Meningkatkan Wawasan Dengan Berbagi Pengetahuan

Selasa, 08 Juli 2014

Isen Mulang di Kota Cantik



Orang Kalimantan Tengah, memang terkenal dengan watak yang pantang menyerah –isen mulang. Jika tidak berhasil melaksanakan misi, mereka tidak akan pulang. Biarlah nama saja yang kembali, apabila gagal merampungkan misinya. Ya… Isen Mulang Pantang Mundur Dia Tende Nyamah Nggetu Hinting Bunu Panjang.
Kantor Gubernur Kalimantan Tengah, Jalan RTA Milono Nomor 1 - Kota Palangka Raya.

Palangka Raya, the heart of Borneo island
Provinsi Kalimantan Tengah adalah provinsi terluas ketiga di Indonesia –setelah Provinsi Papua dan Provinsi Kalimantan Timur, dengan luas wilayah mencapai 153.564 km2hampir sama dengan satu setengah kali luas Pulau Jawa. Terletak di garis Khatulistiwa, pada posisi: 111° hingga 115° Bujur Timur; dan 0º45' Lintang Utara hingga 3°30' Lintang Selatan. Karena terletak di tengah-tengah Pulau Kalimantan, maka Provinsi Kalimantan Tengah dapat dijadikan sebagai titik poros penghubung atau interconnection antara provinsi-provinsi lainnya di Pulau Kalimantan. Secara administratif, Provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari 13 kabupaten dan 1 kota. Kabupaten/Kota tersebut, adalah: Kabupaten Barito Selatan –beribukota di Buntok; Kabupaten Barito Timur –beribukota di Tamiang Layang; Kabupaten Barito Utara –beribukota di Muara Teweh; Kabupaten Gunung Mas –beribukota di Kuala Kurun; Kabupaten Kapuas –beribukota di Kuala Kapuas; Kabupaten Katingan –beribukota di Kasongan; Kabupaten Kotawaringin Barat –beribukota di Pangkalan Bun; Kabupaten Kotawaringin Timur –beribukota di Sampit; Kabupaten Lamandau –beribukota di Nanga Bulik; Kabupaten Murung Raya –beribukota di Puruk Cahu; Kabupaten Pulang Pisau –beribukota di Pulang Pisau; Kabupaten Sukamara –beribukota di Sukamara; dan Kabupaten Seruyan –beribukota di Kuala Pembuang. Sedangkan 1 kotanya, yaitu: Kota Palangka Raya –Palangkaraya. Kota Palangka Raya sendiri –the heart of Borneo island, selain menjadi ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, juga merupakan kota terluas di Indonesia dengan luas sekitar 2.678 km2setara dengan 3,6 x luas Jakarta. Di sinilah, pada tanggal 17 Juli 1957, Presiden Soekarno meletakkan batu pertama berdirinya Palangka Raya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah –provinsi ke-17 Indonesia. Kota ini dibangun dari hutan belantara yang dibuka melalui Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan. Bung Karno, berniat memindahkan ibukota negara dari Jakarta –pilihannya jatuh ke Kota Palangka Raya. Sejumlah insinyur dari Uni Soviet pun didatangkan, untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan itu berjalan dengan baik selama dua tahun –tahun 1957-1959. Namun, seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia –di awal 1960-an, pembangunan Palangka Raya terhambat. Puncaknya pasca 1965, saat dilengserkan. Soekarno mendesain Kota Palangka Raya berbentuk seperti sarang laba-laba yang saling berhubungan jalan satu sama dengan lainnya, dengan pusat kotanya adalah: Bundaran Besar. Bundaran yang berada tepat di tengah kota itu –titik nol Palangka Raya, ternyata banyak menyimpan misteri. Di depan istana, terdapat jalan silang delapan bundaran dengan jari-jari bundarannya 2×45 meter. Konsep desain silang delapan bundaran ini menyimbolkan “bulan” dan “tahun” Kemerdekaan RI. Delapan jalan silang tersebut memiliki dua makna, yaitu: simbol posisi Palangka Raya pada persimpangan “delapan” rumpun kepulauan RI –Sumatera; Jawa; Bali; Sulawesi; Maluku; Kalimantan; Nusa Tenggara; dan Irian Jaya/Papua, dan “delapan” sungai besar di Kalimantan Tengah –Barito; Kapuas; Katingan; Mentaya; Seruyan; Kahayan; Arut; dan Lamandau.
Bundaran Besar Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah.
Pemancangan Tiang Pertama, Kota Palangka Raya, oleh Bung Karno.
Palangka Raya, terdiri dari kata: “Palangka” dan “Raya“ –Palangka Bulau, berasal dari suatu wadah Palangka (bagian muka dan belakang, melukiskan bentuk gambar Burung Elang) yang menurut kepercayaan leluhur/nenek moyang suku dayak, dipakai oleh Mahatala Langit atau Ranying Hatalla Langit (Tuhan YME) untuk menurunkan manusia pertama ke atas dunia. Kota Palangka Raya –yang berjuluk: Kota Cantik, dibelah oleh sebuah sungai besar, yakni: Sungai Kahayan. Juga terdapat tiga buah sungai buatan, yaitu: Pangaringan I; Pangaringan II; dan Pangaringan III. Kota CANTIK sebagai julukan Palangka Raya, adalah akronim dari kata: terenCana; Aman; Nyaman; Tertib; Indah; dan Keterbukaan –kalimat ini juga terdapat dalam lagu Mars Kota Palangka Raya. Terlepas dari semua itu, memang, orang Dayak itu: cakep-cakep; putih-putih; manis-manis, pokoknya bahalap-bahalap lah. Istirahat untuk makan siang, adalah pilihan tepat mengawali perjalanan selama di Palangka Raya. Seporsi nasi –dipadu dengan ikan patin bakar plus lalapan adalah menu yang bisa kita pilih. Sebenarnya, makanan khas Palangka Raya itu beragam. Mulai dari lalapan hingga sayur umbut rotan khas Dayak –nasi goreng di sini terkenal enak. Sayur asam rotan muda, rasanya juga unik. Potongan rotannya, terkadang terasa pahit dilidah. Tapi sensasinya membuat kita lupa, jika apa yang kita makan adalah: “batang rotan”. Di Jalan DI Panjaitan, kita dapat menemukan sebuah Rumah Betang –khas suku Dayak. Meski bukan merupakan Rumah Betang asli buatan suku Dayak pedalaman, namun rumah milik pemerintah setempat ini mampu mewakili bentuk aslinya.
Kantor Walikota Palangka Raya, Jalan Tjilik Riwut Nomor 98 Kota Palangka Raya - Kalteng.

Taman Monumen/Tugu Soekarno
Dibangun untuk memperingati pemancangan tiang pertama Kota Palangka Raya oleh Soekarno, terletak di pusat Kota Palangka Raya. Sebelum monumen ini berdiri, pada awalnya daerah ini bernama “Jekan” –kira-kira 3 km dari Pahandut. Lokasi tersebut, merupakan tempat Presiden Pertama Soekarno meresmikan pembangunan Kota Palangka Raya pada tanggal 17 Juli 1957. “Jadikanlah Kota Palangka Raya sebagai modal dan model“, kata Bung Karno saat pertama kali menancapkan tonggak pembangunan Kota Palangka Raya. Monumen kota tersebut, terletak di jantung Kota Palangka Raya, tepatnya di Jalan S. Parman; Kelurahan Palangka; Kecamatan Pahandut, juga sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasinya, persis di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Adapun Luas arealnya kira-kira 2,5 ha, dibuka bagi semua pengunjung setiap hari. Mudah dijangkau, karena dilintasi jalur angkutan kota –di Palangka Raya disebut: taksi. Semua jenis kendaraan dapat mencapai lokasi tersebut, juga bagi parapejalan kaki. Di depan Kantor Gubernur Kalimantan Tengah, berdiri Monumen Nilai-Nilai Juang '45. Monumen yang lengkap dengan Patung Garuda tersebut, dimaksudkan untuk mewariskan nilai-nilai juang 1945.
Patung Garuda dan Teks Proklamasi di Monumen Nilai-Nilai Juang 1945, Kota Palangka Raya - Kalteng.
Garuda-nya Palangka Raya

Jembatan Kahayan
Jembatan Kahayan merupakan landmark Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah –letaknya tak jauh dari Taman Wisata Kum Kum. Dulu, ikon Palangka Raya adalah Bundaran Besar. Pembangunan Jembatan Kahayan, dimulai pada tahun 1995 dan selesai tahun 2001. Peresmian jembatan dilakukan pada tanggal 13 Januari 2002, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Jembatan Kahayan membelah Sungai Kahayan dan menghubungkan Kota Palangka Raya dengan Kelurahan Pahandut Seberang dan tembus ke tujuh kabupaten –Kabupaten Pulang Pisau; Gunung Mas; Kapuas; Barito Selatan; Barito Timur; Barito Utara; dan Kabupaten Murung Jaya. Jembatan sepanjang 640 meter dan lebar 9 meter ini, memiliki bentang busur berwarna merah sepanjang 150 meter dan tinggi 36 meter –berada tepat di atas jalur pelayaran Sungai Kahayan. Jembatan Kahayan bisa dijangkau dengan sangat mudah, karena letaknya yang hanya sekitar 1 km dari pusat Kota Palangka Raya. Kita bisa berjalan kaki menuju Jembatan Kahayan ini dari Kota Palangka Raya, sambil menikmati pemandangan Kota Palangkaraya sepanjang perjalanan. Untuk menyusuri Sungai Kahayan, kita dapat menggunakan kapal kecil, seperti: jukung; getek; dan klotok. Umumnya, klotok-klotok tersebut digunakan warga untuk mencari ikan air tawar yang banyak dijumpai di Sungai Kahayan –seperti: ikan baung; ikan lais; ikan patin sungai; ikan tapah; hingga ikan jelawat yang terkenal lezat. Klotok-klotok tersebut tertambat di tiga dermaga, yakni: di Dermaga Rambang; Dermaga Flamboyan; serta di Dermaga Tugu Soekarno. Di persimpangan Sungai Kahayan dan Sungai Rungan, terdapat situs sejarah berupa: Tajahan –namanya Tajahan Tjilik Riwut. Tajahan merupakan lokasi keramat yang sangat disucikan oleh suku Dayak, khususnya yang berkeyakinan Kaharingan. Jika mempunyai keinginan yang ingin terkabul, warga Dayak biasanya menaruh kain kuning dan sesaji di Tajahan. Di sekitar Tajahan tersebut, terdapat enam buah rumah mini yang isinya ditemui beberapa telur dan tulang untuk sesajen.
Jembatan Kahayan di Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah.
Menyusuri Sungai Kahayan dengan perahu klotok
Perahu klotok di Sungai Kahayan, Kota Palangka Raya - Kalteng.
Lanskap di sekitar Sungai Kahayan, Kota Palangka Raya.
Jembatan Kahayan, ikon Kota Palangka Raya - Kalteng.
Sungai Kahayan sendiri memiliki banyak nama lainnya, seperti: sungai Batang Biaju Besar; sungai Dayak Besar; Groote Daijak-rivier; Great Dajak atau Great Dyacs. Sungai yang memiliki panjang 250 km ini, mengaliri tiga kabupaten/kota, antara lain: Kota Palangka Raya; Kabupaten Gunung Mas; dan Kabupaten Pulang Pisau, serta bermuara di Laut Jawa. Sejarah mencatat, cikal-bakal Kota Palangka Raya –yang sebelumnya bernama Kampung Pahandut berawal dari kehidupan di sisi Sungai Kahayan ini. Notulen Perjanjian Tumbang Anoi Tahun 1894 menyebutkan, di Kampung Pahandut pada masa itu telah berdiri sebanyak delapan buah Huma/Rumah Betang –rumah khas tradisional Suku Dayak Kalimantan Tengah. Sebagian besar rumah Betang tersebut, berada di pinggiran Sungai Kahayan.

Museum Balanga
Berlokasi di Jalan Tjilik Kriwut Km 2,5 dengan luas kurang-lebih lima ha, merupakan destinasi wisata yang terletak paling dekat dengan pusat Kota Palangka Raya. Pada mulanya, sejak didirikan oleh Pemda Kalteng pada tahun 1973, status Museum Balanga tersebut sebagai: museum daerah. Seiring dengan kebijakan pemerintah pusat bahwa setiap provinsi memiliki museum yang menampilkan keunikan kebudayaan dan kekayaan alam setempat, maka pada tahun 1990, Museum Balanga menjadi museum provinsi. Museum Balanga ini berfungsi sebagai lembaga pelestarian; pendokumentasian; serta penyajian berbagai koleksi peninggalan budaya suku Dayak. Selain itu, di museum ini juga disimpan segala yang berkaitan dengan sejarah kehidupan suku Dayak, seperti: ethnografika; barang-barang warisan leluhur Dayak yang banyak memiliki kekuatan magis; berbagai alat tradisional yang biasa dipakai oleh suku Dayak pada jaman dahulu seperti Mihing –penangkap ikan tradisional; baju Sakarut atau baju Karungkong Sulau, atau juga baju Basurat yang biasa dipakai pada upacara ritual; senjata-senjata suku Dayak seperti Mandau, Sumpitan, dan Duhung. Memasuki museum, kita akan menemukan ruangan luas yang terdapat banyak sekat. Di sini juga, terdapat: Penyang –sebuah kalung milik warga Dayak jaman dulu, yang diyakini sebagai penangkal dari bahaya musuh. Kalung kuno tersebut, dihiasi oleh jejeran gigi beruang –seukuran jari kelingking orang dewasa.
Museum Balanga

Taman Wisata Kum-Kum
Berjarak sekitar 5 km dari pusat kota, Taman Wisata Kum-Kum menggabungkan kebun binatang mini dan restoran. Taman wisata ini letaknya di pinggir sungai Kahayan, dengan pondok-pondok menyerupai rumah panggung yang dikelilingi oleh rindangnya pohon karet. Pohon-pohon rindang, tak hanya menghilangkan bulir-bulir keringat ditubuh, namun juga memberikan sensasi damai pada jiwa. Jalan yang menghubungkan tempat satu dengan yang lainnya, dibangun di atas Sungai Kahayan menggunakan papan kayu. Di pinggir jalan papan kayu ini juga, tersedia tempat duduk yang bebas untuk digunakan. Di obyek wisata ini tersedia ragam hidangan lezat, seperti: ikan bakar; ayam bakar; dan es kelapa. Sejumlah satwa koleksi yang menempati kebun binatang mini ini, seperti: monyet; buaya; kuskus; burung rangkong; burung tingang/enggang; dan beruang madu.

Dari Pahandut ke Palangka Raya
Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Dayak Besar –termasuk daerah Palangka Raya ini, merupakan bagian dari zuid ooster afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie No. 8 pada 27 Agustus 1849. Terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah melalui proses yang cukup panjang hingga mencapai puncaknya pada tanggal 23 Mei 1957 dan dikuatkan dengan Undang-Undang Darurat Nomor 10 tahun 1957, Lembaran Negara Nomor 53 berikut penjelasannya (Tambahan Lembaran Negara Nomor 1284), yaitu tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah. Sejak saat itu, Provinsi Kalimantan Tengah resmi sebagai daerah otonom –sekaligus sebagai hari jadi Provinsi Kalimantan Tengah. Tiang pertama pembangunan Kota Palangka Raya, dilakukan oleh Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957 dengan ditandai peresmian Monumen/Tugu Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah di Pahandut. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958, Ibukota Provinsi yang dulunya Pahandut berganti nama menjadi: Palangka Raya. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 1958 tersebut, Parlemen Republik Indonesia pada tanggal 11 Mei 1959 mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 yang menetapkan pembagian Provinsi Kalimantan Tengah dalam lima kabupaten dan Palangka Raya sebagai Ibukotanya. Dengan berlakunya UU No. 27 Tahun 1959 serta Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1959 Nomor Des. 52/12/2-206, maka ditetapkanlah pemindahan tempat dan kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari Banjarmasin ke Palangka Raya terhitung tanggal 20 Desember 1959.
Bandara Tjilik Riwut, Kota Palangka Raya - Kalteng.
Setelah Kotapraja Administratif Palangka Raya  mempunyai empat kecamatan (Kecamatan Pahandut di Pahandut; Kecamatan Palangka di Palangka Raya; Kecamatan Bukit Batu di Tangkiling; dan Kecamatan Petuk Katimpun di Marang Ngandurung Langit), serta memiliki tujuh belas kampung –yang berarti ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan untuk menjadi satu Kotapraja yang otonom sudah dapat dipenuhi maka disyahkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965, Lembaran Negara Nomor 48 tahun 1965 tanggal 12 Juni 1965 yang menetapkan Kotapraja Administratif Palangka Raya. Dengan demikian, terbentuklah Kotapraja Palangka Raya yang otonom. Upacara peresmian Kotapraja Otonom Palangka Raya, dilaksanakan pada tanggal 17 Juni 1965. Pada hari itu juga, dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Bapak Tjilik Riwut ditunjuk selaku Penguasa Kotapraja Palangka Raya dan oleh Menteri Dalam Negeri diserahkan lambang Kotapraja Palangka Raya. Selain itu, pada upacara peresmian Kotapraja Otonom Palangka Raya tersebut, Penguasa Kotapraja Palangka Raya –Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah, menyerahkan Anak Kunci Emas –seberat 170 gram melalui Menteri Dalam Negeri kepada Presiden Republik Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan pembukaan selubung papan nama Kantor Walikota Kepala Daerah Kotapraja Palangka Raya. Nama Tjilik Riwut yang berjasa membangun Kalimantan Tengah, diabadikan menjadi bandara di Palangka Raya, yakni: Bandar Udara Tjilik Riwut –dulu bernama Bandar Udara Panarung merupakan bandar udara yang menghubungkan Kota Palangka Raya dengan kota-kota di pedalaman serta antarprovinsi di Indonesia.
Pemandangan Kota Palangka Raya, dari udara.

Tetek Tatum
Dalam puisi “Tetek Tatum” disebutkan bahwa: nenek moyang orang Dayak Ngaju (Biaju) –suku asli Kalimantan Tengah, berasal dari Kerajaan Langit, diturunkan dengan “Palangka Bulau” di empat lokasi, yakni: Tatan Puruk Pamatuan; Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting; Datah Takasiang; dan Puruk Kambang Tanah Siang. Orang Dayak Ngaju ini merupakan ciptaan langsung Ranying Hatalla Langit –Tuhan YME, yang ditugaskan untuk menjaga bumi beserta isinya agar tidak rusak. Orang Dayak Ngaju –yang kita kenal sekarang, dalam literatur-literatur pada masa-masa awal, disebut dengan: Biaju. Terminologi Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju tetapi berasal dari bahasa orang Bakumpai yang secara ontologis merupakan bentuk dari: “bi” dan “aju”, yang artinya: ”dari hulu” atau ”dari udik”. Karena itu, di wilayah aliran sungai Barito –dimana banyak orang Bakumpai, orang Dayak Ngaju disebut dengan Biaju, yang artinya: orang yang berdiam di bagian hulu sungai.
Tempat Pertama, di  Tatan Puruk Pamatuandi perhuluan Sungai Kahayan dan Sungai Barito, Kalimantan Tengah, maka inilah seorang manusia yang pertama yang menjadi datuknya orang-orang Dayak yang diberi nama oleh Ranying sebagai: Antang Bajela BulauTunggul Garing Janjahunan Laut. Dari Antang Bajela Bulau maka terciptalah dua orang laki-laki yang gagah perkasa yang “menteng ureh mamut” bernama: LambungMaharaja Bunu dan LantingMaharaja Sangen.
Tempat Kedua, di Tatan Liang Mangan Puruk KamintingBukit Kaminting, Kalimantan Tengah, oleh Ranying terciptalah seorang yang maha sakti, bernama: Kerangkang Amban PenyangMaharaja Sangiang.
Tempat Ketiga, di Datah Takasiangdi perhuluan Sungai Rakaui/Sungai Malahui, Kalimantan Barat, oleh Ranying terciptalah empat orang manusia –satu laki-laki dan tiga perempuan. Yang laki-laki bernama LitihTiung Layang Raca Memegang Jalan Tarusan Bulan Raca Jagan Pukung Pahewan, yang seketika itu juga menjelma menjadi “Jata” dan tinggal di dalam tanah di negeri yang bernama Tumbang Danum Dohong. Sedangkan ketiga puteri, bernama: Kamulung Tenek Bulau; Kameloh Buwooy Bulau; dan Nyai Lentar Katinei Bulau.
Tempat Keempat, di Puruk Kambang Tanah Siang –di perhuluan Sungai Barito, Kalimantan Tengah, oleh Ranying terciptalah seorang puteri bernama SikanNyai Sikan di Tantan Puruk Kambang Tanah Siang Hulu Barito.

Dayak
Yang dimaksud dengan Dayak, adalah: Sungai. Kata Dayak yang artinya “sungai” tersebut, terdapat pada salah satu anak Suku Benuaq –di Kalimantan Timur serta bahasa suku lokal di Kalimantan Barat dan Serawak.
Pada awal abad XIX, seorang ilmuwan Barat –sekaligus Missionaris, telah melakukan perjalanan panjang selama bertahun-tahun untuk suatu penelitian tentang suku bangsa dan budaya penduduk yang mendiami Pulau Borneo. Pada saat itu, sungai merupakan satu-satunya prasarana perhubungan dari satu kampung ke kampung lainnya. Disetiap aliran sungai, ilmuwan tersebut menyusuri sungai dengan menggunakan perahu yang didayung oleh tenaga upahan dari penduduk setempat. Apabila sampai pada suatu kampung, ia bertanya kepada pengantarnya –guide tentang nama kampung dan suku bangsa apa yang mendiami tempat itu. Namun sampai berakhirnya seluruh perjalanan penelitian tersebut, ternyata bahwa semua suku bangsa yang di temuinya: “belum mempunyai nama”. Oleh karena itulah, didalam tulisan, akhirnya ilmuwan tersebut menyimpulkan: bahwa suku bangsa yang mendiami Pulau Borneo diberikannya nama: suku bangsa “Dayak”, yang artinya: suku bangsa “yang bermukim di sepanjang tepi sungai”.



***