Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Rabu, 19 Februari 2014

Palembang, Venice of the East



Palembang BARI (Bersih, Aman, Rapi, dan Indah), di dunia Barat lebih dikenal sebagai Venice of the East (Venesia dari Timur). Pada tanggal 27 September 2005, Kota Palembang telah dicanangkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai "Kota Wisata Air" seperti Bangkok di Thailand dan Phnom Penh di Kamboja. Tak berlebihan, Sungai Musi telah memberikan warna lain di kota yang dijuluki Bhumi Sriwijaya ini.

Jembatan Ampera, Kota Palembang - Provinsi Sumatera Selatan

Jembatan Ampera
Sejak dahulu, Sungai Musi telah menjadi urat nadi perekonomian di Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan. Sungai sepanjang sekitar 750 km yang membelah Kota Palembang menjadi dua bagian yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir ini, merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Ada dua jenis angkutan di Sungai Musi yang menghubungkan Seberang Ulu dan Seberang Ilir sebelum tahun 1963, yakni: kapal Marrie (kapal roda lambung) dan perahu tambangan. Untuk perahu tambangan sendiri, hanya bisa mengangkut perorangan dalam jumlah sedikit. Sedangkan kapal Marrie bisa mengangkut banyak penumpang berikut kedaraan, baik roda dua maupun roda empat –seperti kapal feri pada saat sekarang. Boom atau dermaga untuk menaik-turunkan penumpang serta bongkar-muat barang, terdapat: di kawasan 7 Ulu; 10 Ulu, 16 ulu, Pasar 16 Ilir, Kertapati, dan kawasan Tangga Buntung. Sementara itu, jembatan yang di miliki, hanya Jembatan Ogan –Kertapati yang di bangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang dengan jembatan, sebenarnya sudah ada sejak zaman Gemeente –Konggregasi Palembang (konggregasi bisa diartikan sebagai kumpulan orang (bisa awam atau pastor) yang bersatu dalam suatu tubuh atau wadah yang diakui dan menjadi bagian dari Gereja Katolik yang memiliki dan mengikuti suatu peraturan yang sama dalam menjalani hidup) pada tahun 1906. Ketika walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville tahun 1924, ide ini kembali muncul, dan oleh karena itulah dilakukan berbagai usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir –bahkan hingga Belanda angkat kaki dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terrealisasi.
Dermaga (Boom) 7 Ulu, Kapal Marrie tahun 1947.
Kapal Marrie penghubung Seberang Ulu dan Seberang Ilir.
Dermaga (Boom) Penyebrangan
Bung Karno meresmikan pemancangan tiang pertama Jembatan Ampera, 10 April 1962.
Tiang pertama Jembatan Ampera, 10 April 1962.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu mencuat kembali. Pada sidang pleno yang berlangsung 29 Oktober 1956, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan Jembatan Musimerujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya. Usulan ini sebetulnya tergolong berani –bahkan nekat, sebab anggaran yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00 (tigapuluh ribu Rupiah). Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan yang terdiri atas: Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar; dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, yakni: walikota Palembang, M. Ali Amin; dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Presiden Soekarno, agar mendukung rencana itu. Usaha ini kemudian membuahkan hasil, Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan jembatan. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir –yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat yaitu: penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Selanjutnya dilakukanlah penunjukkan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, 1 $ US = Rp 200,00) –diambil dari dana pampasan perang Jepang.
Pembangunan Jembatan Ampera, tahun 1962.
Pembangunan jembatan dimulai pada bulan April 1962 dan selesai tahun 1965. Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada bulan Mei 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan tersebut. Pemberian nama ‘Jembatan Bung Karno’ tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama yang secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi. Pada saat itu, Jembatan Bung Karno adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Namun, setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966 –ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi: Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Bagaimanapun, warga Palembang lebih suka menyebutnya: "Proyek Musi" atau “Jembatan Musi”.
Kapal besar melintasi Jembatan Ampera
Bagian tengah Jembatan Ampera bisa diangkat ke atas
Jembatan Bung Karno, Kota Palembang.
Suasana di sekitar Jembatan Ampera, tahun 1970-an.
Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas –agar tiang kapal yang lewat di bawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua pendulum (bandul pemberat) masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit. Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai. Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya. Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini
Bersamaan dengan euforia reformasi tahun 1997, beberapa onderdil jembatan dipreteli pencuri. Warna Jembatan Ampera, sudah tiga kali berganti. Awal berdiri berwarna abu-abu, tahun 1992 diganti kuning, dan tahun 2002 menjadi merah hingga sekarang. Jembatan Ampera terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu.
Warna merah pada Jembatan Ampera, Kota Palembang.
Aktivitas bongkar-muat di Dermaga 7 Ulu, bawah Jembatan Ampera.
Dermaga 7 Ulu, Kota Palembang.
Pasar 7 Ulu dengan latar belakang Jembatan Ampera, Kota Palembang.

Pelembang Djaya
Kota Palembang yang memiliki luas wilayah sekitar 358,55 km² –kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan, merupakan ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, pada abad ke-9 Masehi kota ini juga menjadi ibukota kerajaan bahari Budha terbesar di Asia Tenggara –Kerajaan Sriwijaya. Menurut prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang –sebelah Barat Kota Palembang, yang menyatakan tentang: pembentukan sebuah “wanus atau wanua” –bahasa Sanskerta yang berarti ‘negeri’ ataukota’ pada tanggal 17 Juni 683 Masehi, menjadikan kota Palembang sebagai kota tertua di Indonesia. Bahasa asli masyarakat menyebutnya "lembeng" -yang bermakna: genangan air, ditambah awalan "Pa" yang menunjukkan 'tempat' sehingga dirangkai menjadi: Palembang (kota yang selalu digenangi air) -karena secara geografis terletak di daerah rendah penuh rawa-rawa dan 37,36% wilayahnya tergenang air. Sedangkan dalam kronik Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178-1225 oleh Chou-ju-kua, terdapat nama: "Pa-lin-fong" -yang merujuk pada  Palembang. Kemudian tahun 1345-1350 karya Wong-ta-yuan yang berjudul: Toa-cih-lio, Palembang disebutnya: "Po-lin-fong". Sedangkan oleh Ying-ysi-dhueng, Palembang ditulisnya sebagai: "Po-lin-fang".
Prasasti Kedukan Bukit yang menjadi bukti sejarah pendirian Kerajaan Sriwijaya –sekaligus lahirnya Kota Palembang, ditemukan pada tahun 1920 oleh H. Djahri warga Kampung 35 Ilir secara tidak sengaja. Saat ia sedang menjala ikan di tepi Sungai Tatang Kedukan Bukit, jala yang dilemparkannya ke sungai tersangkut batu. Setelah diangkat, ternyata batu itu ‘bertulis’ –prasasti. Penemuan ini dilaporkan kepada pemerintah kolonial Belanda, dan setelah itu batu bertulis tersebut menjadi objek penelitian. Hasil penelitian inilah, banyak dipakai sebagai pedoman penetapan Palembang/Sumatera Selatan sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya abad 7 hingga 12 Masehi dibawah pimpinan Dhapunta Hyang Sidhayatra.
Prasasti itu menceritakan perjalanan Dhapunta Hyang Sidhayatra bersama 20.000 prajurit mengendarai perahu dan membawa 200 peti perbekalan serta 1.312 prajurit berjalan kaki.
Dikisahkan, pada hari ketujuh Paro-Terang Bulan Jyestha, Dhapunta Hyang bertolak dari Minaga, prajurit berjalan kaki datang dari Mukha Upang, mereka kemudian berkumpul di Palembang dan mendirikan wanua yaitu Perkampungan Wanua sebagai bentuk kecil dari kata Benua. Pada prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 683 Masehi berbahasa Melayu Kuno itu, dinukilkan sebagai Hari Jadi Kota Palembang tanggal 5 Ashada tahun 605 Syake (17 Juni 683 Masehi).
Ketika periode RA Arivai Cekyan selaku Walikota Palembang membentuk team peneliti Hari Jadi Kota Palembang dengan Surat Keputusan Walikota Kepala Daerah Kotamadya Palembang tanggal 21 Januari 1972 Nomor: 124/UM/WK tentang Team Persiapan Penelitian Hari Jadi Kota Palembang. Setelah pembahasan, maka menetapkan Hari Jadi Kota Palembang: Tanggal 17; Bulan Juni; Tahun 683 Masehi, dengan Surat Walikota Kepala Daerah Kotamadya Palembang Nomor: 57/UM WK/1972, tanggal 6 Mei 1972. Sejak saat itulah, maka setiap tanggal 17 Juni diperingati sebagai Hari Jadi Kota Palembang dengan lambang pemerintahan kota pun disimbolkan dengan aksara bertuliskan: Pelembang Djaya.




***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar