Anak
tetaplah anak, bukan orang dewasa. Dia tidak berdaya dan tidak bisa memilih
dimana dia dilahirkan, ataupun memilih lahir di kalangan orangtua yang mapan
secara ekonomi dan sehat secara jasmani. Anak dengan kecacatan, bukanlah sebuah
musibah. Setiap anak mempunyai hak yang sama untuk hidup, tumbuh, dan
berkembang secara maksimal sesuai potensinya. Penanganan anak dengan
disabilitas, memberikan peluang untuk menempatkan “anak dengan kecacatan”
sejajar dengan anak pada umumnya. Kekuatan anak untuk tumbuh dan berkembang
serta penuh percaya diri, ada pada orangtua yang terus memotivasi anak-anaknya
untuk maju, dan bukan sebaliknya. Bukankah anak menjadi unik? Ya, karena setiap
orang pernah menjadi anak.
Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kecacatan (FKKADK) Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. |
Program
Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Kecacatan
Masyarakat dan pemerintah dari berbagai
tingkatan, telah melakukan berbagai layanan dan program yang terus dikembangkan
dengan intensitas dan kualitas yang diupayakan terus meningkat dari tahun ke
tahun. Namun faktanya, masih sangat banyak anak yang belum tersentuh pelayanan
kesejahteraan sosial karena keterbatasan sumber daya. Keterbatasan cakupan
pelayanan ini juga disertai dengan belum adanya keterpaduan perencanaan dan
pengelolaan sumber daya dan layanan diantara lembaga pelayanan sosial yang
ada. Keterbatasan tersebut juga diperparah dengan penggunaan pendekatan dan
strategi yang konvensional –bantuan
sosial cenderung diseragamkan, sehingga mengakibatkan meningkatnya
masalah sosial anak yang tidak dapat diimbangi dengan upaya pencegahan dan
respon yang memadai.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(2006), jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 jiwa
dan mengalami peningkatan menjadi 85.146.600 jiwa pada tahun 2009. Data
BPS tahun 2009, tercatat sebanyak 7.000 anak yang sampai saat ini hak-hak
dasarnya masih belum terpenuhi.
Sejak tahun 2009, rancangan kebijakan;
strategi; dan program terobosan yang telah lama digagas, mulai diaktualisasikan
sehingga gap yang ada mampu diperkecil. Selain itu, dilakukan
perubahan paradigma dalam berbagai dimensi program, yang meliputi: perspektif
analisis masalah dan kebutuhan; sistem penetapan target sasaran; pola
operasional layanan; keberlanjutan layanan; dan sistem manajemen pelaksanaan
layanan.
Selaras dengan Instruksi Presiden
Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, maka
ditetapkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sebagai program prioritas
nasional, yang meliputi: Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita (PKS-AB);
Program Kesejahteraan Sosial Anak Telantar (PKS-AT); Program Kesejahteraan
Sosial Anak Jalanan (PKS-AJ); Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan
dengan Hukum dan Remaja Rentan (PKS-ABH dan Remaja); Program Kesejahteraan
Sosial Anak Dengan Kecacatan (PKS-ADK); dan Program Kesejahteraan Sosial Anak
yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (PKS-AMPK).
Kebijakan nasional tentang pemenuhan hak
anak, telah dirumuskan dalam RPJMN 2015-2019. Kementerian Sosial RI telah
menindaklanjuti rumusan Rencana Strategis Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak
2015-2019, dan menjadi acuan utama dalam pengembangan pola operasional PKSA.
Anak penyandang cacat –anak dengan kecacatan, merupakan
kelompok anak yang memerlukan perhatian dan perlindungan khusus –children in need of special protection. Mereka
membutuhkan perhatian dan perlindungan khusus, baik oleh keluarga; masyarakat;
maupun pemerintah.
Menurut hasil pendataan Direktorat Paca
Kementerian Sosial (2009) di 24 provinsi, terdapat 65.727 anak, yang terdiri
dari: 78.412 anak dengan kecacatan ringan; 74.603 anak dengan kecacatan sedang;
dan 46.148 anak dengan kecacatan berat. Sebagian besar anak dengan kecacatan,
berada dalam keluarga miskin, sehingga hak dasar anak belum terpenuhi.
Anak dengan kecacatan, saat ini,
umumnya masih dianggap “beban” oleh keluarga –bahkan masih ada diantara mereka yang menganggap aib, sehingga
sering disembunyikan. Kondisi ini berdampak pada tidak terjangkaunya oleh
petugas Pekerja Sosial dan penyelenggara pelayanan sosial anak penyandang cacat.
Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
negara menjamin pemenuhan hak anak-anak penyandang cacat untuk mendapatkan
pelayanan dan perlindungan.
Hingga tahun 2009, telah terbentuk 61
Forum Komunikasi Keluarga Dengan Anak Cacat (FKKDAC) di 23 provinsi. Forum ini
dirancang sebagai wadah berkomunikasi parakeluarga yang memiliki anak cacat,
dan diharapkan muncul pelayanan berbasis masyarakat –community based approach. Depsos bersama dinas sosial provinsi,
kabupaten/kota juga menyediakan petugas pendamping –Pekerja Sosial yang memiliki keahlian khusus. Kegiatan yang
dilakukan petugas pendamping dan FKKDAC dalam pengembangan model ini, antara
lain: pendataan; penjajagaan; monitoring; serta aktivitas lain yang mendukung
dan bermanfaat bagi para orangtua anak penyandang cacat.
PKS-ADK
dirancang sebagai upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan kesejahteraan
sosial anak dengan kecacatan. Penerima manfaat program ini,
diprioritaskan kepada anak dengan kecacatan (0 – 18 tahun), meliputi: anak
dengan kecacatan fisik; anak dengan kecacatan mental; dan anak dengan kecacatan
ganda –fisik dan mental.
Pada hari Sabtu (23/1-2011), Departemen
Sosial menyerahkan bantuan program pelayanan kesejahteraan sosial anak untuk 75
anak penyandang cacat di Kecamatan Pangalengan dan Ciparay, Kabupaten Bandung,
Jawa Barat. Bantuan PKSA senilai Rp 150 juta atau Rp 2 juta per anak, tidak
berupa uang tunai, namun dalam bentuk barang-barang peralatan yang dibutuhkan
untuk menunjang peningkatan kualitas hidup anak-anak penyandang cacat, seperti:
bantal dan kasur busa; kursi roda; pakaian; peralatan sekolah; nutrisi penunjang
gizi; dan lain-lain. Kecamatan Pangalengan dan Ciparay terpilih sebagai lokasi
uji coba program PKSA karena merupakan “urban area”, di mana mata pencarian
penduduknya lebih bervariasi. Jumlah anak cacat di Kecamatan Pangalengan
mencapai 102 anak dan Kecamatan Ciparay 68 anak.
Studi
Banding
Provinsi Kepulauan Riau merupakan Daerah
Otonomi –provinsi pemekaran dengan
semangat otonomi daerah, implementasi UU no 22 tahun 1999, diperbaruhi dengan
UU no 32 tahun 2004 tentang Otonomi Pemerintah Daerah, memiliki luas lautan
yang dominan dibandingkan luas daratan. Hal ini menjadi
keunikan sudut pandang, mulai: geografi; demografi; hingga ekonomi. Dari
sudut geografi dengan jangkauan laut yang luas, Provinsi Kepri terdiri dari 7 kabupaten dan kota, yakni: Kabupaten Karimun; Kota Batam; Kota Tanjung Pinang;
Kabupaten Bintan; Kabupaten Lingga; Kabupaten Natuna; dan Kabupaten Kepulauan
Anambas. Secara demografi, Provinsi Kepri mempunyai beraneka ragam suku, bangsa
–hampir seluruh ragam penduduk di
Indonesia, kita temukan di wilayah ini. Demikian juga, dengan ragam budaya
dan bahasa masyarakat. Provinsi Kepri menjadi miniatur Indonesia, dari Sabang
sampai Merauke. Dari sudut ekonomi, sebagian wilayahnya ditetapkan
sebagai daerah Free Trade Zone di Batam, Bintan, Karimun (BBK), maka Provinsi
Kepri menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi secara nasional, regional, dan bahkan
internasional. Kehidupan masyarakat Provinsi Kepri yang berbasis perindustrian,
tersebar hampir disemua kabupaten/kota dengan dominan manufacturing dan shipyard.
Rakyat, konotasi umum, biasanya mengacu pada “jumlah penduduk” –secara sempit, akan dilihat dari jumlah penduduk “dewasa” nya. Pencacahan
jiwa pun kadang masih mengabaikan anak, apalagi dalam konteks yang lain,
misalkan: anak sebagai masyarakat kebanyakan, yang harus
diperhitungkan, didengarkan aspirasinya, sebagai bagian dari bangsa dan merupakan
pengganti generasi tua. Anak, tidak lebih –mainset
yang sebagian di hati kita membenarkannya.
Seperti di wilayah Provinsi Kepri dengan
mengikuti pola geografi yang tersebar di daratan –mainland dan kepulauan –hinterland,
maka muncullah dikotomi ada "anak daratan" dan "anak pulau" –yang sebenarnya mereka adalah tetap anak, tanpa ada label, tanpa ada pembedaan apakah dia anak darat/kota ataupun dia
anak pulau.
Anak kota dan anak hinterland lebih karena letak geografis Provinsi Kepri sebagai provinsi
yang memiliki lebih dari 4.500 pulau –data
BPS Provinsi Kepri, dengan luas daratan berkisar 5% dari luas Provinsi
Kepri –lebih kurang 525.000 km2.
Jangkauan wilayah laut yang begitu luas, menjadi salah satu faktor hak
kesehatan bagi anak kurang didapat secara optimal. Akibatnya, anak lahir
dengan berkebutuhan khusus –baik
cacat fisik, keterbelakangan mental, dan
autis, perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
Penjabaran potret anak di Provinsi Kepri
dengan berbagai macam persoalan, tentu membutuhkan perhatian dan penanganan
yang serius, demi keberlangsungan generasi bangsa yang terjamin akan haknya. Penanggulangan
masalah anak, tetap harus berpedoman pada prinsip-prinsip: non diskriminasi;
kepentingan terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan
berkembang; serta penghargaan terhadap pendapat anak. Tidak ada diskriminasi
tentang status sosial, warna kulit, asal-usul, dan laki-laki/perempuan. Pendidikan
inklusif bagi anak berkebutuhan khusus, merupakan salah satu kebijakan non
diskriminasi bagi anak. Demikian juga, dengan mengedepankan “Kepentingan
Terbaik” bagi anak. Bahwa semua kebijakan pemerintah, masyarakat, orang
perorangan, institusi hukum, adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. Kesamaan
pandangan demi kepentingan terbaik bagi anak, bukan hal yang mudah. Perlu
kesungguhan dari semua pihak. Dalam situasi dan kondisi apapun, anak berhak
untuk hidup, melangsungkan kehidupannya, dan berkembang sesuai dengan usianya. Dengan
demikian, penanggulangan masalah anak, harus memberi ruang yang baik; fasilitas
memadai; akses kesehatan yang mudah dan tidak rumit –kasus penyelamatan bencana alam, seringkali penyelamatan anak
diabaikan, lebih pada penyelamatan orang dewasa. Akhirnya, agar sasaran
kerja dan target pencapaian penanggulangan anak tercapai, sebaiknya pendapat
anak juga didengar –karena pasti beda
antara keinginan anak dan orang dewasa sekalipun. Maka mulailah konsep
kebijakan yang diambil mengikutkan hak partisipasi anak, sehingga anak didengar
dan diimplementasikan dengan laku atau kebijakan orang dewasa.
Pemerintah Provinsi Kepri tentu
mempunyai pandangan yang sama bahwa kewajiban pemprov terhadap anak-anak, diimplementasikan
dengan kebijakan yang berpihak pada anak serta upaya untuk melindungi dan
memenuhi hak anak. Adanya anak-anak yang bermasalah, menjadi tanggung jawab pemerintah
untuk memberikan akses kesejahteraan masyarakat yang lebih baik melalui
kebijakan anggaran pro-anak, anggaran responsif gender, dan perlakuan birokrasi
yang lebih terbuka dan ramah. Penanganan masalah anak, harus bersifat simultan
tidak bisa partial –perbagian.
Kontinuitas program keberpihakan terhadap anak juga diperlukan.
Masyarakat/Lembaga/Media Masa dan
lainnya sebagai stakeholder anak, harus lebih berperan aktif. Bahwa fasilitas,
akses yang dibuka lebar untuk dimanfaatkan demi kepentingan terbaik bagi anak,
tanpa adanya diskriminasi. Penguatan kelembagaan masyarakat sebagai mitra utama
pemerintah harus didukung keberadaannya dan diberikan akses informasi untuk
melindungi anak dari segala bentuk kejahatan, penelantaran, dan ruang
partisipasi anak serta perlakuan bebas dari diskriminasi. Pencegahan terhadap
penyimpangan perilaku masyarakat atau orang perorang terhadap anak, dapat
dilakukan lebih cepat dan baik, bila antar-masyarakat, antar-individu sadar, mengerti
dan bisa memberikan perlindungan terhadap anak.
Hanya jika setiap lapisan pemangku tugas
tersebut dapat berfungsi dengan baik serta mampu menjalankan kewajiban dan
tanggungjawabnya, maka anak akan dapat memiliki kehidupan yang berkualitas dan
memungkinkannya untuk tumbuh serta berkembang secara optimal sesuai potensinya.
Penutup
Anak adalah aset bangsa yang harus
diberikan haknya oleh orangtua dan keluarga tanpa diminta, anak sebagai social investation yang hasilnya dapat
dilihat 20 tahun kemudian apabila sejak dini (golden age) dapat memberikan
secara optimal pola pengasuhan, perawatan, pendidikan dan kasih sayang yang
baik dari orangtuanya. Namun dalam penanganan permasalahan anak, memerlukan
penaganan khusus yang membutuhkan orang-orang yang mempunyai keahlian khusus
dan profesional tentang anak. Terutama anak dengan kecacatan, baik cacat berat
maupun ringan.
PKSA merupakan respon sistemik dalam
perlindungan anak, termasuk memberikan penekanan pada upaya pencegahan. Program
ini dikembangkan dengan perspektif jangka panjang, sekaligus untuk menegaskan
komitmen Kementerian Sosial dalam merespon tantangan dan upaya mewujudkan
kesejahteraan sosial anak yang berbasis hak. Juga perwujudan dari kesungguhan
Kementerian Sosial mendorong perubahan paradigma dalam pengasuhan,
peningkatan kesadaran masyarakat, serta penguatan tanggung jawab orangtua/keluarga
dan perlindungan anak yang bertumpu pada keluarga dan masyarakat.
Sumber pendanaan tidak semata bertumpu
pada APBN, tetapi menggalang juga kerjasama luar negeri, APBD dan dukungan
organisasi non-pemerintah dalam negeri maupun internasional –termasuk sumber pendanaan Corporate Social
Responsibilty.
Membangun Pusat Pendidikan dan Pelatihan
–Pusdiklat khusus penderita
kecacatan, sebagian diantaranya berada di usia produktif. Melalui Pusdiklat tersebut,
diharapkan parapenyandang kecacatan mendapatkan keahlian dan mampu hidup
mandiri. Orang-orang yang memiliki kecacatan pada usia produktif, memiliki
keinginan kuat untuk mandiri dengan kemampuan yang dimiliki.
Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan
Kecacatan (FKKADK), harus berusaha terus untuk mengangkat derajat hidup pemilik
kecacatan. Sebab, mereka juga memilik hak yang sama dengan yang normal.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar