Alkisah,
ada seorang wanita yang memendam kerinduan menggunung kepada kekasih hatinya
nun jauh di sana. Rasa rindu tersebut, membuat dia tak tenang. Suatu saat,
wanita itu berdiri di ujung jendela rumahnya dan melantunkan syair-syair yang
berisikan kata sayang dan rindu: ‘Anging Mamiri’. Berharap kepada angin yang
berhembus, pesan tersebut sampai kepada sang kekasih hati. Bahkan sebelum
tidur, wanita tersebut menepuk-nepuk bantal sambil menyebut nama sang kekasih
dan masih berharap angin akan menyampaikan rasa gundah gulananya tersebut.
Ajaibnya, beberapa hari setelah sang wanita mengucapkan syair ‘Anging Mamiri’
tersebut, dia pun mendapat kabar bahwa kekasihnya telah tiba dari perantauan
dan akhirnya bertemu kembali. Cerita itupun menyebar. Semenjak itu, istilah
lagu tradisional suku Bugis ‘Anging Mamiri’ menjadi populer dan erat kaitannya
dengan kerinduan.
Pantai
Losari
Obyek wisata Pantai Losari berada di
jantung Kota Makassar –tepatnya di Jalan
Penghibur, jalan ini berada di sebelah Barat Kota Makassar. Jarak dari
Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit
dengan transportasi kendaraan pribadi maupun umum. Sedangkan dari Bandara
Hasanuddin, perjalanan dapat ditempuh dengan waktu 45 menit. Cukup mudah menuju
Pantai Losari, banyak Pete-Pete –nama
angkutan umum di Makassar yang melewati pantai ini. Selain itu, Bentor –becak motor maupun taksi siap
mengantarkan kita menuju pantai ini. Setelah berjalan mendekati arah laut,
mulai merasakan ‘ada sesuatu yang aneh’. Bagaimana tidak, katanya: ‘Pantai’, tapi…
mengapa tidak ada hamparan pasir di sini. Yang ada adalah sebuah anjungan
dengan tulisan: Pantai Losari, tulisan yang cukup besar. Dari daratan, kita langsung menjumpai laut yang dalam –di sini pengunjung dilarang untuk bermain
air dan berenang.
Losari, pada dasarnya adalah sebuah bentang garis pantai di sisi Barat Makasar.
Dahulu, di sepanjang garis pantai ini berderet warung-warung –pantai ini pernah mendapat julukan sebagai
pantai yang mempunyai Meja Terpanjang di Indonesia, mungkin juga di dunia.
Dalam perjalanan waktu, para pedagang dipindahkan. Hadirlah anjungan Losari di
sepanjang garis pantai ini –anjungan yang
menjadi batas pantai Laut Sulawesi dengan Kota Makassar. Anjungan Pantai
Losari, merupakan ‘bendungan’ yang dibangun pemerintah Makassar di awal-awal
Indonesia merdeka. Awalnya ‘bendungan’ itu digunakan oleh masyarakat setempat
untuk berniaga hasil laut –tidak heran,
jika dulunya ia dikenal sebagai Pasar Ikan. Pada malam harinya, anjungan
ini berupa fungsi menjadi pusat jajanan malam. Namun beberapa tahun terakhir,
pemerintah Makassar mendesainnya menjadi ruang publik sekaligus destinasi
wisata. Melalui Losari, kita bisa melihat budaya orang Bugis-Makassar. Ketika
tiba di Pantai Losari, replika perahu Phinisi dan Paraga akan menyambut para
pengunjung yang datang ke tempat tersebut. Keberadaan replika Paraga dan Phinisi,
seperti hendak mengingatkan generasi muda akan sejarah nenek moyang yang harus
terus menerus dijaga dan dilestarikan. Di anjungan ini juga kita dapat belajar
tentang sejarah Sulawesi Selatan –khususnya
kota Makassar, dengan mengenali tokoh-tokohnya di masa lalu –di anjungan ini terdapat 20 patung berupa
wajah-wajah mereka. Ketika kita berjalan sedikit ke luar dari anjungan, di
dua bagian Utara dan diujung Selatan terdapat situs benteng dengan karakter
yang berbeda. Situs Benteng Somba Opu terdapat di sisi Selatan, sementara di
sisi Utara terdapat situs Benteng Port Roterdam –benteng yang menjadi tempat ditawannya Pangeran Diponegoro selama
diasingkan itu masih berdiri kokoh. Boleh dikatakan, Benteng Port Roterdam
inilah yang menjadi nyawa anjungan Losari.
Di Pantai Losari, terdapat ‘Masjid Terapung’ Amirul Mukminin, yang mempunyai
arsitektur yang unik untuk kita lihat.
Pantai Losari, Makassar - Sulawesi Selatan. |
Replika Perahu Phinisi di Pantai Losari Makassar. |
Anjungan Pantai Losari |
Lanskap di Anjungan Pantai Losari, Makassar. |
Masjid Terapung: Masjid Amirul Mukminin di Pantai Losari. |
Keistimewaan Pantai Losari sebenarnya
ada pada kemasannya. Namanya laut, sunrise dan sunset adalah momen yang paling
penting dan sayang untuk dilewatkan.
Tak perlu khawatir soal makanan, di sini banyak pilihan-pilihan kuliner yang
siap memanjakan perut kita. Kita dapat merasakan sensasi makanan khas Makassar,
seperti: pisang epe –pisang mentah atau muda yang dibakar kemudian di epe atau di pipih dan
dicampur air gula merah; pisang ijo; coto Makassar; maupun pallu butung.
Tidak
lengkap rasanya, jika bermalam di Kota Makassar tanpa meluangkan waktu untuk
mencicipi Sop Konro. Sop
Konro adalah makanan khas dari Sulawesi Selatan –olahan daging iga tradisional suku Bugis dan Makasar. Iga yang
digunakan dalam sop konro, adalah iga sapi atau kerbau. Warna kuahnya bening
kehitaman, sangat sedap disantap malam hari –terutama jika ditambahkan sedikit sambal dan jeruk lemon.
Sop Konro Ratulangi di Jalan Sam Ratulangi No. 82 Makassar |
Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar - Sulawesi Selatan. |
Di Gedung Serbaguna, Makassar. |
Di Gedung Kartini, Jalan Masjid Raya Makassar - Sulawesi Selatan. |
Ujung
Pandang dan Makassar
Nama Ujung Pandang sendiri, adalah nama
sebuah kampung dalam wilayah Kota Makassar. Sudah ada, saat Kerajaan Gowa tiba
di Semenanjung Selat Makassar –pada masa
pemerintahan Raja Gowa ke-10, Tunipalangga, yang pada tahun 1545 mendirikan
benteng Ujung Pandang sebagai kelengkapan benteng-benteng kerajaan Gowa yang
sudah ada sebelumnya, antara lain: Barombong; Somba Opu; Panakukang; dan
benteng-benteng kecil lainnya. Di lokasi tersebut banyak sekali ditumbuhi
pohon ‘Pandan’ yang tingginya bisa mencapai tujuh meter. Dikarenakan orang
Bugis biasa menyebut akhiran ‘an’ menjadi: ‘ang’, maka kata ‘Pandan’ berubah
bunyinya menjadi: ‘Pandang’. Jadi
saat ditanya di mana lokasinya, orang Bugis jaman dulu menyebut: di Ujung
Pandang –di ujung semenanjung selat yang
banyak ditumbuhi pandan. Kata Ujung Pandang itupun, kemudian menjadi akrab
di telinga warga.
Nama Ujung Pandang, dipakai dari
kira-kira tahun 1950-an sampai dengan tahun 2000. Secara resmi, nama Kota
Makassar berubah menjadi Ujung Pandang terjadi pada tanggal 31 Agustus 1971 –berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51
tahun 1971. Alasan untuk mengganti nama Makassar menjadi Ujung Pandang,
antara lain: karena Makassar adalah nama sebuah suku bangsa –padahal tidak semua penduduk kota Makassar
adalah warga dari etnik Makassar. Nama Makassar berasal dari sebuah kata
dalam bahasa Makassar: mangkasara, berarti ‘yang menampakkan diri’ atau ‘yang
bersifat terbuka’.
Sejak awal, proses perubahan nama
Makassar menjadi Ujung Pandang, telah mendapat protes dari kalangan masyarakat
di ‘Kota Anging Mamiri’ tersebut. Terutama dari kalangan budayawan, seniman,
sejarawan, pemerhati hukum dan pebisinis. Bahkan ketika itu, sempat dideklarasikan
‘Petisi Makassar’ oleh: Prof.Dr. Andi Zainal Abidin Farid SH; Prof.Dr. Mattulada;
dan Drs.H.D. Mangemba. Nasib kota ‘Daeng’ ini nyaris tak menentu, hingga
akhirnya dipenghujung masa jabatan Presiden BJ Habibie, nama Makassar
dikembalikan. Dalam konsideran Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 1999,
diantaranya menyebutkan: bahwa perubahan itu wujud keinginan masyarakat Ujung
Pandang dengan mendapat dukungan DPRD Ujung Pandang dan perubahan ini sejalan
dengan pasal 5 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1999, bahwa perubahan
nama daerah, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar