Latar Belakang
Konsep pemahaman tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dan juga ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan yang cukup dasar dalam kehidupan sehari-hari, kurangnya kesempatan berusaha dan juga kurangnya lapangan pekerjaan, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Tetapi pada umumnya, ketika kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah: kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Status miskin dalam kehidupan juga relatif, ada standar tertentu yang dapat mengelompokan seseorang masuk dalam kategori masyarakat miskin.
Masyarakat miskin Indonesia mencapai 13,33% atau sebanyak 31,02 juta orang, dari jumlah penduduk Indonesia –data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2010. Di akhir tahun 2010, jumlah kemiskinan tersebut tentunya tidak jauh berbeda pertambahan ataupun pengurangannya. Ini berarti bahwa kemiskinan masih merupakan masalah besar bangsa yang sudah puluhan tahun merdeka ini. Pembangunan dianggap akan menghapuskan kemiskinan dengan sendirinya –krisis moneter 1997-1998 menjadi alasan kuat bahwa memang pertumbuhan ekonomi adalah segala-galanya. Perhatian pemerintah terhadap kemiskinan seperti menemukan momentumnya setelah terjadinya krisis ekonomi tersebut. Program Penanggulangan Kemiskinan bersasaran –targeted poverty alleviation paling serius dalam sejarah bangsa Indonesia adalah program Inpres Desa Tertinggal di sepertiga desa di Indonesia, dan program Tabungan Kesejahteraan Rakyat/Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat di dua pertiga desa lainnya. Keduanya didasarkan atas Inpres 5/1993 dan Inpres 3/1996, yang pertama dengan anggaran APBN dan yang kedua dari APBN ditambah bantuan konglomerat. Program IDT maupun Takesra/Kukesra keduanya dilaksanakan melalui pendekatan kelompok sasaran antara 15-30 kepala keluarga dengan pemberian modal bergulir, yang pertama (IDT) sebagai hibah dan yang kedua sebagai pinjaman/kredit mikro. Meskipun terkesan kurang berhasil karena tidak ada lagi dana segar yang disalurkan kepada penduduk miskin, dan sudah ada program-program penggantinya yaitu Program Pengembangan Kecamatan, tetapi penelitian membuktikan sebaliknya.
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Faktor pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa: Beras untuk Rakyat Miskin dan program Jaring Pengaman Sosial untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada, karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan –bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, seperti dibebaskannya biaya sekolah, serta dibebaskannya biaya-biaya pengobatan di Pusat Kesehatan Masyarakat. Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu. Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan –Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN –sementara itu, alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS. Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis –tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik. Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain: data Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I oleh BKKBN dan data Rumah Tangga Miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator-indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam –tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja –pendekatan ekonomi, tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan –baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas. Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas. Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan kedalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena: kemiskinan atau kesejahteraan individu; keluarga; unit-unit sosial yang lebih besar; dan wilayah. Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah –khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga. Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari Pemerintah Daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, Pemerintah Daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan –sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan. Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerjasama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) –baik lokal; nasional; maupun internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih. Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen. Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan Pemerintah Daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program. Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan –baik Pemerintah Daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai. Pemerintah Daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup: Pemerintah Daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten. Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
Masalah lain yang dihadapi adalah kondisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah –yang berpotensi menyerap tenaga kerja kurang terdidik, keberadaannya masih belum sepenuhnya mendapat perhatian serius. Berbeda dengan usaha besar yang padat modal dan teknologi, dengan mudahnya digelontori kredit perbankan dan berbagai kemudahan lainnya. Sebagai gambaran, sepanjang 2010, sekitar 10% - 15% atau sekitar 790 ribu - 1,17 juta pelaku UMKM produksi di Jawa Barat menutup usahanya dan beralih menjadi pedagang produk impor asal Cina. Keuntungan yang lebih besar dan risiko yang lebih kecil menjadi alasan mereka beralih. Fakta ini menunjukkan bahwa serbuan barang impor –terutama asal China telah mematikan usaha bidang produksi. Di Jawa Barat saja mencapai sejuta UMKM, lalu bagaimana jika ditambah dari provinsi lainnya. Misalkan satu UMKM menampung lima tenaga kerja, maka jutaan orang akan kehilangan pekerjaan. Ini berarti jumlah penduduk miskin pun terus meningkat. Meskipun pemerintah maupun pengamat ekonomi mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 bisa mencapai 6,2% namun hal itu sama sekali tidak berarti jika jumlah penduduk miskin tetap banyak. Bahkan jumlah penduduk miskin akan terpicu oleh naiknya harga sembako dan adanya rencana pemberlakuan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak. Hal ini akan mengakibatkan ratusan ribu tukang ojek akan menjerit ketika BBM dibatasi, sebagian di antaranya kemudian akan menjadi penganggur. Daya beli masyarakat akan terpangkas besar-besaran, yang akhirnya akan mendongkrak jumlah penduduk miskin. Kebijakan jalan pintas sering ditempuh pemerintah untuk sekedar meredam berita kemiskinan. Lantas, bagaimana solusi untuk mengendalikan pembengkakan angka kemiskinan? Lebih tepatnya, bagaimana upaya mensejahterakan penduduk miskin dan mencegah penduduk tidak miskin menjadi miskin. Instrumen yang ada pada pemerintah sebenarnya sudah memadai, ada Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Sosial yang perangkatnya sampai ke tingkat daerah. Begitu pula seluruh Pemerintah Daerah memiliki dinas/instansi yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan. Dalam hal ini pemerintah bisa bekerjasama dengan perusahaan besar yang memiliki program corporate social responsibility dan Perguruan Tinggi Negeri/Swasta yang memiliki program Pengabdian Pada Masyarakat. Namun yang selalu menjadi masalah adalah kemauan kuat dan muncul dari keinginan kuat untuk membantu rakyat miskin menjadi lebih sejahtera. Apa yang dilakukan belum bersumber dari hati –dan masih sekedar sebuah upaya menggugurkan kewajiban. Itulah sebabnya, penduduk miskin yang menjadi sasaran program, tetap saja miskin dan cenderung tidak terangkat dari kemiskinan.
Indikator
Masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu: persentase penduduk miskin; pendidikan –khususnya angka buta huruf; kesehatan –antara lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi; ketenagakerjaan; dan ekonomi –konsumsi/kapita. Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain: pendekatan kebutuhan dasar; pendekatan pendapatan; pendekatan kemampuan dasar; serta pendekatan objektif dan subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain: pangan; sandang; papan; pelayanan kesehatan; pendidikan; penyediaan air bersih; dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985).
Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita, dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004). Kasus mengenai gizi buruk tahun ini meningkat cukup signifikan, pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak balita penderita gizi buruk, dan pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3 juta jiwa anak yang menderita gizi buruk.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1% dibanding 82,3% pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74% penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin (BPS, 2001).
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan –baik biaya langsung maupun tidak langsung. Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Keterbatasan akses terhadap air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Dalam hal lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Dilihat dari lemahnya jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik.
Lemahnya partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka. Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi, menurut data BPS, rumah tangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumah tangga tidak miskin. Rumah tangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumah tangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
Publikasi Bank Dunia (2001) berisi pembahasan komprehensif tentang agenda penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Salah satu tema yang dikemukakan adalah perlunya memperluas definisi, fakta, dan tujuan dari program anti kemiskinan. Selain pujian bahwa sampai dengan krisis 1997-1998 Indonesia mampu mencapai hasil spektakuler dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, Bank Dunia juga memberikan kritik bahwa pendekatan yang diterapkan Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan –yang terlalu menitikberatkan pada target angka. Garis kemiskinan misalnya, ditekankan pada pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam arti yang sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan pendekatan pembangunan yang bersifat atas-bawah telah mengesampingkan banyak dimensi kemiskinan –yang meskipun sulit diukur, tetapi sangat penting. Dengan hanya melihat mereka yang secara statistik masuk dalam kategori di bawah garis kemiskinan, pendekatan ini menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan menjauhkan dari realitas penduduk miskin yang lebih dinamis.
Mengabaikan angka dan menjauhkan diri dari target matematik tentu juga tidak mungkin, karena bagaimanapun angka tetap diperlukan. Di lain pihak, terlalu menitikberatkan pada pencapaian target statistik juga tidak bijaksana karena terlalu menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan penggunaan indikator pembangunan internasional yang disusun oleh wakil dari komunitas internasional –dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya. Perluasan target penanggulangan kemiskinan seperti disarankan oleh Bank Dunia tersebut lebih terfokus pada kedalaman target yang telah ditetapkan selama ini. Pada dimensi standar kehidupan materiil misalnya, proporsi penduduk miskin tahun 1999 adalah 27%, sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar 13,5%. Pada dimensi sumber daya manusia dapat juga dikembangkan target misalnya, angka tamat pendidikan dasar pada kelompok penduduk paling miskin, tingkat kematian bayi maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses terhadap prasarana, apakah akses kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun sanitasi dapat ditingkatkan lima tahun mendatang. Peningkatan partisipasi kalangan penduduk miskin dalam keputusan politik setempat yang mempengaruhi kehidupan mereka, melalui program tertentu, merupakan hal yang tidak kalah pentingnya.
Selama kurun waktu 1975-1995 Indonesia telah berhasil dalam mengurangi kemiskinan terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin dari 64,3% pada tahun 1975 menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang sama Umur Harapan Hidup mengalami peningkatan dari 47,9 tahun menjadi 63,7 tahun, angka Kematian Bayi per seribu kelahiran bisa ditekan dari 118 menjadi 51, tingkat partisipasi Sekolah Dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95, dan tingkat partisipasi sekolah menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%.
Ukuran yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dengan paritas kekuatan pembelian, yaitu penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per hari (Tamar Manuelyan Atinc). Bank Dunia melaporkan bahwa 49% dari seluruh penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Dalam hitungan per kepala, 49% dari seluruh penduduk Indonesia berarti 108,78 juta jiwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia.
Di Indonesia pada tahun 1999, penduduk yang hidup di bawah 1 dolar per hari sebanyak 7,7 persen. Namun, jika dihitung dengan menggunakan 2 dolar AS per hari ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini –yakni dari 55% ke 7,7% memiliki makna bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup di atas 1 dolar AS per hari, tapi masih di bawah 2 dolar AS. Pemerintah harus menjaga kestabilan makro ekonomi kalau tidak mau jumlah penduduk miskin bertambah.
Secara umum, indikator untuk mengukur kaya, miskin, setengah miskin, hingga sangat miskin, sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Orang miskin yang aktif bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau pengusaha mikro. Dengan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002).
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity. Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas –bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis ini, timbul pertanyaan mengapa usaha ini kebanyakan sulit berkembang. Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan –aksesibilitas terhadap modal ternyata merupakan masalah yang utama. Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh –undeserved dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank –not bankable karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka miliki. Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997. MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat –perekonomian rakyat, tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga –atau sekitar 600 juta jiwa. Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Intervensi Mengatasi Kemiskinan
Tidak ada pilihan lain untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia, negara harus melakukan intervensi. Mekanisme pasar semata tidak akan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Intervensi ini adalah intervensi total yang harus melibatkan semua cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan pilar keempat demokrasi yakni media masa juga harus aktif melakukan kontrol dalam upaya pemberantasan kemiskinan. Dunia usaha dan masyarakat juga perlu berpartisipasi, tidak mungkin sebuah sistem ekonomi modern suatu negara mengandalkan segala sesuatu kepada mekanisme pasar. Harus ada kombinasi antara mekanisme pasar dan non-pasar. Masalah keamanan, lingkungan hidup, atau penegakan hukum adalah beberapa contoh aspek kehidupan yang tidak bisa diatur melalui mekanisme pasar –demikian pula halnya dengan masalah kemiskinan. Jika mekanisme pasar dapat menciptakan nilai tambah atau wealth creation, maka negara berperan menyebarkan nilai tambah itu menjadi lebih merata dan adil.
Prinsip dalam upaya penanggulangan kemiskinan harus berupa intervensi negara, mulai dari perbaikan pendapatan, pendidikan, kesehatan, bisa juga negara melakukan intervensi kepada orang miskin sebagai sebuah kelompok –misalnya, intervensi untuk mengatasi kemiskinan desa nelayan, masyarakat miskin kota atau komunitas yang tinggal di daerah terpencil. Kadangkala kasus demikian itu merupakan kasus khusus yang memerlukan program yang dirancang secara khusus pula. Saat ini, penduduk miskin di Indonesia masih tercatat sekitar 30 juta orang atau secara persentasi 12,49% dari seluruh penduduk. Pemerintah sendiri mematok target dapat menurunkan angka ini menjadi antara 8% dan 10% hingga akhir 2014 nanti. Tentu ini bukan persoalan yang mudah. Salah satu kendalanya adalah: ada yang dapat dikendalikan –misalnya keterampilan individual yang dapat diperbaiki, demikian juga dengan akses kredit tetapi ada faktor yang sama sekali di luar kendali pemerintah –misalnya dampak krisis global atau gangguan kesehatan yang sewaktu-waktu dapat menimpa salah satu anggota keluarga miskin.
Sebagai dasar upaya pemberantasan kemiskinan, maka pemerintah harus menciptakan pertumbuhan. Tanpa pertumbuhan, tidak mungkin upaya pemberantasan kemiskinan berjalan baik –sama saja dengan memeratakan kemiskinan. Namun, pertumbuhan ekonomi semata juga tidaklah cukup. Harus ada pertumbuhan ekonomi yang dapat menurunkan pengangguran dan mengurangi jumlah orang miskin. Jika ada pertumbuhan namun penduduknya tetap miskin, itu bukanlah pertumbuhan yang sesuai dengan keinginkan bersama. Untuk menciptakan pertumbuhan yang cocok inilah intervensi negara sangat diperlukan. Berbagai inisiatif yang sudah berjalan diberbagai kelompok di lingkup masing-masing juga harus tetap berlangsung. Pemerintah sendiri harus menjalankan program yang berbasis pada empat klaster sebagai sasaran utama intervensi. Klaster satu berfokus pada masing-masing rumah tangga atau indvidu –antara lain Program Keluarga Harapan; Klaster kedua sasarannya komunitas atau kelompok. dengan pemberdayaan komunitas –antara lain melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, di sini masyarakat diberdayakan untuk memperbaiki nasib secara mandiri, mulai dari membangun jalan desa, irigasi, hingga pembentukan mekanisme pemberian modal bergulir; Klaster ketiga berfokus pada kemampuan ekonomi kelompok miskin, termasuk juga mereka yang sedikit di atas miskin –antara lain melalui program pemberian dan perluasan akses Kredit Usaha Rakyat. Sedangkan klaster keempat berbasis sasaran khusus, misalnya: nelayan, kelompok miskin kota, atau bisa juga pemenuhan kebutuhan mendasar. Pemerintah juga harus mengupayakan satu faktor penting lainnya untuk mengoptimalkan penanggulangan kemiskinan –yakni: sistem monitoring dan evaluasi. Selain itu, pemerintah juga harus menyusun data dasar Rumah Tangga Miskin –yang akan menjadi data baku bagi semua landasan kebijakan mengatasi kemiskinan juga dapat menjadi landasan program penanggulangan kemiskinan oleh lembaga non-pemerintah maupun dunia usaha. Dasar pemikirannya sederhana, jika sasarannya fokus dan tepat, sudah pasti berbagai program penanggulangan kemiskinanpun dapat berjalan lebih efektif.
Penutup
Persoalan kemiskinan di negara berkembang merupakan fenomena global, karenanya peran berbagai pihak, baik pemerintah; swasta; dan para pekerja sosial sangat diperlukan dalam menangani permasalahan kemiskinan. Terlebih dalam memberikan masukan (input) dan melakukan perencanaan strategis (strategic planning) tentang apa yang akan menjadi suatu kebijakan dari pemerintah. Kemiskinan kebudayaan; biasanya disebabkan adanya kesalahan pada subyeknya (malas, tidak percaya diri, gengsi, tak memiliki jiwa wirausaha yang kompatibel, tidak mempunyai kemampuan dan keahlian, dan sebagainya). Kemiskinan struktural; Ini biasanya terjadi disebabkan faktor eksternal yang melatarbelakangi kemiskinan itu sendiri. Faktor eksternal itu biasanya disebabkan kinerja dari pemerintah di antaranya: pemerintah yang tidak adil, korupsi, paternalistik, birokrasi yang berbelit, dan sebagainya.
Akar kemiskinan berdasarkan level permasalahan dapat dibagi menjadi beberapa dimensi, di antaranya: Pertama, dimensi Mikro: mentalitas materialistik dan ingin serba cepat (instan). Kedua, dimensi Mezzo: melemahnya social trust (kepercayaan sosial) dalam suatu komunitas dan organisasi, dan otomatis hal ini sangat berpengaruh terhadap si subyek itu sendiri. Ketiga, dimensi Makro: kesenjangan (ketidakadilan) pembangunan daerah yang minus (desa) dengan daerah yang surplus (kota), strategi pembangunan yang kurang tepat (tidak sesuai dengan kondisi sosio-demografis) masyarakat Indonesia. Keempat, dimensi Global: adanya ketidakseimbangan relasi antara negara yang sudah berkembang dengan negara yang sedang berkembang.
Agenda penanggulangan kemiskinan dan kemandirian desa merupakan dua isu yang paralel. Keduanya hendak menjawab kemiskinan, ketertinggalan, ketergantungan yang melekat pada desa. Secara umum penanggulangan kemiskinan dan kemandirian desa itu membutuhkan perubahan pada dua ranah: pemerintah sebagai hulu kebijakan dan desa (pemerintah desa dan masyarakat) sebagai hulu kemiskinan dan hilir kebijakan. Di ranah hulu kebijakan, pemerintah sebenarnya tidak pernah berhenti melakukan intervensi terhadap kemiskinan, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Tetapi selama ini pemerintah menghadapi dilema yang serius dalam menjalankan intervensi terhadap desa. Kalau pemerintah tidak intervensi salah, tetapi kalau melakukan intervensi selalu membuahkan kegagalan. Para pihak menunjukkan bahwa masalah kemiskinan dan keterbelakangan bisa terjadi karena pemerintah yang tidak hadir atau tidak melakukan intervensi. Tetapi pengalaman empirik menunjukkan bahwa intervensi pemerintah terhadap desa dan penanggulangan kemiskinan, lebih banyak membuahkan kegagalan daripada keberhasilan. Di masa lalu, intervensi terhadap desa melalui UU No. 5/1979, bukan hanya gagal dalam membuat desa menjadi modern, tetapi malah menciptakan peminggiran dan melemahkan institusi dan kearifan lokal. Intervensi dalam penanggulangan kemiskinan juga demikian. Selama beberapa tahun terakhir, anggaran penanggulangan kemiskinan mengalami peningkatan sebesar 25% tetapi penurunan angka kemiskinan hanya sebesar 2% (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan TNP2K, 2010). Keberhasilan yang minimal ini tidak lain karena intervensi yang ditempuh pemerintah menggunakan pendekatan yang keliru, misalnya pendekatan money driven development melalui distribusi Bantuan Langsung Masyarakat. Di ranah hilir kebijakan, desa memang merupakan hulu kemiskinan, tetapi sekecil apapun desa juga memiliki aset penghidupan (manusia, sosial, dan ekonomi) yang bisa menjadi modal emansipasi lokal atau people driven development untuk membangun kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan. Tetapi sayangnya, intervensi dari atas bukan membangkitkan emansipasi lokal itu melainkan menjadikan desa sebagai obyek penerima manfaat kebijakan pemerintah semata, aset penghidupan lokal mengalami erosi dan emansipasi lokal menjadi tumpul. Belakangan, desa maupun masyarakat tidak mau disebut miskin –tetapi ketika pemerintah hadir, baik dalam melakukan pendataan maupun memberikan bantuan keuangan, mereka menyebut dirinya miskin.
Karena itu agenda penanggulangan kemiskinan dan kemandirian desa harus ditempuh dengan perubahan kebijakan pemerintah dari atas dan gerakan emansipasi lokal dari dalam dan dari bawah. Reformasi kebijakan diperlukan untuk mengubah cara pandang pemerintah yang keliru terhadap desa, sekaligus mengubah strategi intervensi pemerintah terhadap kemiskinan dan desa. Dalam konteks ini, perlu menaruh perhatian besar pada perubahan dari community driven development (yang digunakan Bank Dunia dan pemerintah Indonesia) menjadi people driven development. Dari money driven development (yang dijalankan pemerintah melalui Bantuan Langsung Masyarakat) menjadi asset driven development melalui emansipasi lokal. Sementara itu, rute emansipasi lokal bisa belajar dari banyak pengalaman yang digerakkan oleh aktor-aktor di luar pemerintah maupun oleh desa sendiri. Desa-desa di Bali memberikan contoh terkemuka tentang emansipasi lokal yang berbasis kearifan lokal dalam membangun kesejahteraan kolektif. Credit union di Kalimantan Barat; Sumatera Utara; maupun Jawa Timur yang kokoh dan berkelanjutan, bukan karena intervensi pemerintah melainkan digerakkan oleh aktor-aktor nonpemerintah dengan mengedepankan tiga pilar: pendidikan, solidaritas dan swadaya. Pemerintah mengetahui dan selalu memberikan apresiasi terhadap inisiatif lokal itu, tetapi sayangnya pemerintah tidak pernah melakukan rekognisi dan institusionalisasi model-model emansipasi lokal itu menjadi kebijakan. Belakangan pembangunan yang digerakkan oleh emansipasi lokal terus mengalami perkembangan di Indonesia, emansipasi lokal itu digerakkan oleh berbagai kekuatan: kesadaran kolektif di level grass roots, partipasi masyarakat bawah termasuk kaum perempuan, katalisasi yang dilakukan oleh Non Government Organizations, maupun regulasi seperti UU No. 25/2005 dan UU No. 32/2004 yang membuka ruang partisipasi warga maupun peran daerah dan desa. Otonomi desa tidak hanya disuarakan oleh kekuatan-kekuatan lokal tetapi juga dihadirkan melalui rekayasa dan ekspesimentasi secara konkret di level bawah –dalam bentuk perencanaan dan penganggaran yang partisipatif, pengembangan sumberdaya alam berbasis desa, pengembangan ekonomi lokal dan sebagainya. Semua ini secara inkremental mendongkrak kemandirian desa, sekaligus memberikan kontribusi bagi penanggulangan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan yang berkelanjutan.
Dalam negara kesejahteraan, selalu ada intervensi pemerintah kepada masalah-masalah kesejahteraan rakyat. Misalnya, penanggulangan kemiskinan dengan tiga klaster, yaitu: klaster sosial, klaster pemberdayaan, dan klaster usaha. Kalau klaster sosial, mereka tidak bekerja tapi dapat benefit (keuntungan) –sekolah gratis 12 tahun. Tidak boleh lagi ada orang Indonesia yang tidak bersekolah karena tidak punya biaya. Kemudian Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) harus jalan terus. Klaster kedua adalah pemberdayaan. Masyarakat di desa banyak yang merasa tidak berdaya, maka pemerintah perlu memberikan keyakinan mereka agar merasa berdaya. Pemerintah melakukan program pemberdayaan kepada kelompok masyarakat, kelompok masyarakat dibina, mereka harus memutuskan sendiri buat apa uang untuk desanya tersebut. Ketiga adalah kredit usaha rakyat, rakyat butuh untuk bekerja, dengan demikian peluncuran program untuk mikro kredit itu perlu.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Untuk mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan harus dirancang strategi pemberdayaan masyarakat melalui 2 (dua) cara, yaitu: Pertama, mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin; dan Kedua, meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman program, pendanaan, dan pendampingan –pendampingan yang dimaksud di sini adalah program penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik.
Sesuai perintah konstitusi, kelompok masyarakat miskin memang wajib dimajukan kehidupannya, diperbaiki kesejahteraannya dan dipedulikan pendidikan dan kesehatannya. Program pemberdayaan kelompok masyarakat miskin sejatinya sudah cukup banyak dibuat dalam berbagai model pendekatan, banyak yang berhasil melakukan pemberdayaan masyarakat miskin. Mereka bergerak di berbagai bidang, baik ekonomi maupun pendidikan dan yang lain-lain. Mereka miskin, tapi pada dirinya pasti banyak talenta dan bakat yang besar untuk dikembangkan dengan lebih efektif lagi.
Rujukan:
Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2010
Bappenas (2004)
Tamar Manuelyan Atinc, Sharing Rising Incomes. World Bank Publications
Tambunan, Tulus. 2002. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia. Beberapa Isu Penting. Jakarta: Salemba Empat.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K, 2010).
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar