Naskah Bujangga Manik |
“Sadatang
ka Saung Galah, [ms. S. Agung] sadiri aing ti inya, Saung Galah kaleu(m)pangan,
kapungkur Gunung Galunggung, katukang na Panggarangan, ngalalar na Pada
Beunghar, katukang na Pamipiran”.
(Sesampai
di Saung Galah, berangkatlah aku dari sana, ditelusuri Saung Galah, Gunung
Galunggung di belakangku, melewati Panggarangan melalui Pada Beunghar,
Pamipiran ada di belakangku.)
“Ngalalar
ka Ti(m)bang Jaya, datang ka Bukit Cikuray, nyangla(n)deuh aing ti inya, datang
ka Mandala Puntang”
(Berjalan
melewati Timbang Jaya, pergi ke Gunung Cikuray, seturunku dari sana, pergi ke
Mandala Puntang.)
“Sana(n)jak
ka Papa(n)dayan, ngaran(n)a na Pane(n)joan, ti inya aing ne(n)jo gunung, dereja
(?) dangka ri kabeh, para manuh para dangka, pani(ng)gal Nusia Larang”
(Setelah
menanjak ke Gunung Papandayan, yang juga dipanggil Panenjoan, aku melihat
pegunungan dari sana, jajaran (?) pemukiman di mana-mana, semua desa, semua
pemukiman, peninggalan Nusia Larang yang mulia.)
“Aing
milang-melangi/nya, /21v/ Ti kidul na alas Danuh, ti wetan na Karang Papak,”
(Aku
melihat mereka satu per satu. Di arah selatan adalah wilayah Danuh, di timur
Karang Papak,)
“Ti
kulon Tanah Balawong, itu ta na gunung Agung, ta(ng)geran na Pager Wesi”.
(di
barat tanah Balawong, merupakan Gunung Agung, pilarnya Pager Wesi.)
“Eta
na bukit Patuha, ta(ng)geran na Majapura. Itu bukit Pam(e)rehan, ta(ng)geran na
Pasir Batang”.
(Itu
Gunung Patuha, penopang Majapura. Itu Gunung Pamerehan, penopang Pasir Batang.)
“Itu
ta na Gunung Kumbang, ta(ng)geran alas Maruyung, ti kaler alas Losari,”
(Itu
Gunung Kumbang, pilarnya Maruyung, ke arah utara wilayah Losari.)
“Itu
ta bukit Caremay, tanggeran na Pada Beunghar, ti kidul alas Kuningan, ti barat
na Walang Suji, inya na lurah Talaga”.
(Itu
Gunung Ceremay, pilarnya Pada Beunghar, di selatan wilayah Kuningan, ke
baratnya Walang Suji, di situlah wilayah Talaga.)
“Itu
ta na To(m)po Omas, lurah Medang Kahiangan”.
(Itu
Gunung Tampomas, di wilayah Medang Kahiangan.)
“Itu
Tangkuban Parahu, tanggeran na Gunung Wangi”.
(Itu Gunung
Tangkuban Parahu, pilarnya Gunung Wangi.)
**Naskah Bujangga Manik**
Saat berada di puncak Gunung Papandayan,
Bujangga Manik dapat memandang ke berbagai arah, sehingga gunung ini disebut
sebagai: Panenjoan.
Pada Januari 1706 atas perintah Residen
Priangan, dua orang tentara, Cretain van Houten mengunjungi Gunung Papandayan
dan Gunung Patuha untuk melihat kandungan belerang. Pemerintah Kolonial saat
itu mewajibkan Bupati Bandung untuk menyediakan 400 pikul belerang murni dan
halus yang diterimanya di Tanjungpura, Karawang. Pemerintah kolonial memerlukan
belereng untuk berbagai keperluan, baik pertahanan maupun industri.
Satu tahun setelah letusan 11-12 Agustus
1772, J.M. Mohr berkunjung ke sana dan menuliskan catatannya: “Penduduk di kaki gunung dikejutkan dengan
munculnya awan yang sangat terang yang menutupi gunung. Mereka melihat kembang
api beterbangan di udara, dan dentuman seperti suara meriam. Pukul 02.00 -
03.00 semburat api raksasa memayungi gunung yang berlangsung sangat singkat,
hanya lima menit, yang disusul oleh tebing gunung yang terban, lalu terjadi
guguran puing, longsor gunung api yang melanda kawasan seluas 250 km2. Empat
puluh perkapungan hancur mumur, dan 2 orang kulit putih dan 2957 penduduk di
kaki gunung itu seketika kembali ke pangkuan-Nya. (“Semoga Tuhan
memuliakannya”). Dari kawasan yang tertimbun sedalam hampir satu meter, ada dua
orang yang dapat diselamatkan, dan 40 orang selamat, mereka berlindung di
tengah kebun pisang.”
F.W. Junghuhn berkunjung ke Gunung
Papandayan pada tahun 1850, dan menulis peristiwa letusan gunung ini yang
berdasar pada penuturan penduduk: “Di
malam hari tanggal 11-12 Agustus 1772, terjadi letusan yang disertai gemuruh
dan ledakan-ledakan setelah lewat tengah malam. Tiba-tiba terlihat sinar api
yang menerangi kegelapan, menggugurkan puncak gunung, melontarkannya dan
menghamburkan bongkah-bongkah di sekelilignya. 40 kampung dalam sekejap mata
tertimbun dan 2957 dan binatang peliharaannya seketika menemui ajalnya di bawah
timbunan guguran puing. Penduduk dari kampung-kampung yang terletak lebih jauh
dapat terhindar dari hujan batu dan abu dengan berlari tergesa-gesa. Keesokan
harinya penduduk tercengang melihat sebagian besar gunung yang semula berbentuk
kerucut, kini telah hilang, hancur, dan di sana kini tampak celah kawah yang
dalam dan merekah, menghembuskan uap.”
“Dengan
suara menggelegar dan gemeratak yang hebat, setelah tengah malam mendadak
tampak membumbung ke atas sinar-sinar terang, yang menerangi kegelapan,
memecah-mecah puncak gunung, melemparkan dan menyebar bongkah-bongkahnya ke
sekitarnya”. Demikian catatan F.W. Junghuhn.
F. de Han dalam catatannya begitu
gemasnya, bagaimana lambatnya birokrat saat itu melaporkan kejadian letusan
Gunung Papandayan yang merenggut nyawa hampir 3000 orang. Satu bulan kemudian,
16 September 1772, peristiwa maut itu baru sampai di pemerintah, dan dimuat
dalam dagregister. Oktober baru ada
laporan rinci, 19 November baru mengirim surat ke Residen di Cirebon, dan
Desember 1772 dikirim surat ke Negeri Belanda.
Pada tahun 1819, pendiri kebun raya
Bogor, C.G.C Reindwardt yang berkebangsaan Jerman menjadi orang-orang asing
pertama yang mendaki gunung ini. Pada masa-masa inilah, Gunung Papandayan
menjadi surga bagi para ahli gunung berapi dan tumbuh-tumbuhan hingga sekarang.
Ch. E. Stehn saat berada di sana,
seperti yang ditulisnya tahun 1930. Ahli gunung api ini begitu terkesan saat
melintas di Tegal Bungbrung. Stehn menulis: “… Terdapat pemandangan yang sangat baik ke seluruh komplek kawah dengan
dilatari Dataran Garut yang dikelilingi Gunung Cikuray dan Karacak di sebelah
kanan, Komplek Gunung Galunggung – Talagabodas sebagai latar belakang dan
Guntur di kiri, Gunung Cereme di Cirebon menjulang jauh di belakang ujung
utara, dan nun jauh sekali lewat lereng Gunung Cikuray masih sekilas tampak
Gunung Slamet….”
Haroun Tazieff (1961), Ahli gunung api
yang banyak menerbitkan laporannya di Eropa. Oleh karena itu jangan heran bila
Gunung Papandayan jauh lebih pupuler di Eropa.
Panday
dan Papandayan
Gunung Papandayan terletak di Kabupaten
Garut, Provinsi Jawa Barat. Perjalanan menuju gunung ini dapat ditempuh melalui
kota Garut yang terkenal dengan: domba, dodol, batik, produk kulit, jajanan
serta kulinernya. Perjalanan dilanjutkan ke arah Cikajang, dan bila sudah
sampai di Cisurupan, berbelok menuju Gunung Papandayan. Kondisi jalan antara
Garut dan Cisurupan sudah beraspal mulus, sedangkan antara Cisurupan hingga tempat
parkir Gunung Papandayan, jalannya rusak.
Nama Papandayan, berasal dari bahasa
sunda “Panday” –yang berarti: Pandai Besi.
Dahulu, ketika masyarakat melintasi gunung ini, sering terdengar suara-suara
yang mirip keadaan ditempat kerja pandai besi, suara itu berasal dari kawah
yang sangat aktif. Demikianlah gunung ini kemudian dinamakan Papandayan oleh masyarakat
disekitar gunung ini. Gunung Papandayan terletak di sekitar 25 km sebelah Barat
Daya Kabupaten Garut, dengan posisi geografis 7o19’ Lintang Selatan
dan 107o44’ Bujur Timur dengan ketinggian 2665 meter di atas permukaan
air laut atau sekitar 1950 meter di atas dataran Garut. Di sebelah Selatan
gunung ini terdapat Gunung Guntur dan disebelah Timurnya terdapat Gunung
Cikuray. Gunung Papandayan merupakan kerucut paling Selatan dari deretan gunung
api di Priangan Selatan yang telah diklasifikasikan –sejak zaman penjajahan Belanda sebagai gunung aktif yang cukup
berbahaya di Jawa Barat. Letusan-letusan yang terjadi sejak dahulu kala membuat
wujud gunung ini seperti potongan tapal kuda. Kawah tertuanya terletak di Tegal
Alun-Alun yang telah lama mati dan berubah menjadi padang terbuka. Dinding
kawah tua ini membentuk kompleks pegunungan dengan puncak-puncaknya yaitu
Gunung Malang (2675 meter dpl), Gunung Masigit (2619 meter dpl), Gunung Saroni (2611 meter dpl)
dan Gunung Papandayan itu sendiri yang mengelilingi Tegal Alun-Alun. Di padang
inilah, muncul mata air yang menjelma menjadi Sungai Ciparugpug. Di sekitar
areal tapal kuda ini, kita juga dapat melihat gunung-gunung kecil yang
mengelilingi Gunung Papandayan, antara lain: Gunung Puntang (2555 meter dpl),
Gunung Walirang (2238 meter dpl), Gunung Tegal Paku (2225 meter dpl) dan Gunung
Jaya (2422 meter dpl). Sementara di lembah diantara Gunung Puntang dan Gunung
Walirang, terdapat sungai Cibeureum Gede yang mengalir ke Sungai Cimanuk.
Gunung Papandayan, Panenjoan Bujangga Manik. |
Saat ini, Gunung Papandayan merupakan
salah satu gunung api aktif di Jawa Barat yang telah dikembangkan menjadi objek
wisata panorama dan tempat tujuan bagi para peneliti gunung api di mancanegara.
Objek-objek wisata mempesona yang terdapat di gunung ini terbentuk secara
alamiah dari proses vulkanisma yang telah berlangsung di masa lampau. Aktivitas
yang terjadi selama beratus-ratus tahun ini, telah menghasilkan dan
meninggalkan bentuk-bentuk alam yang khas berupa kerucut gunung api, kawah, singkapan
bebatuan dan terbentuknya struktur-struktur baru berupa curug –air terjun, danau, mata air panas,
lubang semburan uap panas dari dalam tanah, kolam-kolam mendidih dan endapan
belerang berwarna kuning yang menyatu dengan bentang alam yang di penuhi batuan
berserakan dan dataran-dataran terbuka yang diselimuti rerumputan dan tumbuhan
edelweis yang indah atau hutan-hutan tua berbalut lumut yang menakjubkan. Keunikan-keunikan
inilah yang membedakan keindahan Gunung Papandayan dengan gunung api-gunung api
lainnya di Indonesia.
Vulkanowisata
Gunung Papandayan telah menjadi cagar
alam sejak tahun 1924 –ketika itu,
pemerintah kolonial Belanda menetapkan kawasan hutan dan kawah Papandayan
seluas 884 hektar menjadi cagar alam. Saat ini total luas cagar alam telah
bertambah menjadi 6.807 Ha, ditambah taman wisata alam seluas 225 Ha.
Penambahan luas cagar alam dan taman wisata alam ini ditetapkan melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 226/kpts/1990 tanggal 8-5-1990. Wilayahnya
meliputi: Gunung Papandayan, Gunung Puntang, Gunung Jaya, Gunung Kendang, Tegal
Panjang dan kawah Darajat. Dengan statusnya sebagai cagar alam, berarti Gunung
Papandayan beserta keanekaragaman hayati didalamnya dilindungi oleh negara
Republik Indonesia.
Gunung Papandayan memiliki hutan alami
yang hening –hutan alami ini dapat kita
jumpai pada ketinggian 1900 – 2675 meter dpl. Para ahli tumbuhan
menggolongkan hutan pada ketinggian ini sebagai hutan pegunungan atas dan
sub-alpin. Penelitian tumbuhan pada tahun 2004 di daerah antara Pondok Saladah
sampai Tegal Panjang mengungkapkan kondisi hutan sebagai berikut:
Pada daerah kawah, kita dapat menjumpai
tumbuhan semak yang tahan terhadap gas beracun seperti: Suwagi, Rumput Kawah
dan Paku Kawah. Semakin menjauh dari kawah, tumbuhan semak menjadi lebih
beraneka ragam lagi. Selain Suwagi, Pohon Segel, Ramo Gencel, Huru Koneng,
Semak Harendong, Edelweiss, Rumput Kawah, Paku Andam, tumbuhan rambat Gandapura
dan Bungburn dapat kita jumpai di daerah ini. Semakin ke tepian jalan, kita
akan menemui pohon Ki Haruman yang dahannya dipenuhi benjolan mendominasi
pemandangan. Ke utara –di belakang daerah
bekas pesanggrahan Hoogbert Hut, kondisi hutan mulai berubah karena
pengaruh kawah yang mulai berkurang. Hutan di sini dipenuhi oleh pohon-pohon
berdiameter sedang yang rapat dengan lantai hutan namun jarang ditumbuhi semak,
kita dapat menjumpai Pohon Kendung, Anggrit, Huru Batu dan Huru Sintok. Selain
itu, tumbuhan paku Bagedor juga dapat kita jumpai bersama rumput Carex dan
semak Teklan. Mulai dari Cisupabeureum (2126 meter dpl), di kaki Gunung Puntang
sampai Tegal Panjang, pohon-pohon berdiameter besar yang diselimuti oleh lumut
dengan lantai hutan rapat yang ditumbuhi oleh tumbuhan bubukuan dapat kita
jumpai disini. Pohon Anggrit dan Ki Hujan sangat mendominasi pada hutan ini,
selain pohon Salam Anjing dan Salam Beurit. Dua jenis herba penutup tanah yaitu
Elatostema eurhynchum dan Elatostema rostratum mudah terlihat di sini bersama
tumbuhan rambat Arbei Hutan. Di Tegal Panjang, kita dapat menemukan 25 jenis
tumbuhan herba yang hidup bersama alang-alang. Beberapa diantaranya yang
menonjol adalah: Ki Urat, Antanan dan Scleria Terestis. Tumbuhan endemik
Alchemilla Villosa dan tumbuhan langka Primula Imperalis dapat ditemukan pula
di padang ini. Selain tumbuhan-tumbuhan di atas, kita juga dapat menjumpai dan
mengamati beberapa satwa liar yang hidup di hutan Papandayan ini, seperti:
monyet surili, lutung, babi hutan, mencek dan macan tutul. Di daerah pinggiran
hutan dekat perkebunan, kita akan menjumpai dengan mudah binatang: tando,
sigung dan careuh.
Menurut catatan dokumen kolonial
Belanda, dahulu kala masih dapat dijumpai banteng, rusa dan pelanduk yang
terlihat merumput di Tegal Panjang. Pemangsa berupa harimau jawa juga masih
sering muncul. Tetapi sekarang semuanya hanya tinggal kenangan saja,
satwa-satwa tersebut telah punah.
Peneliti burung berkebangsaan Belanda
bernama Hoogerwerf pada tahun 1948 melaporkan terdapat 115 jenis burung yang
hidup di Gunung Papandayan. Penelitian pada tahun 2004 pada sisi Barat Gunung
Papandayan –dari Pondok Saladah sampai
Tegal Panjang serta daerah perbatasan hutan dengan kebun di Pangalengan,
telah ditemukan 73 jenis burung. Delapan jenis diantaranya endemik pulau Jawa
dan 15 jenis lainnya dilindungi oleh perundang-undangan. Terdapat 2 jenis
burung yang terancam kepunahan, yaitu elang jawa dan luntur gunung serta 2
jenis burung lainnya yang mendekati dan terancam punah yaitu walet gunung dan
cica matahari.
Di sekitar dinding kawah, ditemukan
burung pemangsa dadali dan alap-alap capung. Sementara di daerah hutan yang
didominasi oleh tumbuhan suwagi di sekitar kawah, mudah dijumpai burung
kacamata, balecot, tengtelok dan tikukur.
Di hutan selepas kawah hingga Tegal
Panjang, kita dapat menjumpai sepah gunung, burung sapu, mungguk loreng, wergan
dan burung kacamata bersama dengan puyuh laga dan cincoang biru yang menghuni
semak-semak. Burung saeran, saeran kelabu dan walik kepala ungu juga sering
terlihat di hutan ini. Sedangkan luntur gunung dan luntur harimau butuh kecermatan
untuk menjumpainya.
Sementara di daerah perbatasan hutan
dengan kebun sayur atau kebun teh dapat ditemukan burung pemangsa yang terancam
kepunahan yaitu elang jawa bersama dengan 2 pemangsa lainnya yaitu elang ruyuk
dan elang hitam. Burung saeran, wergan koneng, pijantung kecil dan kepudang
sungu jawa juga mudah ditemui di daerah ini. Sementara, burung kandancra dan
cica matahari memerlukan kesabaran untuk dapat melihatnya. Di kebun teh itu
sendiri merupakan arena bermain dan habitat bagi dua jenis burung toed dan
tektek reod.
Berdasarkan dari kebiasaan makannya,
burung-burung di Gunung Papandayan sebagian besar (64%) adalah pemakan serangga
(insectivor). Kondisi ini menunjukkan peranan burung yang besar dalam menjaga
keseimbangan populasi serangga yang terdapat di hutan Papandayan.
Beberapa lokasi yang biasanya dikunjungi
oleh para pendaki, wisatawan dan para peneliti adalah sebagai berikut:
1.
Pondok Saladah
Pondok Saladah
merupakan areal padang rumput seluas 8 Ha yang terdapat di ketinggian 2288
meter dpl, banyak ditumbuhi tumbuhan edelweis yang abadi dan tidak mudah layu
serta memiliki aroma yang khas. Di daerah ini mengalir Sungai Cisaladah yang airnya
mengalir sepanjang tahun –tempat ini
biasanya dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan perkemahan. Sepanjang perjalanan
dari tempat parkir –titik awal pendakian
menuju Pondok Saladah, kita akan disuguhi panorama alam yang sangat indah,
yakni: pemandangan pembuka berupa bentangan kaldera berbentuk tapal kuda yang
sangat luas –mencapai 3 km yang
dihiasi oleh bebatuan berserakan yang berwarna-warni. Di sebelah kanan selama
perjalanan, kita akan menjumpai dinding batu berwarna perak bernama: Tebing
Soni –dimana kota Garut dapat terlihat
dari puncak tebing ini, sementara di sebelah kirinya, kita dapat melihat jejak
dari daerah bekas aliran letusan gunung pada tahun 2002, pohon-pohon yang
hangus terbakar dan lubang-lubang yang mengeluarkan uap panas dari dalam tanah.
Tumbuhan suwagi juga menghiasi pemandangan selama perjalanan menuju tempat ini.
2.
Kawah Mas
Bagi para
wisatawan –baik lokal maupun mancanegara,
para peneliti dan para pendaki, Kawah Mas adalah lokasi yang selalu menjadi
tujuan utama dari semua perjalanan menuju gunung ini. Jika dibandingkan dengan
lokasi-lokasi objek wisata lainnya yang ada di sekitar Gunung Papandayan, Kawah
Mas merupakan lokasi yang sudah dibangun sedemikian rupa dan tampak lebih maju
dan berkembang. Hal ini dikarenakan Kawah Mas merupakan pusat dan lokasi
terpenting dari rangkaian sejarah letusan Gunung Papandayan. Di sini kita dapat
mengamati aktivitas gunung berapi Papandayan yang sedang berjalan sesuai
waktunya, di kawah ini terdapat 14 lubang letusan yang mengeluarkan asap dengan
warna yang berbeda-beda, beberapa mata air mengandung belerang juga terlihat
keluar dari sela-sela bebatuannya dan tentunya kita dapat mengamati aktivitas Kawah
Mas dari jarak yang sangat dekat. Kawah Mas merupakan kompleks gunung berapi
yang masih aktif seluas 10 Ha. Pada komplek ini terdapat lubang-lubang magma
baik yang besar maupun yang kecil, lubang-lubang tersebut mengeluarkan asap dan
uap air hingga menimbulkan berbagai macam suara yang unik. Selain kawah di atas,
beberapa kawah lainnya seperti kawah Manuk, kawah Baru dan kawah Nangklak juga
dapat kita kunjungi untuk memperdalam pengamatan kita tentang aktivitas gunung
api Papandayan.
3.
Tegal Alun-Alun
Tegal Alun-Alun
merupakan lokasi kawah tertua dari Gunung Papandayan yang telah lama mati dan
berubah menjadi padang terbuka yang semua lokasinya hampir dipenuhi oleh
tumbuhan edelweis, sehingga selama kita berada di lokasi ini, kita akan selalu
mencium harumnya bunga edelweiss yang khas. Lokasi ini menyerupai lembah yang
dikelilingi oleh kompleks pegunungan dengan puncak-puncaknya yang menjulang. Di
lokasi ini juga muncul sumber mata air bagi Sungai Ciparugpug disamping
fumarola, solfatara dan sumber air panas yang keluar melalui retakan atau celah
bebatuan yang ada di sekitarnya. Bagi para peneliti, Tegal Alun-alun selalu
dijadikan sebagai tempat untuk mengamati satwa-satwa liar dan tumbuhan-tumbuhan
endemik. Tegal Alun-Alun dan beberapa lokasi lainnya seperti Lawang Angin dan
Tebing Soni, juga merupakan lokasi yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk
mengabadikan momen-momen penting lainnya seperti pangambilan momen matahari
terbit –sunrise yang sangat
menakjubkan.
4.
Lembah Ruslan
Lembah Maut
(lembah Ruslan) merupakan salah satu lokasi yang dianggap berbahaya bagi
pengunjung di gunung ini. Dilembah ini banyak ditemukan bangkai binatang yang
mati akibat terjebak gas beracun. Pada tanggal 18 Desember 1924, diberitakan
seorang mantri bernama Ruslan terjatuh ke lembah ini dan tak sadarkan diri,
beberapa saat kemudian mantri Ruslan dinyatakan meninggal karena menghirup gas
CL2. Setelah kejadian meninggalnya mantri Ruslan, lembah ini dinyatakan berbahaya.
Dan karenanya, lembah ini kemudian dikenal dan diberi nama dengan sebutan:
Lembah Maut atau Lembah Ruslan.
Letusan
Gunung
Dalam catatan sejarah, letusan besar
pernah terjadi di Gunung Papandayan pada 11 – 12 Agustus 1772. Letusan besar
ini menyebabkan kehancuran pada sebagian tubuh gunung ini hingga membentuk
kawah tapal kuda membuka ke arah Timur Laut.
Setelah itu, gunung ini mengalami masa
tenang kembali sampai 11 Maret 1923 saat kawah Papandayan (kawah Mas) mulai
bergejolak kembali hingga 9 Maret 1925. Selama 2 tahun, letusan kecil tidak
membahayakan sering terjadi di gunung ini. Letusan yang terjadi pada 11 Maret
1923 ini tercatat berasal dari kawah yang terdapat di Tegal Alun-Alun, yakni
berupa letusan lumpur dan batu-batuan sebesar kepala orang yang terlontar
hingga kurang lebih 150 meter. Sepanjang tahun 1924 hingga 1925,
letusan-letusan kecil terjadi secara bergantian di masing-masing kawah yang
berbeda hingga gunung inipun akhirnya memasuki masa istirahat yang cukup
panjang sampai letusan besar terjadi kembali pada 11 November 2002.
Si
Jangkung
Kamis pagi, akhir November 2006, warga Dusun Stamplat, Desa Panawa,
Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Garut dihebohkan
dengan penampakan tapak kaki raksasa –Bigfoot
di lereng Gunung Papandayan. Banyak yang menduga bila di lereng gunung berapi
itu ada penghuninya dari golongan buta –raksasa.
Sebab, tak sedikit warga di sana bertutur, kerap melihat penampakan si Jangkung
–makhluk tinggi besar. Ada juga yang menyebut sebagai tapak binatang mirip kera semacam
gorilla, tapi tidak sedikit pula yang berspekulasi bila tapak itu milik manusia
raksasa yang selama ini misterius dan menghuni hutan Gunung Papandayan.
Kabar penampakan
tapak kaki raksasa yang oleh masyarakat luas disebut Bigfoot itu, dalam waktu
singkat, telah menembus batas-batas desa yang hanya bisa dicapai melalui jalan
darat dalam kondisi berbatu dan memprihatinkan. Hampir sebagian besar warga
Garut dan Jawa Barat mengetahui kabar tersebut. Banyak yang penasaran datang
langsung ke lokasi penampakan, tapi tak sedikit yang cukup hanya mendengar
cerita, karena sulitnya mencapai lokasi. Rasa penasaran
pun melanda para Pejabat Pemda setempat. Mulai dari kepala desa di sekitar
kecamatan Pamulihan, camat, sampai pejabat humas Pemkab Garut, turun ke lapangan.
Mereka merasa takjub dengan apa yang dilihatnya, meski
demikian, banyak yang bertanya-tanya soal kebenaran pemilik tapak kaki buta
itu. Banyak warga yang mengusulkan agar pemda membentuk tim khusus untuk
menelusuri kebenaran penemuan itu. Namun tidak sedikit yang sebaiknya tidak
usah dibesar-besarkan, dan menganggap itu sebagai kejadian alamiah dan pasrah
atas kehendak Yang Maha Kuasa. Setelah melalui
penelitian, ditemukan setidaknya 49 jejak Bigfoot. Panjang tapak kaki tersebut
mencapai 40-46 cm dengan lebar 17-18 cm dan berkedalaman 3-5 cm. Panjang tapak
ibu jarinya mencapai 9 cm dengan lebar 7 cm. Sedangkan jarak satu tapak kaki
dengan tapak kaki lainnya berkisar antara 145 cm hingga 245 cm. Bila dilihat
dari posisinya, seluruh tapak kaki itu mengarah ke bawah, sehingga diduga makhluk
raksasa itu berjalan dari lereng gunung mengarah ke perkampungan warga.
Spekulasi
seputar penampakan tapak raksasa di lereng Gunung Papandayan, terus berputar.
Menurut cerita orang-orang tua di kawasan Desa Panawa, kemunculan makhluk
raksasa itu sebenarnya tidak perlu diributkan. Sebab hal tersebut akan terjadi
setiap 50 tahun sekali. Boleh dikata, kemunculan makhluk raksasa itu merupakan
siklus 50 tahunan. Karena sebelumnya juga pernah terjadi penampakan seperti ini
di tahun 1955.
Kawasan Pamulihan –tempat
ditemukan tapak buta tersebut, memang unik. Di lihat dari nama dusun dan
desanya saja, asumsi orang sudah mengarah pada satu hal. Cobalah simak
nama-nama seperti Desa Panawa atau Pandawa. Juga ada nama Desa Arjuna dan Desa
Srikandi. Nama yang berhubungan dengan dunia pewayangan itu, adalah peninggalan
dari nenek moyang mereka. Bila ditilik secara mendalam, tentu ada makna dan
latarbelakang sejarahnya. Bahkan dari segi lokasi,
desa-desa di kaki lereng Gunung Papandayan itu sangat sulit ditempuh melalui
jalan darat. Sarana transportasi darat kondisinya sangat sulit, berkelok-kelok,
berbatu dan rawan longsor. Alat transportasi umum pun hanya tiga buah dan
tripnya sehari sekali. Tidak heran bila kampung-kampung di kawasan Pamulihan
bagaikan terisolasi. Pendeknya, tiga kata menerangkan kawasan itu: gunung,
hutan dan perkebunan.
Bacaan:
Wahyu Wibisana, Lima Abad
Sastra Sunda-Sebuah Antologi, Geger Sunten, 2000.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar