Palembang
BARI
(Bersih, Aman, Rapi, dan Indah), di
dunia Barat lebih dikenal sebagai Venice of the East (Venesia dari Timur). Pada tanggal 27
September 2005, Kota Palembang telah dicanangkan oleh Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai "Kota Wisata Air" seperti Bangkok di
Thailand dan Phnom Penh di Kamboja. Tak berlebihan, Sungai Musi telah
memberikan warna lain di kota yang dijuluki Bhumi Sriwijaya ini.
|
Jembatan Ampera, Kota Palembang - Provinsi Sumatera Selatan |
Jembatan
Ampera
Sejak dahulu, Sungai Musi telah menjadi
urat nadi perekonomian di Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan. Sungai
sepanjang sekitar 750 km yang membelah Kota Palembang menjadi dua bagian yaitu
Seberang Ulu dan Seberang Ilir ini, merupakan sungai terpanjang di Pulau
Sumatera. Ada dua jenis angkutan di Sungai Musi
yang menghubungkan Seberang Ulu dan Seberang Ilir sebelum tahun 1963, yakni: kapal
Marrie (kapal roda lambung) dan perahu tambangan. Untuk perahu tambangan
sendiri, hanya bisa mengangkut perorangan dalam jumlah sedikit. Sedangkan kapal
Marrie bisa mengangkut banyak penumpang berikut kedaraan, baik roda dua maupun
roda empat –seperti kapal feri pada saat
sekarang. Boom atau dermaga untuk menaik-turunkan penumpang serta bongkar-muat
barang, terdapat: di kawasan 7 Ulu;
10 Ulu, 16 ulu, Pasar 16 Ilir, Kertapati, dan kawasan Tangga Buntung. Sementara
itu, jembatan yang di miliki, hanya Jembatan Ogan –Kertapati yang di bangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Ide untuk
menyatukan dua daratan di Kota Palembang dengan jembatan, sebenarnya sudah ada sejak
zaman Gemeente –Konggregasi Palembang
(konggregasi bisa diartikan sebagai kumpulan orang (bisa
awam atau pastor) yang bersatu dalam suatu tubuh atau wadah yang diakui dan menjadi
bagian dari Gereja Katolik yang memiliki dan mengikuti suatu peraturan yang
sama dalam menjalani hidup) pada tahun 1906. Ketika walikota Palembang
dijabat Le Cocq de Ville tahun 1924, ide ini kembali muncul, dan oleh karena
itulah dilakukan berbagai usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa
jabatan Le Cocq berakhir –bahkan hingga
Belanda angkat kaki dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terrealisasi.
|
Dermaga (Boom) 7 Ulu, Kapal Marrie tahun 1947. |
|
Kapal Marrie penghubung Seberang Ulu dan Seberang Ilir. |
|
Dermaga (Boom) Penyebrangan |
|
Bung Karno meresmikan pemancangan tiang pertama Jembatan Ampera, 10 April 1962. |
|
Tiang pertama Jembatan Ampera, 10 April 1962. |
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu mencuat
kembali. Pada sidang pleno yang berlangsung 29 Oktober 1956, DPRD Peralihan
Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan Jembatan Musi –merujuk nama
Sungai Musi yang dilintasinya. Usulan ini sebetulnya tergolong berani –bahkan nekat, sebab anggaran yang akan
dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00 (tigapuluh ribu Rupiah). Pada
tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan yang terdiri atas: Penguasa Perang
Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar; dan Gubernur Sumatera
Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, yakni: walikota Palembang, M. Ali Amin;
dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Presiden Soekarno, agar
mendukung rencana itu. Usaha ini kemudian membuahkan hasil, Bung Karno kemudian
menyetujui usulan pembangunan jembatan. Karena jembatan ini rencananya dibangun
dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir –yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian
mengajukan syarat yaitu: penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung
jembatan itu. Selanjutnya dilakukanlah penunjukkan perusahaan pelaksana
pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya
sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, 1 $ US = Rp 200,00) –diambil dari dana pampasan perang Jepang.
|
Pembangunan Jembatan Ampera, tahun 1962. |
Pembangunan jembatan dimulai pada bulan
April 1962 dan selesai tahun 1965. Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada
bulan Mei 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan
tersebut. Pemberian nama ‘Jembatan Bung
Karno’ tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama yang secara
sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah
jembatan di atas Sungai Musi. Pada saat itu, Jembatan Bung Karno adalah
jembatan terpanjang di Asia tenggara. Namun, setelah terjadi pergolakan politik
pada tahun 1966 –ketika gerakan
anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi: Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan
Rakyat). Bagaimanapun, warga Palembang lebih suka menyebutnya: "Proyek
Musi" atau “Jembatan Musi”.
|
Kapal besar melintasi Jembatan Ampera |
|
Bagian tengah Jembatan Ampera bisa diangkat ke atas |
|
Jembatan Bung Karno, Kota Palembang. |
|
Suasana di sekitar Jembatan Ampera, tahun 1970-an. |
Pada awalnya, bagian tengah badan
jembatan ini bisa diangkat ke atas –agar
tiang kapal yang lewat di bawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian
tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua pendulum (bandul
pemberat) masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan
pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan
untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit. Pada saat bagian tengah
jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi
maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah
jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah
Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai. Sejak tahun
1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan
lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap
mengganggu arus lalu lintas di atasnya. Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat
di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban
pemberat ini
Bersamaan dengan euforia reformasi tahun
1997, beberapa onderdil jembatan dipreteli pencuri. Warna Jembatan Ampera, sudah
tiga kali berganti. Awal berdiri berwarna abu-abu, tahun 1992 diganti kuning,
dan tahun 2002 menjadi merah hingga sekarang. Jembatan Ampera terletak di
Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu.
|
Warna merah pada Jembatan Ampera, Kota Palembang. |
|
Aktivitas bongkar-muat di Dermaga 7 Ulu, bawah Jembatan Ampera. |
|
Dermaga 7 Ulu, Kota Palembang. |
|
Pasar 7 Ulu dengan latar belakang Jembatan Ampera, Kota Palembang. |
Pelembang
Djaya
Kota Palembang
yang
memiliki luas wilayah sekitar 358,55 km² –kota
terbesar kedua di Sumatera setelah Medan, merupakan ibukota Provinsi
Sumatera Selatan. Selain itu, pada abad ke-9 Masehi kota ini juga menjadi ibukota
kerajaan bahari Budha terbesar di Asia Tenggara –Kerajaan Sriwijaya. Menurut prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan
di Bukit Siguntang –sebelah Barat Kota
Palembang, yang menyatakan tentang: pembentukan sebuah “wanus atau wanua” –bahasa Sanskerta yang
berarti ‘negeri’ atau ‘kota’ pada
tanggal 17 Juni 683 Masehi, menjadikan kota Palembang sebagai kota tertua di
Indonesia. Bahasa asli masyarakat menyebutnya "lembeng" -yang bermakna: genangan air, ditambah awalan "Pa" yang menunjukkan 'tempat' sehingga dirangkai menjadi: Palembang (kota yang selalu digenangi air) -karena secara geografis terletak di daerah rendah penuh rawa-rawa dan 37,36% wilayahnya tergenang air. Sedangkan dalam kronik Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178-1225 oleh Chou-ju-kua, terdapat nama: "Pa-lin-fong" -yang merujuk pada Palembang. Kemudian tahun 1345-1350 karya Wong-ta-yuan yang berjudul: Toa-cih-lio, Palembang disebutnya: "Po-lin-fong". Sedangkan oleh Ying-ysi-dhueng, Palembang ditulisnya sebagai: "Po-lin-fang".
Prasasti Kedukan Bukit yang menjadi
bukti sejarah pendirian Kerajaan Sriwijaya –sekaligus
lahirnya Kota Palembang, ditemukan pada tahun 1920 oleh H. Djahri warga
Kampung 35 Ilir secara tidak sengaja. Saat ia sedang menjala ikan di tepi
Sungai Tatang Kedukan Bukit, jala yang dilemparkannya ke sungai tersangkut
batu. Setelah diangkat, ternyata batu itu ‘bertulis’ –prasasti. Penemuan ini dilaporkan kepada pemerintah kolonial
Belanda, dan setelah itu batu bertulis tersebut menjadi objek penelitian. Hasil
penelitian inilah, banyak dipakai sebagai pedoman penetapan Palembang/Sumatera
Selatan sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya abad 7 hingga 12 Masehi dibawah
pimpinan Dhapunta Hyang Sidhayatra.
Prasasti itu menceritakan perjalanan
Dhapunta Hyang Sidhayatra bersama 20.000 prajurit mengendarai perahu dan
membawa 200 peti perbekalan serta 1.312 prajurit berjalan kaki.
Dikisahkan, pada hari ketujuh
Paro-Terang Bulan Jyestha, Dhapunta Hyang bertolak dari Minaga, prajurit
berjalan kaki datang dari Mukha Upang, mereka kemudian berkumpul di Palembang
dan mendirikan wanua yaitu Perkampungan Wanua sebagai bentuk kecil dari kata
Benua. Pada prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 683 Masehi berbahasa
Melayu Kuno itu, dinukilkan sebagai Hari Jadi Kota Palembang tanggal 5 Ashada
tahun 605 Syake (17 Juni 683 Masehi).
Ketika periode RA Arivai Cekyan selaku
Walikota Palembang membentuk team peneliti Hari Jadi Kota Palembang dengan
Surat Keputusan Walikota Kepala Daerah Kotamadya Palembang tanggal 21 Januari
1972 Nomor: 124/UM/WK tentang Team Persiapan Penelitian Hari Jadi Kota
Palembang. Setelah pembahasan, maka menetapkan Hari Jadi Kota Palembang:
Tanggal 17; Bulan Juni; Tahun 683 Masehi, dengan Surat Walikota Kepala Daerah
Kotamadya Palembang Nomor: 57/UM WK/1972, tanggal 6 Mei 1972. Sejak saat
itulah, maka setiap tanggal 17 Juni diperingati sebagai Hari Jadi Kota
Palembang dengan lambang pemerintahan kota pun disimbolkan dengan aksara
bertuliskan: Pelembang Djaya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar