Serambi Mekah, nama itu diberikan karena Aceh merupakan pintu
gerbang masuknya agama Islam ke Nusantara. Aceh juga menjadi tempat
persinggahan orang yang pulang dan pergi naik haji. Penduduk Aceh
merupakan pemeluk agama Islam yang kuat, baik dalam menjalankan syariat
Islam maupun dalam kehidupannya sehari-hari. Adat istiadatnya pun banyak
bersumber dari Islam dengan ikatan kekeluargaan antarpenduduk amat erat. Tiap
Gampong yang dipimpin oleh Keuchik, senantiasa didampingi oleh seorang Teungku
Imum yang senantiasa memberi nasihat dan tuntunan yang baik. Di setiap
Gampungpun terdapat Meunasah yang berfungsi sebagai tempat musyawarah,
pendidikan dan beribadat, hingga sejak kecil penduduknya telah terbiasa bergaul
akrab.
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. |
Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman
dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan
Teluk Benggala di sebelah Utara, dengan Samudera Hindia di sebelah Barat, dengan
Selat Malaka di sebelah Timur, dan dengan Sumatera Utara di sebelah Tenggara
dan Selatan. Ibukota provinsi, terletak di Kota Banda Aceh. Aceh, pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009),
dan terakhir Aceh
(2009–sekarang). Sebelumnya, nama Aceh
biasa ditulis: Acheh, Atjeh, dan Achin. Aceh Darussalam
pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sultan
Aceh ke-19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang
penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan
Aceh mencapai pesisir Barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah
menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16,
termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Penerapan Syariat Islam di Aceh |
Selain itu, provinsi Aceh memiliki ‘keistimewaan’
dibandingkan dengan provinsi yang lain. Karena di provinsi ini –berdasar UU No.18/2001, Syariat Islam
diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sistem
pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu: Sistem Pemerintahan
Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan,
perbedaan yang tampak adalah adanya Pemerintahan Mukim di antara Sagoë dan Gampông.
Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampông, mukim, nanggroë, sagoë
dan keurajeun.
Gampông atau disebut kampung dalam
bahasa Melayu, merupakan sebuah sistem pemerintahan setingkat desa yang berdiri
secara otonom. Sebuah gampông dipimpin oleh kepala desa yang disebut Keuchik
atau Geuchik dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Peut.
Mukim merupakan suatu sistem
pemerintahan setingkat kecamatan yang dahulu diberlakukan pada saat Kesultanan
Aceh. Sebuah Mukim terdiri dari beberapa buah Gampông. Di tiap-tiap Mukim
didirikan sebuah masjid yang dipergunakan untuk sholat Jum’at. Yang memimpin masjid
disebut Teungku Imum Raja. Mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh
suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Lapan.
Sagoë merupakan suatu sistem
pemerintahan setingkat kabupaten. Sebuah Sagoë dipimpin oleh hulubalang yang
bergelar Teuku atau Ampon. Sagoë terdiri dari Mukim-Mukim, layaknya sebuah
kabupaten yang terdiri dari kecamatan-kecamatan.
Nanggroë merupakan suatu sistem
pemerintahan setingkat Negara. Dalam bahasa Melayu, Nanggroë disebut dengan
nama kenegerian. Sebuah Nanggroë dipimpin oleh Wali Negara yang bergelar Paduka
njang Mulia. Namun hal ini sekarang tidaklah sejalan dengan sistem hukum
Indonesia sehingga Wali Nanggroë merupakan salah satu simbol kebudayaan Aceh. Sebuah
Nanggroë terdiri dari Sagoë- Sagoë.
Tidak
Pernah Menyerah
Penangkapan Cut Nyak Dhien oleh Belanda, 1905. |
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin
oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin
Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan –dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh
hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Belanda
dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten dan berhasil menduduki Keraton Sultan
pada 26 Januari 1874 –kemudian dijadikan
sebagai pusat pertahanan Belanda. Perang pertama dan kedua ini adalah
perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibukota
negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang Aceh Ketiga (1881-1896), perang
dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah –perang gerilya ini dilangsungkan sampai
tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar
bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan
mendadak dari pihak van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut
Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Cut Nyak Dhien akhirnya dapat ditangkap pada tahun 1905 dan diasingkan ke Sumedang -Jawa Barat.
Perang Aceh Keempat (1896-1910) adalah
perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan,
penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan kesultanan.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak
bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi
perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang
(masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara.
Tugu Modal di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. |
Masjid Raya Baiturrahman
Masjid Raya
Baiturrahman
adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Ditandai oleh 7
kubah besar, dan 7 menara masjid. Di depan masjid terdapat sebuah menara yang
disebut dengan: “Menara Daerah Modal atau Tugu Modal” setinggi 45 meter dengan
hiasan Boh Rue Aceh di puncak menara. Tugu Modal merupakan sebuah monumen yang
menunjukkan Aceh pernah dinyatakan sebagai: ‘daerah modal dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia’. Masjid
ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh. Dengan dinding putih cerahnya
dan kubah megah berwarna hitam, masjid agung berusia 130 tahun ini adalah
bangunan yang sangat indah. Kitab kerajaan mengatakan bahwa masjid ini, pertama
kali dibangun dari kayu pada tahun 1022 Hijriyah atau 1621 Masehi di bawah
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636
M).
Beberapa sejarawan menyatakan, masjid ini bahkan dibangun lebih awal pada tahun
1292 Masehi oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah.
Saat ditanya tentang objek apa yang
dapat dijadikan rujukan untuk melambangkan Serambi Mekah, maka hampir semuanya menunjuk
Masjid Raya Baiturrahman sebagai simbol yang terkuat. Hal ini dikarenakan
masjid ini memiliki kharisma yang amat tinggi –baik dari sejarah, maupun dari kiprahnya dalam melaksanakan syiar Islam
di Aceh, sebagai replika yang mencerminkan Makkah al Mukarramah. Serambi adalah “ruang antara”. Metafora
kota Banda Aceh sebagai “serambi” akan berkonotasi: harmoni. Di serambi, orang
dapat beristirahat dalam suasana teduh; bersenda gurau; bersantai dengan sanak
keluarga; dan bisa pula beramah-tamah dengan tamu-tamu yang datang berkunjung.
Suasana seperti itulah yang didambakan. Sedangkan Mekah, merupakan suatu titik
orientasi atau pusat bagi umat Islam. Dalam ajaran Islam yang menjadi pusat
adalah Ka’bah yang ada di Mekah. Serambi merupakan suatu bagian dari
keseluruhan –the wholeness, menjadi bagian dari pusat dunia. Aceh
menjadi bagian dari Mekah. Itu sebabnya Aceh disebut Serambi Mekah.
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. |
Masjid
ini pernah terbakar masa pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678 M). Sebagai
gantinya kemudian dibangun masjid baru di lokasi yang sama. Di era penjajahan kolonial
Belanda, -disamping berfungsi sebagai
tempat ibadah, masjid ini juga berfungsi sebagai markas pertahanan rakyat
Aceh. Fungsi masjid sebagai pusat perlawanan, sangat jelas terutama di masa
Sultan Alaiddin Mahmud Syah. Pada 10 April 1873, masjid ini berhasil direbut
oleh Belanda dan sebagian bangunannya dibakar. Pada bulan shafar 1290 Hijriyah atau 14 April 1873 M, rakyat Aceh
berhasil merebutnya kembali melalui pertempuran yang dahsyat. Dalam pertempuran
tersebut, Mayjen JHR Kohler ikut terbunuh bersama lebih dari 400 pasukannya. Tewasnya Kohler, diabadikan dalam sebuah
monumen kecil di bawah pohon geulumpang/ketapang dekat pintu masuk sebelah Utara
masjid. Akibat kekalahan tersebut, Belanda kemudian mempersiapkan
pasukan yang jauh lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap. Pada 6
Januari 1874 –meski dipertahankan
mati-matian oleh rakyat Aceh, masjid ini berhasil diduduki oleh Belanda.
Dan kali ini, Belanda membakar seluruh bangunan hingga rata dengan tanah.
Kenyataan ini, menambah kemarahan rakyat Aceh. Untuk membujuk dan meluluhkan
hati rakyat Aceh, Gubernur Jenderal Belanda JW van Landsberge kemudian
mengunjungi Aceh dan berjanji kepada rakyat Aceh untuk membangun kembali masjid
baru. Pernyataan ini diumumkan setelah
diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri sekitar Banda Aceh.
Peletakan batu pertama dilakukan pada hari
Kamis 13 Syawal 1296 H atau 9 Oktober 1879 M oleh Tengku Qadhi Malikul Adil, disaksikan oleh
Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, yaitu: GJ van der Heijden. Arsitek yang
merancang Masjid Raya Baiturrahman adalah seorang Kapten Zeni Angkatan Darat
Belanda, bernama: de Bruijn. Untuk menentukan arsitektur masjid, ia
berkonsultasi terlebih dulu dengan Snouck Hurgronje dan Penghulu Masjid Bandung
–Jawa Barat. Denah salib pada lantai
masjid yang muncul pada rancangan awal telah hilang, berganti rupa menjadi
denah bernuansa Islami. Pembangunan masjid berkubah tunggal
selesai dan diresmikan pada 27
Desember 1881 (atau 1883 ?) M. Kubah masjid, berbentuk Bawang –tidak seperti masjid asli Aceh semacam
Indrapuri, yang memiliki bentuk atap Meru bersusun tiga. Masjid Raya Baiturrahman terletak di tengah Kota Banda Aceh
–dulu bernama: Kuta Raja.
Dua kubah ditambahkan lagi oleh Belanda
tahun 1935-1936.
Pada tahun 1957 di masa pemerintahan
presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, masjid ini kembali berubah.
Dua kubah baru dibuat di bagian belakang, dibangun pula dua menara dengan
jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di Pasar
Aceh yang berada di sekeliling masjid, tergusur. Peletakan batu pertama
dilakukan oleh Menteri Agama KH Muhammad Ilyas, bersama Gubernur Aceh Ali Hasymi.
Membutuhkan waktu empat tahun untuk menyelesaikan proses pembangunan tersebut.
Renovasi masjid yang dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa Gerakan
Darul Islam pimpinan Daud Beureu’eh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan
pembangunan itu sebagai usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah
juga dianggap mewakili Pancasila yang digagas Ir. Soekarno. Pemberontakan
tersebut berakhir dengan perdamaian antara pemerintah dengan Daud Beureu’eh. Sekedar
catatan: Aceh yang semula bergabung dengan Indonesia –dengan jaminan: Soekarno akan menerapkan syariat Islam di Aceh,
merasa kecewa karena syariat Islam tidak dijadikan sebagai landasan negara.
Sehingga pada tanggal 13 Muharram 1372 Hiriyah (21 September 1953 M), Teungku
Muhammad Daud Beureu'eh atas nama rakyat Aceh mengumumkan bergabung dengan
Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosoewirjo.
Pada tahun 1991 M –dimasa Gubernur Ibrahim Hasan terjadi perluasan kembali yang
meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya itu sendiri. Bagian masjid
yang diperluas, meliputi: penambahan dua kubah, bagian lantai masjid tempat
shalat, ruang perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan ruang
tempat wudhuk, serta 6 lokal sekolah. Sedangkan. perluasan halaman, meliputi:
taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua buah minaret.
Dengan demikian, Masjid Raya
Baiturrahman saat ini memiliki 7 kubah.
Pasca Tsunami
Masjid Raya Baiturrahman dalam perangko 2002 |
Gempa dan Tsunami di bulan Desember
2004, masjid secara struktural tidak mengalami kerusakan berarti. Ribuan buku
koleksi perpustakaan hampir sebagian besar hanyut atau terendam lumpur.
beberapa buku yang hanyut ke halaman belakang masjid, sempat diselamatkan.
Gempa juga mengakibatkan pondasi mesjid turun pada beberapa tempat. Namun tidak
begitu terlihat. Kerusakan parah hanya terjadi pada menara di halaman masjid,
yang dikenal dengan sebutan Tugu Modal. Pasca tsunami, setelah dibersihkan
tanggal 7 Januari 2005, masjid ini kembali difungsikan dengan menggelar sholat
Jum’at untuk pertama kalinya. Kerusakan-kerusakan Masjid Baiturrahman
diperbaiki. Perbaikan besar-besaran dilakukan lewat sumbangan lembaga donor, di
antaranya Saudi Charity Campaign yang juga membuat fasilitas umum seperti
tempat wudhu di sisi Utara, penataan lanskap di sekitar bangunan, dan kolam.
Semua perbaikan dan renovasi itu menghabiskan dana Rp. 20 milyar dan selesai
pada 15 Januari 2008. Salah satu tiang peninggalan Belanda –ketika masjid masih berkubah satu, masih
dipertahankan. Arsitektur masjid ini bercorak eklektik, yaitu gabungan berbagai
unsur dan model terbaik dari berbagai negeri. tiga pintu bukaan serta jendela
yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk. Jendela ini dibentuk oleh empat tiang
langsing silindris model arsitektur Mooris –Maroko,
yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Sementara
bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang
bercorak Bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip masjid-masjid kuno di India. Masjid Raya Baiturrahman memiliki lembaga pendidikan
formal, yaitu: Madrasah Tsanawiyah Darusysyari’ah dan Madrasah Aliyah
Darusysyari’ah. Juga memiliki lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang finansilal, yaitu Baitul Qiradh
Baiturrahman Banda Aceh –dalam upaya
membantu masyarakat ekonomi lemah. Selain itu, memiliki: Radio Baiturrahman, yang setiap waktu menyiarkan
kegiatan Masjid, berupa pelaksanaan shalat lima waktu, menyiarkan Halaqah
Maghrib dan Kuliah Shubuh. Radio Baiturrahman dapat menjangkau sebagian wilayah
aceh terutama kota banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Barat dan Kabupaten Pidie.
Radio Baiturrahman juga menyiarkan bergagai informasi melalui ceramah, dialog,
dan diskusi juga menghibur masyarakat dengan nuansa lagu-lagu Islami disamping
menyiarkan siaran nasional. Dibidang media
cetak, masjid ini juga memiliki ‘Tabloid Gema Baiturrahman” yang dikeluarkan
pada setiap hari Jum’at dengan menyajikan khutbah Jum’at dan tulisan yang
bernuansa Islami. Media tersebut disebarkan kepada jama’ah sebelum shalat Jum’at
di Masjid Raya Baiturrahman –bahkan
sebagian disampaikan ke sejumlah masjid yang berada di kota Banda Aceh, dan masjid-masjid
Aceh. Di masjid ini juga dibuka
perguruan tinggi “Dayah Manyang” pada pagi hari, yang pesertanya terdiri dari
orangtua –khususnya kaum laki-laki
yang diasuh oleh para ulama pesantren modern dan alumni Madinah. Kegiatan ini
dilaksanakan pada setiap hari Rabu dan Jum’at dari pukul 08.00 hingga 11.30 WIB
di ruang aula belakang Masjid Raya Baiturrahman.
Keelokan serta ketangguhannya saat
diterjang tsunami, membuat banyak orang berdecak heran sekaligus kagum pada
masjid ini.
Monumen Kapal PLTD Apung di Gampong Punge, Blangcut - Banda Aceh. |
Monumen
Kapal PLTD Apung
Luar biasa, kapal berbobot 2.600 ton
yang dibawa tsunami ke tengah kota. Monumen Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
Apung di Gampong Punge, Blangcut, Banda Aceh. Sesuai namanya, kapal ini
merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue –tempat kapal ini ditambatkan sebelum terjadinya tsunami. Kapal
dengan panjang 63 meter ini mampu menghasilkan daya sebesar 10,5 megawatt.
Dengan luas mencapai 1.900 meter persegi dan bobot 2.600 ton, tidak ada yang
membayangkan kapal ini dapat bergerak hingga ke tengah Kota Banda Aceh. Ketika
tsunami terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, kapal yang sedang berada di
Pantai Ulee Lhee ini terseret gelombang pasang setinggi 9 meter sehingga
bergeser ke jantung Kota Banda Aceh sejauh 5 kilometer. Kapal ini terhempas
hingga ke tengah-tengah pemukiman warga, tidak jauh dari Museum Tsunami. Dari
11 orang awak dan beberapa warga yang berada di atas kapal ketika tsunami
terjadi, hanya satu orang yang berhasil selamat. Fenomena pergeseran kapal ini
menunjukkan kedahsyatan kekuatan gelombang yang menimpa Serambi Mekah kala itu.
Di sekeliling monumen, dibangun dinding dengan relief menyerupai gelombang air
bah. Dari atas kapal ini, pengunjung juga dapat melihat Kota Banda Aceh dan rangkaian
pegunungan Bukit Barisan. Terdapat pula beberapa teropong yang bisa digunakan
pengunjung untuk melihat pemandangan setempat. Dengan memasukkan koin terlebih
dahulu, maka pengunjung dapat memakai teropong sampai batas waktu yang
diberikan. Di bawah kapal, terdapat taman air mancur –yang sayang untuk dilewatkan.
Ulee Lheue, tempat Kapal PLTD Apung ditambatkan. |
Di depan pos jaga terdapat prasasti
setinggi kurang lebih 2,5 meter. Di bagian paling atas terdapat jam bundar yang
merujuk angka 07.55 WIB –waktu terjadinya
tsunami. Di bawah prasasti berisi nama-nama desa dan korban jiwa. Di dekat
prasasti terdapat relief terbuat dari tembaga yang berkisah terdamparnya Kapal PLTD
Apung.
Monumen Kapal PLTD Apung, berisi nama desa dan korban jiwa. |
Reuncong
Rencong Kerajaan |
Rencong –reuncong
adalah senjata tajam belati tradisional Aceh, dengan bentuknya menyerupai huruf
"L". Rencong memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan
biasanya sarungnya terbuat dari gading dan mata pisaunya dari emas dan
berukirkan sekutip ayat suci dari Al Qur’an. Sedangkan rencong-rencong lainnya
biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu sebagai sarungnya, dan
kuningan atau besi putih sebagai belatinya.
Seperti kepercayaan keris dalam
masyarakat Jawa, masyarakat tradisional Aceh menghubungkan kekuatan mistik
dengan senjata rencong. Masyarakat Aceh mempercayai bahwa bentuk dari rencong
mewakili simbol dari Basmalah. Rencong begitu populer di masyarakat Aceh
sehingga Aceh juga dikenal dengan sebutan "Tanah Rencong".
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar