UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHAESA
Presiden
Republik Indonesia,
Menimbang:
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila
serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang
tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat:
1.
Pasal
5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945;
2.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Mahaesa.
Pasal 2
(1)
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2)
Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1)
Pada
azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2)
Pengadilan,
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1)
Dalam
hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2)
Pengadilan
dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.
isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.
isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1)
Untuk
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b.
adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka;
c.
adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
(2)
Persetujuan
yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1)
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2)
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3)
Dalam
hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
(4)
Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5)
Dalam
hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini.
(6)
Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Pasal 7
(1)
Perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2)
Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita.
(3)
Ketentuan-ketentuan
mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat
(3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6
ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
a.
berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.
berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.
berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.
berhubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan;
e.
berhubungan
saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f.
mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah
cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Pasal 11
(1)
Bagi
seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2)
Tenggang
waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur
dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal l3
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada
pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1)
Yang
dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang
calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2)
Mereka
yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah
pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan
orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya
masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
(1)
Pejabat
yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan
Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2)
Mengenai
Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
(1)
Pencegahan
perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan
dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2)
Kepada
calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut
dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan
pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan
apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak
diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia
mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Pasal 21
(1)
Jika
pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada
larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan
perkawinan.
(2)
Didalam
hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan
tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3)
Para
pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan
didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan
berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan
penolakan tersebut diatas.
(4)
Pengadilan
akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan,
apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya
perkawinan dilangsungkan.
(5)
Ketetapan
ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan
tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan
tentang maksud mereka.
BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yaitu :
a.
Para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
b.
Suami
atau isteri;
c.
Pejabat
yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d.
Pejabat
yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih
terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan
atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1)
Perkawinan
yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2)
Hak
untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1)
pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan
dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1)
Seorang
suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)
Seorang
suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau isteri.
(3)
Apabila
ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami
isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.
Pasal 28
(1)
Batalnya
suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2)
Keputusan
tidak berlaku surut terhadap :
a.
Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b.
Suami
atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu;
c.
Orang-orang
ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak
dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap.
BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
(1)
Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)
Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
(3)
Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4)
Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
(1)
Hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)
Masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3)
Suami
adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1)
Suami
isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2)
Rumah
tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri
bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling
cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang
satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1)
Suami
wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2)
Isteri
wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3)
Jika
suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugutan kepada Pengadilan.
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1)
Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2)
Harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1)
Mengenai
harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.
(2)
Mengenai
harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian,
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :
a.
kematian,
b.
perceraian
dan
c.
atas
keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1)
Perceraian
hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)
Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3)
Tatacara
perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.
Pasal 40
(1)
Gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2)
Tatacara
mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah :
a.
Baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b.
Bapak
yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
c.
Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1)
Anak
yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
(2)
Kedudukan
anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 44
(1)
Seorang
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia
dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada
perzinaan tersebut.
(2)
Pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
(1)
Kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)
Kewajiban
orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1)
Anak
wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2)
Jika
anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan
keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1)
Anak
yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya.
(2)
Orang
tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar
Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya
yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1)
Salah
seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak
atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa
atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a.
la
sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b.
la
berkelakuan buruk sekali.
(2)
Meskipun
orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi
biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
BAB XI
PERWALIAN
PERWALIAN
Pasal 50
(1)
Anak
yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah kekuasaan wali.
(2)
Perwalian
itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal 51
(1)
Wali
dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua)
orang saksi.
(2)
Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3)
Wali
wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4)
Wali
wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada
waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda
anak atau anak-anak itu.
(5)
Wali
bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya
serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48
Undang-undang ini.
Pasal 53
(1)
Wali
dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49
Undang-undang ini.
(2)
Dalam
hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal
ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian
kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau
keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat
diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak
Pembuktian asal-usul anak
Pasal 55
(1)
Asal-usul
seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang
dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2)
Bila
akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3)
Atas
dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan
akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Perkawinan diluar Indonesia
Perkawinan diluar Indonesia
Pasal 56
(1)
Perkawinan
yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau
seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2)
Dalam
waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia,
surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan
tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran
Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan
kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
(1)
Kewarganegaraan
yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan
hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
(2)
Perkawinan
campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang
Perkawinan ini.
Pasal 60
(1)
Perkawinan
campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing
telah dipenuhi.
(2)
Untuk
membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka
oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3)
Jika
pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka
atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah
penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4)
Jika
Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu
menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5)
Surat
keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan.
Pasal 61
(1)
Perkawinan
campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2)
Barang
siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu
kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan
pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3)
Pegawai
pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa
keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak
diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Bagian Keempat
Pengadilan
Pengadilan
Pasal 63
(1)
Yang
dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :
a.
Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam;
b.
Pengadilan
Umum bagi lainnya.
(2)
Setiap
Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku
yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
Pasal 65
(1)
Dalam
hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama
maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah
ketentuan-ketentuan berikut:
a.
Suami
wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b.
Isteri
yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada
sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c.
Semua
isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.
(2)
Jika
Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut
Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan
ayat (1) pasal ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No.
158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 67
(1)
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara
efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Hal-hal
dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
JENDERAL TNI.
pada tanggal 2 Januari 1974.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
JENDERAL TNI.
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
PENJELASAN
UMUM:
1.
Bagi
suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang
Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku
bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
2.
Dewasa
ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan
berbagai daerah seperti berikut :
a.
bagi
orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah
diresipiir dalam Hukum Adat;
b.
bagi
orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c.
bagi
orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie
Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
d.
bagi
orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
e.
bagi
orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
f.
bagi
orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan
dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
3.
Sesuai
dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka
Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain
fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat
dewasa ini. Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur
dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan.
4.
Dalam
Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan
dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan
dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas atau
prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut:
a.
Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan
material.
b.
Dalam
Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte
resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
c.
Undang-undang
ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat
beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan
lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
d.
Undang-undang
ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan
diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan
mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur
yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran
yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas
umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas)
tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e.
Karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan
di depan Sidang Pengadilan.
f.
Hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-isteri.
5.
Untuk
menjamin kepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku,
yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila
mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku
ketentuan yang ada.
PENJELASAN
PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Sebagai
Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan
kewajiban orang tua.
Pasal
2
Dengan
perurnusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum
rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukurn masing-masing agamanya dan
kepereayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam Undang- undang ini.
Pasal
3
1.
Undang-undang ini menganut asas
monogami.
2.
Pengadilan dalam memberi putusan
selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi
harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari salon
suami mengizinkan adanya poligami.
Pasal
4 Cukup jelas.
Pasal
5 Cukup jelas.
Pasal
6
1.
Oleh karena perkawinan mernpunyai
rnaksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia,
dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh
kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan
dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi
syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang
berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
ini.
2.
Cukup jelas.
3.
Cukup jelas.
4.
Cukup jelas.
5.
Cukup jelas.
6.
Cukup jelas.
Pasal
7
1.
Untuk menjaga kesehatan suami-isteri
dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.
2.
Dengan berlakunya Undang-undang ini,
maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap
perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74)
dinyatakan tidak berlaku.
3.
Cukup jelas.
Pasal
8 Cukup jelas.
Pasal
9 Cukup jelas.
Pasal
10
Oleh
karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali,
sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
Pasal
11 Cukup jelas.
Pasal
12
Ketentuan
Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.
Pasal
13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup
jelas.
Pasal
17
Cukup
jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal
21 Cukup jelas.
Pasal
22
Pengertian
"dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal,
bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Pasal
23 Cukup jelas.
Pasal
24 Cukup jelas.
Pasal
25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal
28 Cukup jelas.
Pasal
29
Yang
dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk
taklik-talak.
Pasal
30 Cukup jelas.
Pasal
31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal
33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal
35
Apabila
perkawinan Putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya
masing-masing.
Pasal
36 Cukup jelas.
Pasal
37
Yang
dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah hukum agama, hukum
adat dan hukum lainnya.
Pasal
38 Cukup jelas.
Pasal
39
1.
Cukup jelas.
2.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk pereeraian adalah :
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu pihak meninggalkan yang
lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan
berlangsung.
d.
Salah satu pihak inelakukan
kekeiaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan terhadap pihak yang lain.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat
badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami/isteri.
f.
Antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah-tangga.
3.
Cukup jelas.
Pasal
40 Cukup jelas.
Pasal
41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal
44
Pengadilan
mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.
Pasal
45 Cukup jelas.
Pasal
46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal
49
Yang
dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan
sebagai wali-nikah.
Pasal
50 Cukup jelas.
Pasal
51 Cukup jelas.
Pasal
52 Cukup jelas.
Pasal
53 Cukup jelas.
Pasal
54 Cukup jelas.
Pasal
55 Cukup jelas.
Pasal
56 Cukup jelas.
Pasal
57 Cukup jelas.
Pasal
58 Cukup jelas.
Pasal
59 Cukup jelas.
Pasal
60 Cukup jelas.
Pasal
61 Cukup jelas.
Pasal
62 Cukup jelas.
Pasal
63 Cukup jelas.
Pasal
64 Cukup jelas.
Pasal
65 Cukup jelas.
Pasal
66 Cukup jelas.
Pasal
67 Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA NOMOR 3019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar