Kampung Ciboleger; Desa Kanekes; Kecamatan Leuwidamar; Kabupaten Lebak - Provinsi Banten. |
Sejak adanya perubahan nomenklatur, dari:
Suku Terasing –tahun 1971; Masyarakat
Terasing –tahun 1980; dan kemudian
menjadi Komunitas Adat Terpencil –tahun
1999, populasi Komunitas Adat Terpencil (KAT) telah tersebar di 30
Provinsi yang hampir mendiami seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan
hasil pemutakhiran data, Komunitas Adat Terpencil –Remote Indigenous Communities secara
nasional sebanyak 229,479 KK
yang berada di 2.658 lokasi. Baik
keterpencilan geografis, maupun keterpencilan kehidupan sosial; ekonomi; hukum,
sehingga kebutuhan sosial dasarnya, seperti: sandang; pangan; pendidikan;
kesehatan; dan perlindungan sosial, belum sepenuhnya terpenuhi. Mereka tersebar
di 246 Kabupaten; 852 Kecamatan; dan 2.037 Desa, mendiami habitat yang
bervariasi, seperti: dataran tinggi; dataran rendah/rawa; pedalaman/pegunungan;
dan pesisir pantai/laut.
Data kuantitatif tersebut menunjukkan
bahwa jumlah populasi dan persebaran Komunitas Adat Terpencil di Indonesia
relatif kecil –bila dibandingkan
dengan jumlah penduduk Indonesia, namun kondisi permasalahannya mempunyai ‘gaung’
yang besar –karena hal ini tidak terlepas
dari masalah kemiskinan pada umumnya.
Secara formal, paradigma pembangunan –yang sebelumnya lebih bersifat sentralistik
berubah konsepnya menjadi desentralistik. Pada konsep desentralistik ini, basis
pembangunan berada pada daerah Kabupaten/Kota. Namun demikian, kewenangan
Provinsi sebagai daerah otonom masih tetap diakui –terutama mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat
lintas Kabupaten/Kota. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil –Empowerment for Remote Indigenous
Communities, merupakan bidang tugas yang seringkali menuntut peran Provinsi
yang optimal –terutama dalam hal koordinasi
dan penjaluran program dari Pusat. Hal ini disebabkan lingkup masalahnya
yang terjadi, dapat merupakan kejadian lintas Kabupaten/Kota dan lintas sektor.
Adapun peran Kabupaten/Kota sangat menentukan ketepatan sasaran dan
keberhasilan pencapaian target sasaran fisik maupun fungsional.
Adanya kebijakan otonomi daerah, dapat
merupakan tantangan sekaligus peluang untuk menata kembali sistem pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil. Kebijakan ini, di samping sebagai respons terhadap
aspirasi yang berkembang, juga sesuai dengan trend pembangunan yang
lebih bernuansa pemberdayaan regional atau lokal. Implikasinya adalah bahwa
kebijakan-kebijakan cetakbiru –blueprint policies yang lebih bersifat top-down
akan berkurang dan partisipasi daerah menjadi mainstream perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil pada
masa yang akan datang. Dalam era otonomi daerah, pelaksanaan program pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil lebih bernuansa pada pendekatan partisipatif yang melibatkan
masyarakat, dunia usaha dan pemerintah daerah. Implikasinya adalah bahwa
kebijakan, strategi dan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil –yang bertumpu pada pendayagunaan potensi dan
sumber daya daerah, akan menjadi fokus program pada masa yang akan datang
di daerah –dengan tetap berada dalam
kerangka kesatuan pembangunan nasional.
Program Kesejahteraan Sosial Anak bagi Komunitas Adat Terpencil Suku Baduy |
Program
Kesejahteraan Sosial Anak
Sebutan orang Baduy pada awalnya
bukanlah berasal dari warga Baduy sendiri. Penduduk wilayah Banten Selatan yang
sudah beragama Islam, biasa menyebut ’Baduy’ kepada orang-orang Kanekes
yang: tidak beralas kaki; pantang naik kendaraan; pantang sekolah formal; dan
suka berpindah-pindah –seperti halnya
orang Badawi di Arab Saudi. Keyakinan masyarakat Baduy bersumber dari ajaran Sunda Wiwitan.
Ajaran ini melahirkan ‘pikukuh’ sebagaimana titipan karuhun –leluhur. Pikukuh berdasarkan sistem budaya dan sistem religi Sunda Wiwitan
inilah yang menyebabkan masyarakat Baduy ‘memproteksi diri’ dari pengaruh
modernisasi sekaligus menjadi pedoman perilaku orang-orang Baduy.
Prinsip yang dimiliki dan dijalani oleh
masyarakat Baduy, antara lain: tidak membangun permukiman dari bebatuan, semen,
genting, paku atau produk industri modern lainnya. Berkali-kali tawaran pembangunan
dari Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten, berupa: pembangunan jalan; listrik
masuk desa; balai pengobatan; sekolah; hingga pengadaan alat tenun,
ditolak masyarakat Baduy karena dianggap bertentangan dengan ketentuan karuhun dan
adat. Apabila ‘puun’ sudah menimbang dan memutuskan sesuatu, maka keputusan
itu pula yang akan dilaksanakan segenap warga Baduy. Akibat penolakan-penolakan
terhadap modernisasi di atas, program pemerintah hanya bisa dilakukan sampai
perbatasan wilayah Baduy Luar, yaitu: sampai Desa Ciboleger. Puun adalah
orang suci keturunan karuhun yang berkewajiban menjaga kelestarian ‘pancer bumi’
dan sanggup menuntun warganya berpedoman pada pikukuh atau ketentuan adat, mutlak
sebagai panduan perilaku. Dalam masyarakat Baduy, lembaga adat Baduy dipimpin
oleh tiga orang puun.
Ketiga pimpinan tertinggi ini berasal dari tiga 'kampung keramat' di Baduy Dalam (kawasan Urang Tangtu), yaitu: Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana.
Penyerahan Buku Tabungan, disaksikan Ayah Mursid (paling belakang). |
Program Kesejahteraan Sosial Anak yang
Membutuhkan Perlindungan Khusus bagi Komunitas Adat Terpencil (PKS-AMPK
KAT) di Kampung Ciboleger; Desa Kanekes; Kecamatan Leuwidamar; Kabupaten Lebak –
Provinsi Banten ini, ditujukan kepada 200 anak. Program tersebut bertujuan untuk:
pemenuhan hak dasar anak, dan perlindungan terhadap anak dari: penelantaran;
eksploitasi; dan diskriminasi, sehingga tumbuhkembang, kelangsungan hidup dan partisipasi
anak dapat terwujud –khususnya anak-anak
masyarakat Baduy yang termasuk dalam Komunitas Adat Terpencil. Pendataan
awal yang dilakukan oleh: Satuan Bhakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos); Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK); dan pihak Lembaga Perlindungan Anak (LPA)
Banten, cukup menemui beberapa kendala. Tapi setelah diadakan sosialisasi dan
pendekatan secara terus menerus –bahwa
program ini sangat bermanfaat bagi anak-anak mereka, maka masyarakat Baduy
mulai bisa menerimanya, dan pendampingan oleh Sakti Peksos; LPA Banten; maupun
TKSK pun dapat dilaksanakan dengan baik.
Masyarakat Baduy di Bank BRI Rangkasbitung Banten |
Sebagaimana perlu diketahui, untuk tahun
2011, Kementerian Sosial RI melalui Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Subdit
Anak Memerlukan Perlindungan Khusus untuk Komunitas Adat Terpencil (PKS-AMPK
KAT), memperluas jangkauan pelayanannya. Bekerja sama dengan LPA Provinsi
Banten, memberikan tabungan Program Kesejahteraan Sosial Anak kepada 200 anak
Baduy, Provinsi Banten. Proses pengisian formulir di Bank BRI Rangkasbitung –Jalan Haji Mohammad Iko Jatmiko
Rangkasbitung Lebak, dimulai tanggal 12 hingga 21 Desember 2011.
Masing-masing anak mendapatkan uang tabungan sebesar Rp 1.500.000,00 untuk satu
tahun dengan total keseluruhan sebesar 300 juta rupiah. Dengan tertib para
orangtua beserta anak-anaknya mengikuti proses administratif di bank, meliputi:
pemeriksaan kelengkapan administrasi; tanda tangan; dan tatacara pengambilan
tabungan, sesuai dengan petunjuk dari Kemensos RI.
Sehubungan dengan pelaksanaan PKS-AMPK
KAT di Baduy tersebut, maka pada tanggal 14 Januari 2012 Dirjen Rehabilitasi
Sosial - Makmur Sunusi Ph.D, didampingi oleh Direktur KSA - DR. Ir. Harry Hikmat,
M.Si dan Staf beserta rombongan dari Dinas Sosial Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebak yang mewakili Gubernur Banten, LPA Banten, Ketua Wambi (Wadah
Masyarakat Badui), KODIM Lebak, para Peneliti Baduy dan Media Massa, melakukan
supervisi terhadap pelaksanaan PKS-AMPK KAT, di Kampung Ciboleger; Desa Kanekes;
Kecamatan Leuwidamar; Kabupaten Lebak Banten. Rombongan disambut secara adat
oleh perwakilan masyarakat Baduy, yaitu: Jaro Dainah –Jaro Pamarentah/Kepala Desa Kanekes; dan Ayah Mursid alias Alim –wakil Jaro Tangtu Cibeo/juru bicara warga
Baduy Dalam.
Ayah Mursid alias Alim (kanan), merupakan Wakil Jaro Tangtu Cibeo-Juru Bicara Warga Baduy Dalam. |
Jaro Dainah (tengah), sebagai Jaro Pamarentah-Kepala Desa Kanekes |
Dalam sambutannya di hadapan 200 anak
dan orangtuanya, Makmur Sunusi mengatakan bahwa program ini merupakan bentuk
perhatian dari Pusat terhadap masyarakatnya yang mempunyai keunikan dan
kekhasan dalam menjaga adat istiadat dan kepercayaan para leluhurnya. Anak-anak
masyarakat Baduy pun berhak mendapatkan bantuan untuk pemenuhan hak dasarnya
tanpa mengurangi penghormatan terhadap adat istiadat dan kepercayaan yang
dianut masyarakatnya dan diharapkan mereka dapat memanfaatkan tabungan sesuai
dengan kebutuhan dan kepentingan si anak. Ditambahkanya pula, bahwa
program ini juga akan menjawab pertanyaan dari pihak luar negeri tentang perlakuan
Pemerintah RI terhadap Komunitas Adat Terpencil. Meskipun baru sebagian kecil
saja anak-anak yang mendapatkan bantuan dan pendampingan melalui program ini,
tapi hal tersebut sudah merupakan salah satu contoh bentuk perhatian dari pemerintah
terhadap masyarakat minoritas (khususnya: komunitas adat suku Baduy).
Rekreasi ke TMII Jakarta, bersama 100 warga Baduy. |
Dalam bidang pendidikan, walaupun belum
bisa mengakses pendidikan formal, tapi kini anak-anak di Komunitas Adat
Terpencil Baduy tersebut dapat mengakses pendidikan melalui pendidikan
non-formal dengan media alam –disesuaikan
dengan peraturan adat untuk menjaga kearifan lokal yang ada, berkat bantuan
para Pekerja Sosial yang bekerja sama dengan LPA Banten. Selain memberikan
pendidikan non-formal di lapangan, Pekerja Sosial pun mampu meyakinkan lembaga
adat –dalam acara rekreasi untuk mengajak anak-anak
Baduy ke Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Pada hari Minggu 6 Januari 2013,
para Pekerja Sosial pendamping anak KAT Baduy; bersama Lembaga Adat Baduy; LPA
Banten; dan Dinas Sosial Kabupaten Lebak, membawa 100 anak-anak dampingannya. Tidak
hanya sebagai salah satu bentuk reward
bagi anak, rekreasi juga merupakan kebutuhan mutlak manusia. Dengan rekreasi,
berarti melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang menyenangkan hati yang
dapat membangun minat serta dapat menciptakan kembali kesegaran pikiran dan
perasaan. Khususnya dalam acara ini, rekreasi merupakan bagian tak terpisahkan
dari pendidikan non-formal bagi anak-anak. Rekreasi dalam pendidikan, merupakan
penunjang proses pendidikan dan salah satu media untuk mencapai tujuan
pendidikan dalam menambah atau memperkaya pengetahuan dan wawasan bagi
anak-anak Baduy. Dengan mengikuti kegiatan rekreasi, maka anak-anak akan
memperoleh tambahan pengetahuan dan wawasan yang tidak diperoleh dari kegiatan
mereka sehari-hari di daerahnya. Dengan demikian, anak akan memperoleh
pengetahuan dan pengalaman baru yang beraneka ragam yang di dapat dari kegiatan
tersebut.
Gadis Baduy |
Di tengah-tengah warga Baduy |
Program Kemensos RI
Ada tiga tahapan yang dilakukan Kemensos
dalam penanggulangan Komunitas Adat Terpencil dari kemiskinan yang merupakan
rangkaian proses pemberdayaan secara berkesinambungan, yaitu: PERTAMA, penyediaan
rumah dan pemberian jaminan hidup; KEDUA, penyediaan sarana sosial dan lanjutan
jaminan hidup yaitu penguatan hasil-hasil yang telah dicapai pada tahun
sebelumnya dengan asumsi perlu dimantapkan eksistensinya untuk tetap tinggal
menetap di lokasi pemukiman; dan KETIGA, kelanjutan upaya-upaya penguatan
hasil-hasil yang telah dicapai pada tahun-tahun sebelumnya pada aspek
lingkungan dan manusianya dari pola pemberdayaan tersebut.
Kementerian Sosial sendiri, memiliki 10 program
unggulan dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat pada tahun 2013. Program-program
tersebut, antara lain: (1) Program Keluarga Harapan (PKH); (2) Bedah Kampung;
(3) Kelompok Usaha Bersama (KUBE); (4) Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak; (5)
Rehabilitasi Sosial dengan Kecatatan; (6) Pelayanan Sosial Lanjut Usia; (7)
pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil; (8) Taruna Siaga Bencana (Tagana); (9)
Kampung Siaga Bencana (KSB); serta (10) Perlindungan Pekerja Migran Bermasalah.
Berkaitan dengan hal tersebut, salah
satu Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial (PMKS) yang memerlukan perhatian
khusus oleh negara, yakni: Komunitas Adat Terpencil. Ada beberapa
alasan mendasar mengapa pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil menjadi
penting yang dapat mempengaruhi proses pembangunan, yaitu: secara kuantitas, populasi
Komunitas Adat Terpencil yang belum tersentuh pembangunan cukup tinggi; keberadaan
Komunitas Adat Terpencil akan berkaitan dengan masalah harkat dan martabat
sebagai suatu bangsa dan isu Hak Asasi Manusia (HAM); Komunitas Adat Terpencil,
belum menggambarkan pencapaian tujuan pembangunan nasional bagi bangsa; dan
Komunitas Adat Terpencil akan berkaitan dengan masalah ketahanan nasional –terutama KAT yang mendiami wilayah
perbatasan antarnegara.
Sebagai warga negara, Komunitas Adat Terpencil
memiliki: hak untuk hidup sejahtera; hak memperoleh pelayanan sosial dasar; hak
partisipasi dalam pembangunan; dan hak perlindungan dari berbagai kondisi yang
mengganggu, baik secara sosial, budaya, ekonomi, hukum maupun politik. Berbagai
hak yang dimiliki Komunitas Adat Terpencil tersebut, perlu mendapatkan
perhatian dan perlakukan dari pemerintah secara wajar –sebagaimana perilaku negara dalam memenuhi
hak-hak warga negara pada umumnya. Perhatian negara terhadap Komunitas Adat
Terpencil ini, merupakan implementasi dari kewajiban negara dalam
memenuhi kesejahteraan seluruh warga negaranya.
Berbagai kerajinan masyarakat Baduy |
Gambaran
sekilas masyarakat Baduy
Komunitas orang Baduy yang mendiami
lereng pegunungan Kendeng –Banten Selatan,
dengan luas wilayah sekitar 5.101,85 hektare. Secara administratif terletak di
Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Berkisar
160 km sebelah Barat Kota Metropolitan Jakarta. Masyarakat Baduy terbagi atas
tiga kelompok, yakni: tangtu, panamping dan dangka.
Meski demikian, pengelompokkan yang sering digunakan oleh masyarakat umum hanya
dua, yaitu: Baduy Dalam (padanan untuk tangtu) dan Baduy Luar (padanan
untuk panamping dan dangka).
Tahun 2006, populasi penduduk umumnya di
dominasi oleh penduduk Baduy Luar yang mencapai 8.688 jiwa. Penduduk Baduy
Dalam yang berdiam di tiga kampung keramat berjumlah 1.053 jiwa, terdiri atas:
388 jiwa warga Cikeusik; 507 jiwa warga Cibeo; dan 158 jiwa warga Cikartawana.
Populasi penduduk Baduy Dalam, hanya 10,8 % dari keseluruhan penduduk Baduy
yang mendiami 56 kampung di Desa Kanekes.
Penghuni
tiga ‘tangtu’ di kawasan inti,
adalah Urang Kanekes Dalam. Letak kawasan inti tersebut, lebih tinggi secara
topograpis dan lebih sakral secara sosial-kultural dibanding kampung-kampung
Urang Kanekes Luar. Kelompok Dalam, menaati ‘pikukuh karuhun’ dengan sangat patuh, sedangkan untuk Kelompok Luar boleh dikatakan mengikuti pikukuh
karuhun lebih longgar. Oleh karena itu, kampung-kampung luar dapat
diibaratkan sebagai ‘sabuk pengaman’ dari tiga tangtu di kawasan inti –zona perlindungan kawasan inti; dan kelompok
dalam; serta zona penyaringan pengaruh luar. Kedua jenis pemukiman di Desa
Kanekes terikat oleh sistem kekerabatan dan sistem pemerintahan tradisional: ‘tangtu telu, jaro tujuh’.
Disini,
kewajiban memenuhi perjanjian yang telah dibuat –antara Kesultanan Banten dan komunitas Kanekes, dulu mengenai hak
Kanekes bahwa: tidak ada sawah; sekolah formal; dan masjid di tanah hak
ulayatnya, nampak sangat jelas dengan mengingatkan peran sentral komunitas
Kanekes dalam perlindungan hutan, penyimpanan air, produksi pangan dan
pencegahan potensi konflik politik maupun sosial.
Salah
satu tujuan UNESCO yang terlontar dalam Millenium Development Goals dan
mempunyai pengaruh besar terhadap penyusunan kebijaksanaan pendidikan Indonesia,
adalah gagasan Pendidikan Berkualitas dan Pendidikan Untuk Semua. Dalam konteks
Pendidikan Untuk Semua dan komunitas Kanekes, kita wajib mengingat dua hal,
yakni: 1) Sistem pendidikan nasional menawarkan tiga jalur pendidikan: formal,
non-formal dan informal. Dengan demikian, peserta pendidikan –khususnya masyarakat tradisional-lokal, berhak memilih jalur
pendidikannya sesuai kebutuhan dan budaya komunitas tersebut –secara implisit, berhak menolak jalur
pendidikan formal. 2) Pada tahun 2005, tercatat satu-satunya peristiwa
kriminal yang melibatkan orang Kanekes sebagai pelaku kekerasan dalam sejarah.
Selain itu tidak tercatat peristiwa kekerasan, penganiayaan atau tawuran antara
individu atau kolektif komunitas Kanekes dengan individu atau kolektif
masyarakat non-Kanekes. Menyadari bahwa sanksi hukum Kanekes adalah 'sanksi
sosial' bukan 'sanksi penalti', dapat diasumsikan bahwa telah tercipta suasana
kondusif dalam kesadaran kolektif maupun individual komunitas Kanekes berdasar
solidaritas, perdamaian dan pengendalian yang mencegah terulang perang,
sehingga tujuan pokok pendidikan harus mempunyai fungsi untuk memberikan
komunitas Kanekes sebuah ‘kompas’ dalam mengorientasikan diri dalam arus deras
modernisasi dan globalisasi sesuai tuntutan pikukuh karuhun dengan mempunyai akses ke informasi dan media
cetak, penyiaran dan online untuk mencari solusi atas tantangan dari perubahan
zaman.
Bertentangan
dengan fakta bahwa komunitas Kanekes menolak pendidikan dan kebanyakan individu
Kanekes buta huruf, fakta di lapangan menunjuk bahwa banyak individu Kankes
bisa membaca, menulis dan menghitung. Ada yang memiliki handphone dan akun facebook,
ada yang mengoleksi kartu nama untuk menelpon dan ada yang mempunyai koleksi
buku. Hanya, pengetahuan tentang aturan pikukuh karuhun, pemerintahan
tradisional, dan pengetahuan yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan eksistensi
komunitas Kanekes diutamakan dalam sistem pendidikan informal Kanekes agar mampu
menyeimbangkan antara kebutuhan zaman dengan aturan pikukuh karuhun
pokok.
Urang
Kanekes, mengetahui suatu sistem pendidikan informal yang meneruskan pengetahuan
relevan dalam konteks kehidupannya secara turun-temurun dari generasi ke
generasi. Pola pendekatannya adalah: imitasi, saling mengajari sesama warga –papagahan,
musyawarah, cerita lisan, dan pelajaran dalam kelompok kecil. Hanya, Urang Kanekes
menolak menyelenggarakan pendidikan formal bagi anak-anaknya dengan tidak
mengizinkan berdirinya 'bangunan modern' sekolah formal di dalam wilayah tanah
hak ulayatnya. Alasan penolakan adalah:
Guru;
bangunan; dan jadwal pembelajaran tetap, berbenturan dengan kekerapan kegiatan
rutin adat dan memerlukan biaya tetap. Gaya bangunan melanggar pikukuh
karuhun, dan tanah akan
diubah. Ajaran sekolah berpotensi memicu godaan, dan penyimpangan dari pikukuh
karuhun dan hukum wiwitan. Pola kehidupan sederhana diamanatkan,
sedangkan pendidikan, mengubah pola kehidupan sederhana mengarah ke persaingan
dan kemajuan, sehingga pertahanan wiwitan akan terganggu dan tujuan
hidup yang sebenarnya akan terlupakan.
Fakta
di lapangan menunjukkan, bahwa mereka terbuka kepada sistem pendidikan informal
dan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan tidak bertentangan
dengan pikukuh karuhun. Perangkat kepemimpinan adat, membebaskan warganya
secara individu untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan untuk keperluan
pribadinya sesuai tuntutan zaman ataupun bersekolah formal di luar Kanekes.
Bila warga individu menganggap perlu mempelajari menulis atau menghitung, warga
bersangkutan pasti akan mempelajarinya. Tanpa proses itu, merupakan pelanggaran
aturan pikukuh karuhun.
Deklarasi
tentang Hak-Hak Masyarakat Tradisional-Lokal, Pasal 14 (1-3), mendukung pilihan
Urang Kanekes dalam menolak pendirian sekolah dan sistem pendidikan formal di
wilayah tanah hak ulayatnya. Dalam pemaknaan luas, pendidikan merujuk kepada
penerusan pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan
tugas-tugas spesifik kehidupan sehari-hari kepada generasi berikutnya, dan
penerusan nilai-nilai sosial, kultural, spiritual dan falsafah secara
terus-menerus atau turun-temurun. Peng-arti-an luas ini, telah disetujui oleh
UNESCO tahun 1974 dan dirumuskan dalam Pasal 1 (a) pada Rekomendasi Tentang
Pendidikan Untuk Pengertian Internasional, Kooperasi dan Perdamaian dan
Pendidikan terkait Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar.
Setiap
komunitas tradisional-lokal, berhak menentukan tanggungjawab tiap-tiap warganya
terhadap komunitas tradisional-lokal (United
Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP, Pasal 35).
Setiap komunitas tradisional-lokal beserta setiap warganya, mempunyai hak “untuk
menciptakan dan mengendalikan sistem pendidikan dan lembaga penyelenggara
pendidikan dalam bahasa mereka, dengan cara yang sesuai dengan kebudayaan
belajar-mengajar mereka” dan “semua anak berhak atas pendidikan dalam sistem
pendidikan negara tanpa diskriminasi“. Komunitas Kanekes secara keseluruhan dan
sesuai pendidikan seumur hidup, berhak “mendapatkan pendidikan sesuai budaya
mereka dan disampaikan dalam bahasa mereka sendiri“ –dan diselenggarakan oleh negara.
Dengan
kata lain, semestinya negara merancang dan menyelenggarakan sebuah model
pendidikan bersama dan untuk komunitas Kanekes yang berparadigma pendidikan
dalam arti luas sebagai penerusan keterampilan yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas-tugas spesifik kehidupan sehari-hari kepada generasi berikutnya,
dan penerusan nilai-nilai sosial, kultural, spiritual dan falsafah dari
komunitas Kanekes.
Penutup
Pendekatan
yang dikembangkan dalam pemberdayan Komunitas Adat Terpencil sebaiknya lebih
bertumpu pada Pendekatan Harmoni daripada Pendekatan Resolusi Konflik.
Upaya yang telah dilakukan melalui ‘enclave’ terhadap kehidupan Komunitas Adat Terpencil
telah menjadi polemik, merupakan bukti kegagalan sasaran perubahan struktural
dan cenderung konfliktual. Maksud dari pendekatan harmoni, yaitu melakukan
kajian secara proporsional antara aspek positif (benefit) dan aspek negatif (resiko), sehingga fokus tim kerja akan
mengkaji tantangan ke depan, peluang yang ada, kekuatan/potensi yang ada dan
kelemahan yang terjadi. Pemetaan interaksi antara unsur-unsur tersebut akan
menghasilkan alternatif strategi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.
Masing-masing strategi, akan dijabarkan dengan langkah-langkah kongkrit
berdasarkan urutan prioritas.
Dalam menghadapi perubahan tata ruang
yang semakin pesat di sekitar lingkungan Komunitas Adat Terpencil berada, maka
pengelolaan kawasan yang didiami oleh mereka sebaiknya dilakukan dengan sistem zonasi. Keterkaitan kehidupan Komunitas
Adat Terpencil dengan lingkungan alam sebagai mata uang dengan dua sisi berbeda,
artinya kondisi yang paling diharapkan adalah: satu sisi, statusnya
dipertahankan tetap sebagai kawasan yang tidak akan memberikan perubahan
berarti dalam kehidupan dan tetap memberikan penghidupan bagi mereka. Dari sisi
lain, Komunitas Adat Terpencil tetap mempunyai hak yang sama untuk semakin
meningkat kualitas hidup dan kesejahteraannya. Penataan ruang sesuai dengan
fungsi zonasi ini, dilakukan dengan melibatkan semua pihak pemangku kepentingan
secara kolaboratif dan partisipatif. Opsi pembagian zonasi ini, dengan mempertimbangkan
existing condition dan faktor-faktor penyebab kerusakan yang terjadi di
berbagai zonasi yang ada di wilayah kawasan dan sekitarnya. Sistem zonasi, diprediksi memberi
manfaat yang sangat besar bagi kehidupan Komunitas Adat Terpencil. Sebaliknya,
resikonya diprediksi sangat kecil –karena
dengan manajemen kolaboratif, konflik-konflik dapat dikurangi bahkan
dihilangkan, dan semua pihak dapat keuntungan.
Intensifitas dialog dengan para tokoh di
lembaga adat, harus lebih ditingkatkan, dengan terlebih dahulu melepas atribut
penilaian stereotip bahwa masyarakat Baduy itu: inferior; terbelakang; atau ‘harus di modernisasi’ –karena tidak sama istilah pembangunan dengan
modernisasi.
***
inspiratif
BalasHapus