Babancong
merupakan sebuah bangunan kecil mirip pesanggarahan berbentuk panggung seluas
sekitar lima belas meter persegi serta memiliki kolong yang tingginya kira-kira
dua meter, berada di sisi sebuah tanah lapang (alun-alun). Pada dasarnya pola
Alun-alun Garut hampir sama dengan pola alun-alun yang ada di kota-kota lain di
Indonesia, yakni: pola Pohon Beringin; Masjid Agung; Pendopo; dan embel-embel
lainnya yang berhubungan dengan pemerintahan. Babancong berfungsi sebagai
tempat parapembesar negara berpidato, menyampaikan pengumuman, atau menyaksikan
berbagai keramaian di alun alun.
Babancong Kota Intan Garut |
Bangunan
Cagar Budaya
Ke Kota Garut tanpa menengok Babancong,
seperti sayur tanpa garam. Babancong terletak di depan Pamengkang –rumah dinas Bupati Garut, tepatnya di
depan pendopo kabupaten. Dalam tata kota tradisional di Tatar Sunda, babancong
merupakan bagian dari alun-alun dan terletak di sebelah Selatan alun-alun. Bangunan
berbentuk bundar, beratap seperti “payung geulis” dengan tiang penyangga tujuh
buah, ditambah tangga dikiri-kanannya serta tujuh lobang mirip goa dipondasinya,
menjadikan Babancong Garut sebagai artefak sejarah Kota Garut. Pipi tangga
babancong bermotif lengkung terawangan seperti sisik ular, penutup lantai anak
tangga dari keramik –yang tampaknya
merupakan penambahan baru. Penutup atap, berupa genteng beton berglasur –juga merupakan penambahan baru. Material
penyusun bangunan babancong berupa pasangan bata berplester yang dicat warna
putih. Kendati sudah berusia ratusan tahun, bangunan Babancong Garut dengan
arsitekturnya yang unik, masih tetap berdiri kokoh. Dimilikinya babancong
sebagai podium kebesaran ‘gegeden’ Garut ini, sebagai sisa peradaban Garut yang
masih ada. Pasalnya, hanya Garut yang memiliki babancong dibanding daerah lain
Jawa Barat. Ada juga babancong di Manonjaya Tasikmalaya, tapi tidak sebesar dan
setinggi Babancong Garut.
Bung Karno di atas Babancong Garut, tahun 1960-an. |
Para-Inohong Garut di Babancong |
Babancong yang terletak antara alun-alun
–Lapangan Oto Iskandardinata dan
Pendopo Garut tersebut, memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Presiden
Soekarno, pernah berpidato di atas babancong disaksikan ribuan warga Garut. Pada
waktu itu, Soekarno mengunjungi Garut untuk memberi penghargaan Adipura karena
Garut dinilai sebagai “Kota Terbersih” di Indonesia. Sejak Garut menerima
Adipura Pertama di Indonesia itulah, Garut dijuluki Kota Intan oleh Soekarno, –karena ketika malam hari, Garut ‘ngaborelak’
seperti kilauan intan yang bisa dilihat dari puncak Jalan Cimanuk di pusat kota.
Diapit oleh Dua Srikandi Garut |
Pembangunan
Babancong
Babancong didirikan bersamaan dengan pendirian
Gedung Pendopo, Alun-alun, Masjid Agung, dan Kantor Karesidenan pada waktu
pembangunan ibukota Kabupaten Limbangan pada tahun 1813. Pada tahun itu pula
muncul sebutan “Garut” yang belakangan menjadi nama Kabupaten Garut,
menggantikan nama Kabupaten Limbangan.
Babancong Garut dengan latar belakang Gunung Cikuray |
Sejarah Kabupaten Garut berawal dari
pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Gubernur Jenderal Herman
Wilhem Daendels, dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun
hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila –indigo. Pada tanggal 16 Pebruari 1813,
Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Thomas Stamford Raffles
dari Inggris, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten
Limbangan yang beribukota di Suci Karangpawitan. Untuk sebuah Kota Kabupaten,
keberadaan Suci ini dinilai tidak memenuhi persyaratan –sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit. Berkaitan
dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk
panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi ibukota kabupaten. Pada awalnya,
panitia menemukan tempat di Cimurah, sekitar tiga km sebelah Timur Suci –saat ini, kampung tersebut dikenal dengan
nama Kampung Pidayeuheun. Akan tetapi di tempat tersebut, air bersih sulit
diperoleh sehingga tidak tepat menjadi ibukota. Selanjutnya panitia mencari
lokasi ke arah Barat Suci, sekitar lima km, dan mendapatkan tempat yang cocok
untuk dijadikan ibukota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata
air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi
gunung, seperti: Gunung Cikuray; Gunung Papandayan; Gunung Guntur; Gunung
Galunggung; Gunung Talaga Bodas; dan Gunung Karacak. Saat itu ditemukan mata
air berupa telaga kecil –Ci Garut
yang tertutup semak belukar berduri –Ki
Garut/Marantha. Cetusan nama Garut tersebut, direstui oleh Bupati Kabupaten
Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan nama baru bagi ibukota Kabupaten
Limbangan. Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama
pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti: tempat tinggal; pendopo;
kantor asisten residen; masjid; dan alun-alun. Di depan pendopo –antara alun-alun dengan pendopo,
dibangunlah "Babancong" tempat bupati beserta pejabat pemerintahan
lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai
dibangun, ibukota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun
1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 60 tertanggal 7 Mei
1913, nama Kabupaten Limbangan secara resmi diganti menjadi Kabupaten Garut dan
beribukota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang
menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915).
Tugu Holle di Lapang Oto Iskandar Dinata, alun-alun Garut 1910. |
Babancong Garut dengan latar belakang Gedung Pendopo dan Gunung Cikuray |
Masjig Agung Garut di sekitar Lapang Oto Iskandar Dinata |
***
Orang Garut itu tempat orang yang pintar2 saya berharap ada orang yang tepat untuk mengembalikan kecantikannya...
BalasHapusSeandainya ada yang mengetahui dan sedikit saja penghargaan akan besarnya kiprah R.S Affandi Djajadiningrat untuk kabupaten Garut.
BalasHapuskalau foto soekarno di babancong itu dapet dari mana ya?
BalasHapus