UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Menimbang:
a.
bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga
negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;
b.
bahwa
anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;
c.
bahwa
anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;
d.
bahwa
agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan
upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;
e.
bahwa
untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan
kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin
pelaksanaannya;
f.
bahwa
berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara
khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan
anak;
g.
bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, e, dan f perlu
ditetapkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak;
Mengingat:
1.
Pasal
20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 34
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);
3.
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against
Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3277);
4.
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);
5.
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670);
6.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning
Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum
untuk Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3835);
7.
Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
8.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The
Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of
Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);
Dengan persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud
dengan:
1.
Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.
2.
Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
3.
Keluarga
adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami
istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga
sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
4.
Orang
tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat.
5.
Wali
adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh
sebagai orang tua terhadap anak.
6.
Anak
terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik
fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
7.
Anak
yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental
sehingga mengganggu *13363 pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
8.
Anak
yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau
memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.
9.
Anak
angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
10.
Anak
asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan
bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang
tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak
secara wajar.
11.
Kuasa
asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina,
melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan
kemampuan, bakat, serta minatnya.
12.
Hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
13.
Masyarakat
adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau
organisasi kemasyarakatan.
14.
Pendamping
adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.
15.
Perlindungan
khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat,
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
16.
Setiap
orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17.
Pemerintah
adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi
:
1.
non
diskriminasi;
2.
kepentingan
yang terbaik bagi anak;
3.
hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4.
penghargaan
terhadap pendapat anak.
Pasal 3
*13364 Perlindungan anak bertujuan
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
Pasal 4
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama
sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah
menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1)
Setiap
anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri.
(2)
Dalam
hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak,
atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau
diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual,
dan sosial.
Pasal 9
(1)
Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2)
Selain
hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang
cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang
memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan
didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan
nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat
dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang
sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak
memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial.
Pasal 13
(1)
Setiap
anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
1.
diskriminasi;
2.
eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual;
3.
penelantaran;
4.
kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan;
5.
ketidakadilan;
dan
6.
perlakuan
salah lainnya.
(2)
Dalam
hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh
orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari :
1.
penyalahgunaan
dalam kegiatan politik;
2.
pelibatan
dalam sengketa bersenjata;
3.
pelibatan
dalam kerusuhan sosial;
4.
pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
5.
pelibatan
dalam peperangan.
Pasal 16
(1)
Setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2)
Setiap
anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3)
Penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1)
Setiap
anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
1.
mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
2.
memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan
3.
membela
diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2)
Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan
hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk :
1.
menghormati
orang tua, wali, dan guru;
2.
mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3.
mencintai
tanah air, bangsa, dan negara;
4.
menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5.
melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak.
Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara dan Pemerintah
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara dan Pemerintah
Pasal 21
Negara dan pemerintah berkewajiban dan
bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Pasal 22
Negara dan pemerintah berkewajiban dan
bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 23
(1)
Negara
dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak
dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang
secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
(2)
Negara
dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 24
Negara dan pemerintah menjamin anak
untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia
dan tingkat kecerdasan anak.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat
Pasal 25
Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat
Pasal 25
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat
terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat
dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Keluarga dan Orang Tua
Pasal 26
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Keluarga dan Orang Tua
Pasal 26
(1)
Orang
tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
1.
mengasuh,
memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
2.
menumbuhkembangkan
anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
3.
mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2)
Dalam
hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu
sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat *13368
beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
KEDUDUKAN ANAK
Bagian Kesatu
Identitas Anak
Pasal 27
KEDUDUKAN ANAK
Bagian Kesatu
Identitas Anak
Pasal 27
(1)
Identitas
diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.
(2)
Identitas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3)
Pembuatan
akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan
dan/atau membantu proses kelahiran.
(4)
Dalam
hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak
diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut
didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
Pasal 28
(1)
Pembuatan
akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya
diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2)
Pembuatan
akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.
(3)
Pembuatan
akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.
(4)
Ketentuan
mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan Campuran
Pasal 29
Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan Campuran
Pasal 29
(1)
Jika
terjadi perkawinan campuran antara warga negara Republik Indonesia dan warga
negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak
memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dalam
hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam
pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.
(3)
Dalam
hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak
belum mampu menentukan pilihan dan *13369 ibunya berkewarganegaraan
Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya,
pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi
anak tersebut.
BAB VI
KUASA ASUH
KUASA ASUH
Pasal 30
(1)
Dalam
hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya,
terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat
dicabut.
(2)
Tindakan
pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Pasal 31
(1)
Salah
satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat
mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan
tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan
apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.
(2)
Apabila
salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan derajat
ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang
tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang
berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3)
Penetapan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang
perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang
bersangkutan.
(4)
Perseorangan
yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus
seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya.
Pasal 32
Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan :
1.
tidak
memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
2.
tidak
menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya; dan
3.
batas
waktu pencabutan.
BAB VII
PERWALIAN
PERWALIAN
Pasal 33
(1)
Dalam
hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan *13370 hukum, atau tidak
diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum
yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang
bersangkutan.
(2)
Untuk
menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
penetapan pengadilan.
(3)
Wali
yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan
agama yang dianut anak.
(4)
Untuk
kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola
harta milik anak yang bersangkutan.
(5)
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat mewakili anak untuk
melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak.
Pasal 35
(1)
Dalam
hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan
anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang
mempunyai kewenangan untuk itu.
(2)
Balai
Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak.
(3)
Pengurusan
harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat penetapan
Pasal 36
(1)
Dalam
hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan
perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status
perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan
pengadilan.
(2)
Dalam
hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan
pengadilan.
BAB VIII
PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK
Bagian Kesatu
Pengasuhan Anak
PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK
Bagian Kesatu
Pengasuhan Anak
Pasal 37
(1)
Pengasuhan
anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
(2)
Pengasuhan
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai
kewenangan untuk itu.
(3)
Dalam
hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang
diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang
bersangkutan.
(4)
Dalam
hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka
pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang
bersangkutan.
(5)
Pengasuhan
anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial.
(6)
Perseorangan
yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Pasal 38
(1)
Pengasuhan
anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum
anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
(2)
Pengasuhan
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui kegiatan
bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan,
serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin
tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun
sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak.
Bagian Kedua
Pengangkatan Anak
Pasal 39
Pengangkatan Anak
Pasal 39
(1)
Pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2)
Pengangkatan
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
(3)
Calon
orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
(4)
Pengangkatan
anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(5)
Dalam
hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama
mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40
(1)
Orang
tua angkat wajib membe_ritahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya
dan orang tua kandungnya.
(2)
Pemberitahuan
asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana *13372 dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Pasal 41
(1)
Pemerintah
dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pengangkatan anak.
(2)
Ketentuan
mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN
Bagian Kesatu
Agama
Pasal 42
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN
Bagian Kesatu
Agama
Pasal 42
(1)
Setiap
anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2)
Sebelum
anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang
tuanya.
Pasal 43
(1)
Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial
menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.
(2)
Perlindungan
anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan,
pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
Bagian Kedua
Kesehatan
Pasal 44
Kesehatan
Pasal 44
(1)
Pemerintah
wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-garakan upaya kesehatan yang
komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang
optimal sejak dalam kandungan.
(2)
Penyediaan
fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat.
(3)
Upaya
kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan
dasar maupun rujukan.
(4)
Upaya
kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.
(5)
Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 45
(1)
Orang
tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak
sejak dalam kandungan.
(2)
Dalam
hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya.
(3)
Kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang
tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang
mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.
Pasal 47
(1)
Negara,
pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya
transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
(2)
Negara,
pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan :
1.
pengambilan
organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan
kesehatan anak;
2.
jual
beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan
3.
penelitian
kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang
tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.
Bagian Ketiga
Pendidikan
Pendidikan
Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan
pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.
Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang
tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan.
Pasal 50
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 diarahkan pada :
1.
pengembangan
sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan
fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
2.
pengembangan
penghormatan atas hak asasi manusia dan *13374 kebebasan asasi;
3.
pengembangan
rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan
nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat
tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari
peradaban sendiri;
4.
persiapan
anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan
5.
pengembangan
rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
Pasal 51
Anak yang menyandang cacat fisik
dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk
memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Pasal 52
Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan
dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 53
(1)
Pemerintah
bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma
atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak
terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
(2)
Pertanggungjawaban
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula mendorong
masyarakat untuk berperan aktif.
Pasal 54
Anak di dalam dan di lingkungan sekolah
wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola
sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga
pendidikan lainnya.
Bagian Keempat
Sosial
Sosial
Pasal 55
(1)
Pemerintah
wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik
dalam lembaga maupun di luar lembaga.
(2)
Penyelenggaraan
pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga
masyarakat.
(3)
Untuk
menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga
pemerintah dan lembaga masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.
(4)
Dalam
hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3), pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.
(3), pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.
Pasal 56
(1)
Pemerintah
dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan
membantu anak, agar anak dapat :
1.
berpartisipasi;
2.
bebas
menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
3.
bebas
menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan
perkembangan anak;
4.
bebas
berserikat dan berkumpul;
5.
bebas
beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan
6.
memperoleh
sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
(2)
Upaya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan dengan usia,
tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu
perkembangan anak.
tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu
perkembangan anak.
Pasal 57
Dalam hal anak terlantar karena suatu
sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan
permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.
Pasal 58
(1)
Penetapan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat
penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.
(2)
Pemerintah
atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Bagian Kelima
Perlindungan Khusus
Perlindungan Khusus
Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus
kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban
penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik
dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah
dan penelantaran.
Pasal 60
Anak dalam situasi darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 terdiri atas :
1.
anak
yang menjadi pengungsi;
2.
anak
korban kerusuhan;
3.
anak
korban bencana alam; dan
4.
anak
dalam situasi konflik bersenjata.
Pasal 61
Perlindungan khusus bagi anak yang
menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.
Pasal 62
Perlindungan khusus bagi anak korban
kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan
melalui:
1.
pemenuhan
kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan,
kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan;
dan
2.
pemenuhan
kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami
gangguan psikososial.
Pasal 63
Setiap orang dilarang merekrut atau
memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan
anak tanpa perlindungan jiwa.
Pasal 64
(1)
Perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak
pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2)
Perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui :
1.
perlakuan
atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
2.
penyediaan
petugas pendamping khusus anak sejak dini;
3.
penyediaan
sarana dan prasarana khusus;
4.
penjatuhan
sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
5.
pemantauan
dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
6.
pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
7.
perlindungan
dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi.
(3)
Perlindungan
khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan melalui :
1.
upaya
rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
2.
upaya
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi;
3.
pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental,
maupun sosial; dan
4.
pemberian
aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Pasal 65
(1)
Perlindungan
khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk
dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran
agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.
(2)
Setiap
orang dilarang menghalang-halangi anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya,
dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan
masyarakat dan budaya.
Pasal 66
(1)
Perlindungan
khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat.
(2)
Perlindungan
khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui :
1.
penyebarluasan
dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
2.
pemantauan,
pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
3.
pelibatan
berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya
masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara
ekonomi dan/atau seksual.
(3)
Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau
turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Pasal 67
(1)
Perlindungan
khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya
pengawasan, pencegahan, perawatan, dan *13378 rehabilitasi oleh pemerintah dan
masyarakat.
(2)
Setiap
orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 68
(1)
Perlindungan
khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan,
pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2)
Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau
turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 69
(1)
Perlindungan
khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi
kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya :
1.
penyebarluasan
dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi
anak korban tindak kekerasan; dan
2.
pemantauan,
pelaporan, dan pemberian sanksi.
(2)
Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau
turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 70
(1)
Perlindungan
khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dilakukan melalui upaya :
1.
perlakuan
anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;
2.
pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan khusus; dan
3.
memperoleh
perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh
mungkin dan pengembangan individu.
(2)
Setiap
orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara
diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi
anak-anak yang menyandang cacat.
Pasal 71
(1)
Perlindungan
khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan
rehabilitasi *13379 oleh pemerintah dan masyarakat.
(2)
Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak
dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
BAB X
PERAN MASYARAKAT
Pasal 72
PERAN MASYARAKAT
Pasal 72
(1)
Masyarakat
berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan
anak.
(2)
Peran
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang
perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga
swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan
media massa.
Pasal 73
Peran masyarakat dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
Pasal 74
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
Pasal 74
Dalam rangka meningkatkan efektivitas
penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.
Pasal 75
(1)
Keanggotaan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2 (dua)
orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, dan 5 (lima) orang anggota.
(2)
Keanggotaan
Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, tokoh
agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan,
organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
(3)
Keanggotaan
Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 76
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
bertugas :
1.
melakukan
sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak;
2.
memberikan
laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 77
KETENTUAN PIDANA
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tindakan :
1.
diskriminasi
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
2.
penelantaran
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik
fisik, mental, maupun sosial,
3.
dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja
membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan,
atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal
anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan
anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 80
(1)
Setiap
orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah).
(2)
Dalam
hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)
Dalam
hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4)
Pidana
ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 81
(1)
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)
Ketentuan
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan,
menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 85
(1)
Setiap
orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2)
Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau
jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian
kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua
atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai
dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 87
Setiap orang yang secara melawan hukum
merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam
sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi
ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 89
(1)
Setiap
orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika
dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(2)
Setiap
orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, *13383 melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat
adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah).
Pasal 90
(1)
Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79,
Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87,
Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan
kepada pengurus dan/atau korporasinya.
(2)
Pidana
yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana
denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 91
Pada saat berlakunya undang-undang ini,
semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang
sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 92
Pada saat berlakunya undang-undang ini,
paling lama 1 (satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk.
Pasal 93
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal 22
Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
*13384 ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR
109
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
UMUM
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan
kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu
undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan
undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam
segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya
dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat
bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan
kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka
penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab
menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan
dan perkembang_annya secara optimal dan terarah.
Undang-undang ini menegaskan bahwa
pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara
merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi
terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan
dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik,
mental, spiritual maupun sosial.
Tindakan ini dimaksudkan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus
bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak
mulia dan *13385 nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa dan negara.
Upaya perlindungan anak perlu
dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai
anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi
perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas
sebagai berikut :
a.
nondiskriminasi;
b.
kepentingan
yang terbaik bagi anak;
c.
hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d.
penghargaan
terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan
dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga
perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Asas perlindungan anak di sini sesuai
dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
Yang dimaksud dengan asas kepentingan
yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut
anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan
yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan
utama.
Yang dimaksud dengan asas hak untuk
hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling
mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan orang tua.
Yang dimaksud dengan asas penghargaan
terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama
jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Hak ini sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang
tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
*13386 Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi
kebebasan kepada anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan
intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Ketentuan
pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan tersebut masih tetap harus berada
dalam bimbingan orang tuanya.
Pasal 7
Ayat (1)
Ketentuan mengenai hak anak untuk
mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu
susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah
antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan
diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang
tuanya.
Ayat (2)
Pengasuhan atau pengangkatan anak
dilaksanakan sesuai dengan norma-norma hukum, adat istiadat yang berlaku,
dan agama yang dianut anak.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Hak dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan
yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya dan bahasa, status hukum *13387 anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi
fisik dan/atau mental.
Huruf b
Perlakuan ekploitasi, misalnya tindakan
atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh
keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.
Huruf c
Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan
atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara,
merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.
Huruf d
Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan
atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas
kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan peng_aniayaan, misalnya perbuatan
melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga
mental dan sosial.
Huruf e
Perlakuan ketidakadilan, misalnya
tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau
kesewenang-wenangan terhadap anak.
Huruf f
Perlakuan salah lainnya, misalnya
tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan
ini tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya.
Pasal 15
Perlindungan dalam ketentuan ini
meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan
yang membahayakan anak secara fisik dan psikis.
Pasal 16
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas
Huruf b
*13388 Yang dimaksud dengan bantuan
lainnya misalnya bimbingan sosial dari pekerja sosial, konsultasi dari
psikolog dan psikiater, atau bantuan dari ahli bahasa.
Huruf c Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Bantuan lainnya dalam ketentuan ini
termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Dukungan sarana dan prasarana, misalnya
sekolah, lapangan bermain, lapangan olahraga,
rumah ibadah, balai kesehatan, gedung kesenian, tempat rekreasi, ruang menyusui, tempat penitipan anak, dan rumah tahanan khusus anak.
rumah ibadah, balai kesehatan, gedung kesenian, tempat rekreasi, ruang menyusui, tempat penitipan anak, dan rumah tahanan khusus anak.
Pasal 23
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
*13389 Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan
ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri
bagi yang beragama selain Islam.
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
*13390 Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1) Lihat penjelasan Pasal 33 Ayat
(2)
Ayat (2) Lihat penjelasan Pasal 33 Ayat
(2)
Pasal 37
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kata seyogianya
dalam ketentuan ini adalah sepatutnya; selayaknya; semestinya; dan
sebaiknya.
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
Ayat (6)
Pengasuhan anak dalam panti sosial
merupakan upaya terakhir.
Pasal 38
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan ini berlaku untuk anak yang belum
berakal dan *13391 bertanggung jawab, dan penyesuaian agamanya dilakukan
oleh mayoritas penduduk setempat (setingkat desa atau kelurahan) secara
musyawarah, dan telah diadakan penelitian yang sungguh-sungguh.
Pasal 40
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kesiapan dalam
ketentuan ini diartikan apabila secara psikologis dan psikososial
diperkirakan anak telah siap. Hal tersebut biasanya dapat dicapai apabila anak
sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 41
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
Anak dapat menentukan agama pilihannya
apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi
syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan
peraturan perundang-unangan yang berlaku.
Pasal 43
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
*13392 Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 46
Penyakit yang mengancam kelangsungan
hidup dan menimbulkan kecacatan, misalnya HIV/AIDS, TBC, kusta, polio.
Pasal 47
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan frasa dalam lembaga
adalah melalui sistem panti pemerintah dan panti swasta, sedangkan frasa di
luar lembaga adalah sistem asuhan keluarga/perseorangan.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1) Cukup jelas
*13393 Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Yang dimaksud dengan frasa gangguan
psikososial antara lain trauma psikis dan gangguan perkembangan anak di usia
dini.
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
*13394 Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 69
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan frasa tokoh
masyarakat dalam ayat ini termasuk tokoh adat.
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4)
Kelengkapan organisasi yang akan diatur
dalam Keputusan Presiden termasuk pembentukan organisasi di daerah.
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
*13395 Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
*13396 Pasal 90
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 4235
Tidak ada komentar:
Posting Komentar