Evaluasi Program Perlindungan Anak Melalui Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) *
ABSTRAK
Evaluasi Perlindungan Anak Melalui Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) bertujuan mengidentifikasi permasalahan anak pasca pelayanan RPSA. Penelitian dilaksanakan di RPSA Bambu Apus Jakarta, RPSA Satria Batur Raden (milik Kementerian Sosial RI), RPSA Bima Sakti Batu (milik Pemda provinsi Jawa Timur), RPSA Turikale Makassar (milik Pemda Kota Makassar) dan RPSA Muhammadiyah Bandung (milik swasta). Teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan pimpinan, petugas dan Pekerja Sosial RPSA, eks klien dan keluarganya, tokoh masyarakat, guru sekolah dan pengurus panti sosial. Sedangkan FGD dengan pimpinan dan pelaksana RPSA dilakukan dalam upaya menjaring informasi yang berkaitan dengan kelembagaan dan kasus-kasus anak. Studi dokumentasi terhadap file klien dan observasi terhadap kehidupan klien juga dilakukan dalam upaya menjaring informasi kasus-kasus klien. Hasil penelitian pada beberapa kasus anak yang memerlukan perlindungan khusus (CNSP), menunjukkan bahwa pada beberapa anak merasa nyaman setelah berkumpul kembali dengan keluarga, terjadi perubahan perilaku. Namun tidak sedikit anak yang masih mengalami trauma, dendam pada pelaku terutama pada kasus-kasus pelecehan seksual, bahkan ada anak yang masih bekerja pasca pelayanan dari RPSA. Termasuk keluarga yang belum sepenuhnya ”siap” untuk menerima kehadiran anak. Kondisi ini secara tidak langsung memperlihatkan berbagai kekuatan dan kelemahan terkait dengan aspek kelembagaan dan proses pelayanan dari pelayanan awal sampai bimbingan lanjut serta optimalisasi dengan mitra kerja. Untuk itu direkomendasikan perlunya penguatan pada beberapa aspek dalam kelembagaan RPSA, seperti SDM, sarana prasarana, struktur organisasi, serta proses pelayanan dari tahap awal sampai bimbingan lanjut, serta perlunya penguatan keluarga sehingga capaian proses reunifikasi/reintegrasi/referal dapat lebih optimal dan hak-hak anak tetap terjamin.
Kata kunci: perlindungan khusus, hak anak, pasca pelayanan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesejahteraan sosial sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak terkecuali, kesejahteraan sosial bagi anak-anak merupakan bagian yang harus mendapat kesempatan untuk dipenuhi. Kondisi tersebut hanya dapat tercapai, jika kebutuhan material, spiritual, dan sosial anak serta hak-hak anak dapat terjamin sehingga anak dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, yang akhirnya mereka mampu melaksanakan fungsi sosialnya. Untuk itu perlu diciptakan tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar, baik secara rohani, jasmani dan sosial. Usaha kesejahteraan anak, yang selama ini dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok dan terjaminnya hak-hak sebagai seorang anak. Meski pada kenyataannya tidak semua anak memperoleh kesempatan untuk mencapai kesejahteraan atau mengalami hambatan dalam mencapai kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi serta terjamin hak-haknya, sehingga anak menyandang permasalahan kesejahteraan sosial. Upaya memelihara atau mengatasi hambatan dalam mencapai kesejahteraan dimaksud, keterlibatan negara, pemerintah, masyarakat dan keluarga sangat diperlukan. Kementerian Sosial melalui Direktorat Pelayanan Sosial Anak, berupaya mewujudkan kesejahteraan anak melalui berbagai program dan kebijakan terkait dengan pemeliharaan kesejahteraan sosial anak dan pelayanan bagi permasalahan kesejahteraan anak. Salah satunya adalah program penanganan bagi anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus (Children in Need Special Protection/ CNSP) yang dilakukan melalui Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).
Keberadaan RPSA sebagai kepanjangan pemerintah dibentuk untuk menjawab tingginya berbagai permasalahan anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 59. Bahwa negara, pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang diterlantarkan, anak yang berkonflik hukum, anak korban pelecahan seksual dan ekonomi, anak yang menjadi korban penyalahgunaan NAPZA, anak korban penculikan, anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, anak korban perlakuan salah dan penelantaran termasuk anak-anak yang berada dalam situasi darurat serta anak yang berada dalam kelompok minoritas dan terisolasi. Hal tersebut diperkuat dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Meneg PP dan Kapolri tentang Pelayanan Terpadu Korban Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. SKB memberi mandat kepada Kementerian Sosial untuk mendirikan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA). Dalam hal ini RPSA bertugas memberikan penanganan sistematis, terstruktur, terencana dan terintegrasi dengan mengedepankan perspektif korban dan kepentingan terbaik anak. Dalam fungsinya, RPSA sebagai temporary shelter dan Protection Home, memberikan perlindungan, pemulihan, rehabilitasi, advokasi, reunifikasi dan reintegrasi bagi anak yang mengalami tindak kekerasan dan perlakuan salah atau yang memerlukan perlindungan khusus, sehingga kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan partisipasi anak dapat terjamin. Setidaknya keberadaan RPSA, dapat menjawab tekanan dan pengakuan yang kuat tentang implementasi hak-hak anak di Indonesia selain untuk mencegah dan melindungi anak dari tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak anak. Meskipun tidak memiliki angka pasti tentang jumlah anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus, namun dari berita yang dilansir dari berbagai media masa, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, yang dilakukan orang tua atau orang dewasa lainnya, sehingga anak-anak menjadi terlantar, mengalami gizi buruk, dan hidup di jalanan. Selain itu terdapat anak-anak cacat, anak-anak yang harus bekerja siang dan malam, anak-anak korban trafficking yang dijadikan prostitusi dan objek pornografi, anak-anak yang hidup dalam penjara-penjara yang kumuh, kotor dan berdesak-desakan. Data UNICEF Indonesia memperkirakan (2008) terdapat 40.000-70.000 anak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual. Untuk anak yang menjadi korban eksploitasi seksual, diperkirakan angkanya jauh lebih besar dari angka ini. Tingginya frekuensi bencana alam (dan sosial) di Indonesia juga menyebabkan banyak anak harus hidup dalam situasi darurat pasca bencana. Data Depkes (2009) menyebutkan bahwa terdapat 464 anak berusia di bawah 15 tahun positif terinfeksi AIDS yang sebagian besar terinfeksi karena lahir dari ibu yang positif HIV, belum termasuk untuk kelompok usia di atas 15 tahun dan yang terinfeksi karena sebab lain seperti penggunaan narkoba suntik dan hubungan seksual. Data BNN (2006) menunjukkan bahwa 80% dari sekitar 3,2 juta korban penyalahgunaan narkoba, berasal dari kelompok usia muda (remaja/ pemuda). Belum lagi kasus yang baru-baru ini terjadi di Tangerang, pada 3 orang anak; salah satunya adalah anak balita, ditinggalkan ibunya bekerja, sehingga mereka terlantar selama 3 hari 3 malam. Pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang mengalami permasalahan ini, melalui UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2002, Pasal 13 ayat 1, bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. Namun tetap saja anak-anak menjadi korban dari perlakuan salah, dieksploitasi, diterlantarkan, dianiaya (neglect), sebagaimana kasus-kasus tersebut di atas, merujuk mereka yang memperoleh pelayanan di RPSA. Data Direktorat Pelayanan Sosial Anak menyebutkan bahwa saat ini terdapat 15 RPSA yang tersebar di 13 provinsi, 7 RPSA dikelola oleh Dinas Sosial Provinsi, 1 RPSA dikelola masyarakat dan 7 RPSA dikelola oleh Kementerian Sosial. Meskipun demikian, 8 RPSA yang dikelola oleh Dinas Sosial Provinsi dan masyarakat tetap berada dalam pembinaan Kementerian Sosial. Keberadaan RPSA menjadi alternatif pelayanan rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi anak yang mengalami permasalan kesejahteraan sosial, yang selama ini hanya dikenal melalui Panti Asuhan (Renstra Kementerian Sosial 2010 - 2014). Keberadaan anak yang memperoleh pelayanan di RPSA, memberi gambaran bahwa anak-anak tersebut telah memperoleh perlindungan, pemulihan, rehabilitasi, advokasi, reunifikasi dan reintegrasi, yang pada akhirnya ditujukan agar anak dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabatnya, termasuk memperoleh jaminan terhadap hak-haknya. Idealnya, anak-anak pasca pelayanan, kembali berada dalam pengasuhan dan perlindungan keluarga, karena anak memiliki hak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri sehingga anak dapat menjalankan fungsi sosialnya.
Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi; menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Kenyataan di lapangan menunjukkan diantara kasus-kasus pada anak yang memerlukan perlindungan khusus tersebut, sumber permasalahannya bermuara dari dalam keluarga. Sehingga bukan tidak mungkin anak tidak memungkinkan berkumpul kembali dengan orangtua, sehingga keluarga atau kerabat dapat mengambil alih tugas dimaksud, sebagaimana diamanatkan dalam UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 Pasal 26. Namun jika anak, tidak dapat kembali berkumpul dengan keluarga, maka pemisahan dari orangtua atau keluarga dapat terjadi, dengan catatan pemisahan tersebut harus dilakukan setelah melalui aturan hukum yang sah, demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 Pasal 14. Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) sangat dibutuhkan keberadaannya, oleh masyarakat sejalan dengan semakin kompleknya dan meningkatnya masalah anak yang memerlukan perlindungan khusus. RPSA dianggap merupakan model yang dapat memberikan perlindungan kepada anak dari berbagai perlakuan salah yang dilakukan oleh orang dewasa. RPSA memberikan pelayanan sosial kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, dalam bentuk perlindungan sementara dan rumah perlindungan. RPSA juga telah berupaya mengembalikan anak-anak untuk berfungsi sosial, tetap terjamin hak-haknya, serta memberikan perlindungan agar anak tidak kembali memperoleh situasi yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan ancaman, tekanan dan membahayakan fisik, sosial maupun mental anak.
Idealnya anak pasca pelayanan di RPSA, berada kembali dalam pengasuhan dan perlindungan orangtua atau keluarganya. Dalam hal ini ditekankan bahwa orangtua memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi dan menumbuh kembangkan anak. Tepatnya anak selalu berada bersama orangtua atau keluarga sebagai tempat yang pertama dan utama dalam menjalankan kehidupannya, sekalipun anak telah memperoleh pelayanan dari RPSA. Permasalahannya adalah tidak semua anak-anak pasca pelayanan di RPSA, dapat berkumpul dan kembali ke keluarga, karena sumber masalah berada di dalam keluarga itu sendiri. Informasi awal dari hasil penjajagan diperoleh gambaran bahwa terdapat anak-anak yang di referal ke panti asuhan, atau pondok pesantren, ternyata mereka melarikan diri dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Bahkan ada diantaranya anak yang diketemukan kembali di jalanan, kemudian di referal ke panti asuhan, namun anak tersebut justru tidak kembali ke panti asuhan sebagai lembaga rujukan RPSA. Sementara anak-anak yang telah kembali ke keluarganya belum merasakan aman dan nyaman karena kondisi sosial ekonomi keluarga itu sendiri yang terbatas.
Oleh karena itu penelitian ini akan mengevaluasi program perlindungan anak melalui RPSA, khususnya pada anak-anak pasca pelayanan di RPSA, baik yang berada di keluarga maupun di lembaga. Menurut informasi dari Direktorat Pelayanan Sosial, bahwa pada tahun 2010 telah dilakukan penelitian tentang proses pelayanan di RPSA, oleh Save Children.
Maka penelitian tentang evaluasi Program Perlindungan Sosial Anak melalui RPSA yang dilaksanakan oleh Puslitbang Kessos, akan difokuskan pada anak-anak pasca pelayanan, dengan menitikberatkan pada anak-anak yang berada di dalam keluarga atau di lembaga kesejahteraan sosial. Diharapkan penelitian akan bermanfaat bagi Kemsos khususnya bagi Direktorat Pelayanan Sosial Anak, subdit Perlindungan untuk bahan masukan bagi peningkatan pelayanan anak melalui RPSA. Bagi Direktorat Pemberdayaan Keluarga, penelitian ini diharapkan sebagai masukkan bagi program pemberdayaan keluarga, dimana anak menjadi bagian dari program dimaksud. Selain itu penelitian ini dilakukan sebagai wujud peran aktif Badan Litbang Kessos Kemsos terhadap Agenda Strategis Penelitian dan Pengembangan Lintas Sektoral di Bidang HAM; tahun 2007-2012, khususnya pada kelompok rentan anak dan remaja. Dalam pemahaman proses pertolongan pekerjaan sosial penelitian ini difokuskan pada aspek termination and evaluation yakni melihat perubahan yang terjadi pada anak pasca pelayanan RPSA.
B. Perumusan Masalah
Kondisi anak pasca pelayanan ini dipengaruhi oleh proses pelayanan yang dilakukan oleh RPSA, termasuk bagaimana RPSA mempersiapkan keluarga atau keluarga pengganti, dalam rangka reunifikasi/reintegrasi/referal. Dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan terjadi hambatan-hambatan dan dukungan yang dialami oleh keluarga asal, keluarga pengganti maupun dari lembaga terkait lainnya serta RPSA itu sendiri dalam mencapai tujuan pelayanan. Berdasarkan hal tersebut diajukan sejumlah pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi anak pasca pelayanan RPSA
2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelayanan RPSA
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Memperoleh gambaran tentang kondisi anak pasca pelayanan RPSA
b. Mengidentikasi faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelayanan RPSA
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan masukan untuk penyempurnaan program perlindungan sosial anak melalui RPSA terkait dukungan keluarga (family Support).
Bagi Direktorat KSA.
b. Sebagai bahan masukan bagi pengembangan RPSA dalam memberikan pelayanan kepada anak yang memerlukan perlindungan khusus.
D. Kerangka Konseptual
1. Evaluasi Program
Evaluasi program adalah serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang, yang bertujuan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan selanjutnya. Menurut Suharsimi Arikunto (2004:1) evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan. Menurut Worthen dan Sanders (1979) evaluasi adalah mencari sesuatu yang berharga (worth). Sesuatu yang berharga tersebut dapat berupa informasi tentang suatu program, produksi serta alternatif prosedur tertentu. Karenanya evaluasi bukan merupakan hal baru dalam kehidupan manusia sebab hal tersebut senantiasa mengiringi kehidupan seseorang. Seorang manusia yang telah mengerjakan suatu hal, pasti akan menilai apakah yang dilakukannya tersebut telah sesuai dengan keinginannya semua.
Sedangkan menurut Stufflebeam dalam Worthen dan Sanders (1979: 129) evaluasi adalah: process of delineating, obtaining andproviding useful information for judging decision alternatives. Dalam evaluasi ada beberapa unsur yang terdapat dalam evaluasi yaitu: adanya sebuah proses (process) perolehan (obtaining), penggambaran (delineating), penyediaan (providing) informasi yang berguna (useful information) dan alternatif keputusan (decision alternatives).
Evaluasi yang dikembangkan oleh Stufflebeam dalam Aman (2009) merupakan salah satu contoh model evaluasi ini yang paling sering dipakai oleh evaluator. Model ini terdiri dari 4 komponen evaluasi sesuai dengan nama model itu sendiri yang merupakan singkatan dari Context, Input, Process dan Product (CIPP).
Evaluasi konteks (context evaluation) merupakan dasar dari evaluasi yang bertujuan menyediakan alasan-alasan (rationale) dalam penentuan tujuan (Baline R. Worthern & James R Sanders:1979) Karenanya upaya yang dilakukan evaluator dalam evaluasi konteks ini adalah memberikan gambaran dan rincian terhadap lingkungan, kebutuhan serta tujuan (goal).
Evaluasi input (input evaluation) merupakan evaluasi yang bertujuan menyediakan informasi untuk menentukan bagaimana menggunakan sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan program. Evaluasi proses (process evaluation) diarahkan pada sejauh mana kegiatan yang direncanakan tersebut sudah dilaksanakan. Ketika sebuah program telah disetujui dan dimulai, maka dibutuhkanlah evaluasi proses dalam menyediakan umpan balik (feedback) bagi orang yang bertanggungjawab dalam melaksanakan program tersebut. Evaluasi Produk (product evaluation) merupakan bagian terakhir dari model CIPP. Evaluasi ini bertujuan mengukur dan menginterpretasikan capaian-capaian program. Evaluasi produk menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi pada input. Dalam proses ini, evaluasi produk menyediakan informasi apakah program itu akan dilanjutkan, dimodifikasi kembali atau bahkan akan dihentikan.
Penelitian evaluasi yang menggunakan model CIPP (Context - input - process - product), dikembangkan oleh Stufflebeam, memiliki keunikan yaitu: pada setiap tipe evaluasi terkait pada perangkat pengambil keputusan (decision) yang menyangkut perencanaan dan operasional sebuah program. Keunggulan model CIPP memberikan suatu format evaluasi yang komprehensif pada setiap tahapan evaluasi yaitu tahap konteks, masukan, proses, dan produk. Untuk memahami hubungan model CIPP dengan pembuat keputusan dan akuntabilitas dapat diamati pada visualisasi sebagai berikut:
Tipe Evaluasi | Konteks | Input | Proses | Produk |
Pembuat Keputusan | Obyektif | Solusi strategi desain prosedur | Implementasi | Dihentikan Dilanjutkan Dimodifikasi Program Ulang |
Akuntabilitas | Rekaman Obyektif | Rekaman pilihan strategi desain | Rekaman proses aktual | Rekaman pencapaian dan keputusan ulang |
Evaluasi konteks mencakup analisis masalah yang berkaitan dengan lingkungan program atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan. Berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu.
Stufflebeam dalam Aman (2009) menyatakan evaluasi konteks sebagai fokus institusi yang mengidentikasi peluang dan menilai kebutuhan. Suatu kebutuhan dirumuskan sebagai suatu kesenjangan (discrepancy view) kondisi nyata (reality) dengan kondisi yang diharapkan (ideality). Dengan kata lain evaluasi konteks berhubungan dengan analisis masalah kekuatan dan kelemahan dari obyek tertentu yang akan atau sedang berjalan. Evaluasi konteks memberikan informasi bagi pengambil keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan on going.
Selain itu, konteks juga bermaksud bagaimana rasionalnya suatu program. Analisis ini akan membantu dalam merencanakan keputusan, menentapkan kebutuhan dan merumuskan tujuan program secara lebih terarah dan demokratis. Evaluasi konteks juga mendiagnostik suatu kebutuhan yang selayaknya tersedia sehingga tidak menimbulkan kerugian jangka panjang. Evaluasi input meliputi analisis personal yang berhubungan dengan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia, alternatif-alternatif strategi yang harus dipertimbangkan untuk mencapai suatu program. Mengidentikasi dan menilai kapabilitas sistem, alternatif strategi program, desain prosedur untuk strategi implementasi, pembiayaan dan penjadwalan. Evaluasi masukan bermanfaat untuk membimbing pemilihan strategi program dalam menspesifikasikan rancangan prosedural. Informasi dan data yang terkumpul dapat digunakan untuk menentukan sumber dan strategi dalam keterbatasan yang ada. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana rencana penggunaan sumber-sumber yang ada sebagai upaya memperoleh rencana program yang efektif dan efisien.
Evaluasi proses merupakan evaluasi yang dirancang dan diaplikasikan dalam praktik implementasi kegiatan. Termasuk mengidentifikasi permasalahan prosedur baik tatalaksana kejadian dan aktivitas. Setiap aktivitas dimonitor perubahan-perubahan yang terjadi secara jujur dan cermat. Pencatatan aktivitas harian demikian penting karena berguna bagi pengambil keputusan untuk menentukan tindak lanjut penyempurnaan. Disamping itu catatan akan berguna untuk menentukan kekuatan dan kelemahan atau program ketika dikaitkan dengan keluaran yang ditemukan. Tujuan utama evaluasi proses seperti yang dikemukakan oleh Worthen and Sanders (1973), yaitu:
a. Mengetahui kelemahan selama pelaksanaan termasuk hal-hal yang baik untuk dipertahankan,
b. Memperoleh informasi mengenai keputusan yang ditetapkan, dan
c. Memelihara catatan-catatan lapangan mengenai hal-hal penting saat implementasi dilaksanakan.
Evaluasi produk merupakan kumpulan deskripsi dan“judgement outcomes” dalam hubungannya dengan konteks, input, dan proses, kemudian diinterprestasikan harga dan jasa yang diberikan (Stufflebeam and Shinkeld:1986).
Evaluasi produk adalah evaluasi mengukur keberhasilan pencapaian tujuan. Evaluasi ini merupakan catatan pencapaian hasil dan keputusan-keputuasan untuk perbaikan dan aktualisasi. Aktivitas evaluasi produk adalah mengukur dan menafsirkan hasil yang telah dicapai. Pengukuran dikembangkan dan diadministrasikan secara cermat dan teliti. Keakuratan analisis akan menjadi bahan penarikan kesimpulan dan pengajuan saran sesuai standar kelayakan. Secara garis besar, kegiatan evaluasi produk meliputi kegiatan penetapan tujuan operasional program, kriteria-kriteria pengukuran yang telah dicapai, membandingkannya antara kenyataan lapangan dengan rumusan tujuan, dan menyusun penafsiran secara rasional.
2. Anak dan Permasalahannya.
a. Kebutuhan dan hak-hak Anak
Semua anak adalah aset bangsa, itulah ungkapan yang bermula dari pemikiran anak sebagai objek dan subjek yang padanya melekat atribut seperti tunas bangsa, generasi penerus, penerima tongkat estapet pembangunan, pemimpin masa depan dan sebagainya. Berangkat dari pemikiran tersebut, kepentingan yang utama untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupan anak harus memperoleh prioritas yang sangat tinggi. UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Lain lagi dengan UU No. 25/1997 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 ayat 20 menyebutkan bahwa ‘anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun’.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud anak adalah seseorang yang berusia 0 - 18 tahun. Terlepas perbedaan tentang batasan usia. Pada dasarnya anak masih rentan dan memerlukan terpenuhinya jaminan kebutuhan dasar (basic need) yang berimplikasi terhadap perkembangan anak, baik fisik, intelektual dan perkembangan sosial-emosional. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar di atas, pertanda sense of security anak terancam dalam arti potensi untuk menjadi ‘anak rawan’ menjadi lebih besar dan issue sentral ‘lost generation’ menghadang di depan. Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar anak dapat tumbuh dan berkembang adalah sebagai berikut:
1) Kebutuhan fisik meliputi: pangan/gizi dan perawatan kesehatan dasar (imunisasi, pemberian ASI, penimbangan badan, pengobatan bila sakit), papan/pemukiman yang layak dan sandang
2) Kebutuhan emosi/kasih sayang; kekurangan kasih sayang ibu pada tahun-tahun pertama kehidupan mempunyai dampak negatif terhadap tumbuh kembang
3) Kebutuhan akan stimulasi mental (pengembangan kepribadian) seperti: kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral etika dan produktivitas.
Selain terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar anak, juga hak-hak anak perlu terpenuhi. Pada Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tercantum hak-hak anak meliputi:
1) Hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4)
2) Nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5)
3) Beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orangtua (Pasal 6)
4) Mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya sendiri (Pasal 7 ayat 1)
5) Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial (Pasal 8)
6) Memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal 9 ayat 1)
7) Anak yang menyandang cacat memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 ayat 2)
8) Menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan (Pasal 10)
9) Istirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11)
10) Anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12)
11) Dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan (a) diskriminasi (b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; (c) penelantaran; (d) kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; (e) ketidakadilan; dan (f) perlakuan salah lainnya (Pasal 13 ayat 1)
12) Diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14)
13) Memperoleh perlindungan dari: (a) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; (b) pelibatan dalam sengketa bersenjata; (c) pelibatan dalam kerusuhan sosial; (d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan (e) pelibatan dalam peperangan. ((Pasal 15)
14) Memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 ayat 1)
15) Memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal 16 ayat 2)
16) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16 ayat 3)
17) Anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: (a) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; (b) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan (c) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 ayat 1)
18) Anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17ayat 2)
19) Anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18)
Di dalam Konvensi Hak Anak, terkandung empat prinsip umum (general principle) tentang hak-hak anak yang harus diperhatikan, seperti:
1) Non-Diskriminasi. Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.
2) Yang terbaik bagi anak (best interests of the child) bahwa “dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan pertama” (pasal 3 ayat 1 KHA)
3) Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (the right tolife, survival and development) Artinya “Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan” (pasal 6 ayat 1). Negara negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak” (pasal 6 ayat 2 KHA).
4) Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child), maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
Melihat posisi anak yang begitu penting, maka upaya panjang untuk peningkatan kualitas tumbuh kembang anak berarti pula peningkatan kualitas sumber daya manusia di masa depan. Terjaminnya pemenuhan kesehatan, gizi dan pendidikan pada masa anak menentukan banyak aspek kehidupan termasuk kondisi kesehatan, intelektualitas, prestasi dan produktivitas dikemudian hari, pada masa remaja dan dewasa. Namun pada kenyataannya tidak semua anak mempunyai kesempatan yang sama dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-haknya. Banyak diantara mereka yang mengalami resiko tinggi tidak tumbuh dan berkembang secara sehat, mendapatkan pendidikan yang terbaik karena kondisi keluarga miskin, orangtua bermasalah, lingkungan yang tidak aman, yang menyebabkan anak diterlantarkan atau diabaikan (neglect children) dan diperlakukan salah (child abuse), yang akhirnya tidak dapat hidup secara layak. Meski dalam hal ini juga tergantung dari tingkat kerentanan atau resiko anak, yang akan mempengaruhi faktor intervensi.
b. Pelecehan Anak/child abuse
Batasan child abuse adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan atau kelalaian orangtua atau pengasuh lainnya yang berpotensi membahayakan, atau mengancam anak dalam bentuk atau penganiayaan anak. Sebagian besar pelecehan anak terjadi di rumah, dan hanya sebagian kecil saja pelecehan terjadi di sekolah, atau masyarakat dimana anak tinggal. Batasan lain menyebutkan bahwa pelecehan yaitu perbuatan yang dengan sengaja mengakibatkan luka fisik pada seorang anak, atau sebagai salah satu bentuk perampasan kebutuhan dasar anak yang dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak, ketidakmampuan dan kematian anak.
Tinjauan dari hak anak, menyatakan bahwa pelecehan adalah setiap perbuatan yang merendahkan derajat atau nilai hakiki dan martabat anak sebagai seorang manusia.
Menurut Journal of Child Abuse and Neglect, (USA) penganiayaan anak-anak atau child abuse adalah "setiap tindakan orangtua atau pengasuh yang menyebabkan kematian, membahayakan fisik atau emosional yang serius, tindakannya beresiko dan menimbulkan bahaya serius terutama akibat dari pelecehan atau eksploitasi seksual".
Definisi tersebut, menekankan bahwa anak yang mendapat pelecehan, pada dasarnya bertujuan agar anak menghilang dari keluarganya dan/atau memperlakukan anak yang mengarah pada tindak pidana. Ada empat kategori utama pelecehan anak:
1) Penelantaran Anak (Neglect Children)
Anak Terlantar merupakan masalah ’klasik’ dan menjadi sumber bagi masalah anak lainnya yang mencakup anak yatim piatu, anak yatim, dan anak piatu, anak yang tidak/kurang mampu baik sebagai akibat sosial maupun ekonomi.
Penelantaran adalah orang dewasa yang gagal bertanggung jawabdan menjamin berbagai keperluan memadai, termasuk kebutuhan fisik (seperti menyediakan makanan, pakaian, atau kebersihan yang cukup), emosional (memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan mendaftarkan anak ke sekolah), atau medis (kegagalan mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
Menurut UU No. 4 Tahun 1979 menyatakan bahwa anak terlantar sebagai anak yang orangtuanya ‘karena suatu sebab, tidak mampu memenuhi kebutuhan anak,’ sehingga anak menjadi terlantar. Menurut UU No. 23 Tahun 2002, menyatakan bahwa anak terlantar, yakni anak yang kebutuhannya tidak terpenuhi secara wajar, baik kebutuhan fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Biasanya masalah anak terlantar terkait dengan masalah kemiskinan.
2) Kekerasan Fisik (Physical Abuse)
Kekerasan fisik adalah agresi fisik pada seorang anak oleh orang dewasa, dalam bentuk meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, menarik telinga atau rambut, menusuk, menimbulkan memar, tersedak atau gemetar seorang anak. Gemetar seorang anak dapat menyebabkan sindrom bayi terguncang, yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan otak, cedera difus aksional, dan kekurangan oksigen, yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, menggelembung atau fontanels tegang, sesak napas, dan pupil melebar. Transmisi racun pada anak melalui ibunya (seperti sindrom alkohol janin) dapat dianggap penganiayaan fisik. Tindak kekerasan pada anak menjadi urusan hukum jika menimbulkan luka fisik, cedera serius atau kematian. Perbeda antara perlakuan mendisiplinkan anak dengan tindak kekerasan sering tidak jelas perbedaannya. Penggunaan kekerasan terhadap anak-anak sebagai tindakan mendisiplinkan anak, dianggap ilegal di berbagai negara di seluruh dunia, meski pada beberapa negara berlaku umum dan diterima secara sosial.
3) Pelecehan Seksual (Child Sexual Abuse)
Pelecehan seksual pada anak adalah bentuk pelecehan oleh orang dewasa atau anak yang lebih tua. Bentuk pelecehan seperti meminta anak melakukan aktivitas seksual, mempertontonkan alat kelamin pada anak, menampilkan pornografi pada anak, melakukan kontak seksual dengan anak-anak, melakukan kontak fisik dengan alat kelamin anak, menampilkan kemaluan tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak sebagai obyek pornografi. Kebanyakan anak-anak yang menjadi korban baik perempuan maupun laki-laki, pelakunya berasal dari keluarga terdekat, seperti saudara-saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu; babysitter/pengasuh, atau tetangga, orang asing yang berada di sekitar rumahnya.
4) Pelecehan Psikologis (Psycological Abuse)
Dari semua bentuk pelecehan, maka pelecehan emosional adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Bentuknya bisa berupa pemberian nama panggilan, ejekan, merusak benda miliknya, menyiksa hewan peliharaannya, mengkritik berlebihan atau menuntut yang berlebihan atau tidak sesuai dengan kemampuan, memotong komunikasi, dan pelabelan terus menerus atau menghina. Korban pelecehan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar, atau berkelahi kembali dengan menghina pada pelaku.
Penyebab pelecehan
Fenomena pelecehan pada anak merupakan hal yang kompleks dengan penyebab ganda. Faktor penyebab penganiayaan pada anak sangat penting diketahui untuk mengatasi masalah pelecehan anak. Faktor penyebab timbulnya pelecehan:
Faktor Orangtua:
1) Ketidakharmonisan dalam rumah tangga bukan hanya disebabkan oleh perselingkuhan, tetapi bisa ketidakcocokkan atau kesalahfahaman antara suami dan istri, yang berdampak pada perlakuan orangtua terhadap anak-anak mereka. Orangtua yang mengalami perselisihan/konflik dalam perkawinan memiliki kecenderungan bahwa mereka sebagai pelaku pelecehan secara fisik,
2) Penyalahgunaan zat adiktif, dapat menjadi faktor utama kekerasan pada anak. Hasil penelitian menemukan bahwa lebih dari dua pertiga kasus penganiayaan orang tua terhadap anak, terlibat dengan masalah penyalahgunaan zat. Secara khusus penelitian ini menemukan bahwa ada hubungan antara alkohol (zat adiktif) dan kekerasan fisik, dan antara kokain dengan pelecehan seksual.
3) Pengangguran dan kesulitan keuangan keluarga berkorelasi dengan tingkat pelecehan pada anak. Kondisi sosial ekonomi keluarga menjadi hal yang paling menonjol sebagai penyebab banyaknya anak-anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya.
4) Sejarah pelecehan sebelumnya atau pengalaman buruk orangtua semasa kecil.
Faktor kerentanan anak diperlakukan pelecehan dan penelantaran:
1) Usia dan kapasitas anak termasuk faktor kecacatan, anak yang tidak dikehendaki, ketidakmampuan anak memenuhi harapan orangtua.
2) Anak-anak terpisah dari orang tua /pengasuh, sehingga anak tidak mendapatkan dukungan atau kehadiran orangtua
3) Anak-anak dalam situasi hidup yang beresiko; area lampu merah, di jalanan
4) Lingkungan hidup anak yang tidak stabil
Faktor lingkungan (sosial, budaya, dan ekonomi) yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak.
1) Ide-ide sosial dan budaya yang tidak sesuai termasuk praktek-praktek tradisional dan keagamaan yang berbahaya. Adanya mitos, kepercayaan, budaya setempat yang mengabaikan hak-hak anak;
2) Kemiskinan struktural dan kultural;
3) Lemahnya sistem dukungan masyarakat dan pemerintah, seperti kebijakan pemerintah maupun hukum yang kurang sensitif terhadap anak;
4) Masalah pengangguran;
5) Standar kesejahteraan yang sangat buruk;
6) Maraknya pengaruh media, pornography.
Dampak Pelecehan
Dampak pelecehan pada anak sangat bervariasi, tergantung pada jenis perlakuan. Sebuah studi (2006) menemukan bahwa anak-anak yang mengalami pelecehan seksual dan emosional sangat terkait dengan gejala depresi pada saat mereka dewasa. Pelecehan seksual berakibat pada gejala depresi, kecemasan, keterasingan, dan iritasi limbik (bagian otak). Namun perlu diingat bahwa korban pelecehan pada anak-anak, diklaim akan menderita berbagai masalah kesehatan fisik dikemudian hari. Beberapa laporan menunjukkan bahwa anak yang dapat diidentifikasi menderita beberapa jenis penyakit, seperti sakit kepala kronis, perut, panggul, atau nyeri otot tanpa alasan. Meskipun gejala tersebut, tidak dapat didiagnosis memiliki hubungan langsung dengan perlakuan salah pada masa kecil, tetapi karena berbagai penyebab lain yang bukan akibat pelecehan.
1) Anak-anak dengan riwayat pengabaian atau kekerasan fisik akan berisiko pada masalah psikiatris, atau disorganized attachment style pola kelekatan yang tidak teratur. Pola tersebut dikaitkan dengan masalah atau gejala disosiatif, kecemasan, depresi, dan gejala acting-out. Sebuah penelitian oleh Dante Cicchetti menemukan bahwa 80% dari bayi yang mengalami penyiksaan dan penganiayaan menunjukkan gejala pola kelekatan yang tidak teratur (disorganized attachment style). Saat mereka dewasa atau menjadi orang tua, maka mereka akan menderita post traumatic stress disorder (PTSD), gejala disosiatif, dan kembali melakukan kekerasan terhadap anak. Hal tersebut menimbulkan kesulitan, saat dihadapkan dengan pemenuhan kebutuhan bayi dan anak-anak, mengalami kesulitan penyesuaian normatif, yang pada gilirannya mengandung konsekuensi negatif terhadap anak-anak mereka terutama dalam perkembangan sosial-emosionalnya. Meskipun orang tua mengalami kesulitan-kesulitan dalam pengasuhan anak, maka intervensi psikososial bisa efektif, setidaknya pada beberapa kasus, dengan mengubah cara berpikir orang tua tentang anak-anak mereka.
2) Anak-anak yang mengalami pelecehan fisik cenderung menderita patah tulang, terutama tulang rusuk, Anak yang di mengalami penyalahgunaan dan penelantaran pada beberapa kasus, menyebabkan kegagalan dalam pembentukkan atau pertumbuhan otak, sehingga perkembangannya mengalami gangguan (De Bellis & Thomas, 2003). Gangguan dalam kematangan otak memiliki konsekuensi jangka panjang bagi kemampuan kognitif, bahasa, dan kemampuan akademik (Watt-Inggris, Fortson, Gibler, Hooper, & De Bellis, 2006).
3) Pelecehan emosional (verbal) berkorelasi kuat dengan munculnya ekspresi kemarahan dan sifat permusuhan dibandingkan dengan akibat dari tindak kekerasan lainnya. Pelecehan emosional erat hubungannya dengan gejala disosiatif. Akibat dari pelecehan emosional dapat mengganggu keterikatan dengan orang lain, kecenderungan menyalahkan diri sendiri (self blame), merasa tidak berdaya, dan perilaku sangat pasif.
4) Pengaruh pelecehan seksual pada anak, dapat menimbulkan rasa bersalah, dan menyalahkan diri sendiri, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan kekerasan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), mengalami masalah harga diri, disfungsi seksual, penyakit kronis, kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi, trauma, kecemasan, dan gangguan mental lainnya (seperti gangguan belajar/borderline, gangguan identitas, kecenderungan untuk kembali menjadi korban di masa dewasa, bulimia nervosa)
5) Anak-anak yang mengalami pelecehan dan penelantaran anak saat masih muda, maka cenderung menjadi anak nakal, sebagai pelaku tindak kriminal atau kejahatan pada saat dewasa.
3. Fungsi Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari Ayah, ibu dan anak serta bebarapa orang lain yang masih terikat dalam hubungan darah dan saling ketergantungan atau membutuhkan satu sama lain. Setiap anggota keluarga mempunyai peranannya masing-masing. Ayah sebagai kepala keluarga berperan melindungi istri dan anak-anaknya. Seorang ayah juga berperan sebagai pengambil keputusan. Ibu sebagai istri berperan melindungi dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Anak bertugas untuk berbakti kepada orangtua dan menjalankan segala petunjuk-petunjuk atau perintah yang telah diberikan orangtua agar bisa menjadi anak yang membanggakan. Secara alamiah, anak diasuh dan dibesarkan dalam suatu keluarga yang memiliki orangtua lengkap sebagai pengasuh utama yang menyediakan berbagai sarana dan dukungan bagi perkembangan anak. Kematian orangtua merupakan salah satu kondisi utama yang memungkinkan anak pada akhirnya ditempatkan di luar keluarga aslinya salah satunya di panti asuhan. Namun demikian, bentuk pelembagaan dari pengasuhan anak ini tidak terlepas dari resiko terhadap perkembangan anak. Salah satunya adalah segi kelekatan (attachment) anak dengan pengasuhnya yang menjadi dasar bagi perkembangan psikologis anak selanjutnya. Selain itu, pengalaman perpisahan anak dengan pengasuhnya serta tingkat kematangan anak dalam memahami perpisahan dengan pengasuh utamanya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi anak untuk dapat beradaptasi dengan penempatannya di lembaga pengasuhan anak. Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan setiap keluarga agar bisa terbentuk keluarga yang harmonis:
a. Fungsi Pendidikan; Orangtua sebagai anggota keluarga berfungsi untuk mendidik anak-anak, dengan menyekolahkan mereka sampai ke jenjang yang tinggi. Selain pendidikan formal, keluarga juga bisa memberikan didikan informal di luar sekolah. Hal ini dilakukan agar kelak mereka bisa menjadi anak-anak yang berguna bagi keluarganya sendiri maupun Bangsa dan Negara.
b. Fungsi Religius. Keluarga juga berfungsi memperkenalkan agama atau keyakinan kepada anak-anak sejak mereka masih kecil. Orangtua wajib menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anak mereka untuk bekal kehidupan setelah di dunia ini. Karena harus kita ingat bahwa tidak selamanya manusia hidup di dunia.
c. Fungsi Ekonomi; Fungsi ekonomi ini harus dijalankan oleh kepala keluarga. Ayah sebagai kepala keluarga wajib untuk bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Namun, di zaman emansipasi wanita sekarang ini tidak jarang ada ibu-ibu yang turut membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja sebagai wanita karier.
d. Fungsi Sosialisasi; Keluarga mempersiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Sebagai makhluk sosial, kita pasti saling membutuhkan satu individu dengan individu yang lain, oleh karena itu, keluarga mempersiapkan anak agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dengan cara menanamkan nilai-nilai moral yang baik dan memberikan contoh etika-etika yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.
e. Fungsi Perlindungan; Dalam hal ini setiap anggota keluarga wajib memberikan perlindungan kepada anggota keluarga yang lain. Agar mereka merasa aman, nyaman, dan terlindungi. Karena jika dalam keluarga sendiri saja merasa tidak aman, kemana lagi anggota keluarga mencari perlindungan?
f. Fungsi Biologis; fungsi ini dijalankan untuk meneruskan keturunan, agar terbentuk generasi penerus yang bisa mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada dalam keluarga.
Keluarga menurut Zastrow (2006) memiliki fungsi-fungsi penting yang akan membantu memelihara keberlangsungan dan stabilitas masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut adalah :
a. Replacement of the population
Setiap masyarakat memiliki beberapa sistem untuk pergantian anggotanya. Didalam prakteknya, semua masyarakat menganggap bahwa keluarga sebagai suatu unit untuk memproduksi anak-anak. Masyarakat memberikan hak dan kewajiban kepada pasangan-pasangan untuk melakukan reproduksi didalam unit keluarga. Hak dan kewajiban ini membantu memelihara stabilitas masyarakat walaupun mereka mendefinisikannya dalam bentuk yang berbeda.
b. Care of the young
Anak-anak memerlukan perawatan dan perlindungan setidaknya sampai usia pubertas. Keluarga merupakan institusi utama untuuk pengasuhan anak-anaknya. Masyarakat modern telah mengembangkan institusi pendukung untuk membantu dalam merawat anak-anak, seperti pelayanan medis, day care centers, program pelatihan bagi orang tua, dan residential treatment centers.
c. Socialization of new members
Untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif, anak-anak harus disosialisasikan pada budaya. Anak-anak harus diperkenalkan pada bahasa, mempelajari nilai-nilai sosial dan adat istiadat, cara berpakaian dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga memainkan peranan utama didalam proses sosialisasi ini. Di dalam masyarakat modern, beberapa kelompok lain dan sumber-sumber dilibatkan dalam proses sosialisasi ini, seperti sekolah, mass media, peer groups, polisi, bioskop dan buku serta materi tertulis lainnya yang berpengaruh sangat penting.
d. Regulation of sexual behavior
Kegagalan dalam mengatur perilaku seksual akan menghasilkan pertentangan diantara individu-individu yang disebabkan oleh kecemburuan dan eksploitasi. Setiap masyarakat memiliki peraturan yang mengatur perilaku seksual didalam unit keluarga, misalnya tabu untuk melakukan
incest dan hubungan seksual diluar pernikahan.
e. Source of affection
Kebutuhan akan rasa sayang, dukungan emosional dan penghargaan yang positif dari orang lain, seperti senyuman, penguatan dan dorongan untuk mencapai prestasi. Keluarga merupakan sumber penting untuk mendapatkan rasa sayang dan pengakuan karena anggota keluarga akan saling menghargai satu sama lainnya dan memperoleh kepuasan emosional dan sosial dari hubungan yang terjalin antara keluarga. Selain fungsi-fungsi di atas, ada juga fungsi yang tak kalah pentingnya yaitu fungsi memberikan kasih sayang, perhatian, hiburan. Dengan terbentuknya keluarga yang harmonis maka akan timbul kebahagiaan, sedangkan keluarga yang tidak harmonis akan menimbulkan banyak masalah-masalah. Implementasi fungsi keluarga, dalam kaitannya dengan perlindungan anak, maka perlu mempertimbangkan pengasuhan kontinum anak, dimana dukungan keluarga menjadi bagian yang sangat penting dalam proses menjamin upaya perlindungan anak. Bahkan dalam kasus tindak kekerasan dan penelantaran pada anak, maka pengasuhan oleh anggota keluarga terdekat atau pengasuhan alternatif lain menjadi hal yang perlu diprioritaskan dibandingkan dengan memasukan anak ke dalam suatu lembaga pengasuhan. Berikut beberapa alternatif yang dapat dipilih:
a. Pengasuhan oleh anggota keluarganya/kerabat (extended family member)
b. Pengasuhan oleh anak yang lebih tua (kakak), sering menjadi kasus anak yang mengepalai Sebuah Keluarga (Child Headed Household)
c. Keluarga Asuh Spontan (spontaneous fostering); Bentuk pengasuhan ketika anak secara spontan diasuh oleh keluarga dari lingkungan/komunitas yang sama dari mana anak itu berasal
d. Penempatan dalam Keluarga Asuh (Foster Placement)
Pengasuhan alternatif ini menjadi sangat penting sebagai upaya mengoptimalkan manfaat konsep keluarga, kerabat dalam tradisi/budaya masyarakat dan merupakan bagian pemenuhan kesejahteraan anak. Terutama, menjaga kesinambungan ikatan batin, identitas, dan budaya anak, sebagai cara “alami” menyediakan dukungan bagi anak dalam sistem keluarganya, serta mendorong kerabat yang menjadi pengasuh memiliki komitmen yang lebih kuat dan berjangka panjang terhadap anak yang diasuhnya. Harga diri keluarga lebih terpelihara, karena anak tidak diserahkan kepada pihak lain dan keutuhan keluarga relatif lebih terpelihara.
4. Perlindungan Anak
Menurut hukum internasional dan hukum Indonesia anak memiliki hak khusus, Negara dan pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi dan penelantaran. Tidak terkecuali masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak dari berbagai bentuk tindak pelecehan dan penelantaran anak. Khususnya peran pemerintah atau negara dalam perlindungan anak, dilakukan secara sistemik, yaitu melalui Sistem Kesejahteraan Anak dan Keluarga. Sistem tersebut berlangsung melalui suatu rangkaian pengasuhan secara kontinum (Technical Guide: Social Welfare System; 2009), yang dirancang dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial anak. Kegiatannya dilakukan secara berkelanjutan mulai dari tingkat primer, sekunder dan tertier. Dalam hal ini layanan perlindungan anak berada pada tingkat tertier, yang bersifat layanan atau intervensi individual, termasuk dukungan pada keluarga dan pengasuhan di luar rumah yang dilakukan secara intensif. Kegiatan dimaksud terselenggara secara berkesinambungan, dengan kegiatan sebelumnya yakni peningkatkan kemampuan keluarga dalam memenuhi tanggung jawab mereka dan intervensi awal sebagai target dalam penyelenggaraan pengasuhan kontinum (Continum Care) serta kegiatan pendidikan, informasi dan sesitisasi pada masyarakat sebagai kegiatan primer. Pengasuhan kontinum mencakup beberapa kegiatan pokok sbb:
a. Intervensi Primer, yang diarahkan pada seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan kemampuan masyarakat dalam mengasuh dan memastikan keselamatan anak-anak. Kegiatan ini mencakup pola perubahan sikap dan perilaku, mendorong penggunaan metode-metode pendisiplinan selain hukuman fisik dan pemahaman mengenai dampak kekerasan pada anak.
b. Intervensi sekunder; atau pelayanan intervensi dini, yang ditujukan pada anak dan keluarga rentan atau yang beresiko mengalami kekerasan atau penelantaran. Pelayanan intervensi dini ditujukan pada keluarga yang diketahui terbiasa dengan kekerasan guna mengubah keadaaan tersebut sebelum kebiasaaan tersebut menyebabkan dampak buruk terhadap anak.
c. Intervensi tersier, untuk merespon keadaaan dimana seorang anak mengalami resiko berat ataupun mengalami kekerasan, perlakuan salah, penelantaran dan eksploitasi dengan cara apapun. Hal itu memerlukan kontinum intervensi yang mencakup intervensi sukarela atau yang diprakarsai masyarakat dalam kasus yang agak berat (mediasi, konseling, dan pemberian nasehat, serta pemantauan oleh masyarakat), maupun intervesi wajib oleh negara jika anak telah mengalami atau beresiko mengalami masalah berat.
Sistem Kesejahteraan Sosial Untuk Anak-anak dan Keluarga:
Pelaksanaan sistem kontinum pelayanan di atas memerlukan pendekatan yang proaktif maupun yang reaktif dengan proses, prosedur dan pelayanan yang jelas untuk:
1) mengidentifikasi dan memberikan dukungan yang sesuai untuk anak dan keluarga rentan, dan
2) pelaporan, penilaian, perencanaan intervensi dan penanganan kasus untuk anak yang telah mengalami kekerasan (abuse) dan penelantaran.
5. Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA)
Sesuai Pedoman RPSA (Dit Pelayanan Sosial Anak, 2007) pemahaman RPSA dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pengertian RPSA adalah lembaga yang memberikan perlindungan kepada anak yang membutuhkan perlindungan khusus dalam bentuk:
1) Temporary Shelter, yaitu unit pelayanan perlindungan pertama yang bersifat responsif dan segera bagi anak-anak yang mengalami tindak kekerasan dan perlakuan salah, atau yang memerlukan perlindungan khusus.
2) Protection Home; yaitu unit pelayanan perlindungan lanjutan dari Temporary Shelter yang berfungsi memberikan perlindungan, pemulihan, rehabilitasi, dan reintegrasi bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus sehingga anak dapat tumbuh kembang secara wajar.
b. Sistem Pelayanan RPSA menggunakan pendekatan manajemen kasus, yang menekankan pada pemecahan kasus perkasus, waktu penanganan yang fleksibel, prosedural, dilakukan oleh pekerja sosial yang berkompeten, adanya keterkaitan dan dukungan dari profesi lainnya serta penggunaan berbagai sumber. Pendekatan manajemen kasus ini didasarkan pada pertimbangan keunikan setiap kasus yang membutuhkan penanganan secara khusus. Tujuan umum pelayanan RPSA adalah terlindunginya anak-anak dari situasi terburuk sehingga dapat kembali kepada kehidupan yang wajar sesuai hak-haknya.
c. Tujuan umum RPSA adalah untuk melindungi anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus agar mendapatkan hak-haknya secara wajar. Sedangkan tujuan khusus adalah:
1) menampilkan kembali keberfungsian sosialnya sehingga dapat melaksanakan peran-perannya sesuai dengan situasi dan relasi sosial yang dihadapinya;
2) memulihkan kondisi normal mental anak yang terganggu akibat tekanan atau trauma;
3) mengembangkan relasi sosial dengan orang-orang yang terganggu akibat tekanan atau trauma;
4) menemukan lingkungan dan situasi kehidupan yang mendukung keberfungsian sosial, dan mencegah terulangnya kembali permasalahan yang dihadapi anak.
d. Prinsip Pelayanan
1) Non Diskriminasi;
2) Kepentingan terbaik anak;
3) Menghormati pandangan anak;
4) Mengutamakan hak anak akan hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang;
5) Kerahasiaan.
e. Fungsi Pelayanan meliputi:
(1) tanggap darurat;
(2) perlindungan;
(3) rehabilitasi;
(4) advokasi; dan
(5) reunifikasi dan reintegrasi.
f. Proses Pelayanan
Proses pelayanan RPSA di Temporary Shelter dan Protection Home terlihat pada bagan sebagai berikut:
Pelayanan di Temporary Shelter maksimal 30 hari meliputi:
1) Pertolongan pertama; dilakukan saat penjangkauan atau penerimaan klien seperti kesehatan, tempat tinggal, pendampingan dan pelayanan kebutuhan dasar
2) Pendekatan awal yang terdiri dari penerimaan, registrasi dan identifikasi awal
3) Asesmen; penelaahan dan pengungkapan masalah berdasarkan data yang telah dikumpulkan.
Pelayanan dalam Protection Home maksimal 6 bulan melalui proses rencana intervensi, pelaksanaan intervensi, evaluasi dan terminasi, yang selanjutnya dilakukan reunifikasi/reintegrasi/referal.:
1) Reunifikasi adalah mempertemukan dan menyatukan klien kepada orangtua, anggota keluarga, atau kerabat, untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan. Keluarga asli adalah target pertama dalam reunifikasi ini. Jika tidak memungkinkan maka dialihkan kepada kerabatnya dan bentuk-bentuk alternatif pengasuhan lainnya yang berbasis keluarga. Tujuan reunifikasi adalah agar klien dapat hidup menyatu dalam keluarganya, atau kerabat, atau bentuk alternatif pengasuhan lainnya yang berbasis keluarga sehingga dapat tumbuh kembang secara wajar.
2) Reintegrasi adalah penyatuan kembali klien dengan masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi klien, termasuk dengan sistem kekerabatan, lembaga pendidikan, sistem kesejahteraan sosial, perkawanan sebaya, dan seterusnya. Tujuan reintegrasi adalah agar klien bisa kembali hidup dimasyarakat dan tumbuh kembang secara wajar.
3) Referal/rujukan adalah kegiatan pengalihan pelayanan klien ke lembaga layanan lanjutan lain, yang dibutuhkan dalam penanganan dan pemenuhan hak anak, karena pelayanan yang dibutuhkan tidak tersedia atau sudah selesai di RPSA. Proses rujukan dilakukan oleh petugas dengan menyiapkan form yang tersedia, membawa surat tugas, alat dokumentasi dan akomodasi.
E. Definisi Operasional
1. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang diekploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
2. Pasca pelayanan: kondisi setelah anak yang memerlukan perlindungan khusus di RPSA baik dalam bentuk temporary shelter atau protection home, telah menjalani reunifikasi/reintegrasi/referral, di keluarga, kerabat atau di lembaga kesejahteraan sosial.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi menggunakan model CIPP dengan empat kerangka penting dalam melakukan evaluasi program Perlindungan anak melalui Rumah Perlindungan Anak (RPSA). Aspek yang akan dilihat pada penelitian ini adalah produk dari hasil pelayanan RPSA yakni kondisi anak pasca pelayanan dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek konteks, masukan (input) dan proses pelayanan anak di RPSA. Metode evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang relevan untuk melihat gambaran faktual kondisi anak pasca pelayanan RPSA yang dikaitkan dengan kondisiawal dan proses pelayanan anak di RPSA. Karena itu penting dalam penelitian ini sajian data dan informasi yang komprehensif dan mendalam akan berbagai hal yang menyangkut kondisi anak pasca pelayanan RPSA.
2. Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa di lokasi terpilih telah didirikan RPSA. Lokasi terpilih juga mewakili RPSA yang didirikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat/Organisasi Sosial dan didasarkan atas penunjukan Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Berdasarkan pertimbangan tersebut lokasi terpilih meliputi:
No | Provinsi | Nama dan Lokasi RPSA | Kepemilikan |
1 | DKI Jakarta | RPSA Bambu Apus Jakarta | Kemensos |
2 | Jabar | RPSA Muhammadiyah Bandung | Swasta/Masyarakat |
3 | Jateng | RPSA Satria Batu Raden Purwokerto | Kemensos |
4 | Jatim | RPSA Bima Sakti Batu | Dinsos Provinsi |
5 | Sulsel | RPSA Turikale Makassar | Dinsos Kota |
3. Sumber Data
Penelitian ini diarahkan untuk menggali data dan informasi dari pelbagai sumber yang relevan dan dibutuhkan guna meyakinkan analisa hasil temuan dan rekomendasi kebijakan/program. Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, pemilihan informan menggunakan teknik purposive, tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus sesuai kekhususan masalah penelitian.
Penelitian ini difokuskan pada upaya-upaya mengidentifikasi kondisi anak pasca perlindungan di RPSA dan sistem klien yang mempengaruhinya dalam upaya mendalami keunikan 5 kasus disetiap lokasi penelitian. Untuk memperoleh gambaran kondisi anak pasca perlindungan RPSA, pola pengasuhan serta dukungan bagi anak dan keluarga, dengan informan terdiri dari:
a. Anak yang pernah mendapatkan pelayanan di RPSA tahun 2010, dengan spesifikasi kasus.
b. Keluarga Asal/Keluarga Pengganti dimana anak memperoleh perlindungan.
c. Tokoh Masyarakat sekitar dimana anak berada.
d. Lembaga Kesejahteraan Sosial dimana anak memperoleh pelayanan pasca perlindungan di RPSA.
e. Pengelola RPSA, Pekerja Sosial, Sakti Peksos, untuk memperoleh informasi tentang kebijakan, program, kegiatan dan proses reunifikasi/reintegrasi/referal.
Berdasarkan hasil lapangan pilihan kasus didasarkan atas jenis kasus-kasus yang ada di RPSA. Berikut rincian dan jumlah kasus yang menjadi sasaran penelitian RPSA:
Tabel 1 Jenis Kasus RPSA
No | Nama dan Lokasi RPSA | Jenis Kasus | Jumlah |
1 | RPSA Bambu Apus DKI Jakarta | 1. Pemerkosaan/Pelecehan Seksual; 2. Kabur/Melarikan Diri; 3. Trafficking Anak; 4. Anak Jalanan. | 1 kasus 2 kasus 1 kasus 1 kasus |
2 | RPSA Muhammadiyah Bandung | 1. Pemerkosaan/Pelecehan Seksual; 2. Anak Terlantar; 3. Child Abuse (psikis dan seksual); 4. Anak Jalanan. | 2 kasus 1 kasus 1 kasus 1 kasus |
3 | RPSA Satria Batur Raden Purwokerto | 1. Pemerkosaan/Pelecehan Seksual; 2. Anak Terlantar. | 4 kasus 1 kasus |
4 | RPSA Bima Sakti Batu | 1. Pemerkosaan/Pelecehan Seksual; 2. Trafficking. | 4 kasus 1 kasus |
5 | RPSA Turikale Makassar | 1. Anak Terlantar (kekerasan fisik); 2. Anak Terlantar; 3. Eksploitasi Ekonomi. | 2 kasus 2 kasus 1 kasus |
4. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen
a. Wawancara Kualitatif
Penelitian ini menggunakan atau menggabungkan dua pendekatan dasar dari wawancara kualitatif (E. Kristi Purwandari; 1998:73), yaitu:
1) Wawancara konvensional yang informal; proses wawancara dilakukan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Dalam situasi ini informan diwawancari mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang diwawancarai sehingga kealamiahan jawaban bersifat apa adanya dapat diungkapkan.
2) Wawancara tidak berstruktur dengan pedoman umum, untuk menggali dan mendapatkan informasi tentang semua aspek yang berkaitan dengan masalah penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang hanya memuat garis besar (keynote) dari pertanyaan yang akan diajukan sehingga proses wawancara dapat lebih dikembangkan.
b. Partisipasi Observasi, dimana peneliti melakukan pengamatan langsung untuk memperoleh data tentang hal-hal yang mungkin tidak dapat diungkapkan pada saat wawancara. Observasi langsung dilaksanakan dengan cara mengamati langsung aktivitas-aktivitas anak dalam keluarga, masyarakat dan lingkungannya termasuk lingkungan sekolahnya.
c. FGD dilakukan untuk mengumpulkan informasi dan pendalaman data yang diperoleh melalui hasil wawancara melalui diskusi dengan pengelola dan pelaksanan pelayanan RPSA.
d. Studi Kepustakaan/Dokumentasi, berupa data-data yang diperoleh dari catatan/tulisan/laporan yang pernah dibuat yang berhubungan dengan anak-anak yang memperoleh pelayanan di RPSA, maupun anak-anak yang masuk dalam kelompok perlindungan khusus. Semua data hasil wawancara dan pengamatan (observasi) sehari-hari dicatat dengan cermat dan serinci mungkin dan menjadi catatan lapangan atau field notes.
Untuk menjamin kevalidan dan agar data tidak tercecer maka digunakan alat perekam, baik berupa tape recorder maupun kamera digital untuk mengabadikan persitiwa-peristiwa yang erat kaitannya dengan kehidupan anak-anak dan keluarganya serta lingkungannya, sepanjang informan atau masyarakat mengijinkan. Hasil penelitian ini akan disajikan dalam Forum Pembahasan hasil sementara penelitian daerah dalam upaya revisi data dan informasi, sekaligus menjaring berbagai informasi yang belum diperoleh di lapangan. Forum ini melibatkan pengelola RPSA, Instansi Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota, Kepolisian dan LSM.
5. Analisis Data
Kondisi anak-anak pasca pelayanan RPSA dianalisa secara kualitatif. Analisa dikaitkan dengan kondisi awal, proses pelayanan, kondisi pada akhir pelayanan dan kondisi saat ini. Analisa pasca pelayanan akan dilihat melalui indikator-indikator yang didasarkan pada tujuan khusus RPSA, yakni:
a. Terjaminnya kebutuhan dasar anak;
b. Terjaminnya kesehatan anak (pertumbuhan fisik anak meningkat);
c. Terjaminnya hak anak (identitas anak/ akte dan pendidikan);
d. Mampu memecahkan masalah;
e. Kondisi psikososial anak sehat (Lebih ceria, tidak tertekan, lebih percaya diri, mampu berkomunikasi dan menjalin relasi dengan orang-orang terdekat, bermain dengan teman sebaya).
Analisa ini bersifat dinamis serta peka terhadap waktu dan kejadian yang dialami anak-anak baik di masa lalu maupun yang terjadi saat proses penelitian berlangsung. Sehingga sangat penting bagi peneliti untuk menguraikan dan menjelaskan kehidupan atau kondisi anak-anak pasca pelayanan di RPSA, termasuk keluargadan lingkungan masyarakat serta perkembangan pemenuhan hak anaknya.
G. Langkah-Langkah dan Jadual Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Pertemuan penyamaan persepsi
b. Penyusunan rancangan
c. Konsultasi dengan konsultan/pakar
d. Penyusunan rancangan oleh tim peneliti
e. Penyusunan instrumen
f. Pembahasan rancangan dan instrumen dengan melibatkan unit teknis
g. Penyempurnaan rancangan dan instrumen oleh tim peneliti
h. Pengurusan ijin penelitian ke Depdagri
i. Uji coba validitas instrumen studi
j. Penyempurnaan instrumen
2. Tahap pengumpulan data
a. Pertemuan koordinasi persiapan dan pemantapan petugas pengumpulan data di daerah tim peneliti dengan pendamping daerah
b. Wawancara mendalam dengan informan
c. FGD
d. Penyusunan draft laporan sementara sebagai bahan pembahasan laporan hasil sementara provinsi
e. Pembahasan hasil penelitian sementara di provinsi
3. Tahap pengolahan dan analisa data
a. Pertemuan konsultasi
b. Editing, coding dan entry data
c. Analisa data
4. Penyusunan laporan hasil penelitian
a. Pertemuan konsultasi dalam rangka penyusunan laporan
b. Penyusunan laporan sementara.
c. Pembahasan laporan
d. Penyempurnaan laporan
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 tahun dengan jadual kegiatan sebagai berikut:
No | Kegiatan | Bulan | |||||||||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | ||
1 | Pengumpulan Bahan | | | | | | | | | | | | |
2 | Studi Literatur | | | | | | | | | | | | |
3 | Penyusunan Rancangan | | | | | | | | | | | | |
4 | Pembahasan Rancangan | | | | | | | | | | | | |
5 | Penyusunan Instrumen | | | | | | | | | | | | |
6 | Ujicoba Instrumen | | | | | | | | | | | | |
7 | Penyempurnaan Instrumen | | | | | | | | | | | | |
8 | Pengumpulan Data | | | | | | | | | | | | |
9 | Pengolahan Data | | | | | | | | | | | | |
10 | Penyusunan Draft Laporan | | | | | | | | | | | | |
11 | Seminar Hasil Penelitian | | | | | | | | | | | | |
12 | Penyempurnaan Laporan | | | | | | | | | | | | |
13 | Penggandaan Laporan | | | | | | | | | | | | |
H. Tim Peneliti
Penelitian ini dilaksanakan oleh Tim Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badiklit, Departemen Sosial, dengan susunan sebagai berikut:
Konsultan : 1. Prof. DR. Agus Suradika, MPd
2. Drs. Binsar Siregar, MPsi
Ketua Tim : Drs. Nurdin Widodo, MSi
Sekretaris : Dra. Alit Kurniasari, MPM
Anggota : 1. Drs. Anwar Sitepu, MPM
2. Yanuar Farida Wismayanti, S.ST, MA
3. Moh Sabeni, AKS, MSi
4. Haryanto, S.ST
5. Ibnu Hasyim, S.Sos
Sekretariat : 1. Wawan Irawan 2. Mikwarni
I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Evaluasi Perlindungan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus melalui Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) terdiri dari 4 Bab, terdiri dari
1. Bab I berisi Pendahuluan yang membahas Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Konseptual, Definisi Operasional, Metode penelitian, Langkah-langkah dan Jadual Penelitian, Tim Peneliti dan Sistematika Penulisan.
2. Bab II bersisi Hasil Penelitian yang membahas gambaran kasus-kasus anak pasca pelayanan dan kelembagaan RPSA.
3. Bab III berisi Pembahasan yang menguraikan kondisi anak yang mendapat pelayanan RPSA, faktor pendukung dan penghambat.
4. Bab IV berisi tentang Kesimpulan dan Rekomendasi.
BAB II
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Kasus-kasus Anak Pasca Pelayanan
Kasus-kasus anak pasca pelayanan di RPSA, melalui penelusuran di 5 (lima) RPSA, hasilnya cukup bevariasi, sebagai anak yang memerlukan perlindungan khusus, maka kasusnya terdiri dari kasus-kasus:
1. Anak terlantar dan menggelandang di jalanan karena tidak betah dengan lingkungan rumah, kurang perhatian dari orangtua kemudian melarikan diri dari rumah, meski belum menjadi anak jalanan murni, karena keburu tertangkap oleh razia Satpol PP.
2. Anak jalanan yang mengamen di jalanan (on the street) untuk menghidupi keluarganya, serta anak yang benar-benar hidup dijalanan, namun mengalami permasalahan hukum, sehingga perlu keterlibatan RPSA dalam penanganannya.
3. Anak (bayi) yang hampir diperjual belikan (menjadi korban trafficking) karena tidak diinginkan oleh ibunya kemudian dititipkan ke salah satu Panti Asuhan.
4. Anak yang menjadi korban kekerasan psikologis, seperti anak yang di bullying teman-temannya di sekolah, kemudian hendak bunuh diri dan lari ke jalanan.
5. Anak yang suka mencuri uang dan meski sudah “dipukul” dengan ikat pinggang oleh ayahnya, namun anak tetap mencuri.
6. Anak yang diperkosa oleh ayah tiri dan anak cacat yang diperkosa orang dewasa lainnya yang berada di lingkungan sekitar anak.
Menariknya dari hasil penelurusan kasus-kasus tersebut, ditemukan bahwa anak-anak korban pelecehan seksual di RPSA Batur Raden Purwokerto dan Bima Sakti Batu, jumlah kasusnya cukup menonjol. Sementara di RPSA, lainnya banyak berkisar pada anak-anak terlantar secara psikologis yang berimplikasi pada anak mencari kehidupan dengan menggelandang di jalanan. Meski ada diantaranya anak yang sengaja turun ke jalan untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya karena ketidakhadiran ayah di rumah.
Meski secara kelembagaan, kelima RPSA telah berupaya melakukan proses pelayanan sesuai dengan Standar Operasional Pelayanan (SOP), namun pada kenyataannya masih terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan maupun kelembagaannya. Faktor-faktor yang berpengaruh, seperti organisasi RPSA yang berbeda-beda, kapasitas SDM yang kurang memadai dan sarana prasasana RPSA dimana belum semua RPSA memiliki rumah aman bagi anak-anak yang membutuhkan. Kondisi dimaksud sangat perperan dalam proses pelayanan pada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus sehingga berdampak pada kondisi anak pasca pelayanan. Pada kondisi anak pasca pelayanan ditemukan beberapa anak yang mengalami kehidupan lebih baik daripada sebelumnya, namun juga ada diantaranya yang masih memerlukan penanganan lanjutan agar anak dapat hidup dan berfungsi secara optimal. Intervensi lanjutan tidak hanya ditujukan pada anak-anak sebagai eks klien RPSA semata, namun juga perlu dukungan bagi penguatan keluarga, orangtua serta terhadap lingkungan sekitar, dimana anak berada, termasuk pada kapasitas RPSA sebagai pelaksana proses pelayanan. Di bawah ini akan digambarkan kondisi awal anak saat masuk ke RPSA, proses pelayanan yang diberikan RPSA, untuk memulihkan kondisi fisik dan psikologis anak, sampai kondisi akhir anak saat hendak dikembalikan (reunifikasi) dengan keluarga, direintegrasi dan direferal ke lembaga sosial, hingga kondisi anak saat ini atau pasca pelayanan.
1. RPSA Bambu Apusa. Kasus N (P), usia 11 tahun, sering kabur dari rumah
1) Riwayat Kasus: N, menjadi klien RPSA atas rujukan dari KPAI. N terjaring operasi Satpol PP dan sempat menjadi berita di media masa. Diketahui bahwa N sudah lebih dari sepuluh kali pergi meninggalkan rumah tanpa ijin orang tua (kabur). Selama ini, N tinggal bersama ibu tiri, karena Ibunya pergi menjadi TKW, sejak N berusia 7 bulan dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaan ibunya. Kemudian ayah N menikah lagi dan telah memiliki 2 anak, sehingga N memiliki adik tiri. Ayah N bekerja tidak tetap, sedangkan ibu tiri N memiliki pekerjaan sebagai helper di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Keluarga mereka tinggal di sebuah kontrakan seharga Rp. 400.000,-/bulan. Kedua orang tua masih berstatus penduduk (KTP) Bogor, sehingga mereka sulit mengurus akte kelahiran bagi anak-anaknya, termasuk tidak mendapat bantuan bagi warga miskin dari pemerintah seperti BLT, kompor gas, raskin, Jamkesmas. Sebelumnya ayah memiliki pekerjaan tetap sebagai pedagang, namun sejak anak ketiganya lahir, dan adanya kasus N, maka ayah berhenti bekerja sehingga anak-anak diawasi oleh ayahnya. Saat ini ayah bekerja serabutan seperti buruh kuli bangunan, dengan penghasilan tidak menentu.
2) Kondisi awal N: Saat ditemukan petugas Satpol PP, N ketakutan dan sulit didekati bahkan N hendak melukai dirinya sendiri sambil memegang pisau. Demikian juga saat di RPSA, N tidak mau diajak bicara oleh siapapun dan tidak mau bercerita tentang kondisi dirinya, bahkan ketakutan ketika menghadapi orang yang baru dikenalnya. Petugas RPSA berupaya memberi perhatian dan kasih sayang, secara bersamaan Petugas melakukan pendekatan kepada keluarga dan sekolah. Saat kunjungan rumah, reaksi orang tua N, pada awalnya cukup kesal terhadap perilaku N terutama dengan adanya pemberitaan tentang N di media masa, yang secara tidak langsung menjadikan mereka “trauma” dengan wartawan. Terutama kesan masyarakat dan lingkungan sekitar rumahnya bahwa ibu (tiri) N, yang menjadi penyebab kaburnya N. Sebaliknya keluarga ibu menyalahkan suami, sehingga kondisi ini sempat membuat kerenggangan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Petugas RPSA berupaya melakukan intervensi pada keluarga, sambil mempersiapkan kondisi orang tua jika anak kembali ke rumah. Termasuk menginformasikan bahwa penyebab kaburnya anak serta perilaku mencuri yang sering dilakukan anak adalah salah satu bentuk anak mencari perhatian atau kasih sayang, Selain itu petugas melakukan pendekatan pada sekolah dan guru kelasnya guna kelangsungan pendidikan anak selanjutnya, karena hampir selama 1 semester lamanya N tidak masuk sekolah. Kemudian pihak sekolah mendiskusikan kasus N dan atas kebijakan Kepala Sekolah beserta Guru-guru, (SD swasta/MI) maka N dapat diterima kembali di sekolah tersebut, meski tinggal kelas. Menurut guru kelasnya, pada dasarnya N bisa menangkap pelajaran, rapotnya pun tidak mengecewakan, meski orangtua N jarang berkomunikasi dengan sekolah, sekalipun untuk mengambil rapot saat kenaikan kelas.
3) Kondisi N, saat hendak dikembalikan ke orang tua; N sudah mulai terbuka, mau berkomunikasi dengan petugas, tidak takut-takut lagi saat berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya, dan berkeinginan untuk kembali bersekolah serta ke rumah orangtuanya. Termasuk pihak orangtua N sudah siap menerima N dan diketahui bahwa N bisa kembali ke sekolah. Selanjutnya N dikembalikan ke rumah orangtuanya.
4) Kondisi N saat ditemui terakhir menunjukkan perubahan dalam perilakunya. Seperti dikemukakan oleh ayahnya bahwa: “N sekarang sudah jarang keluar rumah, sekalipun liburan sekolah, dia lebih banyak di dalam rumah. Ia juga sudah mau mengemukakan pendapat atau berbicara dengan ayah ibunya kalau ada keinginan, meski masih malas dan sulit diatur seperti tidak mau belajar dan membantu orang tua seperti mencuci bajunya sendiri”. Menurut ayahnya juga; bahwa saat ini N, sudah tidak banyak bergaul dengan anak sebaya (laki-laki) di lingkungannya, karena selama ini ayahnya mencurigai teman-teman sebayanya yang telah mempengaruhi N untuk mencuri dan kabur-kaburan dari rumah. Sementara ibu mengatakan bahwa; “N masih suka malas, tidak mau mengurus dirinya sendiri seperti tidak mau mencuci bajunya sendiri, tuh….di kamar mandi banyak bajunya dia bertumpuk yang belum dicuci”. Pada saat wawancara pada kedua orangtuanya berlangsung, nampaknya ibu mengalami kesulitan untuk melihat perilaku positif pada anak, sehingga kesan negatif tentang N masih lebih menonjol. Saat dikunjungi peneliti, N sedang mengasuh adiknya yang berusia 1 tahun, sifat pendiam dan malu-malu masih nampak. Saat itu jadwal sekolah sudah dimulai tetapi N belum masuk sekolah karena orangtua belum sanggup membayar SPP, sebagaimana dikeluhkan orangtua. Meski seragam sekolah sudah dimiliki, kecuali seragam OR dan Pramuka, karena semua baju seragam terdahulu sudah hancur (?). Akhirnya N berangkat sekolah setelah diantar oleh petugas.
b. Kasus R, (15 tahun), rungu wicara, mengalami pelecehan seksual.
1) Riwayat kasus: R menjadi klien RPSA, kondisinya sedang hamil. R menjadi korban pelecehan seksual/diperkosa oleh seorang kuli bangunan yang bekerja di tetangganya. R merupakan anak ke-2 (dua) dari 7 (tujuh) bersaudara yang hidup di lingkungan keluarga sederhana, menempati sebuah rumah yang status tanahnya milik Dinas Pengairan setempat. Postur tubuh R, cukup sehat dan tinggi melebihi usianya, berwajah manis berkulit bersih meski tidak sempat menginjak pendidikan Sekolah Luar Biasa. Ayah klien bekerja sebagai pengemudi di sebuah perusahaan Pengerah TKI, sedangkan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Untuk menambah penghasilan, kemudian ibu R berinisiatif menjual minuman (kopi/teh) diperuntukkan bagi buruh/kuli bangunan, dibantu R yang bertugas membawa minuman tersebut ke tempat mereka. Kondisi fisiknya yang bersih dan tinggi, sempat menggoda salah seorang kuli bangunan yang sering membujuk dan merayu R, sampai akhirnya R dicabuli. Kasus ini terungkap setelah para tetangga melihat perubahan fisik R, kemudian mendesak orangtuanya untuk memeriksakan kondisi fisik R. Hasil pemeriksaan di klinik setempat ditemukan bahwa R telah hamil 5 bulan, dan atas bantuan salah seorangtetangga yang juga pegawai Kementerian Sosial, maka selanjutnya yang bersangkutan di bawa ke RPSA Bambu Apus.
2) Kondisi R saat diterima di RPSA; Pandangannya kosong, seperti kehilangan masa depannya dan sempat tidak memiliki keinginan untuk beraktivitas. Pada awalnya orangtua R tidak mau menerima bayinya untuk kembali ke rumah, kecuali anaknya (R). Selama R mendapatkan pelayanan di RPSA, sampai melahirkan anaknya, orangtua R masih sering menjenguk R namun belum bisa menerima bayinya, Petugas berupaya untuk mendekatkan bayi (cucunya) pada kedua orangtua R saat mereka berkunjung ke RPSA, sambil memberi pengertian tentang hak-hak anak dan perlunya melindungi anak-anak yang telah menjadi korban pelecehan seksual.
3) Saat R hendak dikembalikan ke rumah orangtuanya; Orangtua R sudah dapat menerima kehadiran bayi sebagai cucunya. Demikian juga R siap kembali ke rumah dengan anaknya dan cukup handal dalam mengurus bayinya.
4) Kondisi R saat ini; R nampak sehat dan masih rajin membantu orangtuanya dalam pekerjaan rumah tangga. R semakin terampil dan bertanggung jawab dalam merawat dan mengasuh anak kandungnya, yang telah berusia 5 bulan, Kondisi bayi cukup sehat, bersih dan terawat. R menyadari bahwa dirinya perlu bekerja untuk menghidupi anaknya, sehingga memiliki keinginan untuk memperoleh keterampilan. Untuk itu pihak RPSA akan mengusahakan untuk melatih keterampilan bila bayinya sudah besar. Sikap orangtua terhadap R beserta anaknya menunjukkan sikap positif, sebagaimana ditunjukkan dengan memenuhi semua kebutuhan bayi. Orangtua R berharap pada R agar mampu membesarkan, mengasuh dan membimbing anak kandungnya, sehingga bayi dapat tumbuh dan berkembang secara normal sebagaimana anak-anak lainnya, termasuk memperoleh akte kelahiran. Untuk hal ini petugas RPSA telah mengupayakan untuk memperoleh akte kelahiran ke Dinas Dukcapil, namun upaya tersebut belum berhasil karena masih adanya kendala administrasi. Penerimaan yang positif terhadap R dan anaknya merupakan suatu faktor pendukung bagi R dalam menerima kondisinya. Demikian juga halnya dengan sikap masyarakat sekitar terhadap R dan bayinya, dimana mereka cukup menerima, kondisi R, yang ditunjukkan dengan seringnya masyarakat termasuk pengurus RW dan RT mengunjungi R, bahkan sampai memberikan bantuan untuk kebutuhan bayi dan R. Perhatian lainnya juga timbul dari salah satu LSM setempat, dengan memberi bantuan kebutuhan bayi dan dirinya. Hanya saja instansi sosial setempat sampai saat ini belum pernah berkunjung atau memonitor kondisi anak padahal pihak RPSA telah berupaya melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial setempat untuk melakukan bimbingan lanjut. Sampai saat ini Petugas RPSA masih tetap monitoring secara berkala, baik melalui kunjungan rumah maupun melalui telepon.
c. Kasus D, (P) usia 10 tahun, kelas III SD: kabur dari rumah .
1) Riwayat kasus: D anak ke 6 (enam) dari 9 (Sembilan) bersaudara. D hidup di lingkungan keluarga yang sangat sederhana, ibunya seorang ibu rumah tangga dan ayahnya seorang Satpam di sebuah SMP di Jakarta. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan mengakibatkan semua kebutuhan sekolah anak kurang terpenuhi dengan segera. Ayah klien cukup sibuk untuk mencari nafkah, bagi anak-anaknya. Hari Senin sampai Sabtu bekerja sebagai Satpam, dan hari lainnya dimanfaatkan untuk mencari tambahan penghasilan sebagai tukang ojek, sehingga perhatian pada anak menjadi berkurang. Semua pengasuhan dan bimbingan bagi anak-anaknya lebih banyak diserahkan kepada ibunya. Diakui oleh kedua orang tua D, bahwa ibunya sering minder sehingga tidak pernah mau datang apabila pihak sekolah memanggilnya baik dalam pengambilan raport maupun dalam penyelesaian kasus sekolah yang dialami anak-anaknya. Perilaku D kabur-kaburan dimulai saat ia tidak mempunyai buku LKS dan pakaian Pramuka, yang harus dibeli. Pakaian seragam yang sudah tidak layak masih dipakainya ke sekolah, sehingga D kerap menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya. Sikap D menjadi tertutup dan pendiam setelah dia sering diejek oleh temannya, D tidak mau terus terang dan bercerita pada orangtuanya tentang masalah di sekolah. Sampai suatu hari D membawa cutter yang akan digunakan untuk bunuh diri dengan cara menyilet tangannya, namun sempat diketahui oleh ibunya sehingga D gagal melakukan usaha bunuh diri. Sampai suatu saat D meminta ijin pada ibunya untuk pergi bermain dengan teman-temannya, dan tanpa rasa curiga ibunya mengijinkan. Namun sampai malam tiba anak belum juga pulang yang membuat kedua orangtuanya gelisah, dan berupaya mencari D ke rumah teman-temannya. Sampai suatu saat orangtua memperoleh informasi dari petugas RPSA, bahwa anaknya berada di RPSA. Sebelum menjadi klien RPSA, D menggelandang di jalanan sampai akhirnya terjaring operasi penertiban anjal dan gepeng oleh Satpol PP, selanjutnya TRC merujuk D ke RPSA.
2) Kondisi D saat masuk ke RPSA; D lebih banyak diam, tidak mau menyebutkan identitasnya termasuh nama orangtua dan alamat rumahnya, namun D sempat menyebutkan nama sekolahnya, meski alamat tersebut tidak jelas. Dengan berbekal nama sekolah, kemudian petugas menelusuri alamat-alamat sekolah yang hampir mendekati nama sekolah yang telah disebutkan D. Sampai akhirnya ditemukan alamat dimaksud, setelah ditelusuri selama 12 hari. Berdasarkan data tersebut, selanjutnya pihak sekolah menghubungi orangtua untuk memberitahukan keberadaan anaknya. Mendengar kabar tersebut orangtuanya sangat bahagia karena D telah ditemukan. Selama D di RPSA, petugas berupaya terus menjalin hubungan dengan anak, memberikan perhatian dan kasih sayang. Anak diajarkan untuk mengatasi permasalahan dirinya saat berhadapan dengan teman-teman sekolah serta memberi semangat agar anak dapat kembali bersekolah. Petugas melakukan intervensi kepada orangtua untuk lebih memperhatikan D dan menginformasikan tentang kondisi yang dialami D saat bersama teman-temannya di sekolah. Demikian halnya kepada Guru-guru di sekolahnya untuk ikut memonitor kondisi D saat di sekolah seraya memenuhi kebutuhan sekolah. Kasus yang terjadi pada D ini dapat dikatagorikan kasus pelecehan emosional (bullying), yang membuat dirinya merasa tertekan. D tidak mampu menghadapi permasalahannya seorang diri karena tidak ada seorang pun dari anggota di rumahnya yang dapat menjadi teman untuk bercerita sehingga ejekan dari teman-temannya menjadi beban bagi dirinya. Kondisi tersebut nampaknya semakin membebani dirinya sampai akhirnya muncul keinginan untuk mengahiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Namun upaya tersebut gagal, maka D memilih untuk menghindar dari situasi tersebut dengan kabur dari rumah. Setelah melihat perubahan perilaku D, yang menunjukkan keinginan untuk kembali ke rumah dan ingin kembali bersekolah, termasuk adanya jaminan dari pihak sekolah agar tidak terjadi bullying kembali pada D, maka D siap dikembalikan ke rumahnya. Meski saat dijemput oleh ayahnya, D menolak untuk pulang ke rumah. Namun D bisa kembali ke rumahnya setelah kedua orangtuanya menjemput D.
3) Kondisi D saat ini; D menunjukkan banyak perubahan sebagaimana diungkapkan oleh kedua orangtuanya, “setelah tinggal selama 2 minggu di RPSA, terdapat banyak perubahan perilaku pada D yang ditunjukkan dengan selalu minta ijin bila meninggalkan rumah, lebih banyak diam dirumah dan lebih rajin membantu orang tuanya. Kondisi ini sangat berbeda dengan sebelum D menerima pelayanan dari RPSA”. Posisi anak ke-6 dari 9 bersaudara, dengan pengasuhan yang diserahkan sepenuhnya pada ibu, menunjukkan suatu kondisi yang sama dengan sebelumnya, sehingga perubahan perilaku pada D dikhawatirkan terjadi sesaat saja. Perilaku kabur yang dilakukan D, merupakan wujud ketidakmampuan D menghadapi permasalahan sekalipun hanya bentuk ejekan dari teman-temannya, sekaligus sebagai bentuk keinginan untuk mendapat perhatian dari kedua orangtuanya. Oleh karenanya petugas RPSA perlu melakukan bimbingan lanjut, dengan menekankan pada kedua orangtua, terutama pada ayah untuk terlibat dalam pengasuhan dan perhatian pada D. Perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtua, (terutama ayah) setidaknya dapat memberikan rasa aman bagi D, sekaligus menjadi ajang pembelajaran bagi D dalam menghadapi permasalahan.
d. Kasus S (P) usia 1 tahun 3 bulan, korban trafficking.
1) Riwayat kasus: S, lahir dari seorang ibu yang berprofesi sebagai PSK jalanan. Menurut informasi bahwa ayah kandung S telah meninggal sebelum S lahir. Dilatarbelakangi kebutuhan untuk merawat bayinya, maka ibu kembali ke jalanan sambil membawa-bawa S. sampai bayi berumur 2 bulan, S diserahkan ke salah satu “panti asuhan” di Bogor. S menjadi klien RPSA setelah panti dimaksud di ‘grebeg’ polisi karena telah lama dicurigai melakukan praktek trafficking, dan pada saat itu ditemukan beberapa bayi yang diantaranya adalah S. Kemudian S dirujuk ke Dinsos Kota Bogor, dan dilanjutkan ke RPSA Bambu Apus.
2) Kondisi S saat ditemukan; S nampak kurus, dalam kondisi sakit karena mengalami gangguan pada lambung (menurut pemeriksaan dokter karena asam lambung tinggi), luka pada bibir dan sering menangis. Upaya menelusuri keluarga/ibu S cukup berliku-liku, karena data anak tidak jelas, dan keberadaan ibu S sulit dilacak, meski telah dilakukan melalui pengumuman ke media masa. Sampai akhirnya melalui penelusuran pada tempat ibu bekerja, maka petugas berupaya mempertemukan S dengan ibunya, namun ibu sudah tidak menghendaki S untuk diasuh kembali oleh dirinya. Kemudian Peksos berupaya menelusuri keluarga atau kerabat ibu S dengan terlebih dahulu meminta alamat keluarga/kerabatnya. Ternyata alamat keluarga/kerabat yang diberikan ibu S tidak jelas, seolah-olah tidak ingin dirinya diketahui oleh keluarga. Dengan kerja keras, Peksos berupaya menelusuri keberadaan keluarga ibu dengan bertanya pada setiap pengurus RT dan RW disekitar alamat dimaksud. Sampai akhirnya ditunjukkan pada salah satu orangtua dan ternyata yang bersangkutan adalah kakek (buyut S). Kemudian diantara keluarga melakukan musyawarah untuk mencari kerabat yang bersedia mengasuh anak dan akhirnya ditentukan pada salah satu kerabat (bude) S yang siap mengasuh S dengan alasan belum memiliki anak meski telah menikah 9 tahun lamanya. Usia S saat akan mendapat pengasuhan dari kerabat, berusia 6 bulan, kondisi fisiknya tumbuh dengan sehat, selalu ceria dan mudah dekat dengan siapapun. Keluarga angkat telah siap menerima S sebagai anaknya. Kondisi ekonomi keluarga tersebut cukup memiliki penghasilan, memiliki usaha sebagai pedagang gorengan di pingir jalan.
3) Kondisi fisik S saat ini; S nampak sehat, berat badannya semakin bertambah, perilakunya lincah, ceria dan selalu senyum pada orang yang baru dikenal serta telah memperoleh imunisasi lengkap. Anak memperoleh pengasuhan dengan penuh kasih sayang dan terjamin perawatannya. Kehidupan rumah tangga orangtua angkat cukup harmonis meski diakui oleh ibu, bahwa kehadiran anak ini sempat merepotkan dirinya, karena harus berbagi waktu dengan memasak atau mempersiapkan dagangan. Namun dibalik semua ini, kerepotan dan persoalan yang mereka hadapi dapat terobati dengan adanya anak di tengah keluarga mereka. Ayah nampaknya sangat menyayangi dan cukup care pada S¸ “sedikit meningkat suhu badan anak telah membuat ayah khawatir dan selalu ingin membawa anak untuk segera dibawa ke dokter” imbuh ibu. Kekhawatiran dari kedua orangtua angkat justru muncul apabila keluarga dari ibu (biologis) ingin mengasuh dan merawat kembali S, karena melihat pertumbuhan S saat ini cukup baik dan menggemaskan. Meski mendengar kabar bahwa ibu (biologis) saat ini sedang menderita sakit (rahim ?) dan tidak menghendaki untuk menemui S. Lingkungan sekitar rumah terdiri dari kerabat, sehingga perhatian pada S cukup positif, dan tidak ada yang mempermasalahkan status anak. Sampai saat ini S belum memiliki akte kelahiran namun orangtua akan segera mengupayakannya.
e. Kasus G, anak jalanan di Jakarta, (L) berusia 16 tahun.
1) Riwayat kasus: G anak ke 2 dari 4 bersaudara. Sejak usia 7 tahun G sudah sering turun ke jalanan, meski saat itu klien masih sekolah dan dapat menyelesaikan sampai kelas 1 SMP. G mulai turun ke jalan karena ayah kandung pernah memukulnya dan seringnya melihat pertengkaran kedua orangtuanya. Saat itu ayah tidak memiliki pekerjaan, hanya ibu yang mencari uang. Kondisi ini membuat G, semakin tidak betah berada di rumah dan mulai pergi ke jalanan. Saat G di jalanan, kedua orangtuanya selalu mengetahui keberadaan dirinya dan G masih pulang ke rumah selama 2 kali dalam seminggu. G mulai ‘betah’ dan bisa menyesuaikan dengan kehidupan jalanan, sehingga jarang pulang dan sempat bergabung dengan Rumah Singgah H di daerah Pg. Selama di jalanan, perilaku mencuri dan mencopet kerap dilakukan agar ia bisa bertahan dengan kehidupan di jalanan. Bahkan G sempat diproses hukum dan ditahan di salah satu Polres karena kasus pencurian. Pada bulan Mei, G kembali ditangkap karena mencuri tas di perempatan jalan yang berisi uang sebesar 10 juta, meski sebenarnya menurut G, tidak hanya dirinya yang melakukannya, tetapi hanya dia yang ditangkap dan diproses hukum, sementara teman-temannya tidak ditangkap. Selama menjalankan proses hukum, G sempat ditahan selama 20 hari. Berjalannya waktu, ternyata korban mencabut laporannya dan Polsek Pg merujuk anak ke RPSA untuk ditindaklanjuti.
2) Kondisi G saat masuk ke RPSA; G kurus, terdapat memar disekujur tubuh, kumal dan bertato. Sikap emosional G masih nampak meledak-ledak, mudah marah dan berontak. Sulit mengikuti aturan dan disiplin lembaga.
3) Akhir pelayanan RPSA. Menjelang pengakhiran pelayanan dari RPSA, maka terlebih dahulu dilakukan case conference (CC) dengan Petugas RPSA dan Kepala-kepala Panti di sekitar Bambu Apus. Atas pertimbangan kondisi G yang telah lama berada di jalanan dan keluarga G yang belum memungkinkan menerima keberadaan G, sementara G tidak memungkinkan terus berada di Rumah Aman RPSA, maka G dirujuk untuk memperoleh pelayanan di SDC (Social Developmental Centre), sebagai alternatif pengasuhan. SDC dipilih menjadi tempat yang tepat untuk G memperoleh rehabilitasi sosial, bukan ditempatkan di Panti Sosial Marsudi Putra yang diperuntukkan bagi anak yang pernah berproses hukum.
4) Kondisi saat ini. Saat ini G tinggal di SDC, dan menurut G: dirinya merasa ‘kerasan’ berada di lingkungan panti, dan tertangkapnya G karena mencuri tas, telah memberi hikmah bagi dirinya untuk memperoleh pelayanan di SDC. Menurut G juga bahwa: “dirinya merasa jenuh dan cape berada di jalanan terus”. Bahkan ia berkehendak adiknya yang saat ini masih di jalanan bisa mengikuti jejak dirinya mendapat pelayanan di SDC. Menurut Pengasuh di SDC: “perubahan perilaku G mulai muncul, emosinya sudah jarang meledak-ledak, rajin menjalankan piket Panti termasuk salah satu anak yang paling bertahan mengikuti kebaktian, cukup disiplin, dan dapat menyelesaikan paket B. Meski masih ditemukan perilaku menyendiri di kamar, dan dianggap sebagai ‘provokator’ bagi temannya untuk mengganggu”. Ditambahkan pula bahwa sikap G saat ini masih keras kepala, terlebih kalau merasa dirinya yang benar. Disadari oleh G meski dirinya banyak mengalami perubahan dalam perilakunya, namun timbul kekhawatiran kalau selesai dari SDC, kembali berkumpul dengan orangtuanya maka dirinya akan kembali tidak kerasan di rumah karena situasi rumah masih belum berubah. Menurut G: “Pertengkaran orangtua masih kerap terjadi, G beranggapan sepertinya Ibu G tidak pernah memaafkan ayahnya, G sangat menaruh kasihan pada ayahnya”. Kondisi tersebut membuat dirinya jarang memanfaatkan pulang ke rumah, meski dapat ijin dari Panti. Namun demikian ia berniat hendak mencari pekerjaan atau menghubungi temannya (sesama anak jalanan) yang dianggap berhasil dan memiliki penghasilan, seperti sebagai supir di terminal. Jika melihat kondisi tersebut maka mempersiapkan keluarga dan orangtua setelah anak selesai dari SDC perlu dilakukan. Kunjungan orangtua ke SDC sebaiknya diupayakan untuk mengkondisikan hubungan anak dan orangtua. Selain itu permasalahan diantara orangtua, perlu diselesaikan terlebih dahulu sehingga dapat menciptakan kondisi lingkungan yang aman bagi anak. Minimal petugas menjadi mediator dan mengakseskan pada pelayanan yang dibutuhkan mereka. Dikhawatirkan jika kondisi dalam keluarga belum berubah maka G kembali ke jalanan pasca pelayanan di SDC.
2. RPSA Satria Batur Raden Purwokerto
a. Kasus 1 : S, korban pemerkosaan dan bayinya AP
1) Identitas Anak dan Keluarga S, perempuan, 17 tahun, Islam, SMP tidak lulus. S adalah anak kedua dari lima bersaudara anak dari K, 42 tahun. Ayahnya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah gereja di Purwokerto, Jawa Tengah, sejak 12 tahun lalu. K menikah dua kali, pertama dengan X, ibu kandung S, namun pernikahan tersebut tidak bertahan karena X meninggal ketika melahirkan anaknya ketiga, adik S. Pada waktu itu usia S baru mau empat tahun. Empat tahun kemudian ketika S sudah berusia 8 tahun, K menikah lagi dengan perempuan lain, X2. Dari pernikahan kedua ini K mendapat tiga anak lagi. Sejak ibunya meninggal, S tinggal bersama neneknya, ibu dari bapaknya K, sekitar satu kilometer dari tempat tinggal Bapaknya.
2) Masalah yang menyebabkan Klien masuk RPSA. S masuk di RPSA dalam kondisi hamil, diantar oleh ayahnya K. S hamil sebagai akibat diperkosa oleh saudara sepupunya yang telah memiliki isteri dan tiga orang anak. Pelaku adalah anak dari kakak perempuan ayahnya, yang juga tinggal berdekatan. Pemerkosaan itu terbongkar setelah S, 4 bulan bekerja di Jakarta sebagai PRT. Majikan S memperhatikan perut S semakin membuncit dan mengajaknya diperiksa ke dokter. Hasilnya diketahui S sedang hamil. Dia kemudian dipulangkan. S memberitahukan ke kakaknya dan juga kepada pelaku. Pelaku minta menggugurkannya. Mendengar itu, kakak S memberitahu ayahnya. Setelah mendengar laporan itu, dan pelaku tidak mau tanggung jawab, K melaporkan pelaku ke polisi untuk diselesaikan secara hukum. Kondisi S pada awal masuk menurut observasi Fi, petugas RPSA, seperti dikemukakan dalam wawancara, 18 Mei 2011 di RPSA: “Tidak peduli dengan kehamilannya, apapun tidak peduli. Pada awalnya pemalu, pendiam, murung, ngambekan. Keras, sekali ngomong, ketus, menyinggung orang lain. Makan saja tidak peduli. Hamil delapan bulan gak mau mengurangi porsi makan”. Tentang peristiwa pemerkosaan yang membuat dirinya hamil, S tampak jengkel. Dia sangat benci dengan pelaku. ‘Suruh mati saja’ katanya seperti diungkapkan kembali oleh Fi. Fi dengan ungkapan yang muncul dari S selama berada dalam pengasuhannya di RPSA sangat yakin bahwa kejadian itu adalah benar-benar merupakan pemerkosaan, bukan dilakukan suka sama suka. “kejadiaannya saja sudah di kolong tempat tidur”. Artinya S sudah berusaha melawan dan bersembunyi di bawah tempat tidur, namun pelaku tetap memaksa. Ketika tiba saat melahirkan S tidak peduli dan tidak mengerti. “Dia datang kepada pengasuh, dia bertanya ada apa dengan dirinya. Pengasuh kemudian memeriksa, ternyata kepala bayi sudah kelihatan. Buru-buru dibawa ke bidan yang selama ini sudah menjadi mitra RPSA. Ketika mau melahirkan, S tidak mau. Disuruh ngeden ‘gak mau, gak mau’ dibujuk ‘gak mau - gak mau’. Sekali saja. ‘Gak mau- gak mau’. Beruntung, sekali dia ngeden janin keluar. Ketika harus dijahit, dia juga menolak.’Gak mau, gak mau’. Dibujuk dan dibujuk lagi. ‘dua jahitan saja’. ‘Bagaimana nanti kalau kamu menikah lagi’ dia tidak peduli. ‘Dua jahitan saja’ Akhirnya dia menyerah, dua jahitan. Dia hitung. Pas pada tusukan ketiga dia protes. ‘katanya dua, ini sudah tiga’. Ternyata dua jahitan bagi dia berarti dua kali tusukan jarum”. Meski ketika hamil S tidak peduli dengan kondisi kehamilannya, namun setelah melahirkan dia sayang pada bayinya, dan mau mengasuhnya. Fi petugas RPSA menjelaskan, Setelah melahirkan. ‘Aku sakit waktu melahirkan’. Anak selalu didekatkan ke ibunya. Gak selalu ditangani pengasuh. Agar timbul rasa keibuannya, ini anak saya. Sikap S berubah. Dia bilang: “lebih baik saya kerja, cari uang, buat beli susu anak saya.” Kalau dia dengar bayinya menangis, dia bertanya kepada pengasuh yang sedang mengurus bayinya; “bu anak saya tadi kenapa,” jika dia dengar anaknya menangis. Tentang masa depannya S dibimbing menentukan pilihan. Kepadanya ditawarkan: kembali ke sekolah, kursus keterampilan. Ternyata S memilih bekerja saja, menjadi PRT. Kepada S pengasuh sempat mengatakan, seperti dituturkan Fi: “kamu tidak mau pekerjaan yang lebih baik dari itu. Cobalah minimal sampai tamat SMP saja.” S menolak dengan mengatakan: “Gak bu, aku mau kerja lagi.” Sudah tidak mempan lagi dibujuk sekolah. Bahkan dia bilang ‘majikan saya bilang kalau sudah melahirkan suruh kerja lagi di tempatnya’. Boleh bawa anak”. Fi membenarkan majikan S pernah telepon, menanyakan kondisi S, dan mengatakan setelah melahirkan supaya kembali datang dan bekerja di rumahnya. Bayinya boleh dibawa sekalian.
3) Proses Pelayanan. Pelayanan diawali dengan asesmen dilakukan peksos, Am. Hasilnya S layak diterima masuk RPSA untuk mendapat pelayanan. Sebagai kelengkapan administrasi Peksos mengisi form: 1) Berita Acara (BA) hasil seleksi; 2) Form registrasi, yang memuat identitas klien, identitas keluarga, identitas wali/orang yang bertanggung jawab, nomor telepon hubungan darurat, riwayat kasus, ditandatangani oleh petugas registrasi, Am. Kemudian dicatat dalam Buku registrasi klien dengan nomor reg 127. K sebagai orangtua S, menandatangani BA serah terima klien bernama S kepada RPSA yang diwaliki Peksos Am, tertanggal 26 Nopember 2009. K juga menandatangani Surat Pernyataan Orangtua Calon Klien yang isinya: bahwa dirinya benar wali dari calon klien, mengetahui dan menyetujui S menerima pelayanan dan masuk penampungan sementara di RPSA Satria dan bersedia menerima kembali S setelah menjalani program pelayanan dan rehabilitasi. S menandatangani Surat pernyataan yang berisi ”bersedia menjalani program”. Dalam file terdapat Case Record yang dibuat oleh, Fi yang bertindak sebagai petugas psikososial, seperti tertera pada dokumen. S kembali ke keluarganya, sesuai BA pada file, pada tanggal 18 maret 2010. BA ditandatangani oleh B Peksos yang mewakili RPSA dan K orangtua S. Ikut tanda tangan sebagai saksi: Dj seorang Perangkat Desa dan Tarsilem, nenek S, yang selama ini mengasuh S. Dokumen dalam file tidak cukup memuat informasi bentuk pelayanan yang dilakukan RPSA kepada S dan perkembangan S selama mengikuti pelayanan. S ketika itu sudah melahirkan, anaknya seorang perempuan, yang diberi nama AP, dibawa pulang untuk diasuh sendiri. Sebelum sampai pada keputusan itu, baik S maupun orangtuanya sempat bingung S mau pulang kemana dan anaknya mau dikemanakan. Kebingungan itu muncul karena sebelumnya, S tinggal bersama neneknya, dimana peristiwa pemerkosaan terjadi, dan pelaku beserta keluarganya juga tinggal berdekatan. Situasi tersebut membuat S tidak nyaman kembali ke sana, pada akhirnya sepakat tinggal di rumah bapaknya. Sementara itu, ada pihak lain yang mau mengadopsi anaknya. Pada akhirnya, S sendiri memutuskan mau merawat sendiri anaknya, dan tinggal di rumah bapaknya.
4) Kondisi saat dikunjungi. Setelah dari RPSA, S tinggal bersama keluarga K. Rumah tempat tinggal keluarga K, terletak agak kebelakang dari deretan rumah orang lain di sekitarnya. Jalan menuju ke sana berupa gang sempit yang belum diaspal atau disemen, sehingga jika musim hujan menjadi becek, sepanjang 40 meter. Rumah tersebut terasa sempit, kurang lebih 4 meter kali 8 meter. Lingkungan relatif belum padat, di depan rumah terdapat kebun pisang. Ketika dikunjungi S, tidak ada di rumah, dia sudah bekerja di Jakarta, sebagai PRT. Menurut bapaknya, dia sendiri yang minta bekerja, bukan disuruh. K, bapaknya S, menjelaskan, bahwa S selalu menelepon dirinya, menanyakan keadaan anaknya, AP. K menjelaskan “Dia betah di sana. Di sana dia bisa melupakan kejadian yang menimpa dirinya. Kalau di sini dia sering sedih”. Menurut K, S pergi bekerja supaya dapat uang untuk membeli susu buat anaknya. Setelah gajian S memang mengirim uang untuk susu anaknya. Sementara itu, anaknya, AP, perempuan, telah berusia 14 bulan, diasuh oleh ibu tiri S. Kondisi fisik AP tampak kurus. Menurut penuturan K, cucunya AP tidak pernah dikasih ASI karena tidak keluar, sehingga harus diganti dengan susu formula. Pertumbuhan AP tidak terpantau dengan baik karena sampai sejauh ini tidak pernah dibawa ke Posyandu, kecuali satu kali. AP juga belum diimunisasi dasar lengkap. Menurut K, cucunya tidak dibawa ke Posyandu karena neneknya X2, ibu tiri S, yang mengasuhnya merasa tersinggung oleh orang-orang yang menanyakan siapa bapak AP. Hingga saat ini K masih benci dengan pelaku. Dia mengatakan: “saya sakit hati karena dia bukannya minta maaf, malah berkata ‘saya kan beli”. Sekiranya dia minta maaf saya juga tidak tega”. Hubungannya dengan ibu pelaku, yang adalah kakak perempuannya sendiri juga menjadi rusak: “hingga sekarang masih renggang” katanya.
b. Kasus 2: Bel, korban penelantaran.
1) Identitas Anak dan Keluarga. Bel, perempuan lahir di Banyumas, 8 April 1996, saat ini 15 tahun, Islam, putus sekolah SD. Bel tinggal bersama neneknya, bernama Tu, ibu dari ibunya. Bel anak ke-1 dari 4 bersaudara, dari pasangan Sj 35 tahun dan Saw (almarhum). Ayahnya meninggal di penjara, hampir setahun lalu. Saw masuk penjara karena kasus pencurian HP. Menurut informasi, Saw merupakan kriminal, sebelum kasus ini juga sudah pernah masuk penjara. Keempat adik Bel adalah RDS, laki-laki, 8 tahun, duduk dikelas 2 SD; NS, perempuan, 6 tahun, TK, dan RM, perempuan, 4 tahun, belum sekolah. Sj, ibunya Bel, sejak sekitar setahun lalu pergi bekerja menjadi TKI, namun hingga sekarang tidak ada kabanya, sehingga tidak jelas keberadaannya. Menurut Tu, nenek Bel, mereka sudah mengecek ke penampungan di Pondok Indah di Jakarta, namun tidak diperoleh informasi pasti keberadaan anaknya itu. Tu berharap anaknya berhasil menjadi TKI, maksudnya walau saat ini tidak memberi kabar, pada suatu saat akan pulang dengan membawa uang hasil kerjanya. Tu nenek Bel, selain mengasuh Bel bersaudara (4 orang), juga mengasuh 2 orang cucunya yang lain, yaitu: Tom, 11 tahun, lak-laki, sudah mau lulus SD, anak dari anak perempuannya ke-5, dan Azis, laki-laki, 5 tahun, anak dari anak perempuannya ke-6. Ibu Tom tinggal di Surabaya bersama suami barunya dengan dua anak hasil pernikahan mereka. Bapak kandung Tom meninggal karena kecelakaan sepeda motor, ketika dia berusia 4 tahun. Sedangkan ibunya Azis, bekerja di Jakarta. Secara keseluruhan Tu mengasuh 6 orang cucu, termasuk Bel. Untuk biaya hidup sehari-hari, Tu mengandalkan kiriman dari anak perempuannya ke-7 yang masih gadis dan bekerja di Bandung serta kiriman dari anaknya ke-6, ibu dari Azis, yang bekerja di Jakarta. Menurut Tu, masing-masing mengirim sebesar Rp.500.000,- per bulan. Jika kiriman tidak datang? “ya nangis” kata Tu. Ketika dikunjungi di rumahnya Tu sedang sibuk merapikan, melipat, pakaian yang habis diangkat dari jemuran. Sedangkan cucu-cucunya, 3 orang ada di rumah dan 2 orang main di luar. Sementara Bel, dijelaskan sudah sebulan lebih ikut bukdenya dikota yang sama. Ketika ditanya kabar Bel, “aduh itu anak bikin ulah lagi”
2) Masalah yang Mengantar Anak ke RPSA. Bel masuk di RPSA setelah dijangkau oleh petugas RPSA. Kasusnya berawal dari pemberitaan di media massa atas kematian Saw, ayahnya di penjara. Kematian ayahnya ramai diberitakan karena dianggap tidak wajar oleh media masa setempat, seperti dianiaya oleh petugas penjara. Pemberitaan kemudian mengangkat kehidupan anak-anak Saw, termasuk Bel, yang dipandang menjadi terlantar karena ibunya yang menjadi TKI juga tidak diketahui keberadaannya. Merespon pemberitaan tersebut petugas RPSA melakukan penjangkauan, hasilnya Bel masuk RPSA, sementara 3 orang adiknya tetap di rumah bersama nenek Tu karena sekolah. Ketika itu Bel memang sudah berhenti sekolah, sebelum tamat SD, namun juga tidak bekerja. Secara fisik B tampak bongsor, badannya sudah besar walau umurnya masih 14 tahun ketika itu (Wawancara dengan Pur dan Sus, 18 Mei 2011).
3) Proses Pelayanan. Setelah mendapat informasi dari media, Petugas RPSA melakukan penjangkauan, mendatangi alamat, bertemu nenek yang mengasuhnya selama ini. Melakukan asesmen, hasilnya diketahui Bel dan adik-adiknya dan dua orang adik sepupunya yang juga diasuh neneknya, hidup serba kekurangan, dipandang terlantar sehingga layak masuk RPSA (Wawancara dengan Pur dan Sus, 18 Mei 2011). Kepada mereka ditawarkan masuk RPSA untuk ikut program pelayanan, agar kebutuhan dasar terpenuhi. Kesepakatan yang dicapai Bel, masuk RPSA, sementara 3 orang adik-adiknya dan 2 orang adik sepupunya tetap bersama nenek. Disepakati Bel akan disalurkan melanjutkan pendidikannya, masuk SD. Dalam perkembangannya Bel tidak mau sekolah, “diarahkan sekolah tapi tidak mau. Dia mau membantu mbah. Dia bilang: ‘saya tidak mau sekolah, Saya pingin kerja saja. Kerja apa saja. Buat bantu mbah” seperti diungkapkan Sus, Pekerja Sosial RPSA. Petugas sempat menawarkan agar kerja di sekitar RPSA dan adiknya yang masih kecil, belum sekolah dimasukan RPSA. Kepada Bel juga ditanamkan rasa tanggung jawab atas adik-adiknya, norma-norma sebagai orang dewasa, keterampilan sederhana, termasuk keterampilan memasak dan mengurus rumah tangga. Pengembalian Bel kepada keluarga, diawali dengan asesmen keluarga maupun masyarakat. Kondisi keluarga tidak ada perubahan penting, adik-adik semua masih bersama nenek. Ibunya, belum ada kabar. Sesuai keinginan Bel, maka Pekerja Sosial mempersiapkan pekerjaan bagi Bel. Dilakukan kontak via telepon dengan tantenya di Jakarta, yang menurut Bel akan mencarikan pekerjaan baginya, ternyata tidak benar, tantenya tidak bersedia. Kemudian kontak dengan tantenya yang lain di Surabaya, dan menyatakan akan menerima Bel dan menyalurkannya bekerja. Peksos juga menghubungi Kepala Desa setempat dan berkoordinasi dengan mengumpulkan sejumlah warga sekitar, menjelaskan bahwa Bel akan kembali ke neneknya dan akan bekerja seperti disepakati. Kepala Desa maupun warga sekitar sangat peduli (Pur, wawancara, 18 Mei 2011). Peksos memperoleh informasi bahwa pelaku penganiayaan pak Saw membayar ganti rugi, namun Peksos tidak ikut campur tangan. Bel kembali ke neneknya Tu setelah tinggal di RPSA selama 24 hari. Ketika Bel keluar, ada kesepakatan dengan RPSA bahwa dia tidak meneruskan sekolah tetapi akan bekerja di Surabaya atas bantuan tantenya, saudara dari ibunya. Kondisi fisik sehat, tidak ada masalah. Kemajuan yang diperoleh selama di RPSA, Bel sudah mulai mau membantu di dapur, menyiapkan makanan, melakukan tugas kebersihan.
4) Kondisi Klien Pasca Pelayanan. Bel tidak berhasil ditemui, sekitar sebulan terakhir, dan dia tinggal di tempat lain, yaitu tempat bukdenya, di kota yang sama. Tu neneknya yang mengasuh Bel selama ini menjelaskan: “Bel bikin ulah lagi. Dia mengaku hamil kepada pacarnya. Sekarang dia ketakutan, sehingga pergi ke tempat budenya”. Tu menjelaskan Bel mengaku hamil, terus mintai uang susu hamil, susu bayi, kepada pacarnya, anak RT setempat. Pada hal dia tidak hamil. Sama seperti ketika kembali ke neneknya, menurut penjelasan Tu, Bel tidak mau sekolah lagi, dia mau bekerja untuk membantu neneknya, namun hingga sekarang belum bekerja.
c. Kasus 3: Ro, anak perempuan korban perkosaan
1) Identitas Anak dan Keluarga. Ro, perempuan, 10 tahun, lahir di Jakarta, 20 April 2001, Islam, kelas 4 SD, anak pertama dari Sut, 27 tahun. Ro selama ini tinggal bersama neneknya, bernama Nis, 45 tahun, ibu dari ibunya di Desa Sumbang, Kecamatan Sumbang, Kab. Banyumas. Sedangkan ibunya Sut selama ini bekerja sebagai PRT di daerah Mampang, Jakarta. Identitas ayah kandung Ro tidak jelas, sepertinya Ro merupakan anak diluar nikah dari Sut. Ketika dikunjungi di rumah neneknya, Nis, ibunya Ro, yang bernama Sut juga ada di sana. Dia pulang dari Jakarta untuk melahirkan anak kedua. Anak kedua Sut, bernama Y, perempuan, ketika dikunjungi sudah berusia 4 bulan. Adik Ro ini, menurut pengakuan Sut merupakan hasil pernikahannya dengan Roh, laki-laki, 31 tahun, yang bekerja di sebuah Balai Sidang di Jakarta. Diperoleh informasi bahwa anak kedua Ro, lahir dengan kondisi tidak sempurna, tidak memiliki dubur. Vagina berfungsi rangkap untuk buang air kecil dan buang air besar. Kondisi bayi tersebut membuat nenek Ro tampak merasa sedih. Ketika wawancara berlangsung di mana hadir nenek Nis, Ro sendiri, ibu Sut dan bayi, serta bibi R adik dari ibunya, tampak bahwa Nis jengkel dengan anaknya Sut. Katanya: “dia (maksudnya Sut ibu Ro) tidak pernah pulang, sudah sepuluh tahun, gak memberi kabar, waktu kejadian Ro juga tidak pulang. Saya capek, saya mengurus semua, bolak-balik ke kantor Polisi, ke Pengadilan. Pagi-pagi saya berangkat dari rumah, belum sarapan, saya harus menunggu lama, sampai siang. Untung ada Polisi menolong saya, dia kasih minum dan roti. Sekarang dia pulang, mau melahirkan, anaknya seperti itu, kurang sehat”. Di rumah nenek Nis juga tinggal saudara-saudara S, yaitu: Tar, Kar, Sum. Adik perempuannya bersama suami dan anak mereka Apr, Abl, Muj. Seluruhnya penghuni rumah berjumlah 10 orang. Sementara luas rumah, sekitar 6 x 8 meter persegi, terdiri dari beberapa petak, hingga terasa berjubel. Rumah tempat tinggal sederhana, dinding tembok, lantai semen, belum dicat, atap genteng, penerangan listrik. Biaya persalinan anak kedua dari ibu klien menggunakan fasilitas Jamkesda senilai 1,2 juta kata dokter Puskesmas.
2) Masalah yang Mengantar Klien ke RPSA. Ro adalah korban perkosaan yang dilakukan oleh tetangganya, seorang laki-laki dewasa, yang sudah menikah dan memiliki anak, bekerja sebagai petani. Ro diterima RPSA dari unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Banyumas. Ketika itu korban habis “dinakali” oleh pelaku di rumahnya dan ketahuan oleh warga masyarakat sekitar, sehingga menjadi ramai. Polisi dari Polsek Sumbang kemudian datang menangkap pelaku dan menjemput Ro dan meneruskannya ke Polres. Oleh PPA Polres Banyumas, RPSA dikontak untuk menjemput Ro dan ditempatkan di RPSA. Diperoleh informasi bahwa kejadian tersebut bukan yang pertamakali, sebelumnya sudah pernah dilakukan (Am, wawancara, 16 Mei 2011). Selama di RPSA, Ro tidak banyak bicara, cenderung pendiam dan pemalu. Jika diajak bicara dia hanya menjawab sepotong-sepotong (Fi, wawancara 18 Mei 2011)
3) Proses Pelayanan. Ro diterima di RPSA tanggal 16 Januari 2010, diawali kontak dari unit PPA Polres Banyumas ke RPSA. Petugas RPSA kemudian datang ke Polres menjemput Ro. Sebelumnya dijelaskan kepada Ro siapa yang menjemputnya dan dia mau diajak kemana. Kemudian ditanyakan kesediaannya. Ro ternyata bersedia tinggal sementara di RPSA. Menurut BA Serah Terima Calon Klien, Ro diserahkan oleh Kanit PPA Polres Banyuwangi, Ic S kepada pekerja sosial RPSA, Ek P. Serah terima berlangsung di Polres. Di RPSA, selain diupayakan membuat Ro tenang, nyaman, dia dipersiapkan menghadiri sidang di Pengadilan Negeri. Ro juga mendapat pemeriksaan psikologis yang dilakukan oleh Psikolog RSUD Banyumas atas, pemeriksaan kesehatan oleh Bidan, sedangkan visum difasilitasi oleh Polres. Ro kembali ke keluarga dijemput oleh neneknya, Nis, diserahkan oleh Ek P, tanggal 09 Feberuari 2010. Ikut bertandatangan Mul, kakek dari Ro dan Sut ibu dari Ro, (catatan: dalam BA, Sut disebut sebagai tante dari Ro). Pengambilan dilakukan oleh keluarga dengan Surat Pengantar dari Kepala Desa Sumbang, tertanggal 8 Feb 2010. Ro dipulangkan atau dijemput keluarganya setelah minta pulang. Alasannya, “gak betah, mau sekolah” Menurut petugas Am sebelum Ro dipulangkan terlebih dahulu dilakukan penyiapan keluarga, sehingga pada tanggal yang disepakati neneknya datang menjemput, kemudian diantar pulang oleh Pekerja Sosial RPSA, Ek P. Sementara itu lingkungan di luar keluarga termasuk sekolah tidak disiapkan oleh RPSA. Setelah kembali ke keluarga, RPSA masih melakukan bimbingan lanjut. Sementara itu, kasusnya sudah diselesaikan secara hukum, pelaku divonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri setempat. Menurut neneknya, ketika pulang dari RPSA, Ro tampak lebih putih, bersih, dan lebih gemuk. “Tambah gendut dan bersih”. Secara psikologis dia sudah tampak lebih tenang, melupakan peristiwa yang menimpa dirinya. Kata neneknya: “Dia pulang karena pengen sekolah”.
4) Kondisi Klien Pasca Pelayanan. Saat kami tiba di dekat rumah nenek dimana Ro tinggal, Sabtu, 14 Mei 2011, pukul 15.12 WIB, Ro tampak sedang main bersama dua orang teman perempuannya, yaitu Gal dan Yen. Kedua orang tersebut anak tetangga sekaligus teman sekelas Rodi kelas 3 di sekolahnya. Mereka sedang jalan beriringan menuju sebuah lapangan kecil. Am, Pekerja Sosial RPSA, yang menjadi pendamping peneliti, yang selama ini juga menangani Ro, memanggil, “Ro, Ro” sambil menghentikan mobil yang disetir olehnya. Ro sempat berhenti sejenak di sisi kiri mobil, namun Ro tampak ragu, sepertinya dia tidak melihat yang memanggil. Mobil diparkirkan dalam posisi sempurna, Am turun, dan kembali memanggil Ro. Ro datang dan jalan beriringan ke rumah neneknya melintasi pekarangan tetangga, di mana beberapa ibu duduk duduk menggendong bayi. Kondisi Ro tampak sehat, badannya sedang, tidak terlalu kurus, namun jika dibanding dengan fotonya di buku register klien RPSA tampak lebih dekil dan hitam. Pada foto tampak lebih bersih, lebih putih, lebih terawat, sehat dan rapi. Ro tampak pendiam, gak banyak bicara, seperti malu-malu. Terkait peristiwa yang mengantarkan Ro ke RPSA, nenek mengeluhkan bahwa teman-teman Ro di sekitar tempat tinggalnya kerap menyakiti hati Ro dengan menyebut nama pelaku di hadapannya. Sementara prestasinya di sekolah tidak mengalami gangguan berarti. Menurut neneknya: “Normal, seperti anak-anak lain”
d. Kasus 4: Bag, korban pelecehan seksual
1) Identitas Anak dan Keluarga. Bag, anak laki-laki, lahir di Banjarnegara, 9 Februari 1998, Islam, saat ini kelas 1 SMP, 13 tahun, adalah anak ke satu dari dua bersaudara dari pasangan Mur, 41 tahun dan isterinya. Mur berasal dari daerah Tanah Abang Jakarta Pusat, sedangkan isterinya, ibu Bag asli desa setempat, Desa Der, Kec. Susukan, Kabupaten Banjarnegara. Mereka bertemu di Jakarta, kemudian menikah dan menetap di desa tersebut. Mur ayah Bag selain sebagai Staf Kepala Desa urusan Kesra, juga pendiri dan pemilik sebuah madrasah. Rumah relatif bagus, cukup luas, sekitar 7 x 12 meter, tembok, terdiri dari beberapa ruangan. Status milik sendiri, terletak di pertigaan jalan desa. Lingkungan terasa nyaman, berupa pegunungan, banyak pohon, kondisi jalan baik, beraspal.
2) Masalah yang Mengantar Klien ke RPSA. Bag adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh gurunya sendiri, seorang laki-laki belum menikah. Pelaku adalah Yu, guru honorer yang juga adik Kepala SDN di mana Bag bersekolah. Peristiwa pelecehan terjadi setelah usai pelajaran tambahan di rumah pelaku pada malam hari. Bag dan teman-temannya sekelas di kelas VI SDN setempat datang ke rumah pelaku untuk mengikuti pelajaran tambahan. Selesai les – seperti sudah sering terjadi - Bag diminta tidak pulang dulu, sementara teman-temannya yang lain disuruh pulang. Dia diajak nonton film porno, kemudian diminta menirukan adegan-adegan “seperti di TV” kata Bag. Bag disuruh memegang, mengelus alat vital Yu atau sebaliknya Yu memainkan alat Bag dan atau melakukan oral seks. Menurut bapaknya, Mur, kondisi anaknya ketika itu cenderung semakin tertutup dan pendiam. Kasus ini terbongkar setelah ayah Mur curiga, anaknya selalu terlambat pulang, sementara teman-temannya sudah pulang. Dia lalu menanyai anaknya, dan terkejut mendengar penjelasan yang dikemukakan.
3) Proses Pelayanan. Bag mulai dilayani RPSA 3 Juni 2010, dengan status layanan luar Panti atau disebut juga layanan kunjungan. Bag tidak sampai tinggal di RPSA, dengan pertimbangan secara psikologis dinilai mampu menghadapi situasi yang berkembang di masyarakat dan saat itu dia menjelang EBTANAS SD. Pelayanan yang dilakukan RPSA meliputi: motivasi, pendampingan sidang, sebelum sidang anak dipersiapkan dengan menjelaskan proses yang akan berlangsung, apa yang akan ditanya Hakim, bagaimana dia harus menjawab. Tujuannya agar anak siap secara mental, mampu mengungkapkan apa yang dialami olehnya. Kunjungan oleh petugas RPSA dilakukan berulang kali. Kendala jarak tempuh ke alamat dari RPSA sangat jauh, sekitar 2 jam perjalanan dengan kendaraan mobil roda empat. Hasilnya anak mampu menjelaskan apa yang dialaminya, pulih menjadi terbuka, memiliki cita-cita. Sementara pelaku telah divonis penjara selama 3 tahun. Tentang pelayanan RPSA, Bag mengatakan “berguna, memberi motivasi kepada kita” Mur minta tolong didampingi kepada RPSA dan Kades. Bagi Mur, pendampingan dari RPSA sungguh membantu, memberi dukungan, ada teman berdiskusi. “Setiap sidang Tim kumpul semua di Pengadilan Negeri. Kami belum pernah, sehingga bingung, dan takut. Tim juga mengantar kami kembali ke desa. Sekarang anak-anak sudah seperti biasa. Kami sangat berterimakasih”. Klien tidak pernah dilayani di shelter, namun hanya pelayanan kunjungan, Pekerja Sosial datang ke tempat tinggal Bag dan keluarga. Menurut penuturan ayahnya dukungan yang diberikan Pekerja Sosial RPSA telah menguatkan Bag dan keluarganya serta korban lainnya menghadapi situasi pada saat itu. Perlu dicatat bahwa menurut Mur, ayah korban, keluarga pelaku merupakan tokoh berpengaruh di desa ini. Salah seorang saudara pelaku melakukan tindakan-tindakan, gerakan, melontarkan kata-kata bernada mengancam dirinya, sehingga merasa tertekan.
4) Kondisi Klien Pasca Pelayanan. Ketika tiba di alamat, rumah tempat tinggal klien tampak ramai, ada banyak anak-anak kecil, berusia sekitar 3 hingga 9 tahun berkumpul di sana. Rupanya adiknya Bag yang bernama Bay sedang merayakan ulang tahun ke-8. Kondisi Bag tampak baik, sehat dan aktif. Ketika kami datang, tanpa diminta dia langsung naik sepeda motor, pergi, ternyata langsung menjemput dua rekannya yang juga menjadi korban Yu, yaitu Ar dan Pri. Bag kini duduk di kelas 1 SMP. Ketika kejadian dia tengah menjelang EBTANAS SD. Dia aktif bermain sepak bola dan menjadi supporter kesebelasan desanya dalam pertandingan antardesa. Menurut pengamatan Pekerja Sosial, teman Bag, Ar dan Pri yang juga menjadi korban pelecehan Yu, kondisi mentalnya belum sebaik B, mereka cenderung banyak curiga dan tertutup. Hubungan sosial Bag dengan kedua orangtuanya tampak cukup bagus. Ayah dan ibunya tampak memberi cukup perhatian, mendukung kegiatan anak, sekolah dan olahraga (sepak bola) serta pendidikan agama. Walaupun secara umum kondisi Bag dan keluarga sudah tampak baik, nyaman, namun ternyata mereka masih menyimpan rasa was-was. Bapak Bag mengatakan: “bagaimana nanti kalau pelaku kembali ke desa ini?”
e. Kasus 5: Ki, korban pemerkosaan oleh teman
1) Identitas Anak dan Keluarga. Ki, perempuan, lahir di Banyumas, 27 April 1996, Islam, kelas 1 SMK. Anak ke-1 dari tiga bersaudara. Saat ini tinggal bersama kakek dan nenek di Desa Kes, Kecamatan Cilongok, Kab. Banyumas, Jawa Tengah. Menurut pengakuan ibunya ketika ditanya, ayah K bekerja sebagai supir angkot di Banyumas. Ibu tidak memiliki pekerjaan tetap, sekali-sekali disuruh orang berjualan di sebuah mall di kota setempat. Ibunya tinggal di rumah sendiri sekitar satu kilometer dari rumah kakek nenek. Rumah tempat tinggal klien dan kakek-nenek relatif baik, dinding tembok, lantai keramik, atap genteng, sekitar 8 x 8 meter, meliputi beberapa ruangan, halaman cukup luas, ditanami singkong. Lingkungan tidak padat, rumah berada berseberangan jalan dengan Kantor Desa setempat. Bapak dari Ki, menikah lagi dengan perempuan lain. Menurut analisis Peksos RPSA, “Ki, korban kurang kasih sayang, hidupnya tertekan. Perilaku Ki merupakan pemberontakan atas situasi. Pada pihak lain Ki memiliki keinginan terlalu tinggi, tidak bisa lihat kondisi keluarga seperti apa.” Menurut neneknya, Ki tidak mau ikut mamanya. Selain Ki, bersama kakek-nenek juga ikut tinggal seorang cucu lain, yaitu anak dari anak bungsu nenek atau adik dari ibu Ki.
2) Masalah yang Mengantar Klien ke RPSA. Menurut catatan RPSA yang bersangkutan korban perkosaan oleh temannya sendiri, YN. Peristiwa terjadi 23 Oktober 2010 di Pasir Mucang. Namun Pekerja Sosial mensinyalir peristiwa tersebut bukan pemerkosaan, melainkan suka-sama suka. Ketika itu Ki tidak pulang ke rumah ternyata pergi sama YN yang juga temannya sekelasnya. Hubungan itu ternyata bukan hanya oleh pacarnya YN tetapi juga dilakukan dengan teman YN. Mengetahui hal tersebut kakek Ki tidak terima. Sesungguhnya pacarnya dan keluarganya mau menikahkan YN dengan Ki sebagai pertanggungjawaban, namun keluarga Ki tidak bersedia. Pelaku dinilai tidak dapat bertanggung jawab, walau sebenarnya secara ekonomi keluarganya cukup mampu. Kasus tersebut didengar oleh S seorang petugas Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang bertetangga dengan keluarga Ki, sehingga kemudian dilakukan mediasi. Ki dijemput oleh petugas RPSA atas rujukan PPT. Petugas RPSA menemui nenek yang mengasuh Ki, dan pada akhirnya setuju Ki dibawa ke RPSA. Ki yang ditawari juga bersedia ke RPSA. Secara administrasi, Ki diserahkan oleh ibunya, Ar, kepada Pur petugas RPSA. Selama di RPSA, Ki sering tidak mengikuti kegiatan latihan keterampilan, suatu kegiatan yang dirancang sebagai salah satu sarana terapi. “Alasannya gak bisa, latihan keterampilan manik-manik tidak mau, keterampilan komputer juga tidak mau”. Fi, pengasuh di RPSA mengemukakan tentang perangai Ki: “Ki, trouble maker selalu habis bikin ulah”. Menurut Fi, Ki dari rumah sudah bermasalah, dan “ketika mengantar dia ke Psikolog di RSUD Banyumas Ki bilang“ saya kalo ngetrek dari sini ke sana bu’ tidak punya sepeda motor, untuk mengetrek dia pinjam milik dirinya. Pulang sekolahnya sore. Pulang setengah dua. Di jalan ketemu teman main dulu.” Selain itu, orangnya malas. Tugas di rumah kurang. Nyapu gak. Masak gak, tapi nyuci baju sendiri.”
3) Proses Pelayanan dan Reintegrasi/Reunifikasi/Referal. Ki masuk RPSA hari kamis, 18 Nopember 2010 kemudian keluar tanggal 29 Nopember 2010 (buku induk register klien). Selama di RPSA kepada Ki ditanamkan hidup disiplin, diberi tugas terkait rutinitas Panti tujuannya agar anak lebih bertanggung jawab atas dirinya maupun keluarganya. Ki tidak betah bertahan lama di RPSA, belum penuh dua minggu dia sudah mendesak minta pulang. Ketika ditanya, bulan berapa di RPSA. ”Lupa” jawabnya. Dia mengaku tidak betah di RPSA, bosan. Minta pulang, gak pulang-pulang, dipaksa. Setelah mengikuti pelayanan di RPSA, Ki agak mendingan, setidaknya bisa mengendalikan emosi, sudah mau melakukan tugasnya terkait rutinitas. Kalo lalai, diingatkan oleh pengasuh: “kemarin ngapain”. Ki juga semakin menghargai orangtua, setelah dikasih tahu. Dia sudah mau mengalah. Tentang hubungan ibu dan ayahnya, dia mengatakan ‘kasihan ibu, bapak begitu?’ (Fi)
4) Kondisi Klien saat dikunjungi. Ketika dikunjungi, hari Sabtu, 14 Mei 2011, jam 9.45 WIB di rumah nenek-kakeknya Ki ada di rumah. Pada awalnya menolak menemui kami yang sudah dipersilahkan neneknya duduk di ruang tamu. Am, petugas RPSA, menemui Ki di ruang bagian dalam rumah dan membujuknya, hingga pada akhirnya mau ke ruang depan. Ki tampak sehat, berkulit putih, bersih, cantik. Rambutnya hitam, sebahu. Dia tidak banyak bicara, dengan Am, tampak cukup kenal, tidak merasa canggung. Demikian juga Am dengan keluarga, kakek-nenek, dan ibu Ki tampak sudah dekat. Ketika tiba di lokasi di depan rumah ada kakek, langsung menyambut, bersalaman dan mempersilahkan kami masuk seraya memanggil nenek. Tidak lama kemudian ibu Ki datang dengan menggendong anaknya paling kecil, 2 tahun, adik Ki. Saat ini Ki tidak memiliki kegiatan serius, sejak kejadian dia sudah berhenti sekolah dan juga tidak bekerja. Sehari-hari Ki lebih banyak mengisi waktu dengan main internet di rumah menggunakan Hp miliknya. Chatting dengan teman-teman yang dikenal dan tidak kenal. Sering curhat. Curhat dengan teman melalui internet bagi Ki lebih nyaman, ”memberi respect” katanya. Ibunya mengatakan Ki, malas, manja, susah diatur. Tentang masa depannya, Ki berencana masuk sekolah SMK 3, akan mengambil jurusan tataboga. “Tadinya mau AP Akuntasi hitungannya banyak sekali, malas. Mau ambil tata boga”. Ketika ditanya peluangnya diterima, dia menjelaskan ”katanya pakai wawancara”. Tentang uang sekolah dia menjelaskan ”SPP 100 lebih” Menurut Ki, ibunya akan menyediakan ”dibayar mama”.
3. RPSA Bima Sakti Batua. Kasus UK
1) Permasalahan UK, saat di RPSA bersusia 16 tahun dan lulus SMP, berasal dari Kabupaten Lumajang. Ayahnya nikah hingga 3 kali, isteri pertama telah meninggal, sedangkan perkawinan dengan isteri kedua mempunyai 4 anak. Korban merupakan anak tunggal dari isteri ketiga. Munculnya kasus ini berawal ketika ayah korban menjual korban ke seorang calo yang menjanjikan pekerjaan di luar negeri sebagai TKW. Kondisi ekonomi keluarganya dan hubungan dengan ayahnya yang kurang harmonis, korban mengikuti ajakan calo, meskipun usianya belum memenuhi persyaratan. Kasus ini berkembang mulai dari ketidakpastian kapan klien akan diberangkatkan, pemalsuan identitas (usia), kerja di bawah umur, dipekerjakan sementara sebagai PRT, hingga akhirnya tertangkap oleh Polisi dan ditangani oleh LSM Genta. LSM Genta selanjutnya merujuk korban ke RPSA Bima Sakti Batu. Ijasah terakhir, akte kelahiran, raport hingga saat ini masih berada di kepolisian.
2) Kondisi awal. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pekerja Sosial dan dokumen file anak, diperoleh informasi bahwa kondisi awal pelayanan RPSA adalah sebagai berikut:
a. Perilakunya keras dan kasar karena sering dipukul oleh orangtuanya. Orangtuanya menghendaki agar klien bekerja dan tidak perlu melanjutkan sekolah.
b. Secara fisik klien tidak mengalami masalah, tetapi merasa bosan dan jenuh menunggu ketidakpastian keberangkatan untuk bekerja sebagai TKW (17 hari dalam penampungan PJTKI).
c. Komunikasi dengan ibunya jarang dilakukan, dengan ayahnya tidak dilakukan.
Berdasarkan kondisi ini RPSA melalukan langkah-langkah penanganan sebagai berikut:
a) Melakukan asesmen untuk mengetahui masalah dan kebutuhan klien yang dilakukan melalui wawancara dengan korban.
b) Verifikasi melalui kunjungan rumah ke keluarga klien.
c) Melakukan rencana intervensi sesuai dengan masalah dan kebutuhan klien.
d) Pelayanan kebutuhan dasar anak seperti tempat tinggal, makan dan sandang.
e) Melibatkan klien dalam kegiatan PSPA.
f) Melakukan terapi psikososial seperti advice giving and counseling relaksasi, terapy symbol, Family base: Parent-Child Interaction Therapy (PCIT), Community base, dan bimbingan belajar akademik dan konseling.
3) Kondisi klien menjelang akhir pelayanan RPSA
a) Sifat keras dan kasar sudah mulai melunak;
b) Komunikasi dengan ayah belum dilakukan, karena masih tertekan dengan sikap ayah yang sering menghubungi dan selalu memaksa klien untuk bekerja, dengan ibunya sekali-kali menghubunginya;
c) Menikmati dan merasa lebih nyaman dengan kondisi shelter;
d) Keinginan untuk melanjutkan sekolah.
4) Kondisi klien saat ini. Potret kondisi saat ini diperoleh melalui studi dokumentasi file klien, hasil wawancara dengan klien, Pekerja Sosial dan pengurus RPSA. Berdasarkan keinginan UK yang masih mau melanjutkan sekolahnya, UK dirujuk ke salah satu Panti Sosial swasta yang ada di Kabupaten Malang. Sejak keluar dari RPSA Bima Sakti UK tinggal di Panti Sosial dan mendapatkan fasilitas makan, tempat tinggal dan kebutuhan sekolah hingga lulus SMA. Saat ini UK duduk di kelas II SMKN jurusan Pekerjaan Sosial, dan sedang melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di RPSA Bima Sakti. Menurut petugas Panti Sosial kegiatan UK sama dengan anak-anak lain sebagaimana layaknya kegiatan di Panti Sosial. Pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan komunikasi dan relasi sosial, penanganan kasus, lebih berkembang dibanding pelajaran bahasa Inggris dan Matematika UK cukup menonjol dibanding dengan anak-anak lainnya dan mendapatkan kepercayaan penuh untuk menangani masalah-masalah anak yang memerlukan penanganan khusus seperti pertengkaran antar-anak, malas belajar dan masalah anak lainnya. Dari pembicaraannya, UK cukup cerdas, mudah bergaul dan terbuka. Kasus yang dialaminya diceritakan terbuka, penuh semangat dan terkesan tidak ada yang disembunyikan. Kepercayaan diri UK sudah mulai nampak, cita-citanya ingin jadi wanita karier. Komunikasi dengan ibu kandung dan ibu tirinya tetap dilakukan meskipun melalui telepon, sedangkan dengan ayahnya masih “sakit hati”, belum sepenuhnya terjalin komunikasi, karena sikap ayahnya yang selalu memaksa UK agar segera bekerja. Saat ini belum tahu apa yang akan dilakukan UK setelah lulus SLA, pihak panti hanya memberikan fasilitas sekolah sampai dengan lulus SLA
b. Kasus AJ
1) Permasalahan. Kasus seorang anak perempuan bernama AJ, asal Malang, saat di RPSA berusia 14 tahun, kelas 2 SMP. Klien merupakan anak ke 4 dari 5 bersaudara. Klien mengalami pelecehan seksual (perlakuan tidak senonoh hingga pemerkosaan sejak kelas 6 SD) oleh kakak iparnya sendiri. Kedua orangtuanya bekerja sebagai TKW di Arab Saudi, yang hingga kasus ini terbongkar korban belum pernah bertemu dengan orangtuanya. Awalnya klien dalam pengasuhan buleknya (adik kandung ibunya), namun setelah kakaknya menikah pengasuhan beralih ke kakaknya, yang tempat tinggalnya berada di depan rumah buliknya. Kasus initerjadi setelah korban tinggal bersama dengan kakak kandungnya. Setelah kejadian ini pengasuhan kembali ditangan buliknya, karena pelaku yang juga kakak ipar korban ditahan, sedangkan kakaknya pindah ke tempat lain (mertuanya). Kepindahan kakak kandungnya ini disebabkan oleh keyakinannya bahwa suaminya merasa tidak bersalah (melakukan pemerkosaan), meskipun sudah ada bukti dan pengakuan korban maupun suaminya saat di kepolisian. Informasi awal tentang kasus ini diperoleh dari Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3) Malang dan Polres Malang yang selanjutnya merujuk ke RPSA Bima Sakti.
2) Kondisi awal. Hasil wawancara dengan Pekerja Sosial dan dokumen file anak, diperoleh informasi tentang kondisi awal saat masih berada di rumah dan pertama kali masuk RPSA:
a) Tidak sekolah karena malu selalu mendapat sindiran dari lingkungannya ;
b) Tertutup, tidak berani keluar, cenderung diam di dalam rumah;
c) Mendapat ancaman dari pelaku;
d) Trauma terhadap kasus yang dialaminya dan kehilangan kepercayaan diri;
e) Kehilangan kepercayaan diri, merasa sudah tidak suci lagi karena kehilangan “mahkotanya”;
f) Tidak tahu apa yang harus dilakukannya, bingung, bila pelaku sudah kembali dari masa hukumannya.
Berdasarkan kondisi awal ini Pekerja Sosial melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Melakukan asesmen untuk mengetahui masalah dan kebutuhan klien, melalui wawancara dengan korban.
b) Kunjungan rumah ke keluarga klien.
c) Melakukan rencana intervensi sesuai dengan masalah dan kebutuhan klien.
d) Pelayanan kebutuhan dasar anak seperti tempat tinggal, makan dan sandang.
e) Melibatkan klien dalam kegiatan rutin PSPA.
f) Melakukan terapi psikososial seperti advice giving and counseling relaksasi, terapy symbol, Family base: Parent-Child Interaction Therapy (PCIT), dan bimbingan belajar akademik dan konseling.
3) Kondisi klien menjelang akhir pelayanan. Berdasarkan informasi Pekerja Sosial, Sakti Peksos dan klien, kondisi akhir menjelang klien dikembalikan ke keluarganya adalah sebagai berikut:
a) Kondisi sosial psikologis korban sudah mulai pulih, perkembangan emosional nampak stabil
b) Relasi dan komunikasi dengan orang lain sudah lebih baik, dan terbuka kepada orang-orang baru terutama dengan Pekerja Sosial dan pengasuh RPSA
c) Ada keinginan untuk melanjutkan sekolah dalam usaha memperbaiki masa depannya.
4) Kondisi saat ini. Saat mengunjungi rumahnya AJ berada di kamar kakaknya dan terkesan tidak mau ketemu dengan orang lain. Pekerja Sosial RPSA dan Sakti Peksos berusaha mendekatinya, sedangkan peneliti bertemu dengan buliknya (adik kandung ibunya) yang rumahnya berada di depan rumah kakaknya. Kondisi rumah cukup bagus, lantai keramik yang menunjukkan kondisi ekonomi yang cukup baik. Menurut informasi sebagian rumah ini telah direnovasi yang dananya berasal dari hasil kerja orangtua AJ sebagai TKW di Arab Saudi. Hingga saat ini kedua orangtua AJ masih bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Selama bekerja kedua orangtuanya menyerahkan pengasuhan anaknya ke buleknya. Orangtuanya juga telah mengetahui kasus yang menimpa anaknya melalui hubungan telepon. Pulang dari RPSA Bima Sakti, buleknya cukup bangga karena AJ telah dinyatakan sembuh. Saat itu AJ menyatakan bahwa “AJ sekarang bukan AJ yang dulu lagi”. Pernyataan ini membuktikan bahwa AJ telah berubah, perilakunya tidak seperti dulu lagi. Sejak itu buliknya menghendaki agar AJ tetap bisa melanjutkan sekolah, yang selanjutnya dimasukkan ke sebuah pondok pesantren Malang. Namun salah seorang temannya menyebarkan aib korban, hingga teman-temannya mengetahuinya. Kondisi ini menyebabkan korban merasa tertekan dan tidak nyaman tinggal di pondok pesantren, dan kembali tinggal bersama buliknya. Setelah pulang dari pondok pesantren, menurut buleknya AJ mulai sulit diatur, sering meninggalkan rumah tanpa ijin, aktivitasnya lebih banyak di kamar dan asyik dengan HP nya, pendiam dan cenderung menutup diri dengan orang lain. Sikap AJ yang terkesan tertutup dan pendiam ini, serta perkembangan yang “kurang menguntungkan”, Pekerja Sosial RPSA berusaha memberikan penjelasan baik kepada AJ maupun buleknya agar AJ dibawa kembali ke RPSA Bima Sakti. Sikap ini diambil karena:
(1) AJ masih memerlukan terapi psikososial oleh Pekerja Sosial;
(2) AJ tidak punya aktivitas di rumahnya, dan dikawatirkan akan mengalami masalah lagi bila tidak segera diselamatkan;
(3) Buleknya terkesan melindungi secara berlebihan terhadap AJ (over protection) yang mengakibatkan komunikasi dan relasi AJ dengan buliknya cenderung kurang harmonis.
Penjelasan Pekerja Sosial RPSA ini diterima oleh AJ dan buliknya, sehingga saat itu juga AJ dibawa kembali ke RPSA Bima Sakti. Saat ini AJ menempati sebuah wisma yang ada di RPSA Bima Sakti bersama seorang korban lainnya.
c. Kasus MNI
1) Permasalahan. MNI merupakan korban pelecehan seksual (pencabulan hingga pemerkosaan) yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri sejak 2007 dan baru terbongkar tahun 2010. Korban lahir di Malang 12 Mei 1994, berasal dari Malang, saat berada di RPSA Bima Sakti duduk di kelas I paket B di Sanggar Kegiatan Bersama Kepanjen Malang. Secara fisik korban mengalami cacat pholio, jalan agak pincang dan menggunakan tongkat bila berjalan. Korban merupakan anak tunggal dari seorang ayah yang bekerja sebagai tukang becak dan satpam, sedangkan ibunya mengalami gangguan jiwa sejak belum nikah. Kasus ini diketahui setelah gurunya mengetahui apa yang dialami korban, hingga bergulir di kepolisian, sedangkan korban ditangani oleh KP3A Malang, yang kemudian merujuk ke RPSA Bima Sakti tanggal 20 Oktober 2010.
2) Kondisi awal. Berdasarkan studi dokumentasi dan hasil wawancara dengan Pekerja Sosial dan keluarga klien kondisi awal klien adalah sebagai berikut:
a) Cacat pholio, menggunakan tongkat, jalan agak pincang dan bicara cadel;
b) Trauma, depresi, takut, gemetar dan berkeringat jika mendengar suara keras atau orang berteriak karena dianggap kasar;
c) Takut kepada orang yang baru dikenal, terutama laki-laki yang dianggap sama dengan perilaku ayah kandungnya;
d) Ibunya mengalami gangguan jiwa, stres sejak belum menikah;
e) Komunikasi dengan ibunya jarang/terbatas;
f) Takut terhadap ancaman ayahnya.
Penanganan oleh Pekerja Sosial:
a) Pemulihan/recovery psikis;
b) Mapping masalah;
c) Resosialisasi dengan lingkungan RPSA dan PSPA, bertujuan merubah persepsi yang kurang baik terhadap orang lain bisa berubah;
d) Konseling individu.
3) Kondisi klien menjelang akhir pelayanan. Selama kurang lebih 1 bulan klien berada di RPSA Bima Sakti telah menunjukkan perubahan positip, yang ditunjukkan:
a) Lebih percaya diri, merasa diterima orang lain di lingkungan RPSA/PSPA;
b) Komunikasi dengan orang lain cukup baik, ramah dan cukup terbuka terutama dengan Pekerja Sosial;
c) Memiliki motivasi untuk berubah dalam usaha menyongsong masa depannya;
d) Masih dendam pada ayahnya, dan tidak ada niat untuk memaafkan perbuatannya.
4) Kondisi saat ini. Peneliti, Pekerja Sosial RPSA dan Sakti Peksos dapat bertemu langsung dengan ibu kandung MNI di rumahnya dusun Krajan Desa Wonokerto Kecamatan Bantur Kabupaten Malang. Sedangkan MNI masih berada dalam pembinaan Panti Sosial Bina Daksa Bangil sejak pasca pelayanan RPSA. Secara fisik bangunan rumah dari tembok, cukup besar dan representatif. Ibu MNI mengalami gangguan jiwa sejak sebelum menikah, sehingga sulit diajak komunikasi. Informasi tentang MNI lebih banyak berasal dari budenya. Menurut budenya, Ibu MNI sudah cukup lama merindukan anaknya, karena sejak berada di RPSA Bima Sakti baru sekali bertemu dengan anaknya, dan hingga saat ini belum tahu perkembangannya. Oleh Pekerja Sosial RPSA dijelaskan bahwa saat ini MNI dalam pembinaan di Panti Sosial Bina Daksa Bangil. Hal ini semata-mata demi masa depan MNI. Pertanyaan yang selalu muncul dari ibunya adalah “berapa biaya untuk pelayanan atau pembinaan terhadap anaknya selama di RPSA”. Penjelasan yang dilakukan oleh Pekerja Sosial RPSA mampu meyakinkan ibunya bahwa selama dalam proses pelayanan RPSA dan pembinaan di Panti Sosial Bina Daksa Bangil bagi anaknya, tidak dipungut biaya/gratis. Pertanyaan ini wajar mengingat ibunya merasa belum mengatahui perkembangan anaknya, meskipun pihak RPSA sudah memberitahukan kondisi anaknya. Klien masih tetap dendam terhadap ayah kandungnya, karena telah merampas harga dirinya dan tidak mengakui perbuatannya. Perkembangan positip dialami klien selama berada di Panti Sosial Bina Daksa Bangil. Pergaulan lebih bebas karena mendapat teman yang sama-sama mengalami cacat tubuh dan sudah mulai bisa tersenyum dengan orang lain terutama laki-laki yang dulu dianggapnya sama dengan “kelakuan bapaknya”. Hingga saat ini ayah kandungnya berada dalam tahanan pihak berwajib, setelah masa tahanan/hukumannya selesai akan menjadi persoalan bila harus berkumpul kembali dengan MNI.
d. Kasus LWA
1) Permasalahan. LWA adalah seorang anak perempuan, saat di RPSA berusia 9 tahun dan kelas IV SD, mengalami pelecehan seksual (pencabulan dan pemerkosaan) oleh ayah tirinya sendiri. Klien berasal dari keluarga miskin, ayah tiri korban (pelaku) pencari burung di hutan, sedangkan ibunya tidak bekerja. Kasus ini terbongkar setelah guru sekolah mengetahui perubahan perilaku korban yang sering tidak masuk sekolah dan lebih banyak pendiam. Melalui kerjasama dengan Tim Sakti Peksos, kasus ini terbongkar dan melaporkannya ke kepolisian setempat. Selanjutnya pihak kepolisian menahan pelaku, sedangkan korban diserahkan ke RPSA Bima Sakti setelah melalui proses negosiasi dan pendekatan dengan keluarganya. Langkah ini diambil setelah Sakti Peksos melakukan asesmen awal tentang kondisi ekonomi orang tuanya dan kondisi sosial psikologis korban.
2) Kondisi awal
a) Kondisi fisik kurus, dan sering mengeluh sakit;
b) Hasil visum menunjukkan klien merupakan korban pemerkosaan;
c) Trauma, pendiam, pandangannya kosong dan malu bertemu dengan orang lain terutama dengan orang yang belum dikenal;
d) Masih sekolah tetapi sering tidak masuk;
e) Benci terhadap ayah tirinya.
Klien berada di RPSA selama 2 minggu, penanganan yang dilakukan oleh Pekerja Sosial adalah sebagai berikut:
a) Asesmen dalam usaha mengetahui permasalahan dan kebutuhan klien;
b) Pelayanan kebutuhan dasar selama berada di RPSA;
c) Terapi psikososial seperti advice giving and counseling relaksasi, terapy symbol, terapi bermain, Family base: Parent-Child Interaction Therapy (PCIT), Community base, Penangan Klinis oleh Pekerja Sosial profesional dan bimbingan belajar akademik;
d) Mengikutsertakan klien dalam kegiatan PSPA;
e) Pelayanan konseling baik kepada klien maupun orang tuanya (ibunya).
3) Kondisi akhir pelayanan
a) Kondisi fisik belum nampak berubah, kurus dan masih mengeluh sering sakit perut (maag);
b) Sifat pendiam masih ada;
c) Kondisi sosial psikologis korban sudah mulai pulih, perkembangan emosional nampak stabil;
d) Sudah mulai bisa bergaul dan berkomunikasi dengan Petugas dan klien PSPA.
4) Kondisi saat ini. Hasil wawancara dengan guru SD, orangtua klien dan Pekerja Sosial RPSA serta pengamatan klien menunjukkan: Perubahan positip ditunjukkan oleh LWA yang sebelumnya tidak mau sekolah, saat ini sudah mulai masuk sekolah dan tinggal bersama ibu kandung dan kakeknya. Saat ini LWA duduk di kelas IV SD Negeri di dekat rumahnya. Pengamatan peneliti di sekolah menunjukkan LWA tidak mau bergaul dengan teman-temannya atau menyendiri dan cenderung pendiam. Menurut gurunya, terbongkarnya kasus ini berawal dari kecurigaan gurunya yang mengetahui LWA sering tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Menurut guru dan wali kelasnya, sebelum peristiwa ini memang LWA cenderung pendiam, dan hingga saat ini tetap pendiam dan tidak mau bergaul dengan teman-teman sekolahnya, tidak mau mengikuti kegiatan olah raga. Pihak sekolah mempermasalahkan seringnya klien tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Kebiasaan tidak masuk sekolah hingga saat ini masih sering dilakukan. Ada kesan klien dimanjakan oleh ibunya. Prestasi bejalar tergolong masih di bawah rata-rata. Kondisi fisik klien kurus, tinggal bersama ibu kandung bersama kakeknya di rumah sangat sederhana bantuan dari desa yang status tanahnya milik dusun setempat. Lantai dari tanah, aliran listrik berasal dari bantuan tetangga dan harus dibayar Rp.15.000,-/bulan. Ibunya bekerja sebagai buruh tani dengan upah Rp. 15.000,-/hari, namun tidak setiap ada pekerjaan. Sedangkan ayah kandungnya telah meninggal. Di rumahnya terdapat 3 ekor kambing bantuan dari RPSA. Ketika masuk RPSA selama 12 hari ibunya juga ikut karena tidak bisa lepas dari klien. Klien sudah mengikuti kegiatan ektrakurikuler sekolah, mau ngobrol, ngaji di Mushala dan bermain terbatas dengan beberapa teman sebayanya di sekitar rumah. Menurut ibunya, klien mempunyai sakit maag, akibat sering jajan dan sulit diperingatkan. Klien tergolong manja dan cukup sering merengek jika menginginkan sesuatu. Ibunya masih mengharapkan agar klien tetap bisa melanjutkan sekolahnya. Saat ini pelaku yang juga ayah tiri klien berada di LP Malang dengan vonis 12 tahun. Peristiwa yang dialaminya mengakibatkan LWA dan ibunya masih dendam, dan tidak akan menerima kembali ayah tirinya. Secara insidentil RPSA tetap melakukan monitoring dalam upaya pembinaan lanjut LWA.
e. Kasus AR
1) Permasalahan. AR (perempuan), merupakan anak pertama dari 3 bersaudara adalah korban pemerkosaan yang dilakukan oleh tetangganya sendiri. Korban lahir di Malang, 15 Desember 1998 (usia 13 tahun), saat berada di RPSA Bima Sakti korban baru kelas V SD. Ayahnya bekerja sebagai kuli bangunan sedangkan Ibunya bekerja sebagai buruh tani. Saat ini usia kandungan korban sudah berjalan 5 (lima) bulan. Mereka tinggal di sebuah rumah dengan ukuran 3 X 6 m2 di gang kecil di sebuah desa kabupaten Malang. Sejak kecil korban memiliki penyakit epilepsy. Peristiwa ini terjadi bulan Nopember 2010, dan baru terbongkar setelah ibunya mengetahui bahwa korban tidak datang bulan selama beberapa bulan. Kehamilan baru diketahui setelah korban menceritakan kepada teman dekatnya di sekolah, yang kemudian menceritakannya kembali kepada orangtuanya. Secara kebetulan orang tua sahabat korban adalah anggota kepolisian. Setelah mengetahui hasil pemeriksaan bahwa korban positif hamil, maka pelaku ditahan, sedangkan pihak kepolisian melakukan pendampingan hukum dan psikologi bersama petugas RPSA Bima Sakti. Korban memperoleh pelayanan di RPSA selama 3 minggu. Mengingat ibunya tidak bisa melepaskan korban, maka proses penanganan korban dilakukan dengan cara datang di RPSA pagi hari dan pulang sore hari.
2) Kondisi awal. Status AR di RPSA adalah “temporary shelter” yang hanya beberapa hari tinggal dan mendapat pelayanan di RPSA. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pekerja Sosial dan orangtua korban tentang kondisi korban adalah sebagai berikut:
a) Sejak kecil klien mempunyai penyakit epilepsi;
b) Hamil 5 bulan;
c) Trauma, bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan;
d) Orangtua klien terutama ayahnya sangat terpukul dengan kejadian ini, karena tetangganya dianggap sebagai pelakunya. Kondisi ini mengakibatkan ayah klien akan bunuh diri karena tertekan dan terpojok oleh gunjingan tetangganya;
e) Benci terhadap pelaku.
Berdasarkan kondisi fisik dan mental anak, RPSA melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Asesmen awal untuk mengetahui permasalahan klien, dilakukan melalui wawancara dengan klien dan orang tuanya;
b) Pelayanan kebutuhan dasar;
c) Pendampingan hukum dan Psikolog;
d) Pemeriksaan kesehatan dan kandungan di rumah sakit;
e) Mencarikan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan lainnya seperti jaminan persalinan tanpa biaya.
3) Kondisi akhir pelayanan
a) Meskipun kandungannya telah berusia 5 bulan, namun AR tidak merasa hamil sehingga tidak mempengaruhi aktivitasnya. Gerakannya cukup lincah, kegiatan fisik di RPSA seperti olah raga, jalan-jalan selalu diikutinya.
b) AR sudah mulai terbuka dan bergaul dengan orang lain
c) Dalam perkembangannya, ada keinginan orangtuanya agar klien tinggal di rumahnya, sedangkan pelayanan klien dilanjutkan dengan mendatangi RPSA pada pagi hari dan baru pulang sore hari setelah dijemput oleh orang tuanya.
4) Kondisi saat ini. Saat ini klien masih menjalani “rawat jalan”. Sementara belum sekolah dan menunggu kelahiran anaknya, aktivitasnya lebih banyak dilakukan di RPSA dengan mengikuti kegiatan baik sendiri maupun bergabung dengan anak-anak PSPA. Aktivitasnya juga belum berubah, bermain sebagaimana layaknya anak-anak, dan tetap mengikuti kegiatan PSPA hingga sore hari, gerakannya masih cukup lincah.
4. RPSA Turikale Makassar
a. Kisah Z dengan kasus: keterlantaran anak, dengan spesifkasi anak yang direunifikasi oleh RPSA kepada keluarga pengganti.
1) Kondisi Awal. Kisah Z, umur 10 tahun sekarang kelas 3 SD Islam di daerah Petarani. Perawakannya kurus, dengan tinggi kurang lebih 100 cm-an, dengan rambut cepak. Ketika Z berusia sekitar 3 tahun, dia dibawa oleh neneknya, karena kedua orangtuanya bercerai dan tidak mengurusnya, bahkan tidak pernah bertemu sampai sekarang. Karena kondisi ekonomi neneknya yang miskin, Z dititipkan kepada saudara neneknya, yang juga masih nenek Z. Saudara neneknya tersebut dengan senang hati menerima Z untuk diasuh di rumahnya karena merasa itu juga cucunya juga. Selang beberapa hari, Z dibawa oleh anak perempuannya, dan diasuh dirumahnya. Namun selama ikut tantenya, dia mengalami kekerasan dari ibu angkatnya yang tidak lain masih keluarganya. Kemudian Z lari, dan berada di jalanan, yang akhirnya diketemukan oleh mahasiswa yang menolongnya. Pertama kali masuk RPSA, anak ini diantar oleh seorang mahasiswa yang menemukannya di jalanan, dan sempat tinggal di rumah mahasiswa tersebut kurang lebih 2 bulan. Kemudian, Z diantarkan ke RPSA melalui Dinas Sosial Kota Makassar. Setelah dilakukan asesmen awal, bahwa Z belum diketahui asal-usul keluarganya, dan dia sempat tinggal di RPSA kurang lebih satu mingguan. Z juga sempat dititipkan salah seorang pengasuh RPSA, dan tinggal bersama di rumah pengasuhnya (bpk Sn). Selama dalam proses pengasuhan oleh pihak RPSA hampir 2-3 bulan, Z sempat bersekolah. Kemudian Pekerja Sosial dan Sakti Pekos melakukan penelusuran terhadap keluarga Z. Hingga pada bulan September 2010, ditemukan keluarganya, setelah fotonya ditanyakan ke sekolah Z, pihak sekolah mengantarkan Pekerja Sosial ke rumah nenek Z, dan akhirnya mereka bisa dipertemukan kembali dengan keluarga.
2) Kondisi menjelang keluar. Kondisi Z saat hendak dipertemukan dengan keluarganya, telah melampaui proses evaluasi. Kondisi fisiknya cukup sehat, siap untuk kembali diasuh dan berkumpul dengan salah seorang kerabat (nenek). Selama proses penelusuran, keluarga telah disiapkan dan diinformasikan tentang kondisi anak yang terlantar, tanpa pengasuhan. Akhirnya nenek Z beserta kerabat lain yang berada di rumah tersebut, menyanggupi untuk menerima Z hidup bersama mereka. Dalam proses penyerahan tersebut, Pekerja Sosial menekankan pada keluarga untuk mempertahankan agar Z bisa kembali bersekolah.
3) Kondisi Pasca Pelayanan. Kini Z tinggal bersama dengan neneknya, dan dia sudah bersekolah di kelas 3, kegiatannya selain sekolah juga ikut TP Al Qur’an setiap sore hari. Z sangat disayang oleh neneknya serta tantenya yang lain, setiap hari dia diberi uang jajan 2000-3000 rupiah, biasanya dia belikan makanan di sekolah, dan sebagian lainnya untuk main game. Secara fisik, kondisinya cukup sehat, kebutuhan makan sehari-harinya terpenuhi, juga cukup mendapat kasih sayang dari nenek dan kerabat lainnya. Z nampaknya merasa aman bersama keluarga barunya, meskipun dia tidak lagi bertemu dengan kedua orangtua serta saudara kandung lainnya. Kondisi rumah neneknya pun cukup layak, didukung kondisi ekonominya sebagai pengrajin membuat buras, dimana kerabat dan sebagian tetangganya ikut bekerja di rumah neneknya, dengan hitungan setiap 10 buah dihargai 2500 rupiah. Ketika berpamitan, Z bersalaman dan membisikkan kata “Main lagi ke rumah bu” (dengan muka tersenyum dan nampak ceria).
b. Kisah FR dan ZR, dengan jenis kasus kekerasan fisik, dan dilakukan proses referal serta reintegrasi oleh pihak RPSA
1) Kondisi Awal. Kisah dua kakak beradik ini bermuara pada kebiasaan keduanya yang sering melakukan pencurian uang di rumah neneknya. Kedua orangtuanya, menikah usia muda saat berusia 18 tahun. Dikaruni 4 orang anak, ZR (13 tahun) laki-laki anak pertama, kemudian N (11 tahun) perempuan, FR (10 tahun) dan terakhir anak perempuan yang masih berumur 3 tahun-an. Kini kedua orangtuanya pisah ranjang, dan masing-masing tingal di orangtuanya. Saat ini ibu (I/28 tahun) bekerja sebagai pelayan di sebuah cafe dan mulai bekerja pukul 4 sore sampai pukul 3 dini hari. Ia masih tinggal bersama nenek (Nr) dan anak terakhirnya yang berusia 3 tahun. Sedangkan ZR dan adik perempuannya nomor tiga tinggal bersama ayah di rumah orangtunya. Sebelumnya, FR dan ZR tinggal bersama di rumah nenek Nr, namun sejak perilaku mereka suka mencuri muncul, maka FR (kakak) dipisahkan dengan ZR (adik) dan disuruh tinggal bersama ayahnya. Secara ekonomi kondisi nenek Nr berkecukupan, dirumahnya terdapat usaha warnet yang mampu menghasilkan 100.000/hari dan warung kecil-kecilan. Hampir setiap hari anak-anak dilingkungannya bermain game di warnetnya, dan baru ditutup sekitar pukul 2-3 pagi hari, termasuk cucu-cucunya (FR dan ZR) memiliki kebiasaan bermain game di warnet. Rumahnya yang terletak di Kota Makassar, tergolong cukup bagus, rumah gedung bertingkat dua yang cukup kokoh bercat hijau. Penyebab munculnya perilaku mencuri menjadi salah satu faktor dari kurangnya perhatian dari kedua orangtuanya, selain akibat pergaulannya dengan beberapa ‘preman’ di dekat rumahnya. Awalnya ZR yang mencuri uang neneknya, yang kemudian mengajak adiknya untuk ikut mencuri, kadangkala mereka bersama-sama mengambil uang di rumahnya. Setelah ZR berhasil menemukan tempat menyimpan uang, biasanya FR diminta untuk menjaganya supaya tidak ketahuan. Lama-kelamaan FR-pun berani melakukan sendiri untuk mengambil uang, tidak tanggung-tanggung uang yang dicuri mencapai ratusan ribu rupiah. Uang hasil curian, biasanya dipakai untuk jajan atau main warnet, meski di tempat lain bersama teman-temannya atau mentraktir teman-temannya. Oleh karenanya kedua anak tersebut sangat disukai teman-temannya. Teman-temannya mengetahui bahwa uang tersebut hasil dari mencuri, maka teman-temannya suka mengancam mereka untuk mengambil uang lebih banyak lagi, untuk dipakai bersama teman-temannya. Selain mencuri uang dari simpanan neneknya, mereka juga pernah mengambil uang SPP temannya yang belum sempat dibayar ke sekolahnya, sebesar 150 ribu rupiah. Kebiasaan perilaku kedua anak tersebut sempat membuat jengkel keluarganya. Tidak jarang tindak kekerasan menimpa kedua anak tersebut, seperti paman memukul FR dengan ikat pinggang sampai berbekas di bagian pelipis sebelah kiri, bahkan masih terlihat sampai sekarang. Demikian halnya nenek meneteskan lilin panas ke tangan FR, namun demikian perlakuan tersebut tidak membuat mereka jera, karena perilaku mencuri masih tetap dilakukan anak. Kejengkelan nenek sempat memuncak, dan berniat hendak membunuh mereka. Pernah hampir dua kali nenek melaporkan dan membawa mereka (cucunya) ke kantor polisi untuk ditahan saja, tapi polisi menyampaikan: “kita tidak bisa tahan ji bu, nanti malah kena HAM”. Akhirnya FR dan ZR dibawa kembali pulang ke rumahnya. Selang beberapa hari, nenek Nr mendapatkan informasi tentang Dinas Sosial, kemudian membawa kedua cucunya ke Dinas Sosial. Setelah dua kali datang ke Dinas Sosial (c.q RPSA), maka pihak Dinas Sosial melalui RPSA melakukan proses asesmen singkat. Karena kondisi RPSA yang tidak memungkinkan menjadi shelter untuk tempat tinggal sementara, maka keduanya di rujuk ke Panti Asuhan yang berbeda. ZR di referal ke Panti Asuhan Al-Masawir, dan FR di referal ke TPA pimpinan Hj. Zub. Khusus perilaku ZR selama di Panti, menurut pengakuan Kepala Panti Hj Ruk (16 Mei 2010, 10.00-11.00 WITA), baik sikap dan perlaku ZR, terlihat cukup menunjukkan kemajuan. Begitu awal masuk Panti, ZR mampu menyesuaikan diri dengan baik dan cepat, sehingga dia tidak merasa tertekan.
2) Kondisi menjelang keluar. Selama hidup di Panti, ZR mampu menerima nasehat dari pengasuh (kepala Panti), dan mengikuti tata tertib Panti. Bahkan dia mempunyai satu teman dekat yang bernama R, dan menangis ketika keduanya harus berpisah. Sehari-hari ZR terbiasa membantu pekerjaan di Panti, seperti mengantarkan galon air ke konsumen. Dari setiap satu galon, ia mendapatkan upah sebesar 1000/rupiah, dan kalau berdua yang mengantar maka uangnya dibagi 2. Menurut Hj Ru, pengasuhan di Panti memang mengajarkan mereka untuk saling mengasihi dan penuh kehangatan. Selesai sholat berjamaah Maghrib, biasanya Hj Ru memberikan nasihat-nasihat kepada anak-anak, termasuk tidak untuk mengambil barang yang bukan miliknya, meskipun tidak langsung ditujukan kepada ZR. Di panti, ZR diperlakukan seperti anaknya sendiri, dia bebas menggunakan telepon rumah untuk bisa menghubungi neneknya dan biasanya ZR minta diantarkan pakaiannya. Suasana kehangatan keluarga itulah yang membuat ZR nyaman berada di Panti. Setelah hampir sebulan bersamaan dengan masa liburannya habis, dimana ia harus kembali bersekolah, kemudian pihak Panti mengembalikan anak ke keluarganya melalui Dinsos kota Makassar. Banyak perubahan perilaku ZR saat hendak dikembalikan ke orangtua. ZR sudah tidak pernah mencuri, meskipun kesempatan untuk itu ada, terutama saat mengantarkan galon air ke konsumen. ZR sangat sedih saat hendak dikembalikan ke orangtuanya, dan sebenarnya ia tidak menginginkan berpisah dengan teman karib dan suasana yang nyaman di Panti. Selanjutnya ZR dijemput neneknya dan kini diasuh oleh bapaknya. Peran Panti Sosial dalam hal ini dapat disebut sebagai temporary shelter, menggantikan fungsi RPSA. Sementara peran Petugas RPSA selama anak di dalam Panti hanya melakukan komunikasi dengan keluarga maupun petugas Panti Sosial, terutama saat ada permasalahan terkait anak. Tidak dilakukan proses penyiapan keluarga menjelang anak kembali ke rumah, terutama memberikan masukan tentang permasalahan atau munculnya perilaku anak dan tata cara pengasuhan yang terbaik bagi anak-anak mereka, terhadap orang tua dan atau keluarga (nenek).
3) Kondisi pasca Pelayanan. Menurut kepala Panti, kondisi FR yang di referal ke TPA “Hj Zu”, juga mengalami perubahan yang cukup baik, meski saat ini dia tinggal terpisah dari kakaknya ZR. Namun demikian, usianya yang sudah hampir 13 tahun, masih duduk di kelas 1, belum lancar membaca dan menulis dan dia pernah tinggal kelas 2 kali. Ibu kandungnya yang selalu mengajari FR di rumah, disertai dengan cara kekerasan “lebih banyak pukulannya bu, daripada ngajarinnya” ujar nenek Nur. Perilaku mencuri sudah tidak dilakukan lagi, namun kondisi rumah dimana ibunya yang selalu mukul, dan minimnya kasih sayang yang diperoleh anak, dikhawatirkan akan menimbulkan bentuk perilaku bermasalah lainnya meski perilaku anak suka mencuri sudah tidak dilakukan lagi. Faktor penyebab perilaku anak yang suka mencuri, sebenarnya adalah adanya kebutuhan anak untuk mendapatkan perhatian, kasih sayang baik dari orang tua maupun dari teman-temannya yang selama ini tidak atau kurang optimal diperoleh anak. Selain itu sebagai wujud terselubung anak-anak mengalami kegalauan melihat kehidupan perkawinan orangtuanya yang selalu bertengkar. Jika melihat kondisi anak saat ini, seperti belum bisa membaca dan menulis serta masih menduduki kelas 1 SD, meski sudah berumur 13 tahun. Termasuk pola pengasuhan ibu, cenderung menggunakan kekerasan fisik, setidaknya akan berpengaruh pada perilaku anak. Maka kondisi tersebut menunjukkan bahwa anak dan ibu membutuhkan dampingan lanjutan terkait dengan pengasuhan bahkan mungkin tentang permasalahan terkait kehidupan perkawinan orangtua anak. Apabila mereka tidak memperoleh dampingan dalam pengasuhan bagi ibu maupun bagi anak, maka dikhawatirkan perubahan perilaku yang sudah terjadi pasca pelayanan dari Panti tidak akan berlangsung lama. Oleh karenanya Pendamping atau Peksos dapat membantu ibu, baik dalam bentuk konsultasi pribadi atau mengakseskan ke lembaga (LK3) yang berhubungan dengan kehidupan perkawinannya. Jika kondisi emosional ibu sudah tenang maka secara tidak langsung akan berpengaruh pada pola pengasuhan anak, sehingga anak memperoleh lingkungan yang nyaman sebagaimana anak peroleh dari kehidupan di Panti Sosial. Sejalan dengan itu diberikan dampingan bagi anak berupa mengakseskan anak kepada guru yang dapat memberi remedial pelajaran.
c. Kisah 3, RK, RN dan RM, kasus keterlantaran yang dilakukan reunifikasi dengan keluarga pengganti dan proses reintegrasi.
1) Kondisi Awal. Ketiga anak ini, merupakan rujukan dari RPSA Bambu Apus. Mereka mengalami keterlantaran karena ibunya mengalami masalah hukum di Malaysia. Sekitar tahun 2000, keluarga mereka berangkat ke Malaysia untuk bekerja sebagai TKW ilegal. Ibunya bekerja sebagai pembersih rumput, sedangkan bapaknya sebagai buruh di kebun karet. Mereka berangkat melalui Pare-pare, menggunakan jalur laut menuju Nunukan dan masuk ke wilayah Sabah, Malaysia. Saat itu mereka baru mempunyai satu anak yang bernama RK (13 tahun), yang baru berumur sekitar 3 tahun. Setelah di Malaysia, ibunya melahirkan RN (10 tahun) dan RM (7 tahun), dan bayi laki-laki (8 bulan-an) yang lahir di penjara Malaysia. Tahun 2009, ibunya mengalami kasus pembunuhan terhadap suaminya, dengan memberikan racun di kopi yang diminumnya, sampai tewas, dan akhirnya ibunya diproses hukum dan dipenjara. Akibatnya, ketiga anaknya terlantar, yang selanjutnya pihak Kemenlu bekerja sama dengan Kemenakertrans mengupayakan upaya pembebasan ibu, sementara untuk mengurus ketiga anaknya, Kemenlu bekerja sama dengan Kemensos. Proses reunifikasi dilakukan bersama-sama dengan berbagai pihak, baik dari Kemensos, Kemenlu, maupun Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng sebagai daerah asal. Setelah proses pengembalian anak dan ibu siap, kemudian ketiga anaknya, dibawa ke Jakarta dan dirujuk ke RPSA Bambu Apus, selanjutnya ketiga anaknya di referal melalui RPSA Turikale, Makassar untuk proses reunifikasi dengan keluarga di Makassar. Sesampainya di Makassar, mereka tidak ditempatkan di RPSA, tetapi menginap di Hotel Panakukang selama kurang lebih 2 hari. Sementara pihak RPSA melakukan tracing (penelusuran) ke daerah asalnya di Bantaeng. Kendala yang pertama nama ibunya yang diganti menjadi Ellis, sementara nama aslinya HL (30 tahun) yang menyulitkan penelusuran ke keluarganya di desa.
2) Kondisi Menjelang Akhir. Setelah Ibu mereka bisa kembali ke Indonesia, kemudian Peksos memperoleh alamat keluarganya di Bantaeng, melalui Dinas Sosial Kab. Bantaeng. Maka pihak RPSA Turikale mengembalikan mereka ke keluarga/kerabat melalui cara referal ke Dinas Sosial Kabupaten Bantaeng, guna memperoleh pelayanan lebih lanjut. Saat anak hendak dibawa pulang ke kampung halamannya, mereka sempat berontak tidak ingin keluar dari hotel, tempat dimana mereka tinggal. Penyerahan kasus ketiga anak ke Dinas Sosial Kabupaten Bantaeng, dilakukan dengan upacara resmi dan disaksikan oleh petugas dari Dinas Sosial Kota Makassar/RPSA, Bupati Bantaeng dan Kemensos, Sementara ibunya belum kembali dari Malaysia, ketiga anak HL ini diantar ke desanya dan tinggal dengan keluarga. Selama belum memiliki rumah, mereka ditempatkan di rumah kerabatnya (Bapak BC sebagai pamannya sekaligus walinya). Pada saat bersamaan Dinas Sosial Kabupaten Bantaeng, menjanjikan pada keluarga tersebut, untuk memperoleh layanan lanjutan, berupa bantuan untuk sekolah anak dan tempat tinggal. Sementara Kemensos dan Dinas Sosial Provinsi Makassar, telah memfasilitasi sarana prasarana yang dibutuhkan bagi mereka, seperti pemasangan listrik dan penyediaan TV di rumah pamannya, selain dibekali uang dan barang perlengkapan rumah tangga.
3) Kondisi pasca Pelayanan. Home visit: 14 Mei 2011, dilakukan ke desa Papan Loe, Kecamatan Pakjukukang, Kab Bantaeng. Sejak ibu mereka pulang dari Malaysia, mereka tinggal terpisah dengan rumah kerabatnya, dan mendirikan rumah berdinding bilik di atas tanah Pak BC, bersebelahan dengan rumah adiknya yang bernama KM (25 tahun) dan iparnya bernama SO. Saat ini ibu tinggal dengan 4 orang anaknya, salah satunya yang masih berusia balita. Secara fisik kondisi rumahnya cukup memprihatinkan, dimana dinding rumahnya terbuat dari bilik bambu satu lembar, sehingga tipis berlubang-lubang, tanpa penerangan lampu dan persediaan air bersih. Lantainya masih tanah, dengan bentuk rumah hanya satu ruangan, dimana ruang tamu, tempat tidur, dan dapur menjadi satu. Untuk MCK masih menggunakan jamban kerabatnya yang berjarak kurang lebih 50 meter. Menurut Petugas dinas setempat, menyatakan bahwa yang bersangkutan diusulkan untuk mendapatkan bantuan RTLH. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibunya bekerja sebagai buruh pembuat batu-bata dengan imbalan 50.000 untuk pembuatan 1000 buah batu bata, yang dikerjakan dari pagi sampai sore. Saat dilakukan kunjungan menu untuk makan hari itu hanya dengan nasi jagung dan sayur kelor, sesekali dengan ikan kalau punya uang lebih. Meski persediaan nasi jagung mentah cukup banyak (satu karung isi 50 kg). Saat dikunjungi anak-anak berpakaian pemberian dari RPSA sementara pakaian lainnya adalah pakaian bekas pemberian dari kerabat. Menurut HL (ibunya) mengatakan bahwa dirinya tidak akan pergi lagi ke luar negeri, “sudah ji bu di sini aja, tidak mau pergi lagi”. Kini kondisi ketiga anak perempuannya sudah sekolah di SD Negeri 62 Mawang, dan semuanya masih kelas 1, karena selama di Malaysia ketiganya juga tidak mengenyam bangku pendidikan. Kesulitan yang dihadapi pihak sekolah saat ini yaitu tidak adanya identitas ketiga anak tersebut, termasuk akta kelahiran. Untuk data identitas maka pihak sekolah hanya mengandalkan pada perkiraan dari pihak keluarga saja. Secara psikis, anak yang pertamanya cukup pendiam, dan mengerti atas kejadian yang menimpa kedua orangtuanya, beberapa orang di kampungnya kadang ada yang mengatakan anak pembunuh, namun demikian pamannya (bernama Ss) selalu membela, dan marah kalau ada orang yang menghinanya. “Biar ji jangan kau omong mereka, sudah ada pemerintah kie yang bantu”. Kendala lain untuk pembuatan akta kelahiran, juga karena mereka tidak mempunyai surat nikah, meski kedua orangtua mereka menikah secara sah, melalui PPN (Pegawai Pencatat Nikah) dan membayar administrasi sebesar 350 ribu, namun surat nikah tidak keluar. Meski kasus ini sebagai kasus referal dari RPSA Bambu Apus, maka seharusnya RPSA Turikale melakukan proses pembinaan lanjut bagi anak untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik, serta upaya penyiapkan keluarga, kerabat dan lingkungan sosial bagi anak di daerah asalnya. Berhubung ketiga anak tersebut sebagai penerima manfaat dari program Kemensos bagi Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus atau PKS-AMPK. Maka Sakti Peksos sebagai pendamping seharusnya dapat menindaklanjuti untuk keperluan pemenuhan hak anak seperti mendapatkan akte kelahiran, proses bimbingan belajar (remedial) untuk kemampuan sekolahnya, dengan biaya dari bantuan sosial yang ada di PKS-AMPK tersebut. Jika kondisi jarak tempuh sebagai kendala dalam pelayanan bagi anak, maka Sakti Peksos dapat bekerja sama dengan TKSK setempat atas persetujuan dari Dinas Sosial Kabupaten Bantaeng.
d. Kisah IN, kasus eksploitasi ekonomi
1) Kondisi Awal. IN (12 tahun) adalah kasus eksploitasi ekonomi, IN ditemukan Petugas RPSA saat menjadi pengamen. Selama ini IN harus menangung kehidupan ekonomi keluarga, karena sebagai anak pertama dari pasangan DN (ayah) yang bekerja sebagai buruh serabutan dan DB (ibu) sebagai tukang cuci. Saat ayahnya pergi dan tidak pulang, selama berbulan-bulan, IN harus putus sekolah karena harus bekerja untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya. Sementara ibu sebagai buruh cuci, tidak setiap hari memperoleh pekerjaan untuk mencuci dengan imbalan Rp. 15.000,-/hari. IN, mempunyai 4 orang adik yaitu RH (8 tahun), AD (6 tahun), AM (4 tahun) dan MH (2 tahun). Setelah IN “ditangkap”, ia sempat mendapatkan pelayanan di RPSA, dan menginap selama 1 hari, kemudian dikembalikan lagi ke rumah orangtuanya.
2) Kondisi Menjelang keluar. IN dikembalikan ke orangtuanya, karena diketahui bahwa IN menjadi anak jalanan (on the Street) yang kembali ke rumah, karena kebutuhan ekonomi semata. Meski belum dilakukan asesmen secara lengkap, namun IN dikembalikan ke orangtuanya (ibu), dan mengingat RPSA tidak memiliki tempat untuk menampung anak. Sementara ayahnya belum diketahui kepulangannya, maka anak dan ibu setuju bahwa anak akan kembali bersekolah dengan jaminan melalui bantuan dari PKSAMPK.
3) Kondisi Pasca Pelayanan. Home visit, 17 Mei 2011. Kini, IN tinggal bersama orangtua dan ke-4 adiknya di rumah kontrakannya yang berukuran 2x3 meter. Rumahnya yang sempit, dikontrak 200 ribu/bulannya, di daerah Karunrung, Kecamatan Rappocini, Makassar. Meski saat itu berjanji akan kembali bersekolah (dengan bantuan PKSA) namun melihat kehidupan ibu yang harus bekerja banting tulang mengandalkan dari buruh cuci yang tidak selalu ada, membuat IN kembali mencari uang ke jalanan (mengamen). Saat bapaknya telah kembali ke rumah, IN sebagai anak pertama tetap bekerja untuk menghidupi keluarganya, berangkat jam setengah delapan dan sampai di rumah jam 5 sore sebagai buruh bangunan. Sesampainya di rumah, biasanya dia langsung tiduran di rumah sambil nonton TV, karena kecapekan setelah bekerja seharian. Ternyata selama 9 bulan ini, ayahnya pergi dan bekerja di Nunukan. Saat ini IN bersama ayah bekerja sebagai buruh bangunan, dimana IN sebagai tenaga pembantu (tukang) dengan upah 25 ribu rupiah/hari. Sebagai hasil dari bekerja sebagai buruh bangunan, kini dia bisa membeli TV dengan cicilan 175 ribu/sebulan selama 10 bulan, dengan alasan agar adik-adiknya bisa menonton TV tanpa harus pergi ke tetangganya. Semua anak-anak tersebut tidak mempunyai akta kelahiran, dan yang sekolah hanya RH, anak kedua kelas 2 SD. Bantuan dari PKSA Kemensos, sebagian besar digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa beras, dan lauknya. Meski sehari-hari mereka makan 1-2 kali/hari, dengan lauknya kerupuk dan kecap atau ikan asin kalau punya uang.
e. Kisah 5, PT dan RF, dengan kasus penelantaran dan dilakukan reintegrasi
1) Kondisi Awal. Kasus Ibu DN (29 tahun), pada tahun 2010 kasusnya sempat menjadi sorotan media yang cukup menarik perhatian khalayak, karena meninggalkan anak-anaknya selama 3 hari. Kisahnya diawali, saat DN (ibu) pergi bekerja dan meninggalkan anak-anaknya di rumah, dengan harapan suaminya akan datang untuk menjaga anak-anaknya, kehidupan perkawinan DN dan suaminya yang menikah tahun 2000 di Jakarta saat ini mengalami percekcokan dan akhirnya mereka pisah ranjang, dan masing-masing tinggal di rumah kontrakan. DN yang bekerja sebagai waitress di sebuah Café di daerah Tangerang, biasa berangkat bekerja pukul 3 sore dan pulang pukul 3 dini hari. Diantara mereka telah ada kesepakatan kalau (ibu) DN kerja, maka suaminya akan datang ke kontrakan untuk menjaga ketiga anaknya yang masih balita, sementara anaknya yang masih bayi (Pt) dititipkan ke tetangganya. Sebelum berangkat DN sempat mampir ke kontrakan suaminya untuk memastikan suaminya berangkat untuk menjaga anak-anaknya, namun kamarnya sudah kosong sehingga dia berpikir kalau suaminya sudah berangkat. Sepulang kerja, DN tidak langsung pulang ke rumah karena kondisinya sedang sakit, dan dia nginap di rumah temannya, selama 1 hari dengan alasan kalau pulang ke rumah dirinya tidak bisa istirahat karena ada ketiga anaknya. Ternyata, kejadiannya lain, selama ibu bekerja dan tinggal semalam di tempat kost temannya, suaminya tidak menjaga anak-anak di tempat kontrakan. Kondisi ini sempat membuat tetangga resah dan melaporkannya ke pihak kepolisian tentang adanya anak yang diterlantarkan oleh ibunya. Begitu ibu pulang ke tempat kontrakannya, DN sangat kaget kerena sudah banyak orang berkerumun, termasuk wartawan sementara ketiga anaknya sudah tidak ada di rumah. Kemudian DN di bawa pihak kepolisian dan diantar ke RPSA Bambu Apus, untuk bertemu dengan ketiga anaknya. Akhirnya ibu DN dan ketiga anaknya sempat tinggal di RPSA Bambu Apus selama satu bulan, untuk mendapatkan pelayanan dasar (makan, minum, tempat tinggal), sampai akhirnya pulang ke rumah orang tuanya di kota Makassar.
2) Kondisi Menjelang Keluar. Sebetulnya kasus ibu DN dan ketiga anaknya merupakan kasus RPSA Bambu Apus yang dirujuk ke RPSA Turikale. Petugas dari RPSA Turikale, melakukan penelusuran tentang alamat orangtua dari DN, dan setelah diketahui alamatnya, maka Petugas memberitahukan tentang kasus yang dihadapi oleh Dn bersama ketiga anaknya. Sesampai di kota Makassar, selanjutnya mereka diserahkan ke orangtua untuk tinggal dengan mereka. Kondisi ketiga anaknya sudah mulai pulih, demikian juga kondisi ibunya, siap kembali untuk pulang ke kampung halamannya, dengan berbekal berbagai bantuan berupa uang dan barang, dari Kemensos.
3) Kondisi Pasca Pelayanan. Home visit, 17 Mei 2011. Kini, kondisi kehidupan keluarga ibu DN sudah kembali normal, tinggal bersama kedua orangtua DN, di wilayah Kelurahan Masale, Kota Makassar. Sampai saat ini tidak diperoleh informasi tentang keberadaan suaminya. Anaknya yang pertama bernama FR, menderita autis dan kini sudah diangkat anak oleh tantenya, sedangkan RF (5 tahun) dan PT (2 tahun) diasuh sendiri oleh DN. Saat ini ibu bekerja sebagai pegawai disebuah Laundry, dan mendapatkan gaji sebesar 600 ribu rupiah setiap bulannya. Ketika Ibu DN bekerja, kedua anaknya diasuh oleh Opanya yang tinggal serumah. Sampai saat ini kedua anaknya belum mempunyai akta kelahiran, karena surat nikah serta semua surat berharga beserta barang-barang lainnya hilang di kontrakannya saat peristiwa ini muncul menjadi pemberitaan.
5. RPSA Muhammadiyah Bandung
a. Kasus IR, kabur dari rumah
1) Kondisi Awal. IR, perempuan, umur 15 tahun, lahir tahun 1995, saat dikunjungi Juli 2011 sudah tamat SLTP, anak ke-1 dari 3 bersaudara. Ayahnya bernama R biasa dipanggil pak O. Ibunya bernama D. Mereka sekeluarga tinggal di Kampung BL, Desa SL, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Secara geografis, Desa ini sangat unik, terletak di lereng pegunungan, di perbatasan wilayah Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Dari Kota Bandung desa ini lebih mudah dicapai melalui Pengalengan dari pada melalui kota Garut, dengan mobil pribadi ditempuh sekitar 3 jam. Rumah tempat tinggal klien, dari perhentian mobil di kantor desa, hanya dapat dicapai dengan ojek sepeda motor atau jalan kaki sejauh sekitar 2,5 kilometer. Jalan menuju lokasi silih berganti mendaki terjal, berkelok tajam, menurun curam, ditempuh sekitar 45 menit. IR sudah tiga kali kabur dari rumahnya. Kejadian pertama pada bulan Juni 2010, kejadian kedua pada akhir tahun, antara tanggal 26 atau tanggal 31 Desember 2010. Sedangkan kejadian ketiga tanggal 12 Juni 2011. Keterlibatan RPSA Muhammadiyah terjadi pada kejadian kedua dan ketiga. Ketika kabur yang kedua, IR pergi ke Bandung, persisnya ke daerah Tegalega. Di sana IR bertemu dan bergabung dengan kelompok anak jalanan setempat, yang dikenal dengan geng funk rock atau brigess atau geng motor Ciroyom dan atau geng vespa Pasundan. IR masuk di RPSA tanggal 20 Januari 2011, melalui Dinas Sosial Kota Bandung, setelah diserahkan oleh seorang ibu bernama Er, warga Tegalega. Menurut penjelasan ibu Er, seperti dituangkan pada case record, IR sempat diasuh olehnya selama 8 hari di rumahnya. Ketika itu kata ibu Er, IR dikejar-kejar oleh sejumlah anak jalanan, karena merasa kasihan IR disembunyikan oleh ibu Er. Sekitar delapan hari kemudian Er menyerahkan IR ke Dinas Sosial. Dinas Sosial kemudian merujuk yang bersangkutan ke RPSA Muhammadiyah. Menurut catatan RPSA, penampilan IR ketika itu tampak lugu, bicara sangat pelan, nyaris tidak terdengar, sepotong-sepotong. Ketika itu dia mengaku bernama “Registra” dengan panggilan “Icha”. Secara fisik, tinggi badan sekitar 150 cm, kulit putih bersih, rambut sebahu agak kemerahan. Tentang sekolah, dia mengatakan masih ingin melanjutkan sekolah tapi ingin di Bandung, tidak mau kembali ke desanya di Garut. Anehnya, ketika ditanya siapa nama orangtuanya, anak tersebut diam saja, tidak mau mengatakan. Menurut Ibu Er, selama 8 hari bersamanya, IR baik-baik saja, rajin Shalat dan tidak menunjukkan perilaku atau perbuatan yang tidak baik. Selama ditampung ibu Er, IR sendiri mengaku merasa senang. Proses reunifikasi IR dengan keluarga dilakukan tanggal 2-3 Februari 2011, dengan acara seremonial, melibatkan TRC, Kemensos, Dinas Sosial Prov. Jabar, Dinas Sosial Kota Bandung, P2TP2A dan diliput media masa. Namun pada tanggal 12 Juni 2011, IR kabur ke-3 kalinya, dia kembali ke IW Parfum, di Tegalega, Bandung. Menurut informasi dari Pekerja Sosial yang menanganinya, IR berubah, rambut dipotong pendek, memperlihatkan sikap agresif, berani mencolek petugas, ngomong tentang seks, mengungkapkan niatnya “mau jadi artis”. Ada informasi bahwa pada pelarian ke-2, IR telah diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian dan pernah mengkonsumsi narkoba. Proses asesmen memang dilakukan untuk IR, namun demikian catatan kasusnya tidak dilakukan proses filling data yang menunjukkan perkembangannya setelah proses intervensi yang dilakukan. Case record (catatan kasus) yang tersedia, hanya berupa dua soft copy file, yaitu: 1) Catatan Kasus, memuat kronologis; 2) Catatan Kegiatan reunifikasi dan reintegrasi. Keduanya ditulis Ro F. Tidak diperoleh dokumen yang menunjukkan tahapan penyelesaian yang tuntas dalam penyelesaian masalahnya. Salah satunya, masalah IR yang sering kabur dari rumah, belum mendapat perhatian dalam proses intervensi untuk mengetahui lebih lanjut pokok permasalahan serta upaya untuk memberikan dukungan kepada keluarga. Belum lagi masalah dengan pelecehan seksual yang dialami oleh IR, masih sebatas cerita dari temannya dan belum dilakukan penggalian mendalam terhadap IR serta intervensinya untuk pemulihan kondisi kejiwaannya.
2) Kondisi saat keluar. Saat akan dilakukan proses reunifikasi, secara psikis memang belum ada perkembangan. Dalam upaya intervensi, IR sudah mendapatkan layanan pendampingan dari Pekerja Sosial termasuk layanan konseling dari Lembaga Konseling Universitas Padjajaran. Karena ada perkembangan kondisi secara fisik dan psikis, IR diupayakan untuk dilakukan proses reunifikasi dan reintegrasi. Ada beberapa alasan untuk melakukan proses tersebut, dikarenakan sudah ada proses penelusuran keluarga, dan IR juga masih sekolah dan harus menghadapi Ujian Nasional untuk kelas 3 SLTP. Proses evaluasi atas kondisi IR sudah dilakukan, meskipun untuk kondisi psikisnya belum mengalami banyak perkembangan, termasuk belum adanya persiapan untuk keluarga yang menerima. Keluarga belum dipersiapkan untuk menerima IR kembali baik secara dukungan psikis maupun ekonomi. Dengan perencanaan intervensi lanjutan, bahwa setelah proses reunifikasi dilakukan, direncanakan akan dilakukan monitoring untuk memantau kondisi IR, serta kebutuhan IR untuk bisa berkumpul kembali dengan keluarga.
3) Kondisi saat dikunjungi. IR dikunjungi di rumah orangtuanya di Kampung BL, Desa SL, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ketika peneliti tiba, IR ada di rumah bersama adiknya IQ, 4 tahun. Ibunya sedang pergi untuk berjualan gula di perkebunan teh, sedangkan bapaknya sedang pergi (bekerja) di ladang. Perawakan IR kecil, dengan paras muka yang cantik, kulit putih dan rambut pendek, telinganya sudah ditindik 2. Setelah diajak ngobrol, terkesan IR sangat pendiam, dan tertutup, menjawab pertanyaan dengan suara sangat pelan dan sepotong-sepotong. Dari ceritanya diketahui dia mempunyai teman laki-laki bernama RN yang bekerja di IW Parfum di daerah Tegalega, Bandung. Kalau ke Bandung dia mengaku tidur di tepat RN bekerja, bahkan dia yang membayar ojeknya ketika IR datang (kabur ke-3) ke Bandung beberapa waktu yang lalu. Dia sudah lulus SMP Muhammadiyah di Neglasari, masih ingin melanjutkan sekolah. Dia mengaku ingin melanjutkan sekolah di dekat Kecamatan Talegong, dan ingin kost di sana. Namun sampai saat dikunjungi itu, di mana tahun ajaran baru 2011-2012, sudah kurang dari seminggu dimulai, dia belum mendaftar di salah satu sekolah, bahkan ijazah SMP-nya belum diambil, alasannya belum punya uang. Kondisi psikis IR tampak belum stabil, raut wajahnya terkesan memendam kegelisahan. Melihat keseluruhan kondisi IR demikian, tampak bahwa masalahnya belum selesai. Dia memang tinggal bersama keluarganya namun bukan berarti masalahnya sudah terselesaikan, haknya terpenuhi.
b. Kasus IRW.
1) Kondisi awal. IRW, anak laki-laki, saat ini berumur 14 tahun, anak ketiga dari 3 bersaudara, kedua orangtunya telah bercerai. Awalnya tahun 2002, IRW masuk sebagai klien di PSAA Bayi Sehat (biasa disingkat PABS), ketika itu berusia sekitar 5 tahun. Dia diserahkan (diantar) pamannya, yang bekerja sebagai sopir angkot. Ketika orangtuanya bercerai IRW diasuh oleh ibunya. Menurut informasi yang diperoleh, IRW sering mendapat perlakuan kasar dari ibunya, sering ditampar, dicubit sehingga akhirnya pergi hidup di jalanan. Melihat kondisi tersebut, pamannya mengambil IRW dari jalanan dan menyerahkannya ke Panti PABS. Dalam perkembangannya tahun 2008 PABS menyelenggarakan (mendirikan) RPSA Muhammadiyah, IRW kemudian menjadi klien RPSA. Tidak diperoleh catatan rinci bagaimana pertimbangan atau prosesnya. Perlu dicatat bahwa RPSA Muhammadiyah tidak dapat memperlihatkan case record lengkap atas kasus ini, seperti halnya kasus-kasus lain. Dari penelaahan atas soft copy file perkembangan kasus klien IRW yang dibuat oleh Ro F, seorang Pekerja Sosial RPSA, tampaknya IRW dikembalikan oleh PABS kepada keluarga (Bapak) setelah tamat SD, tahun 2010.
2) Kondisi saat keluar. Proses penelusuran keluarga dilakukan oleh pihak RPSA, mengingat IRW sudah lama terpisah dengan keluarga. Setelah dilakukan pertemuan dengan keluarga, IRW yang saat itu sudah tamat SD, dinyatakan siap untuk proses reunifikasi, untuk berkumpul dengan bapaknya. Sebelumnya pihak keluarga menyayangkan IRW kembali ke rumah karena alasan ekonomi. Kondisi ekonomi bapak IRW memang kurang, dia hanya bekerja sebagai buruh bangunan harian. Tapi setelah ada penjelasan lebih lanjut tentang pentingnya dan keutamaan pengasuhan dalam keluarga, pihak keluarga dapat memahaminya. Disepakati pihak RPSA tetap mendampingi IRW termasuk membantu biaya pendidikan. Selanjutnya IRW akan bersekolah di SMPN 23. Seluruh proses pendaftaran sudah dilakukan, IRW diterima di sekolah tersebut. Namun ketika monitoring dilakukan oleh RPSA, pada bulan 28 September 2010, diketahui bahwa IRW ternyata sama sekali tidak pernah masuk (Perkembangan kasus klien IRW Oktober yang dibuat oleh Ro F). Alasannya sekolah tersebut terlalu jauh. Melihat keadaan tersebut Petugas RPSA bermusyawarah dengan keluarga dan IRW. Dia mengatakan ingin sekolah di SLTPN 19 Bandung di sekitar Sadang Serang. Sekolah ini lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Keinginan tersebut disetujui oleh semua pihak, RPSA membantu mengurus, namun sekolah dimaksud tidak dapat menerima karena sudah over load. Pilihan IRW berikutnya adalah masuk pondok pesantren tetapi tetap sekolah. Atas bantuan RPSA, setelah melakukan penjajagan, IRW diterima di Pondok Pesantren Cintawana dan bersekolah di MTsN Cintawana Tasikmalaya. Seluruh keperluan disiapkan dengan dana PKSA dan bantuan RPSA. Namun belum sebulan di sana, dia kembali ke bapaknya di Bandung, alasannya tidak betah. RPSA tidak bosan membantu, di Bandung dicarikan sekolah lain yang dapat menerima yang bersangkutan, pada akhirnya IRW masuk di SMP Kemah 4, sekolah swasta. Sekali lagi di sekolah ini pun dia tidak bertahan lama, alasannya anak-anaknya sering “malak”, membuatnya tidak kerasan.
3) Kondisi saat dikunjungi. Saat dikunjungi, Juli 2011, IRW masih tinggal berdua dengan bapaknya di sebuah rumah kontrakan kecil. Kondisi keluarga, termasuk kondisi ekonomi, tidak mengalami perubahan, bapaknya masih bekerja sebagai buruh serabutan, dengan penghasilan 35-40 ribu/hari jika bekerja. Rumah tampak sangat sederhana, kurang terawat, perabotan nyaris tidak ada. IRW tampak sehat, sedangkan bapaknya yang sengaja dipanggil dari tempat kerjanya tampak kurus. Tentang sekolahnya, IRW menjelaskan “sudah mulai masuk di SMPN 19” sesuai keinginannya. IRW harus mengulang di kelas 7, namun dia merasa lebih senang dibanding sekolah sebelumnya. Untuk menuju sekolahnya, dia harus berjalan kaki sampai jalan raya, sekitar 1,5 km, dilanjutkan menggunakan angkutan kota. Dia mendapatkan uang saku dari bapaknya sekitar 5.000 setiap hari jika bapaknya ada uang. Untuk makan sehari-hari, bapaknya yang menyiapkan, dengan membuat masakan sebelum berangkat kerja untuk pagi dan sore harinya. Kadang kala IRW makan di rumah kakaknya yang sudah menikah, sekitar 500 meter dari kontrakan bapaknya. Untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya, IRW mendapat dukungan dari bapaknya dan kakaknya yang sudah menikah. IRW memerlukan pendampingan untuk bisa belajar dan tetap bersekolah, serta kemampuan untuk beradaptasi dengan teman-temannya untuk tidak kembali ke jalan. Perlu dukungan keluarga, baik secara ekonomi untuk dukungan pendidikan dan pengasuhan IRW serta pendampingan sosial bagi IRW untuk lebih percaya diri dan mengikuti kegiatan belajar dengan baik.
c. Kasus IN, korban pelecehan seksual oleh ayah tirinya.
1) Kondisi awal; Pada tanggal pagi 4 Desember 2010, Team Reaksi Cepat (TRC) mendapatkan informasi dari salah seorang tetangga IN mengenai peristiwa yang menimpanya. Menindaklanjuti laporan tersebut, tim melakukan koordinasi, kemudian melakukan pelacakan terhadap keberadaan IN dengan cara mencoba menghubungi semua nomor ponselnya yang diperoleh dari para tetangga, baik melalui telpon maupun dengan cara mengirimkan pesan singkat (SMS). Pada sore harinya, sekitar pukul 15.00 WIB, salah seorang anggota tim mendapatkan kontak pertama dari IN, melalui SMS. Selanjutnya tim segera menelpon IN sekaligus menyusun rencana pertemuan untuk membicarakan kasus yang menimpanya. Dalam pembicaraan tersebut disepakati, pertemuan akan dilakukan pada pukul 20.00 WIB hari itu juga, di tempat kost IN di bilangan Gedebage. Terungkap bahwa sejak usia 9 tahun IN sering disuruh ayah tirinya “memijat” bagian tubuhnya yang tidak pantas. Pelecehan sempat terhenti selama IN tinggal di Pesantren di Cicalengka, setelah tamat SD. Pelecehan kembali dan semakin “serius” setelah IN kembali ke rumah dalam rangka libur kenaikan ke kls 3 SMP. Setelah itu, IN tidak diizinkan kembali ke Pesantren, sekolahnya dipindah ke Bandung. Pelecehan berulang terus hingga dia tidak tahan, kemudian mengadu ke guru. IN juga seringkali dipaksa nonton video porno dan meniru adegan tersebut. Akhirnya guru tersebut melaporkan ke RM, ibunya IN, namun RM tidak mau melaporkan ke Polisi dengan alasan tidak mau suaminya masuk penjara. Jalan keluar yang ditempuh adalah menghindari pertemuan IN dengan bapak tirinya, caranya IN dipindah, tinggal di rumah kost. Dalam perkembangannya hal ini malah mempermudah ayah tiri, dia mendatangi IN di tempat kost. Menurut informasi yang diperoleh perbuatan tersebut dilakukan ayah tiri dengan dalih karena ibu RM tidak dapat lagi melayani. IN sempat kabur dan nginap di tetangga, dan menceritakan masalahnya. Penanganan lebih lanjut kasus IN dilakukan oleh RPSA dengan tetap berkoordinasi dengan TRC.
2) Kondisi menjelang keluar. IN tidak pernah mendapat pelayanan shelter RPSA, namun dititipkan di Panti Asuhan Al-Hilal untuk mendapat tempat perlindungan sementara. Dalam upaya menyelesaikan kasus ini, RPSA melakukan pertemuan dengan ibunya IN, yaitu IM. Dalam pertemuan IM memaksa untuk membawa IN pulang, dan menolak RPSA membawa kasus ini ke ranah hukum. Padahal IN sendiri menghendaki agar kasusnya diproses secaranya hukum dan untuk sementara tetap tinggal di Panti Asuhan Al-Hilal. Namun ibunya memaksa membawa IN pulang, karena bagi dia hal ini adalah aib keluarga. Akibatnya proses terhenti, IN kembali tinggal dalam satu rumah dengan pelaku, namun tim RPSA tetap melakukan pemantauan terhadap IN melalui hubungan telepon.
3) Kondisi saat dikunjungi. Pertemuan peneliti dengan IN dilakukan tanggak 12 Juli 2011, cafe Cisangkuy, 16.00 Wib. Pertemuan dilakukan di luar rumah, karena ibunya menolak ada keterlibatan pihak RPSA dalam penanganan kasus ini. Perawakan IN tampak tinggi besar, wajahnya juga cantik. Dia mengenakan jilbab putih, dan berjaket coklat serta mengenakan rok seragam SMP, pertemuan tersebut berlangsung sepulang dia MOS dari SMK Medcom. Dia sudah lulus SMP dan melanjut ke SMK. Menurut penjelasannya IN masih tinggal bersama dengan mamanya di daerah Riung Bandung, di rumah mertua ibunya (nenek tirinya). Di rumah yang sama ada 3 kepala keluarga, yaitu :
a. keluarga ayah tiri IN terdiri dari TMR sebagai KK, ibu kandung IN sebagai isteri TMR dan ABL adik tiri IN;
b. keluarga SND yaitu adik TMR yang kini sudah bercerai; dan
c. keluarga neneknya sendiri.
Dia menjelaskan, untuk menjaga dirinya, setelah kembali bergabung dalam keluarga itu, IN tidur bersama mamanya, karena di rumah tersebut hanya ada 3 kamar, ABL dan bapak tirinya biasa tidur diruang tamu, atau di depan TV. Di rumah, IN mengaku sering cek-cok dengan TMR dan tidak bertegur sapa, masih ada perasaan dendam serta benci, namun dia belum punya pilihan lain, karena kasihan dengan mamanya. Kalau pergi dari rumah itu, atau bercerai, mamanya selalu mengatakan “kasihan ABL”- adik tiri IN. Kini IN hanya pasrah, dan berharap tidak berulang lagi kejadian menimpa dirinya, kalaupun ada apa-apa dia sudah menyimpan nomor LVN, petugas RPSA.
d. Kasus NT (6 tahun) dan RH (5 tahun), kasus anak hilang.
1) Kondisi Awal; NT dan RH adalah anak dari ibu De dan bapak Wah, dengan status pernikahan tidak jelas. Kini keduanya sudah berpisah, bahkan ibunya sudah menikah dengan laki-laki lain dan punya anak, sedangkan bapaknya dipenjara karena kasus pencabulan dengan hukuman penjara 3 tahun. Awalnya NT dan RH ikut ibu, tapi kemudian mengalami tindak kekerasan, tidak terurus, terlantar. Saat ditemukan tampak bekas luka kena rokok di badan anak. Anak diambil keluarga Pak Wah, diasuh kakek, Pak NE. Kedua anak tersebut kemudian hilang dari rumah tanggal 5 sampai dengan tanggal 28 Maret 2011. Selama dalam pengasuhan di RPSA, dilakukan proses asesmen awal untuk mengetahui sebab RH dan NT kabur dari rumah atau terpisah dengan keluarganya. Keduanya keluar rumah untuk mencari ibunya, namun tidak bisa menemukan jalan untuk kembali ke rumah. Untuk selanjutnya pihak RPSA melakukan penelusuran atas keluarganya.
2) Kondisi saat keluar. Saat keluar dari RPSA Muhammadiyah, alasannya adalah sudah diperoleh informasi tentang orangtua atau kerabatnya dan tempat tinggalnya. Mereka dipertemukannya kembali NT dan RH dengan keluarganya, atau kerabatnya yaitu kakek dan kakak dari bapaknya (uwak). Hal ini menjadi pertimbangan mendasar bagi tim RPSA untuk melakukan proses reunifikasi. Dan akan dilakukan proses monitoring dan bimbingan lanjut bagi keluarga NT dan RH untuk memberikan pengasuhan terbaik bagi anak-anak tersebut.
3) Kondisi saat dikunjungi. Kunjungan terhadap keluarga RH dan NT, dilakukan sabtu, 9 Juli 2011, pukul 14.00. RH dan NT kini diasuh oleh Ibu Tu dirumahnya yang sangat sempit, 1,5 x 4 meter bertingkat. W bapak kedua anak adalah keponakan dari Tu. W masih di penjara karena kasus pencabulan, sedangkan De ibunya kini telah menikah lagi dan mempunyai satu anak berumur 8 bulan. De tinggal bersama dengan AX, di daerah Ciroyom. Sehari-hari De bekerja di tempat bilyard, dan kurang memperdulikan kedua anaknya. Rumah keluarga yang mengasuh kedua anak tersebut berdiri di atas tanah sewaan, dengan uang sewa 10.000 / bulan. Suami ibu Tu bekerja sebagai sopir pribadi di daerah Karawang, dengan gaji bulanan 1.500.000/bulan dan ibu Tu menjadi buruh cuci dengan penghasilan 200.000/bulan. Kondisi NT dan RH saat ini, cukup sehat, dan berada dalam asuhan neneknya. Untuk kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan minum tidak kekurangan karena neneknya cukup memperhatikan dengan memberikan makan dan minum yang sehat, seperti kunjungan saat itu, neneknya memasak sayur sop dengan isi wortel, buncis dan irisan bakso, juga sayur tempe. Setiap harinya, RH tidur bersama neneknya, sedangkan NT bersama kakek buyutnya yang rumah juga berdekatan. Untuk mandi, biasanya keduanya kadang masih dibantu oleh neneknya Ibu Tu. Sedangkan untuk pakain, kadangkala mereka dibelikan oleh neneknya ada di Padalarang, dan memberinya uang setiap bulannya atau setiap kali berkunjung ke sana. Kalau mereka sakit, biasanya cukup dengan diberikan obat yang dibeli di warung, ataupun diperiksa ke Puskesmas dengan biaya 3000 sekali kunjungan. Menurut ibu Tu, untuk mengurus RH dan NT saat ini mereka tidak keberatan karena keduanya belum sekolah, namun kalau keduanya sudah sekolah ibu Tu merasa keberatan untuk masalah biaya pendidikannya. Ibu Tu juga masih mempunyai satu anak yang masih sekolah di bangku SD. Di samping itu dirinya juga masih mempunyai cicilan utang sebesar 378.000/bulannya ke BRI. Dalam kasus ini, NT dan RH perlu dukungan untuk keluarga pengganti (penguatan ekonomi), memastikan akses akte kelahiran, akses pendidikan.
e. Kasus JU, korban pelecehan seksual
1) Kondisi Awal. JU yang berasal dari Cililin merupakan anak ke-6 dari 7 bersaudara, mempunyai 5 orang kakak dan 1 orang adik. Tinggal di panti asuhan Budi Pertiwi sejak umur 13 tahun atau kelas 1 SMP. Dia ikut kerabatnya ke Bandung untuk bisa sekolah dan menjadi anak asuh di Panti Asuhan Budi Pertiwi 1. Di Panti Asuhan inilah JU kemudian mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah seorang pengurus Panti yang bertugas sebagai pengasuh Panti sehari-harinya. Kejadian seksual abuse dialami ketika JU masih kelas 2 SMP, saat tinggal di Panti K. Awalnya dia tidak berani menceritakan kejadian tersebut, dia hanya bisa menangis dan sedih, namun setelah itu dia juga tahu ada temannya yang diperlakukan seperti itu oleh Pak KMR. Setelah kejadian yang dialami temannya IK dan RT, akhirnya kasus tersebut dilaporkan ke pihak kepolisian. Setelah kejadian tersebut dilaporkan, mereka di pindahkan ke Panti Asuhan Budi Pertiwi 2, sampai sekarang. Ternyata tidak hanya JU yang mengalami pelecehan seksual ini, tapi juga teman-teman lainnya di Panti sebanyak 9 anak perempuan termasuk dirinya. Kini, sebagian teman-temannya sudah kembali ke keluarganya, sedangkan JU dan PT dirujuk di Panti Asuhan Budi Pertiwi untuk melanjutkan sekolahnya. RPSA Muhammadiyah mendapatkan laporan tentang kasus JU dari lembaga jaringan Panti Asuhan di Bandung, sehingga turut serta menangani kasus tersebut. Untuk layanan shelter diberikan oleh pihak Panti Asuhan Budi Pertiwi 2, sedangkan untuk layanan pendidikan dan pendampingan, pihak RPSA terlibat untuk mendukung penyelesaian kasus JU dan beberapa temannya yang mengalami pelecehan seksual tersebut.
2) Kondisi saat keluar. Penanganan kasus JU dan teman-temannya memang tidak sepenuhnya dilakukan oleh pihak RPSA, namun bekerja sama dengan jaringannya. Proses referal ini dilakukan dengan alasan, karena tidak ada shelter yang memadai di RPSA, dan JU masih harus sekolah. Sehingga diputuskan untuk tetap berada di Panti Asuhan Budi Pertiwi, dengan tetap dilakukan monitoring oleh pihak RPSA.
3) Kondisi saat dikunjungi. Kini, kondisi JU mulai membaik, meski dia mengaku masih merasa trauma, bahkan kalau pulang ke Cililin dan di rumah hanya dengan bapaknya sendiri, dia merasa takut. Sama halnya kalau di Panti, kalau semua pergi dan ada pengurus laki-laki, dia merasa takut. Namun demikian, dia berusaha mengusir traumanya tersebut dengan mengikuti kegiatan di sekolah, dan mengaji di Panti. Saat dikunjungi dia sudah menunjukkan keceriaaanya, apalagi setelah mengetahui pelaku divonis 6 tahun. Gambaran kelima kasus di atas menunjukkan masih ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam melihat rangkaian pelayanan RPSA, terkait dengan kondisi anak pasca pelayanan di RPSA Muhammadiyah, di antaranya perlunya pelayanan yang komprehensif, mulai dari anak masuk RPSA, didalam RPSA sampai proses anak dilakukan tahap terminasi, baik itu untuk di referal, di reunifikasi, maupun reintegrasi. Pembinaan lanjut menjadi bagian penting dalam upaya pemenuhan hak anak untuk memastikan mereka bisa mendapatkan pendidikannya (kasus IR), mendapatkan rumah aman serta layanan konseling (kasus IN), pelayanan rehabilitatif dan konseling (kasus IR) maupun pemenuhan atas akses bagi anak untuk layanan pemenuhan hak anak dalam kelangsungan hidupnya.
B. Kondisi RPSA
Lembaga RPSA yang dijadikan sasaran penelitian dibagi kedalam 3 katagori yakni RPSA milik Kementerian Sosial (RPSA Bambu Apus dan RPSA Satria Batur Raden), RPSA milik Pemda provinsi (RPSA Bima Sakti Batu Jatim dan RPSA Turikale Makassar) dan RPSA milik masyarakat yaitu RPSA Muhammadiyah. Secara kelembagaan kelima RPSA tersebut dibangun sebagai salah satu wujud pelaksanaan mandat Kementerian Sosial berdasarkan keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri: Menteri Sosial, Menteri Kesehatan dan Kepolisian RI. Sebelum diberlakukan otonomi daerah, maka ke-2 RPSA milik Pemda adalah milik Kementerian Sosial. Sedangkan RPSA milik masyarakat yang berada di bawah naungan Yayasan Muhammadiyah, semata sebagai kebutuhan masyarakat terhadap pentingnya keberadaan rumah aman bagi kasus anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus. Operasionalisasi RPSA seluruhnya, mengacu pada SOP yang dikeluarkan oleh Kementrian Sosial, terutama dari Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak selaku pembina RPSA. Idealnya sebagai RPSA memfasilitasi penyediaan Rumah Perlindungan (Protection Home), Pusat Trauma (Trauma Centre) dan Pusat Pemulihan (Recovery Centre).
1. Secara struktural, RPSA milik pemerintah belum memiliki Satuan Kerja (satker) tersendiri yang akan berpengaruh pada aktivitas mereka dalam misi pelayanan anak yang memerlukan perlindungan khusus. Namun demikian seluruh RPSA telah berupaya melakukan pelayanan bagi kasus-kasus anak yang memerlukan perlindungan khusus.
2. Sarana Prasarana: Idealnya sebuah RPSA memiliki ruangan atau gedung yang berfungsi sebagai temporary shelter atau protection home sebagai tempat aman bagi anak-anak yang memerlukan pelayanan. Namun kenyataannya tidak semua RPSA memiliki sarana prasarana dimaksud. Contoh di RPSA Turikale milik Pemkot Makassar, meski gedung RPSA tersedia (berada di lokasi kompleks Monumen 40.000 Jiwa Korban Sulawesi Selatan milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan) tetapi tidak dapat berfungsi sebagai temporary shelter dan protection home, karena berbagai kendala yang dihadapi. Kecuali RPSA Turikale, maka keempat gedung RPSA tersebut keberadannya di dalam komplek Panti Sosial. Posisi ini satu sisi menguntungkan karena memudahkan dalam membentuk jejaring kerja, namun kendala akan muncul karena adanya tumpang tindih penggunaan sarana-prasarana bahkan tenaga yang dimiliki oleh Panti Sosial yang menjadi bagian pelayanan anak di RPSA, sehingga pelayanan menjadi kurang fokus. Kecuali RPSA Bambu Apus, meski berada dalam lingkungan Panti Sosial, namun sarana dan prasarana serta tenaga terpisah satu sama lain dengan panti-panti sosial sekitarnya.
3. SDM pada masing-masing RPSA cukup bervariasi, pada RPSA Bambu Apus, tenaga maupun petugas lebih fokus pada pelayanan, berbeda halnya pada RPSA yang berada dalam komplek Panti Sosial, maka tenaga Pekerja Sosial Panti berperan sebagai tenaga di RPSA. Contoh SDM di RPSA Satria, Bima Sakti dan Muhammadiyah juga merupakan tenaga PSPA/Panti Asuhan, sehingga belum sepenuhnya konsentrasi pada RPSA. Sedangkan SDM Turikale (milik Pemkot Makassar) umumnya adalah pegawai administratif dari struktur organisasi Dinas Sosial Kota, seksi pelayanan rehabilitasi sosial anak, sementara tenaga Pekerja Sosial adalah staf seksi dimaksud. Terkait dengan SDM ini, belum semua RPSA memiliki manajer kasus (Pekerja Sosial) yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses dan kegiatan-kegiatan penanganan klien. Kemampuan Pekerja Sosial juga tidak merata, hanya sebagian kecil yang telah dibekali berbagai keterampilan yang terkait dengan pelayanan anak yang memerlukan perlindungan khusus. Namun demikian secara umum Pekerja Sosial cukup mampu melaksanakan proses identifikasi, asesmen dan pelaksanaan intervensi. Mereka berupaya optimal memberikan pelayanan terhadap kasus-kasus anak yang memerlukan perlindungan khusus.
4. Jejaring Kerja RPSA: semua RPSA memiliki jejaring kerja dengan berbagai institusi pemerintah (Sosial, Kesehatan, Pendidikan, Kepolisian, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Lembaga Kesejahteraan Sosial dan LSM. Namun jejaring kerja ini belum sepenuhnya berlanjut pada pasca pelayanan terutama dalam upaya pemantauan kondisi fisik, psikososial serta pemenuhan hak dan kebutuhan anak. Idealnya bimbingan lanjut pada pasca pelayanan di RPSA, bertujuan memastikan anak dapat berfungsi sosial, hidup, tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau institusi lembaga rujukan, dilakukan oleh petugas RPSA atau petugas pada lembaga lokal. Namun kenyataannya tujuan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, karena berbagai kendala yang dihadapi lembaga. Salah satunya adalah jangkauan wilayah RPSA yang luas, tidak didukung oleh SDM dan dana yang memadai. Kondisi ini lebih nampak saat anak di reunifikasi ke wilayah di luar daerah, sehingga proses bimbingan lanjut tidak dapat berlangsung.
5. Anggaran: untuk pendanaan operasionalisasi RPSA, semua bersumber dari APBN, tidak ada dana yang bersumber dari APBD meski RPSA tersebut milik Pemda setempat. Dalam penggunaan anggaran ini, Kementerian Sosial RI tidak memberikan petunjuk tertulis rincian penggunaan anggaran dan berapa jumlah klien yang harus diberikan pelayanan. Meski pada RPSA tertentu mempunyai target untuk memberikan pelayanan bagi 50 orang/tahun (kasus di RPSA Bima Sakti Batu), sesuai dengan kapasitas dan daya tampung. Bagi RPSA yang berada dalam Panti Sosial, maka keterlambatan pencairan biaya operasionalisasi dapat ditanggulangi dengan anggaran untuk Panti Sosial. Meski hal tersebut cukup merepotkan namun demi keberlangsungan proses pelayanan, maka upaya tersebut terpaksa dilaksanakan. Jika melihat kondisi lembaga dari kelima RPSA, diperoleh gambaran bahwa secara umum kondisi RPSA dibawah pembinaan Kementerian Sosial jauh lebih baik dibandingkan RPSA milik Pemda dan masyarakat. Hal tersebut cukup beralasan mengingat koordinasi dan pengawasan dapat langsung dilakukan oleh Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. Berbagai kendala yang dihadapi dapat segera dikomunikasikan pada penentu kebijakan, untuk dicari pemecahannya meski belum seluruh tujuan pelayanan dapat tercapai optimal. Secara lebih rinci kondisi lembaga di setiap RPSA dapat dilihat pada matrik berikut:
Matrik Kondisi Lembaga RPSA
No | Kondisi Kelembagaan | RPSA Bambu Apus Jakarta | RPSA Satria Batu Raden Purwokerto | RPSA Bima Sakti Batu | RPSA Turikale Makassar | RPSA Muhammadiyah Bandung |
1 | Status Kepemilikan | Kemensos | Kemensos | Pemda Provinsi | Pemda Kota | Masyarakat |
2 | Tahun Berdiri | Tahun 2004 | Tahun 2007 | Tahun 2007 | Tahun 2008 | Tahun 2008 |
3 | SDM | PNS 11 orang Honorer 13 orang Pekerja Sosial 6 orang Pendamping 10 orang Pramu Kantor 3 orang Petugas Keamanan 3 orang Petugas Kesehatan 1 orang Petugas data base 1 orang | PNS 7 orang Honorer 5 orang Penanggung jawab 1 orang Coordinator 1 orang Urusan Administrasi 1 orang Psikososial 4 orang Pekerja Sosial 2 orang Pengasuh 2 orang S1/DIV 10 orang DIII 1 orang | Tenaga Profesional Pelayanan; Psikologi 1 orang Rohaniawan 1 orang Pekerja Sosial 3 orang Bidang Layanan 4 orang Bidang Manajemen Kasus 3 orang Bidang Rujukan 4 orang | Seluruh pegawai RPSA adalah pegawai Dinsos Kota Makassar Pekerja Sosial 5 orang Pengasuh 1 orang Sakti Peksos 1 orang | Bidang Pelayanan 4 orang Bidang Manajemen Kasus 4 orang Bidang Rujukan 3 orang Bidang Pengasuhan 4 orang |
4 | Sumber Anggaran | APBN | APBN | APBN | APBN | APBN |
5 | Sarana Prasarana | Gedung tersendiri Ruang Kantor Rumah Aman | Bergabung dengan PSPA Ruang Kantor Ruang Pelayanan (5 kamar tidur) | Bergabung dengan sarana prasarana PSPA dan memiliki Rumah Aman | Gedung RPSA berada di gedung milik Pemprov, tidak memiliki shelter Rumah Perlindungan/ Aman | Bergabung dengan fasilitas PSAB (Panti Asuhan Bayi), tidak memiliki shelter sebagai Rumah Aman dan Ruang Konsultasi |
6 | Jejaring Kerja | Kepolisian; Kesehatan, RS Polri, RSCM, RSJGrogol, RSPasar Rebo, Puskesmas Bambu Apus, Dinas Sosial Seluruh Indonesia, Kementerian Luar Negeri, Kementerian KumHam, Imigrasi; Media: RCTI, Elshinta, PSBR Bambu Apus, PSMP Handayani, Social Development Centre; LSM: Yayasan Rumah Kita, KPAI, Komnas, LPA, IOM, Migrant Care, Yayasan Sayap Ibu, Yayasan Bahtera Bandung. | a.RSUD Kabupaten Banyumas, b.Polres Banyumas dan RPK -RPK Polres di Kepolisian Wilayah Banyumas. c.P2TP2A se Kabupaten Jawa Tengah. d.LSM Cilacap Tanpa kekerasan (CITRA) dan Majenang Tanpa Kekerasan (MATRA) | a. Kepolisian; Polsek dan Polres se provinsi Jawa Timur b.Pemda Kota/ Kabupaten se provinsi Jawa Timur c. Pemberdayaan & Perlindungan Anak (KP3A) d.LSM: Panti sosial swasta, WCC, Genta, LBH Unibraw, Avigena, dan IOM e. Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas se provinsiJatim. f. ANTV, RCTI Jatim, dan Jawa Pos g. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Malang Raya | Polsek/ Polres wilayah Kota Makassar. LSM: Panti Asuhan Al- Masyair | a.Polsek/ Polres, Polda Jabar . b. LSM: Yayasan Nugraha, Al-Hilal, Budi pertiwi, c. P2TP2A, d. Kesehatan: Puskesmas Garuda, BPIP, RS Hasan Sadikin e. Pemda Kota/ Kabupaten Bandung f. Media: Pikiran Rakyat, Metro, Trans Ban dung |
7 | Jenis Kasus yang pernah ditangani (sejak RPSA operasional) | Trafficking 280 orang; Abuse, Rape, Sodomi 72 orang; Anak Terpisah 36 orang; Terlantar/ Neglect 89 orang; Internal Displace Aceh 15 orang; Pengungsi (Iran, Srilanka) 8 orang; ABH 6 orang; Dewasa (hamil/ ortu anak) 36 orang. | a. Pergaulan bebas: 1 org b.Kekerasan fisik: 1 org, c. Kekerasan seksual:74 org. d.Penelantaran: 25 org. e. Trafficking : 9 org f. ABH:3org g.KDRT:3 org h. Anak terpisah: 4 org | a. Trafficking, Eksploitasi: 6 org. b. Incest ayah kandung & perkosaan: 9 org, c. Abuse & Mimoritas:8 org, d. Anak Terlantar: 15 org e. ABH: 2 org | a.Kekerasan fisik: 11 org. b. Kekerasan seksual: 2 org c. Kekerasan psikologis:3org, d. Penelantaran: 16 org e. ABH: 2 org f. ADK: 1 org g. Anak terpisah: 1 org | a. Pelecehan seksual: 10 org. b. Penelantaran: 34 org. c. Anak Terpisah: 2 org, d. KDRT: 5 org. e. Eksploitasi ekonomi: 1 org. f. Anak dari OTODHA: 2 org |
BAB III
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Anak Yang Mendapat Pelayanan di RPSA
Jumlah kasus yang dianalisa sebanyak 25 kasus dan menjadi sasaran studi di 5 RPSA. Kasus-kasus tersebut meliputi: pelecehan seksual (11 kasus), trafficking (2 kasus) dan penelantaran (12 kasus). Berdasarkan studi dokumentasi file klien, yang didukung oleh hasil wawancara dengan Petugas/Pekerja Sosial, klien, keluarga, guru sekolah, tokoh masyarakat dan pengurus Panti Sosial menunjukkan bahwa:
1. Kondisi awal (Input)
Kondisi fisik anak saat masuk ke RPSA, ditunjukkan dengan berbagai masalah seperti kurus, kumal, menderita sakit, badan penuh luka-luka, cacat folio, epilepsi, dan kondisi hamil pada korban pelecehan seksual. Sementara kondisi mental anak diperlihatkan mulai dari sikap tertutup sampai dengan terbuka, seperti; pendiam, tertutup, tidak berani keluar, kehilangan kepercayaan diri, ketakutan, pandangan kosong, tidak mau berkomunikasi, merasa benci/dendam, jengkel, ketakutan. Perilaku keras kepala, kasar sampai yang berperilaku emosional, sekehendak sendiri seperti hendak melukai diri dengan memegang pisau, tidak mau sekolah, traumatik atau bingung karena permasalahan yang mereka hadapi. Tidak memiliki keinginan untuk beraktivitas, perilaku mencuri, mencopet dan tidak peduli dengan kehamilannya. Kondisi yang sama juga dihadapi oleh orangtua korban pemerkosaan seperti stres dan minder dan malu akibat merasa dituduh menelantarkan anak oleh pemberitaan media masa. Hasil wawancara dengan petugas RPSA (Pimpinan, Pekerja Sosial, Sakti Peksos, Pengasuh), orangtua/keluarga, pihak sekolah dan tokoh masyarakat setempat menunjukkan bahwa:
a. Jika melihat 25 kasus-kasus yang ditangani oleh RPSA, nampak bahwa korban adalah anak-anak yang benar-benar memerlukan perlindungan khusus. Kondisi awal mereka saat datang ke RPSA, sangat membutuhkan penanganan segera, bahkan diantaranya ada yang memerlukan tempat tinggal, sementara orangtua atau kerabat ada yang belum ditemukan
b. Kasus-kasus anak yang ditangani RPSA, selain rujukan dari berbagai instansi pemerintah dan LSM, juga diperoleh dari hasil outreach di lapangan dan informasi dari perorangan, Puskesmas maupun informasi dari media masa
c. Pelaku pelecehan/pemerkosaan mayoritas adalah orang yang paling dekat dengan korban, seperti ayah kandung, ayah tiri, guru, tetangga dan keluarga korban. Kasus perkosaan yang dilayani salah satu RPSA dilakukan oleh kakak ipar korban. Hal ini terjadi karena korban tinggal serumah dengan pelaku, sementara kedua orangtua korban bekerja sebagai TKI di Arab Saudi.
d. Pelaku trafficking juga dilakukan oleh orangtua (ayah kandung) dan keluarga korban. Kondisi sosial ekonomi keluarga mengakibatkan ada ayah kortban yang terpaksa ”menjual” anaknya ke seorang calo untuk dipekerjakan sebagai TKW ke Arab Saudi
e. Kasus-kasus penelantaran anak pada umumnya disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi orang tua/keluarganya. Sumber permasalahan merupakan wujud dari ketidaknyamanan anak baik secara fisik maupun psikologis saat berada di rumah atau bersama orangtua, seperti orangtua yang bekerja sebagai TKI sementara anak diasuh oleh anggota keluarga lain. Kurang harmonisnya hubungan orangtuanya mengakibatkan anak terpaksa kabur dari rumah, dan orangtua yang terlalu sibuk mengakibatkan anak tidak betah tinggal di rumah.
f. Sikap anak yang menunjukkan kondisi mental sebagaimana uraian di atas mengakibatkan petugas/Pekerja Sosial RPSA sulit untuk mengajak bicara dan kurang kooperatif, sehingga perlu proses untuk menanyakan identitas dan latar belakang munculnya kasus.
2. Proses Pelayanan
Setelah RPSA menerima rujukan dari lembaga terkait, hasil outreach dan penelusuran (tracing), maka proses pelayanan yang dilakukan terhadap 25 kasus adalah sebagai berikut:
a. Menempatkan anak dalam rumah aman untuk sementara waktu (Temporary Shelter). Dalam hal ini, asesmen awal telah dimulai, sambil dilakukan tindakan pertolongan medis untuk kasus-kasus tertentu. Selama anak berada dalam rumah aman, proses pendampingan oleh petugas dilaksanakan, sambil mengidentifikasi, melaksanakan asesmen, merencanakan intervensi. Dalam rumah aman ini juga diberikan pelayanan kebutuhan dasar seperti pakaian dan makan. Pemeriksaan kesehatan dan kandungan bagi korban pemerkosaan juga dilakukan. Tidak semua RPSA menempatkan anak di rumah aman, tetapi langsung di rujuk ke Panti Sosial atau untuk sementara ditempatkan di rumah Petugas. (kasus RPSATurikale Makassar). Sementera RPSA Muhammadiyah penempatan anak di ruangan/kamar yang bergabung dengan anak-anak dampingan PSAA Bayi Sehat. Otomatis, untuk pemenuhan makan sehari-hari, tempat tidur dan pengasuhan terlayani dengan baik bersama anak-anak di PSAA. Namun demikian, untuk beberapa kasus anak yang tidak memungkinkan untuk ditempatkan di shelter, pihak RPSA merujuk ke Panti-panti Asuhan Anak lainnya yang sudah menjadi jaringannya.
b. Setelah kasus dapat diasesmen masalahnya, maka untuk menentukan keberlangsungan perlindungan bagi anak, pada kasus-kasus tertentu dapat langsung direncanakan apakah anak tersebut dapat di reunifikasi, reintegrasi atau referal ke Panti Sosial. Sementara untuk kasus-kasus berat, ada RPSA yang terlebih dahulu melakukan case conference yang melibatkan instansi atau tenaga ahli lainnya dengan kasus anak.
c. Proses penyembuhan klien dalam upaya memulihkan kondisi mental anak dilakukan terapi psikososial. Bentuk terapi sosial ini bervariasi, ada yang memberikan dalam bentuk konseling, pemberian motivasi, ada yang menggunakan advice giving and counseling, relaksasi, terapy symbol, Family base: Parent-Child Interaction Therapy (PCIT), dan bimbingan belajar akademik. Pada umumnya pelaksana kegiatan ini adalah Pekerja Sosial, dibantu Pengasuh dan Sakti Peksos. Terapi psikososial ini tidak sama untuk setiap kasus, dan ini sangat tergantung masalah/kasus klien dan kemampuan/keahlian Pekerja Sosial yang bertugas di RPSA, karena tidak semua Pekerja Sosial memiliki keahlian ini. Sementara dalam proses penyesuaian diri klien ada RPSA yang mengikutsertakan anak dalam kegiatan PSPA (Panti Sosial Pertirahan Anak) sebagaimana yang dilakukan oleh RPSA Bima Sakti. Melalui berbagai kegiatan, pelayanan dan terapi psikososial ini korban mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lamanya terapi psikososial ini juga tergantung dari kualitas masalah yang dialami korban. Kualitas Pekerja Sosial yang mampu mengidentifikasi dan melaksanakan asesmen, dukungan sarana dan prasarana, dan berbagai kegiatan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan anak yang memerlukan perlindungan khusus serta jejaring kerja dengan berbagai lembaga pelayanan sosial baik pemerintah maupun LSM, juga ikut menentukan keberhasilan pelayanan di RPSA. Pada beberapa kasus pelayanan konseling juga diberikan kepada orangtua korban, meskipun belum semuanya. Konseling ini diberikan pada kasus-kasus berat seperti kepada orangtua yang mengalami trauma akibat anaknya mengalami korban pemerkosaan.
d. Sesuai dengan proses pelayanan yang dilakukan RPSA sebagaimana SPO (Standar Prosedur Operasional) RPSA, anak yang telah dinyatakan ”sembuh atau selesai” dikembalikan ke orangtua/keluarga atau di rujuk ke Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Sosial (reunifikasi, reintegrasi dan atau referal). Kegiatan ini diawali dengan kunjungan rumah yang dilakukan oleh Pekerja Sosial guna mempersiapkan keluarga untuk menerima kembali anak pasca pelayanan RPSA. Dalam kegiatan ini sebagian besar RPSA berhasil mempertemukan dan menyatukan klien dengan orangtua maupun dengan anggota keluarganya. Namun keluarga dimaksud belum berhasil memberikan rasa aman dan nyaman bagi perkembangan klien. Klien masih dendam kepada pelaku, dan dihinggapi rasa ketakutan bila pelaku selesai menjalani masa hukuman, tidak mau lagi menerima pelaku sebagai bagian anggota keluarganya. Kondisi keluarga yang kurang memberikan rasa aman, mengakibatkan ada seorang klien harus kembali menjalani “perawatan lanjutan” di RPSA.
e. Studi ini mengindikasikan bahwa pada umumnya keluarga belum sepenuhnya siap untuk menerima kembali kehadiran klien. Perasaan aman dan nyaman yang dirasakan di RPSA tidak dirasakan klien pada pasca pelayanan. Kondisi aman dan nyaman masih bersifat situasional, hak tumbuh kembang anak belum sepenuhnya diperoleh saat berada di tengah-tengah keluarganya sendiri.
3. Kondisi Anak Menjelang Akhir Pelayanan.
a. Pada umumnya, kondisi fisik anak menjelang di reunifikasi ke keluarga dalam kondisi sehat, bersih dan luka-lukanya telah sembuh termasuk juga sakitnya. Kondisi mental anak menunjukkan wajah ceria, mulai terbuka pada orang lain, mau berkomunikasi, perilakunya tidak emosional, tidak menunjukkan wajah tertekan/depresif, serta ada keinginan melanjutkan sekolah, terutama bagi anak-anak usia sekolah.
b. Khusus pada kasus-kasus pelecehan seksual, tidak semua perasaan dendam anak pada pelaku berkurang. Masih ditemukan anak-anak yang merasa takut dan khawatir bila pelaku perkosaan telah selesai menjalani hukuman. Hal ini cukup beralasan karena penyembuhan trauma akibat perkosaan memerlukan proses panjang. Demikian halnya pada anak kasus trafficking, masih ditemukan perasaan tertekan dengan sikap ayahnya karena masih memaksakan anak untuk bekerja. Untuk sementara anak-anak yang hendak keluar atau di reunifikasi merasa lebih nyaman tinggal di shelter, lebih percaya diri dan mulai bisa melupakan peristiwa yang dialaminya. Selain kesiapan anak kembali ke rumah atau berkumpul dengan keluarga, maka Petugas berupaya agar keluarga siap menerima anak berada di rumah. Pada beberapa kasus anak terlantar dan pelecehan seksual anak dapat kembali berkumpul dengan keluarga, termasuk keluarga menerima kehadiran bayinya atau bayi memperoleh orangtua pengganti yang merawat dan mengasuh dengan penuh tanggung jawab. Adanya jaminan dari sekolah, bahwa anak yang masih sekolah dapat kembali menjadi murid di sekolah tersebut, meski anak harus tinggal kelas.
c. Pada kasus anak yang di reunifikasi dengan kerabat, maka setelah ditemukan keluarga atau kerabat yang akan mengasuh, maka anak siap dikembalikan ke kerabatnya untuk memperoleh pengasuhan. Sementara pada kasus anak yang bermasalah dalam perilakunya, maka proses pengakhiran pelayanan dilakukan setelah perilaku anak dianggap berubah, dan anak dianggap layak kembali ke orangtuanya. Namun di satu sisi, keluarga belum disiapkan terhadap kehadiran anak, termasuk adanya perubahan sikap dari orangtua terhadap anak. Orangtua atau keluarga tidak mendapatkan informasi tentang penyebab anak berperilaku demikian dan tidak menginformasikan pengasuhan apa yang sebaiknya diberikan bagi anak. Dengan demikian, dalam kasus tertentu petugas belum optimal melakukan asesmen, serta evaluasi yang mendalam atas latar belakang kasus anak dan apa yang dibutuhkan oleh anak.
d. Jika melihat kasus per kasus, maka sebetulnya RPSA belum sepenuhnya melakukan pengakhiran pelayanan, melainkan tetap memberikan bantuan sosial melalui program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Hanya saja peran Sakti Peksos belum dioptimalkan untuk keberfungsian sosial anak.
4. Kondisi Anak Pasca Pelayanan RPSA
a. Kondisi anak saat ini diperoleh gambaran bahwa pada beberapa kasus (anak bayi) kondisi fisiknya lebih sehat, perilakunya ceria dan memperoleh perawatan serta pengasuhan dari orangtua pengganti atau keluarganya. Pada kasus-kasus anak terlantar, menunjukkan perilaku positif, selalu berada di rumah bersama adik-adiknya, kembali bersekolah dan berani mengemukakan atau sudah terbuka pada orangtuanya. Pada kasus anak korban pelecehan seksual, sudah menerima anak beserta bayinya, tidak merasa dendam pada pelaku, dan orangtua sudah menerima anak apa adanya, bahkan berharap anak dan bayi bisa tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Perilaku anak sudah tidak mencuri lagi, dan dapat berkumpul dengan keluarga. Hak dan kebutuhan anak terjamin, dimana kerahasiaan tentang status bayi atau kasus anak tetap terjaga. Hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan tetap terjamin, meski hak anak untuk mendapatkan akte kelahiran belum sepenuhnya dapat direalisasikan. Kondisi tersebut dapat tercapai karena dukungan dari keluarga, berupa perhatian dan kasih sayang, penerimaan positif terhadap anak. Termasuk dukungan dari kerabat dan lingkungan sekitar, lembaga rujukan yang mendukung keberadaan anak di lingkungannya. Pada anak jalanan, sudah mulai tumbuh kepercayaan diri, memiliki keberanian untuk “melawan” terhadap orang yang diperkirakan akan menyakitinya dan keinginan untuk mandiri tanpa harus kembali ke “dunia” jalanan. Demikian pula dengan yang sering kabur dari rumah, sudah mulai nyaman berada di rumah, mau berkomunikasi dengan orangtua, berani mengemukakan pendapat ke orangtua dan mau mendengarkan nasihat atau pendapat orang lain. Pada anak yang suka mencuri untuk sementara tidak mencuri lagi. Sebanyak 17 anak juga sudah dapat melanjutkan sekolah atau memiliki keinginan untuk memperoleh keterampilan agar bisa bekerja.
b. Namun demikian dari beberapa kasus, masih ditemukan anak dalam kondisi yang kurang menguntungkan, seperti kondisi bayi terlantar, bahkan cenderung mengalami gizi buruk. Anak yang masih bekerja (kuli bangunan) bahkan menjadi tumpuan keluarga, anak korban pelecehan seksual ditempatkan atau berkumpul kembali dalam satu rumah bersama pelaku (ayah tiri). Kondisi ini nyatanya luput dari perhatian Petugas, sehingga tidak melihat dampak dari penempatan tersebut. Kehidupan ekonomi keluarga dimana anak dan bayi berada dalam kondisi yang terbatas, sehingga kehadiran bayi menambah tanggungan bagi keluarga, Kondisi tersebut belum menjadi bahan pertimbangan penting untuk menempatkan anak dalam keluarga. Pertimbangan lain yang kurang mendapat perhatian Petugas, terjadi pada kasus anak yang memiliki riwayat hendak bunuh diri, kurang menjadi perhatian untuk diperdalam masalahnya, sementara anak sudah dikembalikan ke keluarga. Kondisi ini menunjukkan bahwa, sebenarnya pengembalian anak (reunifikasi) dengan keluarga belum tepat dilakukan.
c. Kondisi yang terjadi pada kasus anak hasil rujukan dari RPSA pusat, menunjukkan kehidupan anak bersama keluarga cukup aman (anak TKW Malaysia), hanya saja kondisi anak saat ini kebutuhan pangan anak kurang terpenuhi, mereka makan ala kadarnya, dengan kondisi rumah berdinding bilik, tanpa ada ventilasi udara dan penerangan. Meski mereka sudah bersekolah, namun semua anak berada dalam satu tingkat kelas (kelas 1). Nyatanya semua bantuan stimulan yang diberikan dari Kemsos berupa penerangan lampu, TV telah diterima, namun kondisi anak saat ini sangat bertolak belakang dengan janji-janji yang diberikan Petugas Dinas Sosial setempat, saat mereka kembali ke kampung halamannya. Diperoleh informasi bahwa kondisi rumah sengaja dibuat kurang memadai, sebagai cara agar keluarga tersebut mendapat bantuan RTLH (Rumah Tidak Layak Huni).
d. Pada RPSA tertentu ditemukan anak yang sudah melupakan pelakunya, tidak dendam yang ditunjukkan dengan penerimaan anak terhadap bayi yang dikandungnya, meski ada diantaranya yang masih berperilaku sebagaimana anak-anak, seolah-olah dirinya tidak sedang hamil. Sikap dan perilaku ini juga masih nampak pasca pelayanan, maka perubahan sikap tersebut sepertinya tidak nampak sebagaimana anak berada di shelter.
e. Alasan Petugas ’mengakhiri’ pelayanan dan mengembalikan anak ke keluarga, meski anak atau keluarga belum siap, semata-mata karena anak telah lama tinggal di shelter. Selain itu adanya pandangan Pengurus RPSA, bahwa shelter bukan Panti yang dapat menempatkan anak dalam waktu lama. Kondisi tersebut muncul karena tidak semua Petugas memiliki kemampuan dalam memahami kondisi psikologis pada anak, terutama kurangnya pemahaman dan keterampilan tentang trauma healing. Kondisi ini dapat berakibat pada ketidakmampuan anak dalam memecahkan masalah, sehingga dikhawatirkan anak belum siap saat menghadapi persoalan serupa.
f. Monitoring pada pasca pelayanan sebagaimana Standar Prosedur Operasional (SPO) RPSA bisa dilakukan oleh RPSA atau dilanjutkan oleh lembaga lokal. Hasil penelitian menunjukkan RPSA yang selama ini sebagai rumah aman sementara, menjadikan klien masih tergantung kepada para Petugas RPSA. Mereka lebih banyak berkonsultasi dengan RPSA yang dianggap bisa membantu mengatasi permasalahan korban pada pasca pelayanan. Klien dan keluarganya masih lebih percaya pada RPSA dibanding dengan orang lain. Kondisi sosial ekonomi keluarga yang kurang mendukung perkembangan klien, menjadikan Petugas/Pekerja Sosial RPSA masih sebagai tumpuan harapan atau sebagai tempat “curhat” klien dalam mengungkapkan permasalahan yang dialaminya.
g. Sesuai dengan sistem kesejahteraan anak dan keluarga, layanan terhadap anak yang memerlukan perlindungan khusus meliputi dukungan keluarga yang intensif dan pengasuhan rumah. Kondisi sosial ekonomi keluarga serta situasi yang juga kurang mendukung menjadi kondisi yang dilematis dalam penuntasan kasus-kasus anak. Klien yang di reunifikasi, reiintegrasi, referal membutuhkan dukungan keluarga dan masyarakat yang kondusif. Keluarga yang salah satunya berfungsi melindungi anggota keluarganya dan merupakan institusi utama untuk pengasuhan anak-anaknya, belum berfungsi optimal, sehingga rasa aman, nyaman dan terlindunginya anggota keluarga belum sepenuhnya dirasakan anak pada pasca pelayanan RPSA. Pemulihan mental psikologis juga mengalami hambatan mengingat korban dan keluarganya masih menyimpan perasaan dendam kepada pelaku. Upaya mewujudkan keberfungsian korban di tengah-tengah keluarganya menjadi tantangan besar bagi RPSA. Kondisi ekonomi dan kondisi yang kurang mendukung (miskin, tidak bekerja, buruh tani, rumah tak layak huni maupun situasi kekeluargaan) menjadikan klien/korban yang telah memiliki motivasi menjadi tidak berdaya, bersosialisasi, mendapat tekanan tertentu di keluarga dan sekolah.
h. Sementara ini jejaring kerja dengan lembaga-lembaga di luar RPSA seperti Dinas Sosial dan lembaga lokal lainnya yang selama ini dibangun oleh RPSA belum sepenuhnya bisa berlanjut pada pasca pelayanan. Banyak hambatan yang dihadapi, seperti kurang optimalnya Dinas Sosial setempat dalam menjalankan peran dan fungsinya, bahkan kesannya seperti “kurang merespon” anak yang akan kembali ke keluarga. Alasan klasik yang muncul karena terbatasnya dana dan SDM, terlebih kalau tempat tinggal anak berada di luar jangkauannya. Berdasarkan penelusuran terhadap kasus-kasus anak pada pasca pelayanan RPSA di lokasi penelitian menunjukkan bahwa belum semua hak-hak anak terpenuhi. Masih ditemukannya anak-anak yang berada dalam kehidupan kurang memadai atau belum memperoleh kehidupan wajar sesuai hak-haknya seperti:
1. Masih ada 8 anak yang belum kembali ke sekolah, seorang diantaranya masih bekerja sebagai buruh bangunan. Meskipun anak sudah kembali bersekolah namun masih ditemukan anak yang belum memiliki kemampuan dasar baca tulis.
2. Kondisi psikososial anak belum sepenuhnya pulih, masih menaruh dendam pada pelaku, adanya traumatik terutama pada anak-anak yang menjadi korban pelecahan seksual. Kondisi ini dapat terjadi karena tidak semua Petugas RPSA memiliki kemampuan dalam memahami kondisi psikologis pada anak, terutama kurangnya pemahaman dan keterampilan tentang trauma healing. Hal ini berakibat pada ketidakmampuan anak dalam memecahkan masalah, dan dikhawatirkan anak belum siap saat menghadapi persoalan serupa. Demikian halnya pada anak kasus trafficking, masih ditemukan perasaan tertekan terhadap sikap ayahnya yang masih memaksakan anak untuk bekerja.
3. Belum semua anak bisa mengembangkan relasi dan komunikasi dengan orang lain, terutama dengan teman sebaya, seperti masih menyendiri, tidak mau bergaul dengan teman-teman di sekolah maupun di lingkungannya.
4. Kondisi fisik (2) bayi yang dilahirkan dari anak korban pelecehan seksual, nampak kurang sehat mengarah pada kondisi gizi buruk dan belum memperoleh imunisasi.
5. Masih banyaknya anak (17 anak atau sebanyak 68%) yang belum memiliki akte kelahiran.
6. Masih rentannya kondisi sosial ekonomi keluarga sehingga pemenuhan kebutuhan dan hak dasar anak belum mendukung keberadaan anak di dalam keluarga. Kondisi rumah kurang sehat, tanpa ventilasi udara dan penerangan serta pemenuhan kebutuhan makan cenderung seadanya.
7. Lingkungan rumah yang belum sepenuhnya aman bagi anak, dimana pelaku (ayah tiri) pelecehan seksual masih satu atap dengan korban, dan proses hukum pada pelaku tidak berlanjut, masih adanya orangtua yang melakukan tindak kekerasan pada anak, bahkan pada anak yang di referal ke Panti Sosial, tidak menginginkan dirinya kembali ke rumah.
B. Faktor Pendukung dan Penghambat
Kondisi anak pasca pelayanan RPSA tidak dapat dilepaskan dari kondisi kelembagaan RPSA, baik Organisasi, Sumber Daya Manusia, Sarana dan Prasarana, Jejaring Kerja dan Dana.
Pada aspek kelembagaan, RPSA yang dijadikan sasaran penelitian ini dibagi kedalam 3 katagori yakni RPSA milik Kementerian Sosial (RPSA Bambu Apus dan RPSA Satria Batur Raden), RPSA milik Pemda provinsi (RPSA Bima Sakti Batu Jatim dan RPSA Turikale Makassar) dan RPSA milik masyarakat yaitu RPSA Muhammadiyah. Kelima RPSA tersebut dibangun sebagai salah satu wujud pelaksanan mandat Kementerian Sosial berdasarkan Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri: Menteri Sosial, Menteri Kesehatan dan Kepolisian RI. Sebelum diberlakukan otonomi daerah, maka ke-2 RPSA milik Pemda adalah milik Kementrian Sosial. Sedangkan RPSA milik masyarakat yang berada di bawah naungan Yayasan Muhammadiyah, semata sebagai kebutuhan masyarakat terhadap pentingnya keberadaan rumah aman bagi kasus anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus. Operasionalisasi RPSA seluruhnya, mengacu pada SOP yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial, terutama dari Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak selaku pembina RPSA. Idealnya sebagai RPSA memfasilitasi penyediaan Rumah Perlindungan (Protection Home), Pusat Trauma (Trauma Centre) dan Pusat Pemulihan (Recovery Centre).
Secara struktural, RPSA milik pemerintah belum memiliki Satuan Kerja (satker) tersendiri yang akan berpengaruh pada aktivitas mereka dalam misi pelayanan anak yang memerlukan perlindungan khusus. Namun demikian seluruh RPSA telah berupaya melakukan pelayanan bagi kasus-kasus anak yang memerlukan perlindungan khusus. Secara umum kondisi SDM, jejaring kerja, sarana dan prasarana di 5 RPSA adalah sebagai berikut:
1. Idealnya sebuah RPSA memiliki ruangan atau gedung yang berfungsi sebagai temporary shelter atau protection home sebagai tempat aman bagi anak-anak yang memerlukan pelayanan. Namun kenyataannya tidak semua RPSA memiliki sarana prasarana dimaksud, sebagaimana RPSA Turikale dan RPSA Muhammadiyah.
2. SDM pada masing-masing RPSA cukup bervariasi, pada RPSA Bambu Apus, tenaga maupun petugas lebih fokus pada pelayanan, berbeda halnya pada RPSA yang berada dalam komplek Panti Sosial, maka tenaga Pekerja Sosial Panti berperan sebagai tenaga di RPSA. Contoh SDM di RPSA Satria, Bima Sakti dan Muhammadiyah juga merupakan tenaga PSPA/Panti Asuhan, sehingga belum sepenuhnya konsentrasi pada RPSA. Sedangkan SDM Turikale (milik Pemkot Makassar) umumnya adalah pegawai administratif dari struktur organisasi Dinas Sosial Kota, seksi pelayanan rehabilitasi sosial anak, sementara tenaga Pekerja Sosial adalah staf seksi dimaksud.
3. Terkait dengan SDM ini, belum semua RPSA memiliki manajer kasus (Pekerja Sosial) yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses dan kegiatan-kegiatan penanganan klien. Kemampuan Pekerja Sosial juga tidak merata, hanya sebagian kecil yang telah dibekali berbagai keterampilan yang terkait dengan pelayanan anak yang memerlukan perlindungan khusus. Namun demikian secara umum Pekerja Sosial cukup mampu melaksanakan proses identifikasi, asesmen dan pelaksanaan intervensi. Mereka berupaya optimal memberikan pelayanan terhadap kasus-kasus anak yang memerlukan perlindungan khusus.
4. Jejaring Kerja RPSA: semua RPSA memiliki menjaring jejaring kerja dengan berbagai institusi pemerintah (Sosial, Kesehatan, Pendidikan, Kepolisian, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Lembaga Kesejahteraan Sosial dan LSM. Namun jejaring kerja ini belum sepenuhnya berlanjut pada pasca pelayanan terutama dalam upaya pemantauan kondisi fisik, psikososial serta pemenuhan hak dan kebutuhan anak. Idealnya bimbingan lanjut pada pasca pelayanan di RPSA, bertujuan memastikan anak dapat berfungsi sosial, hidup, tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau institusi lembaga rujukan, dilakukan oleh Petugas RPSA atau petugas pada lembaga lokal. Namun kenyataannya tujuan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, karena berbagai kendala yang dihadapi lembaga. Salah satunya adalah jangkauan wilayah RPSA yang luas, tidak didukung oleh SDM dan dana yang memadai. Kondisi ini lebih nampak saat anak di reunifikasi ke wilayah diluar daerah, sehingga proses bimbingan lanjut tidak dapat berlangsung.
5. Anggaran: untuk pendanaan operasionalisasi RPSA, semua bersumber dari APBN, tidak ada dana yang bersumber dari APBD meski RPSA tersebut milik Pemda setempat. Dalam penggunaan anggaran ini, Kementerian Sosial RI tidak memberikan petunjuk tertulis rincian penggunaan anggaran dan berapa jumlah klien yang harus diberikan pelayanan. Meski pada RPSA tertentu mempunyai target untuk memberikan pelayanan bagi 50 orang/tahun (kasus di RPSA Bima Sakti Batu), sesuai dengan kapasitas dan daya tampung. Bagi RPSA yang berada dalam Panti Sosial, maka keterlambatan pencairan biaya operasionalisasi dapat ditanggulangi dengan anggaran untuk Panti Sosial. Meski hal tersebut cukup merepotkan namun demi keberlangsungan proses pelayanan, maka upaya tersebut terpaksa dilaksanakan.
6. Jika melihat kondisi lembaga dari kelima RPSA, diperoleh gambaran bahwa secara umum kondisi RPSA di bawah pembinaan Kementrian Sosial jauh lebih baik dibandingkan RPSA milik Pemda dan masyarakat. Hal tersebut cukup beralasan mengingat koordinasi dan pengawasan dapat langsung dilakukan oleh Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. Berbagai kendala yang dihadapi dapat segera dikomunikasikan pada penentu kebijakan, untuk dicari pemecahannya meski belum seluruh tujuan pelayanan dapat tercapai optimal. Secara lebih rinci kondisi di setiap RPSA, dan merupakan faktor pendukung dan penghambat pelayanan anak adalah sebagai berikut:
RPSA | Pendukung | Penghambat |
Bambu Apus | 1. SDM, sarana dan prasarana, anggaran cukup memadai. 2. Tenaga/pegawai (termasuk 6 orang Pekerja Sosial) masih berstatus tenaga kontrak, namun tidak mengurangi kualitas pelayanan terhadap klien. 3. Dokumentasi terhadap file klien cukup lengkap dan tetap menjaga kerahasiaan anak. 4. Keterlibatan tenaga Pekerja Sosial dalam setiap proses penanganan anak, mulai dari asesmen, intervensi dan rujukan. 5. Jejaring kerja yang cukup luas dan baik dengan instansi sosial daerah, kesehatan, sekolah, kepolisian dan LSM | 1. Belum menjadi Satuan Kerja sendiri akan dihadapkan dengan kendala, misalnya dalam proses mempersiapkan keluarga untuk Reunifikasi melalui rujukan ke Dinsos di daerah, menjadi kurang optimal. 2. Usia korban yang masih anak-anak dan labil menjadikan anak pada pasca pelayanan masih sangat tergantung pada RPSA. 3. Sumber permasalahan anak bermuara dari dalam keluarga, sehingga menjadi hambatan utama untuk tumbuh kembang anak secara optimal. Proses pelayanan yang dilakukan di RPSA menjadi kurang optimal hasilnya. 4. Proses penanganan anak perlu waktu lama, sesuai dengan tingkat permasalahan anak. Penanganan oleh RPSA hanya merupakan proses dan bukan merupakan tujuan akhir. Kondisi anak pasca pelayanan sangat tergantung situasi lingkungan keluarga dan masyarakat. 5. Jejaring kerja yang cukup luas dengan berbagai instansi dan LSM berlanjut pada pasca pelayanan RPSA |
Satria | 1. Perlindungan dan fasilitas proses kelahiran bayi oleh RPSA, menjadikan anak dan orangtuanya lebih tentram. 2. Kualitas SDM mampu merubah sikap dan perilaku anak selama dalam pelayanan RPSA. | 1. Lingkungan belum sepenuhnya menerima kehadiran bayi dan anaknya. 2. Pembinaan lanjut/ monitoring belum cukup memadai untuk menjawab permasalahan anak pada pasca pelayanan RPSA |
Bima Sakti | Keberhasilan pelayanan anak dalam RPSA merupakan kerja keras Kepala RPSA dan didukung oleh kualitas Pekerja Sosial profesional yang cukup handal. | 1. Keterampilan (skill) Pekerja Sosial tidak merata, hanya ada beberapa Pekerja Sosial yang memiliki keahlian dibidang pekerjaan sosial klinis. 2. Dana operasional dari Kemsos kurang memadai, pencairannya sering terlambat sehingga mengganggu operasional RPSA. 3. Monitoring eks klien dilaksanakan terbatas pada sejumlah anak sesuai dengan anggaran. 4. Kondisi sosial ekonomi keluarga serta situasi yang kurang mendukung menjadi dilematis dalam penuntasan kasus-kasus anak (5 klien). |
Turikale | Jejaring kerja yang cukup baik dengan Polwil, Puskesmas, Satpol PP, Panti Sosial dan Kemensos (+PKSA) | Tidak memiliki rumah aman, Kelembagaan RPSA, kondisi gedung tidak layak (mau ambruk), status kepemilikan gedung milik Pemprov sementara RPSA milik Pemkot Makassar, menghambat pemeliharaan, Tidak ada filling data, SDM RPSA adalah pegawai Dinsos Kota Makassar. Pekerja Sosial bersifat umum, menangani semua PMKS, tidak focus pada klien anak RPSA Pembinaan lanjut belum memadai, dilaksanakan terbatas pada dana APBN melalui program PKSA |
Muhammadiyah | Sistem kerja jaringan antar lembaga pemerhati anak cukup baik (Panti Asuhan Anak, Save the Children, LPA, Bahtera dan lainnya) | 1. Masih bias antara fungsi RPSA dengan PA Bayi sehat Muhammadiyah. 2. Belum ada shelter khusus RPSA. 3. Belum ada ruang Sakti Peksos. 4. Tidak ada filing data anak dampingan, data tersimpan dalam laptop masing-masing Sakti Peksos. 5. Beberapa anak belum selesai penanganannya, namun sudah dilakukan reunifikasi, tanpa mempersiapkan dukungan keluarga (ekonomi, psikososial). |
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Kondisi Anak Pasca Pelayanan
a. Secara umum 25 kasus yang menjadi sasaran penelitian menunjukkan kondisi fisik dan mental yang lebih baik pada akhir pelayanan RPSA dibanding kondisi awalnya. Perubahan positip yang diakui oleh anak dan keluarganya ini, menunjukkan bahwa seluruh komponen RPSA telah bekerja secara optimal.
b. Dalam kegiatan reunifikasi RPSA berhasil mempertemukan dan menyatukan klien dengan orangtua maupun dengan anggota keluarganya. Namun RPSA cenderung belum sepenuhnya mempersiapkan keluarga apakah layak untuk tumbuh kembang anak. Bahkan ada RPSA yang terkesan memaksakan proses reunifikasi tanpa mempersiapkan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anak masih dalam kondisi sosial psikologis yang belum sepenuhnya stabil sehingga berpengaruh pada hak tumbuh kembang anak. Keluarga juga belum sepenuhnya siap untuk menerima kembali kehadiran anak. Perasaan aman dan nyaman yang dirasakan di RPSA belum dirasakan anak pada pasca pelayanan.
c. Proses reintegrasi yang diharapkan anak memperoleh dukungan di lingkungan masyarakat yang bertujuan meningkatkan keberdayaan klien sehingga bisa menjalani kehidupan normal dalam masyarakat belum tercapai pada semua anak. Sebanyak 8 anak yang belum kembali ke sekolah, bayi yang dilahirkan dari anak korban pelecehan seksual nampak kurang sehat mengarah pada kondisi gizi buruk dan belum memperoleh imunisasi, dan sebanyak anak 17 anak belum memiliki akte kelahiran.
d. RPSA telah berupaya mengembalikan anak-anak untuk berfungsi sosial, tetap terjamin hak-haknya, serta memberikan perlindungan agar anak tidak kembali memperoleh situasi yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan ancaman, tekanan dan/membahayakan fisik, sosial maupun mental anak. Perubahan positip ditunjukkan pada kasus-kasus:
1) bayi dari seorang anak yang diterlantarkan menunjukkan kondisi fisik yang sehat, berat badan cenderung naik, diasuh oleh keluarga yang sangat menyayangi anak,
2) kondisi psikologis anak yang mengalami pelecehan seksual, kehidupan emosinya sudah stabil, menerima anaknya sebagai bagian dari tanggung jawabnya dan memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki kehidupannya, dan berharap diri dan bayinya memiliki masa depan yang lebih baik.
3) anak jalanan (kasus penelantaran) sudah mulai tumbuh kepercayaan diri, memiliki keberanian untuk “melawan” terhadap orang yang diperkirakan akan menyakitinya dan keinginan untuk mandiri tanpa harus kembali ke “dunia” jalanan.
4) anak yang sering kabur dari rumah, sudah mulai nyaman berada di rumah, mau berkomunikasi dengan orangtua, berani mengemukakan pendapat ke orangtua dan mau mendengarkan nasihat atau pendapat orang lain. Pada anak yang suka mencuri untuk sementara tidak mencuri lagi.
5) sebanyak 17 anak dapat melanjutkan sekolah atau memiliki keinginan untuk memperoleh keterampilan agar bisa bekerja.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat
a. Faktor Pendukung
1) Kualitas SDM RPSA terutama keterlibatan tenaga Pekerja Sosial (meskipun ada yang masih berstatus tenaga kontrak sebagaimana di RPSA Bambu Apus) dalam setiap proses pelayanan anak mampu merubah sikap dan perilaku anak selama dalam perlindungan RPSA. Keberhasilan ini juga merupakan kerja keras Kepala RPSA dan didukung oleh kualitas Pekerja Sosial profesional yang cukup handal.
2) Sarana dan prasarana yang cukup lengkap di RPSA Bambu Apus, RPSA Satria dan RPSA Bima Sakti dan dilengkapi dengan shelter (rumah aman) bagi anak berpengaruh positip pada proses pelayanan anak dalam RPSA.
3) RPSA Satria dan RPSA Bima Sakti yang berada di lingkungan Panti Sosial Pertirahan Anak (PSPA) menjadikan anak RPSA pada kasus-kasus tertentu bisa bergabung dengan kegiatan PSPA. Hal ini berpengaruh positip pada proses penyesuaian diri anak-anak dengan lingkungan Panti.
4) Jejaring kerja yang cukup baik dengan instansi pemerintah dan masyarakat pada semua RPSA memudahkan dalam memberikan pelayanan kepada anak.
5) Keberadaan RPSA dalam memberikan pelayanan anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus memberikan rasa aman dan nyaman bagi orangtua dan keluarganya, meskipun bersifat “sementara”.
b. Faktor Penghambat
1) Usia korban yang masih anak-anak dan labil menjadikan anak pada pasca pelayanan masih sangat tergantung pada RPSA yang selama ini dianggap menjadi “pembimbingnya”. Proses penanganan anak perlu waktu lama, sesuai dengan tingkat permasalahan anak. Penanganan oleh RPSA hanya merupakan proses dan bukan merupakan tujuan akhir. Kondisi anak pasca pelayanan sangat tergantung situasi keluarga dan lingkungannya.
2) Sumber permasalahan anak bermuara dari dalam keluarga, sementara keluarga belum menjadi sasaran pokok penanganan RPSA. Kondisi ini menjadi hambatan anak dalam menampilkan keberfungsian sosial dan memulihkan kondisi mental anak yang terganggu akibat tekanan dan trauma, dan menjadikan proses pelayanan yang dilakukan di RPSA menjadi kurang optimal hasilnya.
3) Kondisi sosial ekonomi keluarga dan lingkungan sosial menjadi dilematis dalam penuntasan kasus-kasus anak. Keterbatasan RPSA dalam bimbingan lanjut dan belum berfungsinya lembaga sosial pemerintah dan swasta (Dinas Sosial, LSM) yang selama ini menjadi mitra RPSA juga menjadi kendala dalam penuntasan kasus-kasus anak pasca pelayanan RPSA. Mencermati hasil studi ini nampak jejaring kerja yang selama ini dibangun oleh RPSA belum sepenuhnya berlanjut pada pasca pelayanan.
4) Lingkungan rumah yang belum sepenuhnya aman bagi anak juga merupakan hambatan dalam menampilkan keberfungsian anak di tengah-tengah keluarga dan lingkungan masyarakat. Pelaku (ayah tiri) pelecehan seksual yang masih satu atap dengan korban, dan proses hukum pada pelaku tidak berlanjut, masih adanya orangtua yang melakukan tindak kekerasan pada anak, adanya kecemasan anak dan keluarga akan kembalinya pelaku setelah menjalani masa hukuman dan anak yang di referal ke Panti Sosial yang tidak menginginkannya kembali ke rumah, berpengaruh pada upaya memulihkan kondisi mental dan pengembangan relasi sosial dengan orang-orang di sekitarnya.
5) Keterampilan (skill) Pekerja Sosial tidak merata, hanya ada beberapa Pekerja Sosial yang memiliki keahlian dibidang pekerjaan sosial klinis. Penanganan Pekerja sosial yang dilakukan oleh RPSA Turikale juga bersifat umum dan menangani semua PMKS, tidak fokus pada klien anak RPSA.
6) Pembinaan lanjut/monitoring belum cukup memadai untuk menjawab permasalahan anak pada pasca pelayanan RPSA. Luasnya jangkauan wilayah RPSA dan belum sepenuhnya didukung oleh anggaran, menjadikan tidak semua eks klien terjangkau oleh RPSA dalam pembinaan lanjut. Upaya mengatasi hambatan ini sesungguhnya RPSA juga telah menjaring dengan instansi pemerintah (terutama Dinas Sosial) dan LSM.
B. Rekomendasi
1. RPSA perlu mempersiapkan keluarga sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan klien sebelum dilaksanakan reunifikasi/reintegrasi dan memastikan keluarga untuk menerima, memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan anak. Target utama reunifikasi adalah keluarga asli, apabila anak belum memungkinkan untuk dipertemukan dan disatukan dengan keluarga asli, perlu dicarikan alternatif lain, misalnya ke anggota keluarga atau kerabat lainnya. Prinsip mengutamakan hak anak akan hidup, kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan kepentingan terbaik anak harus menjadi perhatian RPSA.
2. Aspek sosial psikologis menjadi pokok permasalahan anak yang memerlukan perlindungan khusus di RPSA karena berpengaruh pada perilaku anak. Pekerja Sosial perlu mencermati hal ini dan memberikan perhatian khusus tidak hanya pada anak saja, tetapi lingkungan keluarga dan sosial yang mempengaruhinya. Sejalan dengan hal ini peningkatan kualitas SDM (Peksos/Pendamping) RPSA penting dilakukan, terutama pelatihan yang berkaitan tentang isu-isu dan pemasalahan anak yang memerlukan perlindungan khusus termasuk keterampilan yang menyertainya. Hal ini perlu diupayakan mengingat kompleksitas permasalahan korban bersifat klinis yang berbeda-beda penanganannya untuk setiap kasus. Peningkatan pengetahuan ini penting karena belum ada Pekerja Sosial RPSA mempunyai keahlian bidang klinis. Badiklit Kessos perlu merancang pelatihan-pelatihan sesuai kebutuhan RPSA dan segera merumuskan langkah-langkah agar semua Pekerja Sosial memperoleh pelatihan tersebut. Penguatan aspek psikososial seperti parenting skill menjadi penting bagi keluarga pasca pelayanan RPSA, dan menjadi salah satu materi diklat ini.
3. Sesuai panduan yang ada baik pedoman penyelanggaraan RPSA maupun Standar Prosedur Operasional RPSA, keluarga bukan menjadi sasaran utama garapan RPSA, sementara kondisi sosial ekonomi keluarga berpengaruh pada pemulihan mental anak dalam reunifikasi pasca pelayanan RPSA. Penanganan anak tidak mungkin hanya dilakukan oleh RPSA sendiri, dan sebaiknya merupakan satu sistem dengan keluarga. Data tentang permasalahan anak bisa menjadi rujukan dan bahan pertimbangan dalam meluncurkan program/kegiatan bagi Direktorat Pemberdayaan Keluarga, Direktorat Kemiskinan Perkotaan dan Dinas Sosial setempat sesuai dengan hasil asesmen yang dilakukan oleh RPSA.
4. Sementara itu monitoring dan pembinaan lanjut akan lebih tepat bisa dilakukan oleh Petugas/Pekerja Sosial RPSA sendiri karena mengetahui masalah klien. Meskipun telah ada intervensi dari kegiatan unit terkait, RPSA tetap harus memastikan anak tetap bisa menampilkan keberfungsian sosialnya di tengah-tengah keluarga dan lingkungan sosialnya, pulihnya kondisi mental anak, anak bisa menjalin komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya dan menemukan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan mendatangi langsung ke tempat tinggal anak atau melalui lembaga lokal atau institusi Dinas Sosial yang dilibatkan dalam pembinaan lanjut. Guna mendukung kegiatan ini instansi dan lembaga lokal yang dilibatkan dalam pembinaan lanjut ini harus mengetahui masalah klien dan berupaya agar anak tetap dalam kondisi normal dan tidak mengalami tekanan atau trauma pada pasca pelayanan RPSA.
5. Secara lebih rinci aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kelembagaan
1) Sebaiknya RPSA Turikale dikelola oleh Dinas Sosial Provinsi, dan tetap mengacu pada Standar Prosedur Operasional dan panduan yang ada. Hal ini perlu dilakukan karena luasnya jangkauan wilayah operasional hingga lintas provinsi.
2) Optimalisasi fungsi RPSA sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dalam Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak bagi RPSA Turikale.
b. SDM
1) Fungsi supervisi dan kontrol Pimpinan RPSA Turikale dan RPSA Muhammadiyah atas Pekerja Sosial perlu ditingkatkan, sehingga administrasi kasus, seperti pembuatan case history, progress report file data anak, dikerjakan dengan tertib dan harus ada di RPSA.
2) Pengelola RPSA sebaiknya tidak merangkap pekerjaan lain, termasuk pekerjaan pada Panti Sosial.
3) Peningkatan kapasitas tenaga Pekerja Sosial dalam praktek penanganan anak yang memerlukan perlindungan khusus sejak identifikasi dan registrasi, asesmen, manajemen kasus, case record, rencana intervensi, intervensi, moneva bagi RPSA Turikale.
c. Sarana dan Prasarana. Sarana dan prasarana RPSA Turikale dan RPSA Muhammadiyah perlu dilengkapi sesuai dengan Standar Prosedur Operasional RPSA, seperti keberadaan rumah aman yang berfungsi sebagai temporary shelter dan protection home, sarana dan prasarana kantor, pelayanan dan pendukung lainnya.
d. Anggaran
1) Kementerian Sosial RI dalam menyusun anggarannya perlu rincian yang jelas sesuai dengan kebutuhan untuk setiap RPSA. Sistem anggaran tidak lagi seperti yang berlaku saat ini, yang diperlakukan sama untuk semua RPSA, terutama RPSA milik Pemda dan masyarakat yang kurang jelas peruntukan dan rinciannya serta ketepatan pencairan sesuai dengan kebutuhan RPSA.
2) Pemerintah Daerah duduk bersama dan sekaligus mengalokasikan dana operasional sesuai dengan kebutuhan RPSA.
3) Transparansi penggunaan Dana bagi RPSA Turikale
e. Pelayanan
1) Kriteria sasaran anak yang memerlukan perlindungan khusus di RPSA harus jelas, hanya yang memenuhi syarat sesuai panduan yang memperoleh pelayanan (RPSA Turikale dan Muhammadiyah).
2) Administrasi pelayanan yang meliputi kegiatan administrasi yang menyangkut prasyarat, prosedur, teknis, dan materi-materi yang terkait dengan pelayanan bagi anak yang terdiri dari: (a) pembahasan kasus; (b) penyediaan file; (c) perkembangan klien; dan (d) jadual kegiatan harus ada di setiap RPSA.
3) Aksesibilitas pada pemenuhan hak dasar seperti: pendidikan/kejar paket (untuk kasus anak bekerja); identitas diri (akte kelahiran); kebutuhan makanan bergizi/ bagi RPSA Turikale.
f. Monitoring dan Bimbingan Lanjut
1) Penyiapan dukungan sosial, family support (parenting skill) sebelum anak di reunifikasi/reintegrasi.
2) Mengingat sumber permasalahan muncul dari keluarga, maka penguatan peran keluarga menjadi penting dilakukan. Berdasarkan studi ini ketergantungan anak dan keluarga kepada RPSA masih cukup tinggi, karena keluarga menganggap RPSA cukup berhasil dalam “membina” anak. Keluarga belum sanggup mendidik dan membina anak sebagaimana yang dilakukan oleh RPSA, dan masih ada niat untuk menghubungi RPSA bila mengalami masalah yang terkait dengan pembinaan anak. Dalam hal ini selayaknya RPSA harus mampu menularkan ilmu ‘mengasuh’ anak kepada keluarga. Untuk itu monitoring dan bimbingan lanjut penting dan perlu terus diupayakan demi kepentingan terbaik anak, sambil memberi penguatan psikososial pada keluarga. Konsekuensinya petugas RPSA (Pengasuh dan Peksos) harus meningkatkan kemampuan dalam parenting skill.
3) Optimalisasi pembinaan lanjut bagi anak pasca pelayanan dari tempat rujukan, keberlanjutan pengasuhan anak bagi anak reunifikasi; keberlanjutan pendidikan anak, (kemampuan sekolah anak) bagi RPSA Turikale.
4) Memastikan anak memperoleh akses pendidikan dan kesehatan pasca pelayanan RPSA.
g. Keterlibatan Unit Terkait di lingkungan Kementerian Sosial, Pemda dan LSM
1) Instansi sosial dan LSM setempat dimana anak berada perlu mengambil peran yang lebih besar, sehingga ketergantungan anak dan keluarga kepada RPSA bisa diminimalisir. Proses reunifikasi atau reintegrasi dengan keluarga perlu terus diupayakan, karena tidak selamanya anak akan tingal dalam lembaga, sambil tetap memperkuat lingkungan keluarga yang kondusif bagi anak
2) Mengingat adanya perbedaan persepsi di kalangan instansi sosial di daerah, dan seringnya mutasi di instansi sosial di daerah, maka perlu adanya kegiatan untuk meningkatkan sosialisasi tentang sistem perlindungan anak khususnya tentang pentingnya pelayanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus. Terutama optimalisasi pemanfaatan Dana Dekon dari Kementerian Sosial bagi implementasi program perlindungan anak.
3) Lembaga lokal seperti TKSK perlu dilatih dan difungsikan dalam penanganan anak pasca pelayanan RPSA.
4) Tingginya kasus-kasus anak yang memerlukan perlindungan khusus, sudah selayaknya pemerintah mengembangkan RPSA di lokasi lain. Selain dalam upaya menjawab tantangan perubahan sosial dan masalah anak-anak yang semakin berkembang, pendirian RPSA juga merupakan kebutuhan mendesak sebagai upaya mewujudkan implementasi dari KHA serta amanah UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Keterbatasan anggaran yang ada, bisa disikapi dengan mengoptimalkan UPT Kementerian Sosial dan UPT milik Pemerintah Daerah. Optimaliasi UPT ini juga merupakan upaya penyembuhan korban melalui kegiatan bersama dengan klien dari UPT lainnya. Upaya pengembangan RPSA ini penting dan urgen, karena basis perlindungan anak (protection) tidak hanya berbasis charity ke pihak keluarga, namun berbasis Human Right (Hak asasi anak khususnya).
5) Pelayanan pendukung berbasis keluarga dan masyarakat (Family base and community base) dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bagi keluarga klien RPSA, dengan mengedepankan kekuatan ekonomi maupun sumber kemasyarakatan lain menjadi penting seperti Program PKH, Program Jamkesmas, Program Pemberdayaan Keluarga, dan lain lain.
DAFTAR PUSTAKA
Aman, 2009, Kajian Model-Model Evaluasi Pendidikan, Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta.
Anwar Sitepu, 2006, Membangun Komunitas Peduli Anak, dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial No 1 Tahun 2005.
Anwar Sitepu, 2004, Membangun Komunitas Peduli Anak, karya ilmiah untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Sekolah Pasca Sarjana, Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Arikunto, Suharsini. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Departemen Sosial RI, 2007, Pedoman Penyelenggaraan Rumah Perlindungan Sosial Anak, Jakarta: Ditjen Yanrehsos, Depsos.
---------------, 2009, Standar Prosedur Operasional Rumah Perlindungan Sosial Anak, Jakarta, Ditjen Yan Rehsos
---------------, 2009, Pedoman Pelayanan Psikososial bagi Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Dirjen Yanrehsos, Depsos.
-------------, Sosial RI, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial, Konsepsidan strategis, Jakarta: Balatbangsos Depsos.
Diane E Papalia, et al; Human Development, Psikologi Perkembangan (terjemahan); Jakarta: Prenada Media Group.
Ditto, Santoso, 2008, Mendesain Proyek Pemberdayaan Masyarakat Berfokus pada Anak: Sebuah Pedoman, Jakarta: Christian Children’s Fund – Indonesia Office, Cetakan 1.
Suharto, Edi, 1997, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: LSP Press
--------------, 2005b, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta.
---------------, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
---------------, 2007, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung:Alfabeta.
Fakih, 1996, Modern Social Work Theory, Second Ed, London, MacMillan Press.
Gerald P. Mallon. Peg McCartt Hess, edt, 2005, Child Welfare for the 21st Century, A Hanbook of Practices, Polices and Programs, Columbia University Press, New York.
Hurlock, Elizabeth B, 1993, Psikologi Perkembangan - Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga.
Nasir, Moh, PhD, 1999, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan ke-4.
Nurdin Widodo dkk, 2009, Evaluasi Pelayanan Remaja Putus Sekolah Melalui PSBR, Jakarta: P3S Press.
Siahaan MPR; 2004, Beberapa Catatan Praktek Pekerjaan Sosial, (tidak diterbitkan)
Soetarso, 1990, Praktek Pekerjaan Sosial dalam Pembangunan Masyarakat, Bandung: STKS
Sufflebeam, Daniel L. dan Anthony J. Shinkfield. 1986, Systematic Evaluation: A Self Instructional guide to Theory and Practice. Boston: Kluwer-nijhoff Publishing.
Yuni Sufyanti Arief, S.Kp, M.Kes dalam http://ners.unair.ac.id/materikuliah/konsep%20pertukem%20anak%20%28edit%29.pdf
Unrau, Yvonne A ; Gabor, Peter ; and Grinaal, Richard, 2007, Evaluation Social Work ; The Art and Science of Practice, Oxford University Press
Konvensi dan Undang-Undang:
Unicef, Convention On The Right Of The Child. (Konvensi Hak-hak Anak)
Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Konvensi PBB tentang Anak
*http://www.academia.edu/3198883/PROGRAM_PERLINDUNGAN_ANAK_MELALUI_RUMAH_PERLINDUNGAN_SOSIAL_ANAK_RPSA_2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar