Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Minggu, 21 April 2013

Terus Mengalir



Judul: Biografi Mahfud MD: Terus Mengalir
Penulis: Rita Triana Budiarti
Penerbit: Konstitusi Press, Jakarta, 2013
Tebal: 646 halaman

Biografi Mahfud MD: Terus Mengalir
Banyak cerita lain yang dikisahkan laki-laki kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur pada 13 Mei 1957 itu dalam bukunya; mulai dari masa kecilnya, karir politik, dan masalah hukum di Indonesia.
Ditulis oleh mantan wartawan Gatra, memakai data hasil wawancara intensif dengan Mahfud dan sejumlah tokoh, didukung dengan berbagai arsip, dan rampung dalam waktu lima bulan, buku ini dibagi ke dalam lima bab. Masa kecil Mahfud, sejak masih dalam kandungan hingga Mahfud menjadi besar dan menyukai filsafat Kho Ping Ho, dituangkan di Bab Pertama. Pada Bab Kedua menceritakan perjuangan Mahfud bersekolah di Yogyakarta, tertarik menjadi wakil Tuhan di dunia dengan bercita-cita menjadi hakim, hingga ia menjadi Guru Besar termuda. Bab Ketiga berkisah tentang perjalanan karier Mahfud di Jakarta hingga demisioner dari posisi Menteri Kehakiman dan HAM. Aktivitas Mahfud terjun ke partai politik diceritakan pada Bab Berikutnya. Sedangkan Bab Kelima berkisah tentang perjalanan Mahfud menjadi Hakim Konstitusi.
Sejumlah tokoh nasional hadir dalam peluncuran buku biografi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Senin (4/3/2013), di Gedung MK. Para tokoh tersebut antara lain: Ketua MPR Taufiq Kiemas; istri Gus Dur (alm) Shinta Nuriyah; Ketua DPD Irman Gusman; Ketua BPK Hadi Poernomo; anggota BPK Ali Masykur Musa; budayawan Emha Ainun Nadjib; Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali; Ketua Komisi Yudisial Erman Suparman; Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum –yang juga diundang, tidak hadir.
Launching Buku Terus Mengalir
Dalam acara peluncuran buku ini juga digelar diskusi mengupas buku tersebut. Narasumber adalah: Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo, Prof. Laica Marzuki (mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi), budayawan Emha Ainun, dan Prof. Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia).
Pramono menanggapi kisah cinta pertama Mahfud dengan Zaizatun Nihayati. "Saya baru tahu cinta pertama Pak Mahfud dengan Mbak Yati memakai Vespa cokelat ini. Pak Mahfud tidak pernah pacaran dengan siapa pun. Terus terang di bagian ini saya nggak yakin," kata Pramono, disusul gelak tawa audiens.
Bagi Laica, Mahfud adalah penegak hukum sejati. Pemikiran Mahfud kerap bertolak belakang dengan teori hukum yang ada. Namun pemikiran Mahfud bermanfaat bagi masyarakat luas. Sementara itu, Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa tugas Mahfud ke depan ada tiga pilihan. Pertama, jika tidak ada perubahan cara berpikir yang signifikan, pilihan Mahfud menjadi presiden. Jika kemungkinan ada perubahan cara berpikir politik yang kemudian dielaborasi menjadi lebih tinggi, maka dibutuhkan konsep kenegarawanan figur begawanan, dan Mahfud akan menjadi ketua dewan negara. Sedangkan pilihan ketiga, Mahfud harus mencari perahu untuk menyusuri Sungai Bengawan Solo. "Judul buku ini belum selesai. Kalau dinyanyikan, kan terus mengalir sampai jauh," kata Emha sambil melantunkan lagu Bengawan Solo.
Sementara itu, Hikmahanto mengatakan bahwa Mahfud orang biasa. Padahal, biasanya orang-orang yang memilih jurusan hukum adalah orang yang super-elite yang lahir dari orangtua yang elite. Namun, sebagai orang biasa, Mahfud tahu apa yang menjadi kegelisahan di masyarakat. "Mahfud tidak bisa membiarkan ketidak-adilan, kegundahan, dan kegelisahan terus-menerus ada di masyarakat," kata kawan dekat Mahfud ini.
Mahfud sendiri memuji usaha sang penulis. Demi buku ini, penulis mengunjungi langsung kampung Mahfud di Madura dan Yogyakarta serta sekolahnya dulu. "Buku ini bisa menggambarkan yang sesungguhnya dengan cara penulisan yang bisa dinikmati semua orang, baik orang biasa, pejabat tinggi, anak SMA, maupun profesi berbeda-beda," kata Mahfud.
 
teh Rita Triana Budiarti dan kang Mahfud MD. Hatur nuhun teteh sareng akang, udah nandatanganin bukunya !
Trias Politica
Buku yang mengupas perjalanan hidup Mahfud ini disiapkan lebih kurang selama lima bulan. Buku ini berasal dari wawancara intensif dengan Mahfud dan setumpuk kliping berita tentang kiprah Mahfud sejak masih menjadi akademisi yang kritis, Menteri Pertahanan, anggota DPR, hingga menjabat sebagai ketua MK.
Jika mengacu pada trias politica yang dicetuskan John Locke, Mahfud merupakan sosok yang lengkap, yang pernah mengisi semua posisi dalam cabang-cabang kekuasaan. Di cabang Eksekutif, ia pernah menjadi Menteri Pertahanan. Di cabang Legislatif, ia pernah menjadi anggota DPR, kemudian di cabang Yudikatif, ia menjadi ketua MK.
Melawan ketidak-adilan adalah benang merah perjalanan hidup yang terangkum juga dalam buku ini. Semenjak kecil, ia sudah menyimpan "luka" politik ketika ayahnya ditahan gara-gara memilih Nahdlatul Ulama (NU) dalam pemilu. Pilihannya pada dunia hukum pun didasari harapan agar hukum bisa menciptakan keadilan.
Tak banyak yang tahu, sosok pendobrak ini sebenarnya adalah seorang pemalu. Terlahir dari kultur NU dan tumbuh di lingkungan Muhammadiyah membentuknya menjadi sosok yang unik dan komplet.
Antri tandatangan.

Cinta Bersemi di Atas Vesva
TAK hanya seorang pemalu, Mahfud MD (56) juga seorang “penakut” menjalin cinta alias pacaran di kala muda. Orang tuanya selalu mewanti-wanti bahwa hubungan wanita dan laki-laki dianggap suci, sehingga tidak boleh terlihat akrab di tempat umum.
Itu tidak boleh. Haram !” kata Mafhud. Berpacaran, menurutnya, dianggap bertemu dengan orang yang bukan muhrimnya. Pesan orang tuanya itu dipegang Mahfud sampai akhirnya menikah dengan gadis pujaannya asal Jember, Jawa Timur, Zaizatun Nihayati (54) alias Yatie.
Kisah cinta itu diceritakan detil oleh penulis Rita Triana Budiarti, dalam biografi “Mahfud MD Terus Mengalir” yang diluncurkan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (4/3). Rita, mantan wartawan majalah Gatra, menulis biografi itu selama lima bulan: dua bulan wawancara dan selebihnya proses penulisan.
Rita menulis bahwa Mahfud bertemu dengan Yatie ketika sama-sama di Himpunan Mahasiswa Islam, saat kuliah di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Yatie boleh dibilang wanita yang lain dibandingkan mahasiswi lainnya. “Pada saat temannya naik becak atau mobil angkot ke kampus, Yatie sudah membawa sepeda motorVespa warna cokelat, sendiri,” cerita Mahfud kepada Rita.
Bahkan, karena kendaraannya itu, ia sampai mendapatkan julukansi Vespa cokelat”. Sedangkan saya masih naik angkot,” ujar Mahfud. Di atas vespa itulah, benih-benih asmara mereka tumbuh. Karena memiliki vespa, Yatie  disuruh mengantar undangan rapat ke pengurus HMI dan Mahfud diminta untuk menemaninya. “Pergilah mereka berdua dengan Vespa itu…Yatie dibonceng,” kata Rita, juga penulis buku Di Balik Layar Laskar Pelangi itu.
“Bagi Mahfud, peristiwa mengantar undangan itulah yang mendekatkan pada Yatie,” kata Rita. Sejak itu, Mahfud pun mulai berani ke kost Yatie.
Rita juga baru tahu gaya pacaran Mahfud di saat mendekati Yatie –anak seorang petani tebu, juga pemilik pondok pesantren An-Nidzom itu. “Pak Mahfud  bertamu ke rumahnya. Tapi ia malah enggak ngobrol, tapi duduk diam dan baca buku. Ia enggak pernah menyatakan cinta,” tutur Rita saat berbincang dengan Jurnal Nasional.
Ternyata, Yatie sempat jengkel dengan gaya Mahfud seperti itu. Ia pun berinisiatif menanyakan langsung ke Mahfud. “Kalau kamu seneng sama saya, bilang sama orang tua saya,” kata Yatie. Tapi ketika ditanya begitu, Mahfud malah diam saja.
Lalu, Yatie bilang lagi,”Kamu itu ke sini terus, itu saya jadi enggak enak, nanti saya kan enggak laku,” katanya kepada Mahfud.
Toh, akhirnya, Yatie menerima cinta Mahfud, meski tak pernah benar-benar “ditembak” langsung. “Dia hanya mengatakan kalau dia berprestasi,” kata Yatie. Setelah itu, mereka selalu terlihat berdua dengan Vespa cokelat. Mereka terkenal di kalangan dosen karena gaya pacarannya dengan Vespa itu.
“Tapi mereka tidak pernah menonton film berdua-duaan di bioskop. Kalau pun menonton film, biasana mereka pergi beramai-ramai dengan kawan-kawannya,” tulis Rita.
Untuk menikahi Yatie, sebelumnya Mahfud harus menjalani layaknya fit and proper test layaknya sebagai Hakim Konstitusi di DPR. Ia diajak oleh ayah Yatie –Sya’roni Abdillah ke beberapa kiai Nahdlatul Ulama untuk dinilai apakah layak menjadi suami Yatie –salah satunya ke KH Masruri Abdul Mughni  di Ponpes Benda Bumiayu. Mahfud pun dinilai bagus dan cocok untuk jadi menantu Sya’roni. “Bagus! Terutama dalam segi ke-NU-annya,” ujar Mahfud tertawa dalam hati –karena ucapan kiai Masruri itu dalam bahasa Arab, dikiranya Mahfud tidak paham.
Setelah lulus ujian itu, mereka pun menikah pada 2 Oktober 1982. Pernikahannya kini sudah memasuki umur  30 tahun atau kawin mutiara. Ia diberi karunia tiga anak: Ikhwan Zein, Vina Amalia, dan Royhan Akbar.
Tandatangan kang Mahfud dan teh Rita untuk ibuku, Makacih... yach !

Batu Hijau
Suatu hari di awal November 1999, seorang beretnis India bertandang ke kantor Mahfud. Waktu itu, Mahfud menjabat sebagai Pembantu Rektor I Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Melihat Mahfud, orang itu lalu melihat tangan Mahfud dan berkata, "Sebentar lagi Bapak mau pindah ke Jakarta." Mahfud bingung. Bagaimana mungkin. Ia sudah menetap dan menjadi pegawai negeri sipil di Yogyakarta. Lagi pula, ia tak percaya ramalan. "Bapak diperlukan oleh negara. Ini sebentar lagi, minggu ketiga Bapak akan mendapat kejutan promosi," kata orang itu meyakinkan. Tamu itu lalu mengeluarkan sebuah batu warna hijau. Ukurannya kecil, hanya seruas jari kelingking. Ia mengatakan, batu itu ia bawa dari Sungai Gangga. Diberikannya batu hijau itu kepada Mahfud. "Bapak pegang saja. Nanti, suatu saat diperlukan, mungkin Bapak ingat saya," katanya. Karena tak percaya ramalan mirip dongeng itu, usai tamunya pulang, Mahfud membuang batu hijau itu ke tempat sampah.
Tiga minggu kemudian, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menelepon Mahfud. Ia mengatakan bahwa Dewan Guru Besar Dirjen Dikti menyetujui Mahfud untuk menjadi guru besar. SK-nya pun sudah turun. "Kini Bapak Guru Besar," kata pegawai itu. Terang saja Mahfud kaget. Ia yang baru golongan lektor muda langsung meloncat ke puncak tertinggi profesi dosen menjadi guru besar. Promosi ini menjadikannya sebagai guru besar termuda saat itu, usia 41 tahun. Mahfud langsung teringat pada batu hijau dan ramalan orang India itu. Jangan-jangan orang itu benar, batinnya.
Sebulan kemudian, Mahfud ditelepon Hasballah M. Saad, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Urusan HAM. Hasballah meminta Mahfud menjadi staf ahli di bidang peraturan perundang-undangan HAM. Lagi-lagi Mahfud teringat pada batu hijau dan ramalan itu. Penasaran, ia pun membongkar tempat sampah tempat batu hijau dibuangnya dulu. Tentu saja usahanya sia-sia, karena tempat sampah itu dibersihkan setiap hari.
Seperti sudah ada yang mengatur, berbagai "tawaran" pun terus datang. Pada 15 Agustus 2001, ajudan Gus Dur menelepon Mahfud. Gus Dur yang saat itu menjadi presiden Kabinet Persatuan Nasional ingin ketemu Mahfud dan menawari jabatan Menteri Pertahanan. Sejak itu, hidup dengan berbagai kewajiban yang harus diembannya seperti mengalir. Sampai kemudian, dirinya dilantik menjadi Ketua Hakim Konstitusi pada 19 Agustus 2008.
Senengnya dapat ditandatanganin oleh penulisnya langsung, Makacih yach teh Rita !



*Sakti Peksos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar