Warga
Banjarmasin memang merupakan masyarakat yang suka bekerja keras, dan suka
berkerja sama atau bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan. Mereka enak
diajak bicara, karena pada dasarnya suka ngobrol sebagaimana terlihat dari
kebiasaan ”mawarung”, dan juga tercermin dari tradisi mamanda, balamut, dan
madihin yang lebih berorientasi budaya lisan. Selain
itu, sungai begitu erat dengan kehidupan “urang Banjar” ini.
Alun-alun Martapura, Kabupaten Banjar - Kalimantan Selatan. |
Kota Banjarmasin merupakan
sebuah ‘kota delta, atau ‘kota kepulauan’ karena terdiri dari sedikitnya 25
buah pulau kecil (delta) –diantaranya:
Pulau Tatas, Pulau Kelayan, Pulau Rantauan Keliling, Pulau Insan dan lain-lain
yang merupakan bagian-bagian kota yang dipisahkan oleh sungai-sungai. Kota
Banjarmasin -yang dikenal dengan julukan: Kota Seribu Sungai, ditetapkan sebagai salah satu dari 10 ikon kota pusaka di
Indonesia. Selain itu, Kota Banjarmasin beserta Kota Pekalongan dan Solo
ditetapkan sebagai Kota Teladan oleh UN Habitat. Kota ini terletak di tepian
Timur Sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura yang berhulu di
Pegunungan Meratus.
Martapura, Kalimantan Selatan. |
Karakter urang Banjar tercermin dalam
kalimat: Kayuh Baimbai, secara harfiah berasal dari kata: "Kayuh" –Dayung atau Mendayung, sementara
"Baimbai" –Bersama-sama.
Berarti: mendayung secara bersama-sama. Istilah
ini sering digunakan dalam masyarakat Banjar untuk merefleksikan suatu bentuk
kerjasama untuk mencapai suatu tujuan.
Secara garis besar, masyarakatnya terbagi
atas 3 kelompok besar: Suku Banjar, Suku Dayak, dan Suku
pendatang (Jawa, Bugis, Madura, dan lain-lain). Pangeran Antasari dalam Perang Banjar (1859-1905),
pernah berwasiat: ”Agar Urang Banjar Jangan Suka Bacakut Papadaan”. Wasiat ini
dipegang teguh oleh urang Banjar. Meski terdapat perbedaan pada masing-masing
kelompok, tetapi di sini jarang ditemukan konflik-konflik yang mengatasnamakan
suku-suku.
Pelabuhan Lok Baintan |
Pasar Terapung Lok Baintan
Perjalanan dari Bandara –yang berada di pal 26 atau di km 26 Kabupaten
Banjar Baru, menuju ibukota Banjarmasin –berada
di pal 1 atau di km 1 membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit.
Di depan pelabuhan Mesjid Raya –pada sebuah dermaga kayu sederhana di
pinggiran Kota Banjarmasin, naik klotok –perahu motor. Mulailah perjalanan menyusuri Sungai Martapura
menuju ‘pasar terapung’ Lok Baintan di Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar.
Sungai
Martapura
–nama aslinya: Sungai Kayutangi atau Sungai
Banjar Kecil, adalah anak Sungai Barito yang muaranya terletak di Kota
Banjarmasin dan di hulunya terdapat Kota Martapura –yang merupakan ibukota Kabupaten Banjar. Nama sungai ini, diambil
dari nama Kota Martapura –yang terletak
di sebelah hulu Kota Banjarmasin. Nama Martapura sendiri, diberikan oleh
raja Banjar ke-4 Sultan Mustain Billah sebagai ibukota yang baru didirikan
kira-kira pada tahun 1630 setelah dipindah dari Banjarmasin ke kawasan Kayu
Tangi –terletak di sebelah hulu. Karena
itu, nama kuno sungai Martapura adalah Sungai Kayutangi. Nama lainnya yang
dahulu digunakan adalah: Sungai Tatas, mengacu kepada delta Pulau Tatas, daerah
yang pada 13 Agustus 1787 menjadi milik VOC-Belanda (kotta-Blanda) dan sekarang
merupakan pusat Kota Banjarmasin modern. Dengan demikian, nama lain Kota
Banjarmasin adalah Kota Tatas. Menurut Hikayat Banjar, di tepi sungai inilah
Kerajaan Banjarmasih mendirikan Bandar
–sekarang sering disebut Bandar Patih
Masih/Bandar Masih, bukan di tepi Sungai Barito. Bandar tersebut terletak di sebelah hulu dari muara Sungai
Kelayan, dimana pada lokasi tersebut terdapat Sungai Palabuhan.
Masjid Raya Sabilal Muhtadin di Kota Banjarmasin - Kalsel. |
Tepian Sungai Martapura didekat Masjid Raya Sabilal Muhtadin |
Tepian Sungai Martapura dekat Masjid
Raya Sabilal Muhtadin (dahulu: Benteng Tatas) di Kota Banjarmasin.
Perahu
klotok membawa kita menyusuri sungai yang membelah Kota Banjarmasin ini,
menjauhi kota ke arah hulu. Dalam
perjalanan tampak rumah-rumah penduduk yang berjejer di sepanjang tepi sungai.
Terdapat juga beberapa tempat penggilingan padi, masjid, rumah penangkaran
burung walet, dan warung klontong. Rumah-rumah
penduduk yang berada di sisi kanan pelintasan –lebih dekat ke pusat Kota Banjarmasin, umumnya didirikan
membelakangi sungai. Sebaliknya, rumah-rumah penduduk yang berada di sisi kiri,
umumnya menghadap ke sungai. Kondisi ini, menandakan bahwa penduduk yang berada
di sisi kanan telah banyak menggunakan alat transportasi darat.
Pasar Terapung Lok Baintan, Kalimantan Selatan. |
Pusat
berkumpulnya para pedagang terletak di dekat sebuah pelabuhan yang diberi papan
bertuliskan “Pelabuhan Lok Baintan”. Letaknya di Desa Lok Baintan Sungai
Pinang; Kecamatan Sungai Tabuk; Kabupaten Banjar, berdekatan dengan sebuah
jembatan gantung kecil –hanya bisa
dilalui orang dan sepeda motor, yang melintasi sungai. Di bawah jembatan
itu, perahu-perahu berkumpul, berdempet-dempetan, berinteraksi dan
bertransaksi.
Karena berada di atas arus sungai,
maka pasar terapung ini bergerak ke arah hilir. Ketika melakukan transaksi
jual-beli, perahu-perahu akan dibiarkan bergerak terbawa arus. Dan setelah
transaksi selesai, baru kemudian dikayuh kembali ke titik kumpul semula. Pola
iramanya, seperti tidak menentu –tapi
para pedagang di perahu-perahu ini, seperti kompak untuk tetap membentuk
kerumunan, baik ketika terbawa ke hilir atau ketika mengayuh kembali ke hulu.
Konon,
pasar terapung ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Banjar. Karena berada di
sungai utama Martapura, maka pasar terapung ini disebut juga dengan nama: Pasar
Terapung Sungai Martapura.
Jembatan Gantung Lok Baintan |
Perempuan-perempuan perkasa ini,
mendayung sejak Shubuh dari berbagai desa di sekitar Sungai Martapura,
dan menjual hasil bumi mereka di Lok Baintan. Mereka berasal dari berbagai anak
Sungai Martapura, seperti: Sungai Lenge, Sungai Bakung, Sungai Paku Alam,
Sungai Saka Bunut, Sungai Madang, Sungai Tanifah, dan Sungai Lok Baintan. Berdatangan
setelah sholat Shubuh, dan mulai bubar sekitar pukul 9 pagi Waktu Indonesia
bagian Tengah. Beberapa di antara mereka membawa
serta anak-anak balita, tapi umumnya seorang diri dalam satu perahu. Ada aturan
tidak tertulis bagi masyarakat yang tinggal di tepi sungai ini. Para wanitanya
berjualan di pasar, para lelakinya bertani dan menjadi nelayan atau memancing
ikan di sungai. Pembagian kerja antara perempuan dan
laki-laki semacam ini, mungkin merupakan suatu ‘kelaziman’ dalam masyarakat
agraris.
Rupanya, emansipasi sudah menyentuh tepi Sungai Martapura ini. Mereka menggunakan topi anyaman daun bundar –berdiameter sekitar 50-60 cm, untuk
berlindung dari sinar matahari atau hujan. Tampak juga beberapa perempuan
menggunakan sejenis pupur wajah. Sangat jarang perahu dagangan yang dibawa oleh
laki-laki.
Pasar Terapung Lok Baintan, Kabupaten Banjar - Provinsi Kalimantan Selatan |
Pasar
terapung Lok Baintan ini, tergolong “pasar induk” –dalam pengertian: jual beli dilakukan dalam proporsi besar untuk
kembali dijual ke anak-anak sungai. Meski demikian, di sini tidak ada
retribusi –atau iuran sejenis lainnya
yang dipungut oleh pemerintah atau oleh masyarakat sendiri.
Juga
banyak terdapat buah-buahan segar, seperti: mangga, jeruk khas Banjar –limau, pisang, pepaya, rambutan, dan
lainnya. Sementara yang dijual dalam skala yang lebih kecil, adalah: ikan atau
hasil laut lainnya, kue-kue tradisional, serta beberapa jenis produk tekstil
seperti pakaian, kain, dan tas. Umumnya
sistem barter terjadi antara sesama pedagang, sedangkan penggunaan uang ketika
bertransaksi dengan pembeli pendatang. Komoditas dagangan yang dibarter adalah
hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan. Besaran dan keberimbangan jumlah
hasil barter, tergantung kesepakatan antarkedua belah pihak. Jika sepakat, maka
masing-masing akan mendapatkan barang sesuai keinginan, dan selanjutnya
digunakan untuk keperluan pribadi di rumah.
Sarapan di perahu klotok |
Di Lok Baintan, kita dapat menikmati
akitivitas pasar tradisional serta keramahan masyarakatnya. Kita juga dapat
berbelanja, mencicipi hasil kebun yang mereka jual atau kue-kue tradisional
yang mereka jajakan. Biasanya, ada pula klotok khusus tempat makan, dimana kita
dapat mencicipi kue dan soto Banjar, serta bersantai minum kopi –sembari menikmati aktivitas pasar. Atau
sarapan makanan khas Kalsel lainnya yang ada di pinggir sungai –sekitar daerah Sungai Jingah, seperti:
soto Bang Amat, soto Yana-Yani atau soto Bawah Jembatan (SBJ). Bila
ingin merasakan sensasi naik jukung, kita bisa ikut di atas jukung pedagang
yang ada di sana.
Jika kita menuju ke Lok Baintan sejak
pagi buta, kita dapat melihat iring-iringan klotok atau jukung –perahu kecil dengan mesin yang memuat
beragam barang dagangan yang akan diperjual belikan di lokasi pasar.
Kedepannya, selain pasar terapung, juga
akan dikembangkan agro wisata –setelah
mengunjungi pasar terapung, para pelancong bisa melanjutkan dengan wisata petik
buah jeruk langsung dari pohonnya. Tetapi yang paling mendesak adalah upaya
menjaga kelestarian pasar terapung di sana, salah satunya dengan tidak
mengijinkan berdirinya pasar darat di Desa Lok Baintan.
Menjelang siang hari, sudah tidak ada aktivitas 'Perdagangan' di Lok Baintan. |
Masjid Agung Al Karomah adalah masjid
besar yang terletak di Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan dan
merupakan masjid terbesar di Kalimantan Selatan. Masjid ini juga merupakan
markah tanah dari Kota Martapura dan mudah diakses dari seluruh kota di
Kalimantan Selatan karena terletak di Jalan Ahmad Yani yang merupakan jalan
utama –jalan nasional antar kota, terutama dari Kalimantan Timur –arah
Utara hingga Kota Banjarmasin.
Sebagai pusat Kerajaan Banjar, Martapura
tercatat menjadi saksi 12 sultan yang memerintah. Pada waktu itu masjid
berfungsi sebagai: tempat peribadatan, dakwah Islamiyah, integrasi umat Islam
dan markas atau benteng pertahanan para pejuang dalam menentang Belanda. Akibat
pembakaran Kampung Pasayangan dan Masjid Martapura, muncul keinginan membangun
Masjid yang lebih besar. Tahun 1280 Hijriyah (1863 M), pembangunan masjid pun
dimulai.
Masjid Agung Martapura 'Al Karomah' |
Masjid Agung Al Karomah, dulunya bernama
adalah Masjid Jami’ Martapura, yang didirikan oleh panitia pembangunan
masjid yaitu HM. Nasir, HM. Taher (Datu Kaya), HM. Apip (Datu Landak).
Kepanitiaan ini didukung oleh Raden Tumenggung Kesuma Yuda dan Mufti HM Noor.
Menurut riwayatnya, Datuk Landak
dipercaya untuk mencari kayu Ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito,
Kalimantan Tengah. Setelah tiang ulin berada di lokasi bangunan masjid, lalu
disepakati tepat 10 Rajab 1315 H (5 Desember 1897 M) dimulailah pembangunan
Masjid Jami’ tersebut. Secara teknis bangunan masjid tersebut adalah bangunan
dengan struktur utama dari kayu ulin dengan atap sirap, dinding dan lantai
papan kayu ulin. Seiring dengan perubahan masa dari waktu ke waktu, masjid
tersebut selalu di renovasi –tapi struktur utamanya tidak berubah. Malam
Senin 12 Rabiul Awal 1415 H dalam perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad
SAW, Masjid Jami’ Martapura diresmikan menjadi Masjid Agung Al Karomah.
Saat ini Masjid Agung Al Karomah berdiri megah dengan konstruksi beton dan
rangka atapnya terbuat dari baja stainless, yang terangkai dalam
struktur space frame. Untuk kubahnya dilapisi dengan bahan enamel.
Pulau
Kembang
Pulau Kembang adalah sebuah delta yang
terletak di tengah Sungai Barito yang termasuk di dalam wilayah administratif Kecamatan
Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Pulau Kembang
terletak di sebelah Barat Kota Banjarmasin, ditetapkan sebagai hutan wisata
berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 788/Kptsum12/1976 dengan luas 60 Ha. Pulau
Kembang merupakan habitat bagi kera ekor panjang (monyet) dan beberapa jenis
burung. Kawasan pulau Kembang juga merupakan salah satu obyek wisata yang
berada di dalam kawasan hutan di Kabupaten Barito Kuala.
Di dalam kawasan hutan wisata ini
terdapat bangunan Klenteng dan Altar yang diperuntukkan sebagai tempat
meletakkan sesaji bagi "penjaga" pulau Kembang yang
dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih –hanoman,
oleh masyarakat dari etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu.
Sesajen seperti: pisang; telur; nasi ketan; mayang-pinang; dan beberapa jenis
kembang. Seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas biasanya dilepaskan
ke dalam hutan pulau Kembang apabila sebuah permohonan berhasil atau terkabul.
Oleh karena sering digunakan untuk tempat berhajat dan menabur kembang, maka
pulau tersebut lebih terkenal dengan nama Pulau Kembang.
Wisata Alam 'Pulau Kembang', Kabupaten Barito Kuala - Provinsi Kalimantan Selatan. |
Menurut cerita penduduk setempat, Pulau
Kembang ini dulunya merupakan sebuah kapal Cina yang bernama "Law Kem
Bang" yang tersesat dan kemudian dihancurkan oleh orang-orang Biaju
pada tahun 1750-an atas perintah Sultan Banjar. Lambat laun kapal tersebut
ditumbuhi pepohonan dan berubahlah menjadi sebuah pulau serta dihuni oleh
sekelompok kera. Orang-orang desa yang berada di sekitar Pulau Kembang ini
menganggap bahwa kera-kera tersebut merupakan penjelmaan makhluk halus yang
memakai sarungan kera. Kelompok kera tersebut dipimpin oleh seekor kera yang
sangat besar berwarna putih bernama si Anggur. Dari Law Kem Bang inilah
kemudian menjadi Pulau Kembang. Versi lainnya, Pulau Kembang berasal dari kapal
Inggris yang dihancurkan oleh orang Biaju pada tahun 1750-an atas perintah
Sultan Banjar. Puing-puing bekas kapal tersebut lambat laun ditumbuhi pepohonan
dan berubah menjadi sebuah pulau yang kemudian didiami sekelompok kera.
Kera-kera di kawasan ini yang berjumlah ribuan, sangat akrab dengan
para pengunjung. Biasanya ketika para wisatawan datang berkunjung, kera-kera
tersebut banyak yang menunggu di dermaga, menunggu para wisatawan memberi
mereka makanan seperti pisang, kacang, dan sebagainya.
Pulau Kembang ini ditempati oleh ratusan
–bahkan ribuan monyet dan beberapa jenis unggas (burung). Bila
beruntung, pengunjung dapat bertemu dengan salah satu spesies monyet yang
menjadi maskot fauna Kalimantan Selatan; yakni: Bekantan (Nasalis Larvatus). Monyet ini berhidung panjang;
berambut cokelat kemerah-merahan; dan memiliki sifat pemalu. Satu hal yang
harus diingat, jangan lupa membeli makanan (pisang atau kacang-kacangan) di Pasar
Terapung untuk dibagikan kepada monyet-monyet di Pulau Kembang ini.
Tidak sulit untuk berkunjung ke pulau
ini, kawasan ini berjarak sekitar 1,5 km dari Kota Banjarmasin. Dari Pasar
Terapung di Sungai Barito, tinggal menyewa perahu (perahu klotok sewaan) dari
Sungai Kuin Utara. Kita bisa melakukan perjalanan mengelilingi Pasar
Terapung dan berkunjung ke Pulau Kembang, waktu yang dibutuhkan untuk
sampai ke lokasi sekitar 15 menit.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar