Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Rabu, 10 April 2013

Kubah Emas di Sarolangun




Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Batangnyo Alam Rajo, yang artinya: Pucuk yaitu hulu dataran tinggi, Sem­bilan Lurah yaitu sembilan negeri atau wilayah dan Batangnya Alam Rajo yai­tu daerah teras kerajaan yang terdiri dari dua belas suku atau daerah.


Tiga proyek monumental di Kabupaten Sarolangun yang dibangun dengan dana ratusan milyar secara tahun jamak (multiyears), Sabtu lalu (13/8) diresmikan oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) RI, DR. Agung Laksono. Tiga proyek dimaksud diantaranya, Mesjid Agung Kubah Emas AS-Sulthan; Gedung KONI; dan Jembatan Beton Panti. Peresmian ketiga Mega proyek itu berlangsung sekitar pukul 13.00 WIB di Masjid Agung As-Shulthan Kubah Emas.
Ketiga proyek multiyears tersebut dibangun selama tiga tahun anggaran 2008 hingga 2010, tepatnya sejak masa kepemimpinan bupati H Hasan Basri Agus (HBA) yang saat sekarang menjabat Gubernur Jambi dan Cek Endra yang menjabat sebagai wakil Bupati Sarolangun.
Pembangunan ketiga proyek tersebut pada mulanya memang terasa agak memberatkan –mengingat keterbatasan APBD, namun demi untuk kemajuan dan kepentingan masyarakat Kabupaten Sarolangun kedepan, maka secara bertahap proyek itu tetap dilanjutkan dan akhirnya dapat selesai tahun 2010. Pembangunan proyek multiyears ini murni APBD Kabupaten Sarolangun.
Untuk di Ketahui, pembangunan Masjid As-Sulthan Kubah Emas, di bangun menggunakan APBD Sarolangun sekitar 23 milyar lebih. Kemudian Jembatan Beton Panti sepanjang sekitar 120 M Persegi dan lebar 9 M persegi menelan dana sekitar Rp 27 Milyar lebih serta Gedung KONI yang dibangun pada areal 111.106 persegi menelan dana sekitar RP 67 Milyar lebih. Ketiga pembangunan Proyek Multiyears itu dilaksanakan dari 2008 hingga 2010.
Sementara itu, sebelum meresmikan ketiga proyek Multiyers itu, Menkokesra RI Agung Laksono, dalam pidato sambutannya sempat memberi apresiasi terhadap berbagai program pembangunan yang ada di Kabupaten Sarolangun dan Provinsi Jambi secara umum.


Sejarah
Di Pulau Sumatera, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Malayu Jambi (1500-1901). Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan 2 kerajaan Hindu-Budha pra-Islam. Sekitar Abad 6 – awal 7 M berdiri Kerajaan Malayu (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awal Abad 7 M dan lagi pada abad 9 M, Jambi mengirim duta/utusan ke kaisaran China (Wang Gungwu 1958;74). Kerajaan ini bersaing dengan Sriwijaya untuk menjadi pusat perdagangan. Letak Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan Sriwijaya merasa terdesak sehingga perlu menyerang Malayu sehingga akhirnya tunduk kepada Sriwijaya. Muaro Jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu bekas pusat belajar agama Budha sebagaimana catatan pendeta Cina I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671. Ia belajar di Sriwijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 bersama empat pendeta lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Budha. Saat itulah ia tulis bahwa Kerajaan Malayu kini telah menjadi bahagian Sriwijaya.
Abad ke-11 Masehi setelah Sriwijaya mulai pudar, ibunegeri dipindahkan ke Jambi (Wolters 1970:2). Inilah Kerajaan Malayu (Melayu Muda) atau Dharmasraya berdiri di Muaro Jambi. Sebagai sebuah bandar yang besar, Jambi juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan. Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari Cina, sutera dan benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket (Hirt & Rockhill 1964 ; 60-2). Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347. Di Abad 15, Islam mulai menyebar ke Nusantara.

Kesultanan Jambi
“Tanah Pilih Pesako Betuah” Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi hari ini. Dimana menurut orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, Kononnya Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat berlabuh di Selat Berhala, Jambi dan meng-Islamkan orang-orang Melayu di situ. Ia membangun pemerintahan baru dengan dasar Islam, bergelar Datuk Paduko Berhalo dan menikahi seorang putri dari Minangkabau bernama Putri Selaras Pinang Masak. Mereka dikurniakan Alloh 4 anak, kesemuanya menjadi datuk wilayah sekitar Kuala tersebut. Adapun putra bungsu yang bergelar Orang Kayo Hitam berniat untuk meluaskan wilayah hingga ke pedalaman, jika ada tuah, membangun sebuah kerajaan baru. Maka ia lalu menikahi anak dari Temenggung Merah Mato bernama Putri Mayang Mangurai. Oleh Temenggung Merah Mato, anak dan menantunya itu diberilah sepasang Angsa serta Perahu Kajang Lako. Kepada anak dan menantunya tersebut dipesankan agar menghiliri aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna mendirikan kerajaan yang baru itu dan bahwa tempat yang akan dipilih sebagai tapak kerajaan baru nanti haruslah tempat dimana sepasang Angsa bawaan tadi mau naik ke tebing dan mupur di tempat tersebut selama dua hari dua malam.
Setelah beberapa hari menghiliri Sungai Batanghari kedua Angsa naik ke darat di sebelah hilir (Kampung Jam), kampung Tenadang namanya pada waktu itu. Dan sesuai dengan amanah mertuanya maka Orang Kayo Hitam dan istrinya Putri Mayang Mangurai beserta pengikutnya mulailah membangun kerajaan baru yang kemudian disebut “Tanah Pilih”, dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaannya (Kota Jambi) sekarang ini.
Kantor Gubernur Jambi, Jalan Ahmad Yani Nomor 1 Telanaipura - Jambi.

Asal Nama Jambi
Jambi berasal dari kata ‘Jambe’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘Pinang’. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
Hubungan Orang Kayo Hitam dengan Tanah Jawa digambarkan dalam cerita orang tuo-tuo yang mengatakan bahwa Orang Kayo Hitam pergi ke Majapahit untuk mengambil Keris bertuah, dan kelak akan menjadikannya sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi. Keris itu dinamakan ‘Keris Siginjai’. Keris Siginjai terbuat dari bahan-bahan berupa kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama 400 tahun keris Siginjai tidak hanya sekadar lambang mahkota kesultanan Jambi, tapi juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.
Sultan terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad Zainuddin pada awal abad ke-20. Selain keris Siginjai ada sebuah keris lagi yang dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran Ratu (Putra Mahkota). Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat keturunan Sultan Thaha yang terakhir menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen Palembang sebagai tanda penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyimpan Keris Siginjai dan Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Batavia (Jakarta).

Sepucuk Jambi, Sembilan Lurah
Seloka ini tertulis di lambang Provinsi Jambi, menggambarkan luasnya wilayah Kesultanan Melayu Jambi yang merangkumi sembilan lurah dikala pemerintahan Orang Kayo Hitam, yaitu: VIII-IX Koto, Petajin, Muaro Sebo, Jebus, Aer Itam, Awin, Penegan, Miji dan Binikawan. Ada juga yang berpendapat bahwa wilayah Kesultanan Jambi dahulu meliputi 9 buah lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang), masing-masing bernama: 1. Batang Asai 2. Batang Merangin 3. Batang Masurai 4. Batang Tabir 5. Batang Senamat 6. Batang Jujuhan 7. Batang Bungo 8. Batang Tebo dan 9. Batang Tembesi. Batang-batang ini merupakan Anak Sungai Batanghari yang keseluruhannya itu merupakan wilayah Kesultanan Melayu Jambi.

Senarai Sultan Jambi (1790-1904)
1790 – 1812 Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
1812 – 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
1833 – 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
1841 – 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
1855 – 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad (jabatan pertama)
1858 – 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
1881 – 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
1885 – 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
1900 – 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad (jabatan kedua kalinya)
1904 Dihancurkan Belanda

Provinsi Jambi
Jambi merupakan salah satu dari tiga provinsi di Indonesia yang memiliki nama Ibukota yang sama dengan nama Provinsinya, selain Provinsi Bengkulu dan Gorontalo. Jambi adalah tempat berasalnya dari Bangsa Melayu yaitu dari Kerajaan Malayu yang terletak di Batang Hari Jambi. Bahasa Melayu yang ada di Jambi sama seperti Melayu Palembang dan Melayu Bengkulu, yaitu berdialek "o". Wilayah provinsi Jambi hari ini pun terbagi atas 1 Bandar Ibukota (Jambi) dan 9 daerah/kabupaten –mungkin agar sesuai seloka adat tadi dan 2 kota. Tetapi nama daerahnya telah bertukar, yaitu :
1.      Muaro Jambi –beribunegeri di Sengeti
2.      Bungo –beribunegeri di Muaro Bungo
3.      Tebo –beribunegeri di Muaro Tebo
4.      Sarolangun –beribunegeri di Sarolangun Kota
5.      Merangin/Bangko –beribunegeri di Kota Bangko
6.      Batanghari –beribunegeri di Muara Bulian
7.      Tanjung Jabung Barat –beribunegeri di Kuala Tungkal
8.      Tanjung Jabung Timur –beribunegeri di Muara Sabak
9.      Kerinci –beribunegeri di Sungai Penuh/Siulak
Sementara itu, dua kotanya terdiri dari: Kota Jambi dan Kota Sungai Penuh.
Pada akhir abad ke XIX di daerah Jambi terdapat kerajaan atau Kesultanan Jambi. Pemerintahan kerajaan ini dipimpin oleh seorang Sultan dibantu oleh Pangeran Ratu (Pu­tra Mahkota) yang mengepalai Rapat Dua Belas yang merupakan Badan Pemerintahan Kerajaan.
Wilayah administrasi Kerajaan Jambi meliputi daerah-daerah seba­gaimana tertuang dalam adagium adat “Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Batangnyo Alam Rajo” yang artinya: Pucuk yaitu ulu dataran tinggi, sem­bilan lurah yaitu sembilan negeri atau wilayah dan batangnya Alam Rajo yai­tu daerah teras kerajaan yang terdiri dari dua belas suku atau daerah.
Secara geografis keseluruhan daerah ­Kerajaan Jambi dapat dibagi atas dua bagian besar yakni:
·         Daerah Huluan Jambi: meliputi Daerah Aliran Sungai tungkal Ulu, Daerah Aliran Sungai jujuhan, Daerah Aliran Sungai Batang Tebo, Daerah Sungai Aliran Tabir, daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambu.
·         Daerah Hilir Jambi: meliputi wilayah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir, sampai Rantau Benar ke Danau Ambat yaitu pertemuan Sungai Batang Hari dengan Batang Tembesi sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
Sebelum diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten), yaitu peraturan pe­merintahan desa di luar Jawa dan Ma­dura, di Jambi sudah dikenal pemerintahan setingkat desa dengan nama marga atau batin yang diatur menurut Ordonansi Desa 1906. Pada ordonansi itu ditetapkan marga dan batin diberi hak otonomi yang meliputi bidang pe­merintahan umum, pengadilan, kepo­lisian, dan sumber keuangan.
Pemerintahan marga dipimpin oleh Pasirah Kepala Marga yang dibantu oleh dua orang juru tulis dan empat orang kepala pesuruh marga. Kepala Pesuruh Marga juga memimpin peng­adilan marga yang dibantu oleh hakim agama dan sebagai penuntut umum adalah mantri marga. Di bawah peme­rintahan marga terdapat dusun atau kampung yang dikepalai oleh peng­hulu atau kepala dusun atau Kepala Kampung.
Pada masa pemerintahan Belanda tidak terdapat perubahan struktur pemerintahan di daerah Jambi. Daerah ini merupakan salah satu karesidenan dari 10 karesidenan yang dibentuk Belanda di Sumatera yaitu: Karesidenan Aceh, Karesidenan Tapanuli, Karesidenan Sumatera Timur, Karesidenan Riau, Karesidenan Jambi, Karesidenan Sumatera Barat, Karesidenan Palembang, Karesidenan Beng­kulu, Karesidenan Lampung, dan Karesidenan Bangka Belitung.
Khusus Karesidenan Jambi yang beribukota di Jambi dalam peme­rintahannya dipimpin oleh seorang Residen yang dibantu oleh dua orang asisten residen dengan mengko­ordinasikan beberapa Onderafdeeling. Keadaan ini berlangsung sampai masuknya bala tentera Jepang ke Jambi pada tahun 1942.
Berdasarkan cerita rakyat setempat, nama Jambi berasal dari perkataan “jambe” yang berarti “pinang”. Nama ini ada hubungannya dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak, yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi.
Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain: Melayu Jambi, Batin, Kerin­ci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan pen­duduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan meru­pakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud mem­perluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa su­ku ini merupakan keturunan dari per­campuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut seba­gai suku Weddoid.
Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “ji­nak” diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tem­pat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Se­dangkan yang disebut “liar” adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.
Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pede­saan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarang­annya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup ma­syarakat desa.
Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kam­pung dsb.
Pakaian Pada awalnya masyarakat pede­saan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebu­dayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang mengge­lembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam mela­kukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi deng­an kopiah.
Kesenian di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain: Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang.
Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain: Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik tegak betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian.

Filsafat Hidup Masyarakat Setempat:
Sepucuk Jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.
Lambang Daerah Tingkat I Provinsi Jambi, berbentuk Bidang Dasar Segi Lima, menggambarkan lambang Jiwa dan semangat Pancasila.
·         Masjid, melambangkan Ketuhanan dan Keagamaan;
·         Keris, melambangkan kepahlawanan dan Kejuangan;
·         Gong, melambangkan jiwa musyawarah dan Demokrasi.
Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie.
Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya. Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.

Jembatan Beatrix
Sebuah jembatan unik, dengan khas eropa masih terlihat berdiri kokoh di tengah kota Sarolangun, meski tidak jadi penghubung utama lagi, karena telah ada jembatan baru, namun sebuah jebatan yang saat ini dikenal dengan nama “Beatrix” malah jadi pilihan wisata kota yang cukup berkesan di sore hari.
Dari cerita mulut ke mulut para tetua Sarolangun, konon, jembatan yang saat ini dikenal dengan sebutan jembatan Beatrix tersebut, dibangun sekitar tahun 1923 oleh pemerintah kolonial Belanda yang kala itu berkuasa, dengan melalui kerja rodi, menghubungkan langsung dua desa yang bersebarangan Desa Sri Pelayang dengan Kelurahan Pasar Sarolangun, dengan panjang sekitar 100 meter.
Diketahui jika jembatan dengan konstruksi beton yang ditopang tiga tiang penyangga, dengan empat ruas jembatan menyatu, tidak terlalu banyak didukung dengan literatur sejarah, namun masalah penamaan, para sejawaran Sarolangun berkesimpulan penamaan “Beatrix” berkemungkinan diambil dari nama salah satu ratu belanda yang lahir tahun 1938.
Bisa jadi penamaan jembatan tersebut, merupakan hadiah atas lahirnya putri Beatrix Wilhelmina Armgard, yang tidak lain anak dari Putri Mahkota Juliana dari Belanda dan Pangeran Bernhard, yang lahir tahun 1938, setahun sebelum jembatan Sarolangun diresmikan.
Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti kala peresmian jembatan tahun 1939, dimana ada tugu batu sejenis marmer yang bertuliskan “Beatrix Brug”, pangkal jembatan dari arah Pasar Bawah Sarolangun.
Sekitar tahun 1982 Jembatan sempat mengalami keruntuhan dan tidak terawat, namun bergulirnya pemekaran kabupaten Sarolangun jembatan bersejarah ini kembali diperbaiki dan dipercantik dengan cat berwarna kuning gading menjadi objek wisata sejarah dan salah satu tempat tongkrongan warga kota melepas penat melihat arus sungai yang tenang atau sambil memancing di Sungai Tembesi yang mengalir di bawahnya.
Masjid Al-Falah, Kota Jambi.


Objek wisata di Kota Jambi
Taman Mini Jambi & Taman Rimba; Tanggo Rajo; Hutan Kota Mayang Mangurai – Jambi; Gelora (Gelanggang Olah Raga) Kota Baru Jambi; Kolam Renang Tepian Rajo - Kota Baru Jambi; Taman Ria Remaja - Kota Baru Jambi; Taman Anggrek Sri Soedewi; Taman Mayang Mangurai – Telanaipura; Sanggar Batik & Kerajinan PKK Provinsi Jambi; Dekranasda Jambi; Pasar Keramik; Obyek Wisata Danau Sipin; Obyek Wisata Danau Teluk; Mesjid Agung Al-Falah; Kompleks Makam Rajo-rajo Jambi; Makam Datuk Sintai; Kampung Raja; Museum Negeri Jambi & Museum Perjuangan Rakyat Jambi.
Objek wisata di Kabupaten Muaro Jambi
Kompleks Percandian Muaro Jambi; Makam Puteri Selaras Pinang Masak; Orang Kayo Gemuk & Orang Kayo Pedataran; Taman Wisata Indah Setiti; Taman ACI.
Objek wisata di Kabupaten Batanghari
Taman Hutan Raya Senami; Taman Rekreasi Rengas Condong; Pusat Kerajinan Ukiran Kayu Desa Pulau Betung.
Objek wisata di Kabupaten Tebo
Makam Sultan Thaha Syaifuddin; Istana Sultan Thaha Syaifuddin; Taman Hutan Raya Bukit Sari; Taman Nasional Bukit 30 (TNBT); Batu Menangis & Air Terjun Bulian Berdarah; Danau Sigombak.
Objek wisata di Kabupaten Bungo
Air Terjun Tegan Kiri; Bunga Bangkai; Air Terjun Ranah Sungai Ipuh; Batu Tapak Sembilan & Gua Batu Muah Muaro; Dam Semagi & Dam Batang Uleh; Makam Pakubuwono III; Mesjid Tuo Empelu Al-Falah.
Objek wisata di Kabupaten Sarolangun
Taman Nasional Bukit 12 (TNBD); Batu Bersurat Prasati Karang Berahi; Sungai Batang Asai; Danau Biaro; Air Terjun Simpang Narso & Air Terjun Seluro; Danau Kaco; Panorama Alam Bukit Rayo & Bukit Paradun Sulah.
Objek wisata di Kabupaten Merangin
Gua Ulu Tiangko; Grao Solar, Grao Nguak & Grao Kunyit; Gunung Masurai; Gunung Sumbing; Danau Pauh; Danau Depati Empat; Air Terjun Sigerincing; Gading Bertuah; Perumahan Kuno; Rantau Panjang; Air Terjun Sungai Piul; Jam Gento.
Objek wisata di Kabupaten Kerinci
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS); Perkebunan Teh Kayu Aro; Gunung Kerinci; Danau Gunung Tujuh; Air Terjun Telun Berasap; Air Panas Semurup; Danau Kerinci; Goa Kasah; Rawa Ladeh Panjang; Mesjid Agung Pondok Tinggi; Mesjid Keramat; Batu Bergambar & Batu Patah; Batu Meriam; Benteng Depati Parbo; Grao Rasau.
Objek wisata di Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Taman Nasional Bukit 30 (TNBT); Pusat Pelatihan Gajah Sumatera; Pantai Pasir Putih & Hutan Mangrove; Dermaga & Pasar Kuala Tungkal.
Objek wisata di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Taman Nasional Berbak (TNB); Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur; Pulau Berhala; Makam Orang Kayo Hitam & Orang Kayo Pingai.

Kuliner Khas Jambi
Kue Buayo Berenang, Kue Pedamaran, Kue Ketan Srikayo, Kue Gandus, Kue Lumpang, Kue Bawang Putih, Kue Bolu Kojo, dan Kue Kelepon.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar