Dimasa
silam (abad ke-8), Yogyakarta merupakan pusat kerajaan Mataram Kuno yang makmur
dan memiliki peradaban tinggi. Namun oleh suatu sebab yang misterius, Kerajaan
Mataram Kuno memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur pada abad ke-10. Kemudian,
Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram Islam di wilayah ini. Sekali
lagi Yogyakarta menjadi saksi sejarah kerajaan besar yang menguasai Pulau Jawa
dan sekitarnya. Kerajaan Mataram Islam ini meninggalkan jejak berupa reruntuhan
benteng dan makam kerajaan di Kotagede yang kini dikenal sebagai pusat
kerajinan perak di Yogyakarta. Mataram mencapai puncak kejayaannya di bawah
pimpinan raja ke-3, yaitu: Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati).
Keraton
Yogyakarta
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat –sekarang lebih dikenal
dengan nama Keraton Yogyakarta, merupakan pusat dari museum hidup
kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi
tempat tinggal raja dan keluarganya semata, keraton juga menjadi kiblat
perkembangan budaya Jawa –sekaligus
penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di tempat ini, wisatawan dapat belajar
dan melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta
dilestarikan. Keraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun
1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya
Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya keraton, dikarenakan tanah tersebut
diapit oleh dua sungai –sehingga dianggap
baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan
tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867, bangunan Keraton
Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik. Keraton yang
menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakan Pantai Parangtritis dan
Gunung Merapi ini, memiliki dua loket masuk, yang pertama di Tepas Keprajuritan
–depan Alun-alun Utara; dan kedua di
Tepas Pariwisata –Regol Keben. Jika
masuk dari Tepas Keprajuritan, maka wisatawan hanya bisa memasuki Bangsal
Pagelaran dan Siti Hinggil serta melihat koleksi beberapa kereta keraton. Sedangkan
jika masuk dari Tepas Pariwisata, maka wisatawan bisa memasuki Kompleks Sri
Manganti dan Kedhaton –dimana terdapat
Bangsal Kencono yang menjadi balairung utama kerajaan. Jarak antara pintu
loket pertama dan kedua tidaklah jauh, wisatawan cukup menyusuri Jalan
Rotowijayan dengan jalan kaki atau naik becak.
Keraton Yogyakarta |
Lonceng Kyai Brajanala yang berdentang, suaranya
tidak hanya memenuhi Regol Keben namun terdengar hingga Siti Hinggil dan
Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. Di Sri Manganti, terdengar lantunan
tembang dalam bahasa Jawa Kuno yang didendangkan oleh seorang abdi dalem. Suara
tembang Jawa yang mengalun pelan, bercampur dengan wangi bunga dan asap dupa, akan
menciptakan suasana magis yang melenakan. Di sisi kanan nampak empat orang abdi
dalem lain, yang bersiap untuk bergantian nembang. Ada banyak hal yang bisa
disaksikan di Keraton Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang
melakukan tugasnya atau melihat koleksi barang-barang keraton. Koleksi yang
disimpan dalam kotak kaca –yang tersebar
di berbagai ruangan tersebut, mulai dari: keramik dan barang pecah belah;
senjata; foto; miniatur dan replica; hingga aneka jenis batik, beserta diorama
proses pembuatannya.
Ndalem Pujokusuman, Yogyakarta. |
Ndalem
Pujokusuman
Pendopo ndalem Pujokusuman –yang sekarang menjadi pusat tari tradisional
Jogjakarta, dahulu bernama Ndalem Danudiningratan –merupakan tempat tinggal dari GBPH Pujokusumo putra dari Sri Sultan
ke-8. Setelah GBPH Pujokusumo menikah, maka oleh ayahnya diberikan ndalem
tersebut. GBPH Pujokusumo sendiri sangat menyukai kesenian, terutama
tari-tarian. Beliau merupakan pimpinan dari Kridomardawa
–departemen tari di keraton Jogjakarta.
Di ndalem Pujokusuman, sering diadakan kegiatan tari dan banyak sekali yang
mengikuti kegiatan tersebut. Pada tahun 1961 GBPH Pujokusumo wafat, beliau
meninggalkan pesan kepada puteranya yaitu KRT.Sasminto Dipura, agar dibuatkan
sebuah yayasan atau grup. Sekitar tahun 1962, dibentuklah grup yang dipimpin
oleh Romo Sas. Karena begitu banyak peserta dan peminat, maka di bentuklah satu
wadah lagi yaitu bernama Panguyuban Kesenian Mardawa Budaya Yogyakarta
Pamulangan Beksa Ngayogyakarta –dipimpin
oleh beliau juga. Akhirnya pada tahun 1992 dibentuklah yayasan yang
merupakan gabungan dari kedua grup tersebut dan diberi nama oleh Romo Sas sebagai:
Yayasan Pamulangan Sasminta Beksa Mardawa. Sekitar tahun 1998, Romo Sas wafat
dan mempercayakan yayasan tersebut kepada murid-muridnya. Kini ndalem
Pujokusuman sendiri menjadi pusat tari klasik Yogyakarta dan tempat untuk
belajar tari-tarian klasik seperti: Bedoyo, Srimpi dan lain-lain. Belajar tari di sanggar tersebut,
tidak terbatas untuk orang dewasa saja tapi anak-anak sekolah dasar dan taman
kanak-kanak juga bisa belajar tari di sini. Jumlah muridnya sendiri lebih dari
150 orang, dan di ajarkan oleh kurang lebih 14 guru. Banyak juga orang-orang
asing yang belajar tari-tari tradisional di ndalem Pujokusuman ini, sehingga ndalem
Pujokusuman adalah pusat budaya yang harus tetap dijaga dan dilestarikan.
Perburuan di Malioboro, Yogyakarta. |
Malioboro
Malioboro berasal dari bahasa Sansekerta,
yang berarti: ‘karangan bunga’ –karena
pada jaman dulu ketika keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan
dipenuhi karangan bunga. Tak hanya sarat kisah dan kenangan, Malioboro juga
menjadi surga perburuan cinderamata yang asyik di jantung Kota Jogja. Berjalan
kaki di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki
lima, akan menjadi pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan lokal,
seperti: blangkon; batik; asesoris; hiasan rotan; perak; kerajinan bamboo;
wayang kulit; miniatur kendaraan tradisional; hingga gantungan kunci, semua
bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut bisa
dibawa pulang dengan harga yang terbilang murah. Selain menjadi pusat
perdagangan, jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan
Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung
Merapi ini pernah menjadi sarang serta panggung pertunjukan para seniman
Malioboro pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka pulalah budaya duduk
lesehan di trotoar dipopulerkan, yang akhirnya mengakar dan sangat identik
dengan Malioboro.
Patung Kaki di Nol Kilometer, Malioboro - Yogyakarta. |
Patung
Kaki
Sejumlah wisatawan dapat berfoto ria,
pada patung unik di sudut jalan Malioboro –dekat
benteng Vredeburg. Patung berwarna kemerah-merahan (oranye), berbentuk kaki
manusia yang dibalut akar –namun tanpa
badan; tangan; dan kepala, tingginya kurang lebih 6 meter. Kabarnya, patung
nyentrik ini dibuat saat digelarnya even Biennale Jogja –tahun 2011 silam. Patung ini memiliki tema: Tropic Effect –simbol cinta lingkungan. Meski matahari
bersinar terik, tak menyurutkan semangat para wisatawan untuk mengabadikan
momen kenang-kenangan di Patung Kaki ini. Tapi kini, patung tersebut telah
dipindahkan. Pemindahan Patung Kaki ‘unik’ di kawasan Nol Kilometer di Daerah
Istimewa Yogyakarta oleh pihak UPT Malioboro, menuai gelombang protes. Pemindahan
tersebut seiring dengan munculnya isu pornografi dari patung tersebut. Patung unik
berbentuk kaki manusia raksasa berwarna kemerah-merahan di kawasan Titik Nol
Kilometer Yogyakarta, lenyap dari pemandangan sejak Selasa 21 Januari 2014 dinihari.
Kuliner
Sejak puluhan tahun lalu, gudeg telah
menjadi kuliner Jogja paling populer. Tak hanya sentra gudeg, hampir setiap
sudut kota menyajikan masakan berbahan baku nangka muda ini. Masakan lezat
berbahan baku nangka muda ini, seolah menjadi ‘makanan wajib’ bagi siapa saja
yang sedang berkunjung ke surga wisata di Pulau Jawa ini. Gori –nangka muda yang bergetah dibersihkan sedemikian rupa, kemudian
dimasak dalam kuah santan bersama bumbu dan rempah-rempah selama berjam-jam.
Setelah matang, gori menjadi
empuk dan agak manis. Gudeg biasanya disajikan bersama sambal goreng krecek –kulit sapi pedas, telur pindang, tahu dan tempe bacem, serta ayam
opor atau ayam bacem. Sebagai sentuhan akhir, gudeg disiram areh gurih yang memberikan cita rasa
khas yang tidak ada duanya. Sebenarnya ada tiga jenis gudeg yang berbeda: gudeg
basah; gudeg kering; dan gudeg manggar. Gudeg basah, disajikan dengan kuah
santan nyemek yang gurih dan banyak diburu untuk menu sarapan pagi.
Gudeg jenis ini, dapat ditemukan di sepanjang Jalan Kaliurang kawasan Barek;
Gudeg Batas Kota (Jl. Adisucipto depan Saphir Square); atau mbok-mbok penjual gudeg di
pasar-pasar tradisional. Gudeg kering dimasak dalam waktu yang lebih lama
hingga kuahnya mengering dan warnanya lebih kecoklatan, rasanya juga lebih
manis. Gudeg jenis ini, bisa tahan hingga 24 jam atau bahkan lebih –jika dimasukkan ke dalam lemari es,
sehingga banyak diburu orang sebagai oleh-oleh. Biasanya, penjual mengemasnya
dalam: kardus; besek –kardus dari anyaman bambu; atau kendil
tanah liat. Gudeg manggar –manggar alias
bunga kelapa, menghasilkan sensasi kelezatan tersendiri pada sajian kuliner
ini. Bunganya terasa crunchy,
sementara tangkainya sekilas memiliki rasa mirip jamur tiram. Semakin
terbatasnya persediaan manggar, menyebabkan kuliner ini semakin susah ditemukan.
Bakpia Pathok 25, Yogyakarta. |
Bakpia dikenal sebagai salah satu
kuliner khas kota Jogja –selain gudeg.
Setiap musim libur tiba, makanan khas ini menjadi salah satu oleh-oleh
wisatawan untuk teman dan sanak saudara di rumah. Bakpia Pathok 25 dikenal luas
sebagai salah satu produk kuliner bercitra rasa istimewa dan menjadi legenda
kuliner di kota Jogja. Dipandu oleh mbak Tira –salah satu staf Bakpia Pathok 25, wisatawan didampingi untuk
melihat proses pembuatan bakpia. Setiap divisi yang menangani proses pembuatan
bakpia ini, memiliki tanggunjawab besar dalam menjaga kualitas mutu dan citra
rasa istimewa Bakpia Pathok 25. Pada bagian dalam rumah, terdapat sebuah
ruangan terbuka –difungsikan sebagai
tempat mencampur adonan bakpia. Masih di tempat yang sama, terdapat
beberapa meja panjang –difungsikan
sebagai landasan pembentukan pola adonan. Selesai pada proses ini, adonan
dimasukkan ke dalam oven besar yang
menggunakan arang sebagai bara api –untuk
menjaga kualitas rasa alami dari bakpia tersebut. Bakpia Pathok 25,
dirintis oleh Ibu Tan Aris Nio. Beliau memulai usaha ini dari proses coba-coba,
dengan hanya satu orang pegawai saja serta dibantu oleh lima putra-putri beliau,
termasuk: Bapak Arlen Sanjaya –kini, pimpinan
Bakpia Pathok 25.
Proses Pembuatan bakpia di Bakpia Pathok 25, Yogyakarta. |
Bakpia sebenarnya berasal dari negeri
Cina dengan nama: Tau Luk Pia –yang
memiliki arti ‘kue kacang hijau’. Kue ini mulai diproduksi di kampung
Pathuk Yogyakarta, sejak tahun 1948. Pada waktu itu, bakpia masih
diperdagangkan secara eceran dan pengemasannya pun masih menggunakan besek –tempat dari anyaman bambu tanpa merk. Peminatnya
pun, masih terbatas. Di tahun 1980-an, nama Bakpia Pathok 25 sudah dipatenkan
menjadi merk dagang dengan diiringi perubahan kemasan dari besek ke kardus. Di
saat yang sama, ide tersebut diikuti dengan munculnya bakpia-bakpia lain dengan
merk dagang yang sama dengan ‘nomor berbeda’. Demikian pesatnya perkembangan
industri bakpia, hingga menjadi salah satu ciri khas kuliner di kota Jogja
hingga sekarang ini. Dengan perjuangan yang gigih pantang menyerah, Ibu Tan
Aris Nio mampu menjadikan Bakpia Pathok 25 menjadi makanan khas kota
Jogja bercitra rasa istimewa. Keberhasilan beliau, tidak terlepas dari proses
regenerasi beliau dalam menjalankan usaha bisnisnya kepada putranya –Bapak Arlen Sanjaya sehingga Bakpia
Pathok 25 menjadi besar. Sampai sekarang ini, Bakpia Pathuk 25 memiliki
beberapa cabang penjualan resmi.
***