pathok 25 menjadi besar. Sampai sekarang ini, Bakpia Pathuk 25 memiliki beberapa cabang penjualan resmi.



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar