Serumpun Sebalai adalah suatu bentuk
etika kehidupan keseharian masyarakat Bangka Belitung yang rukun damai dan
dalam hubungan kekeluargaan, walaupun terdiri dari bermacam-macam etnis dan
agama. Meskipun masyarakat Bangka Belitung
merupakan masyarakat yang Dak Kawa Nyusah (tidak mau bersusah payah), hal
tersebut bukanlah sebagai ungkapan yang menunjukkan masyarakatnya itu adalah
orang yang pemalas dan tidak mau bekerja keras, namun bermakna: dalam setiap
keberhasilan memerlukan kerja keras.
Parai Beach Resort, Sungailiat - Bangka. |
Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung
merupakan provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama, yaitu: Pulau
Bangka dan Pulau Belitung –Belitong
serta pulau-pulau kecil lainnya, seperti: Pulau Lepar; Pulau Pongok; Pulau
Mendanau; dan Pulau Selat Nasik. Total pulau yang telah bernama berjumlah 470
buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Kota
Pangkal Pinang, merupakan ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung –berada di Pulau Bangka, sebelumnya merupakan
ibukota Kabupaten Bangka, pada tahun 1971 ibukota Kabupaten Bangka pindah ke
Sungailiat. Posisi
geografis provinsi ini adalah antara: 1º50' hingga 3º10' Lintang Selatan dan
105º hingga 108º Bujur Timur. Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung mempunyai batas wilayah: sebelah Utara dengan Laut
Natuna
–juga terdapat Laut Cina Selatan; sebelah Timur dengan Selat Karimata –memisahkan Pulau Belitung dengan Pulau
Kalimantan; sebelah Selatan dengan Laut Jawa;
dan sebelah Barat dengan Selat Bangka –memisahkan
Pulau Sumatera dan Pulau Bangka. Sedangkan Selat Gaspar, memisahkan Pulau
Bangka dengan Pulau Belitung. Secara
keseluruhan daratan dan perairan Bangka Belitung merupakan satu kesatuan dari
bagian dataran Sunda, sehingga perairannya merupakan bagian Dangkalan Sunda (Sunda
Shelf) dengan kedalaman laut tidak lebih dari 30 meter.
Peta Provinsi Kepulauan Bangka Belitung |
Wilayah
administratif Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terbagi atas satu kota dan enam
kabupaten. Kota/Kabupaten tersebut, adalah: Kota Pangkal Pinang –merupakan ibukota provinsi; Kabupaten
Bangka –ber-ibukota di Sungailiat, pada
tahun 2003, dimekarkan menjadi 4 kabupaten, yakni: Kabupaten Bangka Barat –ber-ibukota di Muntok/Mentok; Kabupaten
Bangka Tengah –ber-ibukota di Koba; dan Kabupaten Bangka Selatan –ber-ibukota di Toboali. Oleh karena itu,
Kabupaten Bangka juga dikenal sebagai Kabupaten Bangka Induk; Kabupaten
Belitung –ber-ibukota di Tanjung Pandan,
pada tahun 2003, dimekarkan menjadi 2 kabupaten, yakni: Kabupaten Belitung
Timur –ber-ibukota di Manggar.
Kantor Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Jalan Pulau Bangka Nomor 1 Air Itam - Pangkal Pinang |
Bangka dan Vangka
Kata Bangka berasal dari vangka atau
wangka yang berarti Timah, karena wilayah ini memang kaya barang tambang
timah. Setelah timah ditemukan di sini abad ke-17, membuat Bangka mendapatkan
kekayaan dan terkenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia. Penambangan
timah sendiri berkembang pesat di Bangka sejak 1858, diketemukan dan dikelola
sejak tahun 1710 oleh Mary Schommers dalam Bangka Tin.
Kehadiran bangsa Cina secara
besar-besaran di Kepulauan Bangka Belitung berawal dari penambangan timah pada
awal abad ke-18. Mary F Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Mentok Pepper memaparkan,
ribuan pekerja asal Cina datang secara masal sebagai kuli kontrak di
penambangan timah di Bangka dan Belitung tahun 1710. Kuli kontrak itu umumnya
berasal dari daerah Utara Kwantung dan Selatan Fukien, Cina, dan biasa disebut
Hakka. Kadang, mereka dipanggil Xinke atau orang Khek. Selain itu, ada kaum
Hokkian yang datang atas kemauan sendiri untuk berdagang. Kelompok lain yang
datang adalah kelompok Hainan, Kanton, dan kelompok Techiu. Setiap kelompok,
memiliki bahasa sendiri-sendiri.
Peta Pulau Bangka |
Serumpun
Sebalai
Serumpun, menunjukkan bahwa kekayaan
alam dan plularisme masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tetap
merupakan keluarga besar komunitas (serumpun) yang memiliki perjuangan yang
sama untuk menciptakan: kesejahteraan; kemakmuran; keadilan; dan perdamaian. Sebalai,
menunjukkan bahwa untuk mewujudkan perjuangan tersebut, masyarakat Provinsi
Bangka Belitung: berkumpul, bermusyawarah, mufakat, bekerja sama dan bersyukur
bersama-sama dalam semangat kekeluargaan (sebalai). Serumpun Sebalai
mencerminkan sebuah eksistensi masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
dengan kesadaran dan cita-citanya untuk tetap menjadi keluarga besar yang dalam
perjuangan dan proses kehidupannya senantiasa mengutamakan dialog secara
kekeluargaan, musyawarah dan mufakat serta bekerja sama dan senantiasa
mensyukuri nikmat Tuhan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Serumpun
Sebalai, merupakan semboyan penegakkan demokrasi melalui musyawarah dan mufakat.
Bandar Udara Depati Amir, Pangkal Pinang - Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. |
Depati Bahrin dan Depati Amir
Pulau
Bangka sangat erat kaitannya dengan barang tambang berupa timah. Hal inilah
yang menyebabkan pihak kolonial Inggris –dan
kemudian Belanda, berusaha untuk dapat menguasai pulau ini. Kekuasaan
Belanda mendapat perlawanan dari Depati Barin dan puteranya Depati Amir yang dikenal
sebagai perang Depati Amir (1849-1851). Sebetulnya sejak kedatangan Inggris di
Pulau Bangka pada tahun 1812 telah terjadi beberapa perlawanan rakyat Bangka
seperti perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Raden Kling bersama puteranya
Raden Ali di distrik Toboali –termasuk
Kepoh, perlawanan rakyat dipimpin Depati Bahrin di Jeruk, perlawanan rakyat
dipimpin Demang Singayudha di Kotaberingin dan perlawanan rakyat dipimpin oleh Batin
Tikal di Gudang.
Perlawanan besar dan terorganisir dengan
baik dipimpin oleh Depati Bahrin (tahun 1820-1828). Depati Bahrin merupakan
putera dari Depati Karim –Depati Anggur,
dari distrik Jeruk. Untuk mengatasi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Depati
Bahrin, Pemerintah Hindia Belanda harus mendatangkan kesatuan Kavaleri dari
legiun Perang Wedono dan kesatuan infanteri di bawah pimpinan Kapten Du Perron,
kemudian Belanda terpaksa harus melakukan berbagai perundingan dengan Depati
Bahrin dan memberikan beberapa kompensasi untuk berkonsentrasi menghadapi
perlawanan Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa pada tahun 1825-1830. Tawaran
perundingan damai kemudian diterima Depati Bahrin. Depati Bahrin wafat pada
tahun 1848 dan dimakamkan di kawasan Mendara –dalam versi lain, dimakamkan di Lubuk Bunter; Desa Kimak; Kecamatan
Merawang. Depati Bahrin merupakan salah satu dari Panglima Tujuh yang
menguasai Pulau Bangka dengan gelar Akek Pok –Panglima Tujuh, terdiri dari: Akek Sak; Akek Pok; Akek Kuah; Akek Mis;
Akek Adung; Akek Ning; dan Akek Ijah.
Depati
Amir adalah
putera sulung Depati Bahrin, sedangkan Hamzah adalah adik atau saudara kandung
Amir. Sebagai putera sulung, Amir menjadi Depati diangkat oleh Belanda karena
ketakutan Belanda akan pengaruhnya yang besar di hati rakyat Bangka. Jabatan
Depati yang diberikan Belanda kepada Amir atas daerah Mendara dan Mentadai
kemudian ditolaknya, akan tetapi gelar Depati tersebut kemudian tetap melekat
pada diri Amir dan kemudian kepada Hamzah karena kecintaan rakyat kepada
keduanya, disamping kehendak kuat rakyat Bangka yang membutuhkan pigur pemimpin. Sejak perlawanan rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Bahrin (Tahun
1820-1828), Amir dan Hamzah sebagai putera Bahrin, sudah menjadi panglima
Perang dan menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, yaitu sifat yang tegas,
berani, cerdas dan cakap. Amir dan Hamzah membangun markas besarnya di daerah
Tampui dan Belah serta di kaki Gunung Maras, namun secara pasti, pasukan terus
berpindah dan bergerak diseluruh pelosok belantara Pulau Bangka. Dalam
Pertempuran strategi yang digunakan adalah perang gerilya, dalam peperangan
digunakannya peralatan tradisional yang disebut Pidung dan Sumpitan sebagai
senjata. Dalam
kondisi kurus, lemah dan sakit, Amir dan Hamzah berhasil ditangkap pada tanggal
7 januari 1851 lalu dibawa ke markas militer Belanda di Bakam, kemudian di bawa
ke Belinyu pada tanggal 16 Januari 1851, selanjutnya di bawa ke Muntok/Mentok. Pada
tanggal 28 Pebruari 1851, berangkatlah Amir dan Hamzah kepengasingan di Desa
Airmata Kupang Pulau Timor - NTT.
Pantai Parai, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. |
Parai Beach, Bangka Island. |
Parai
Beach Resort
Parai Beach Resort, Sungailiat - Bangka. |
Pantai Parai Tenggiri terletak di daerah
Matras Sungailiat, sekitar 40 km dari Bandara Depati Amir atau Pelabuhan
Pangkal Balam, Pangkalpinang. Atau tepatnya di Desa Sinar Jaya, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten
Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Komplek wisata ini dilatarbelakangi taburan
formasi batu karang dan dilengkapi fasilitas wisata dengan klasifikasi hotel
berbintang 4 dan berbagai sarana hiburan. Parai Tenggiri merupakan pantai
paling populer dan eksklusif di Bangka Belitung. Sejak dulu –ketika masih disebut Hakok, pantai ini
merupakan kawasan yang paling digemari untuk dikunjungi oleh masyarakat
setempat. Bebatuan yang banyak terdapat di pantai ini, bagaikan sebuah dekorasi
alam yang sangat indah. Pantainya cukup landai dan memiliki ombak yang lembut.
Di pantai ini fasilitas yang tersedia antara lain hotel, outbound, restoran
di atas pulau karang Rock Island,
serta permainan olahraga air. Pantai Parai adalah tempat yang ideal berwisata
dalam suasana santai yang menyuguhkan panorama pantai desa nelayan, berenang
dan bermain air di sepanjang bibir pantai dengan pasir berwarna putih dan air
laut yang hijau.
Pantai Parai, Pulau Bangka. |
Pantai Parai, Sungailiat - Pangkal Pinang. |
Parai Beach |
Di Pantai Parai Tenggiri kita dapat
melihat batu-batu granit yang besar beragam bentuk unik yang tidak dapat
dijumpai di daerah lain. Konon, batuan granit tersebut merupakan sisa-sisa
letupan Gunung Krakatau purba yang meletus ratusan atau bahkan ribuan tahun
lalu. Bebatuan karang inilah yang membuat pemandangan di pantai ini menjadi
lebih istimewa dan kerap kali mengundang decak kagum para pengunjung. Dari atas
batu-batu karang, pengunjung dapat duduk santai untuk menikmati keindahan Laut
Cina Selatan yang teduh dan berombak kecil. Pada malam hari, pengunjung dapat
dengan leluasa menikmati suasana malam di pinggir pantai yang diwarnai cahaya
dari kapal-kapal yang tengah berlayar sambil tidak lupa menikmati ubi goreng
keju, pisang goreng keju, kolak labu merah, ataupun minuman hangat yang bisa
dibeli di restoran terdekat. Saat ini,
kawasan Pantai Parai Tenggiri ditetapkan sebagai kawasan wisata hijau dengan
sebutan Parai Green Resort dengan kepedulian yang besar terhadap
usaha penyelamatan lingkungan dengan cara mengurangi penggunaan bahan-bahan
yang dapat mencemari pantai, seperti plastik, serta menanam banyak pohon di
lokasi wisata ini.
Pantai Parai |
Lanskap Pantai Parai |
Parai Beach at Bangka Island |
Sementara itu,
Pantai Matras amat indah dan landai. Pantai ini terletak di Desa Sinar Baru,
Kecamatan Sungailiat, disebelah Timur Laut Pulau Bangka dan berjarak sekitar 40
km dari Pangkal Pinang atau 7 km dari Kota Sungailiat. Keistimewaan pantai ini
adalah pada pasir putihnya yang halus, nyiur yang melambai-lambai sepanjang 3
km dan aliran sungai alami. Keistimewaan lain, lokasinya yang nyaman dan tenang
akan memberikan keleluasaan bagi kita untuk menyantap makanan sambil bersandar
di bebatuan alam dan menikmati keindahan suasana pantai. Di kawasan Pantai
Matras juga telah dibangun banyak tempat peristirahatan berupa bungalow
sederhana yang nyaman. Hamparan pasir pantai ini menyatu dengan bebatuan indah
di sekitarnya seperti mutiara yang terbentang di depan mata. Deburan ombak
pantai yang tenang bertemu pasir putih yang lembut sungguh pemandangan yang
sangat menakjubkan. Pantai Matras terdiri dari pasir
putih yang halus dengan panjang sekitar 3 km, dengan lebar 20 sampai 30 meter,
pantai yang dilatar-belakangi oleh pepohonan kelapa ini menampilkan pula laut
yang bening dan pemandangan indah serta aliran sungai yang alami sehingga
acapkali disebut sebagai Pantai Surga. Adanya aliran sungai yang mengalir ke
laut dan danau kecil yang berisi air tawar di dekat bibir pantai. Airnya bening
dan dangkal, sehingga biasa digunakan pengunjung untuk berbilas sehabis mandi
air laut. Di
salah satu sudut Pantai Matras, ada sebuah bukit granit kecil dengan pepohonan
besar yang di bawahnya terdapat kuburan cina yang cukup tua.
Lanskap Pantai Parai, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. |
Saat mengunjungi Pantai Matras dan Parai
Tenggiri, kita bisa mampir untuk membeli oleh-oleh khas Kota Sungailiat. Tak sulit menemukan kios-kios yang menjual
oleh-oleh di Sungailiat, seperti kerupuk aneka rasa yang terbuat dari cumi,
ikan tenggiri, udang, siput gong-gong, kemplang panggang, keretek ikan, belacan
dan lain-lain.
Vihara Dewi Kuan Yin, Sungailiat - Bangka. |
Vihara Dewi Kuan Yin di Sungailiat
Vihara Dewi Kuan Yin terletak di Desa Jelitik; Kecamatan Sungailiat; Kabupaten Bangka, berjarak kurang lebih sekitar 10 km dari Kota Sungailiat. Meskipun merupakan tempat ibadah umat Budha, tempat ini lebih sering
dijadikan sebagai tempat sembahyang umat Kong Hu Cu –Kong Fu Chu bagi keturunan Tionghoa di Bangka. Dimasa lalu, masyarakat keturunan
Tionghoa di Bangka didatangkan oleh Belanda untuk dijadikan pekerja tambang
timah pada akhir abad ke-19.
Memasuki gedung ini langsung terasa suasana
religiusnya dengan berbagai sarana peribadatan umat Budha dan Kong Hu Cu, tetapi suasana akan
berubah menjadi suasana wisata ketika berada di sekitar vihara. Di area
tersebut terdapat banyak sekali lokasi wisata yang dimaksudkan untuk mendukung
kenyamanan beribadah umat Budha dan Kong Hu Cu atau pengunjung yang hanya ingin menikmati
suasana di vihara. Keistimewaan vihara ini, adalah
bentuknya yang menyerupai sebuah kapal yang siap berlayar. Keistimewaan lainnya
adalah tempatnya yang berada di kaki bukit dan tepi aliran sungai. Menurut
kepercayaan masyarakat Tionghoa, air di aliran sungai tersebut dapat menyembuhkan
penyakit, membuat awet muda, dan dapat mengabulkan segala permintaan yang
diinginkan pengunjung. Sehingga, pengunjung tidak hanya bisa beribadah,
merasakan suasana religius di dalam vihara dan mandi, tetapi juga bisa minum
air sumur alami, yang bersih, jernih, dan segar serta mempunyai khasiat. Di vihara
ini pengunjung akan dibawa berlayar menikmati keindahan alam, merasakan
kejaiban alam, dan menyaksikan kebesaran Tuhan. Dengan area seluas 15.420 m2, vihara ini juga menyediakan sebuah kolam pemandian alami yang sejuk dan segar
dari sumber mata air yang mengalir dari atas bukit yang mempunyai khasiat untuk
kesehatan tubuh bagi mereka yang percaya. Kolam pemandian ini disebut juga
dengan Kolam Tujuh Bidadari. Kolam ini dipenuhi dengan tumbuhan teratai putih.
Di area vihara ini, juga disediakan wisma khusus (bangunan dengan nuansa hijau
menambah sejuknya suasana) yang didirikan untuk para pengunjung yang perlu
menginap.
Vihara Dewi Kuan Yin, Desa Jelitik Kecamatan Sungailiat - Bangka. |
Vihara Dewi Kuan Yin, memiliki 3 bangunan
sebagai tempat berdoa. Bangunan utama adalah tempat berdoa kepada Dewi Kuan Yin,
bangunan kedua merupakan tempat berdoa kepada Budha, dan bangunan terakhir
adalah tempat berdoa kepada Toapekong atau Dewa Laut. Jika kita datang di waktu
yang tepat, kita bisa melakukan Ciamsi –ramal
nasib dengan bantuan juru kunci vihara ini.
Dewi Kuan Yin adalah Dewi yang terkenal
dengan kasih sayangnya terhadap manusia. Oleh karena itu, Dewi Kuan Yin juga
mendapatkan julukan: Dewi Welas Asih. Berdasarkan ajaran yang berkembang
terutama di Asia bagian Timur, nama Dewi Kuan Yin dipercaya berasal dari
Avalokitesvara yang merupakan bahasa Sansekerta. Oleh karena itu, di luar
Indonesia, Dewi Kuan Yin juga dipanggil dengan nama: Dewi Guanyin, yang merupakan
terjemahan dari Avalokitesvara.
Peta Pulau Belitung |
Laskar
Pelangi di Belitong
Laskar Pelangi adalah novel pertama
karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005.
Novel ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang
bersekolah (SD dan SMP) di sebuah Sekolah Muhammadiyah di Belitung –Belitong yang penuh dengan keterbatasan.
Cerita terjadi di Desa Gantung –Gantong,
Belitung Timur.
Salah satu lokasi syuting film tersebut
adalah pantai indah yang ada di Pulau Belitung yaitu Pantai Tanjung Tinggi.
Pantai ini terletak 30 kilometer dari kota Tanjung Pandan. Pantai yang biasa
disebut Pantai Bilik oleh warga lokal ini memiliki keindahan yang sangat
mempesona. Letak Pantai Tanjung Tinggi juga tidak jauh dari pantai Tanjung
Kelayang di Desa Keciput, Kecamatan Sijuk. Pantai Tanjung Tinggi memiliki pasir
pantai yang berwarna putih bersih yang menghampar sepanjang 100 meter. Memang
garis pantai Tanjung Tinggi ini tidak sepanjang pantai lain di Belitung, namun
keindahannya boleh diadu dan tak kalah dengan yang lainnya. Di pinggir pantai,
terdapat beberapa warung makan yang menyajikan beberapa menu hasil laut dan
kulimer khas daerah setempat "gangan".
Pada 11 Juni 2011, Pelabuhan Tanjung
Pandan Belitung resmi berubah nama menjadi Terminal Penumpang Pelabuhan Laskar
Pelangi –Pelabuhan Laskar Pelangi.
Peresmian pelabuhan tersebut oleh PT. Pelindo II karena terinspirasi oleh novel
Laskar Pelangi.
Pesanggrahan Bung Karno Bukit
Menumbing
Bukit Menumbing sebagai tempat
pengasingan Presiden Soekarno di Kota Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi
Bangka Belitung, ditempat ini terdapat beberapa peninggalan sejarah dari Bung
Karno. Wisma Menumbing yang didirikan pada 1927, berada di puncak Bukit
Menumbing menjadi tempat pengasingan Presiden Soekarno dan para tokoh republik
pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Wisma Menumbing di Kota Muntok –kota yang berada di salah satu ujung Pulau
Bangka, didirikan oleh Kesultanan Palembang Darussalam pada masa Sultan Sri
Susuhan Mahmud Badaruddin I. Berdasarkan informasi yang terpajang di ruang 102
Wisma Menumbing, Soekarno dan sejumlah tokoh nasional lainnya dibawa ke tempat
ini dibagi menjadi tiga kelompok atau rombongan. Rombongan pertama Mohammad
Hatta, Mr A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat dan Komodor Udara S Suryadarma yang
diasingkan 22 Desember 1948 dari Yogyakarta. Kemudian rombongan kedua Mr.
Moh Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo yang diasingkan dari Yogyakarta ke
Manumbing pada 31 Desember 1948 dan rombongan ketiga Bung Karno dan Agus Salim
juga diasingkan ke Bangka pada 6 Februari 1949 dari tempat pengasingannya
semula di Kota Prapat, Sumatera Utara.
Koleksi di Wisma Menumbing |
Ketika tiba di puncak Menumbing, maka
kita akan disambut ratusan anak tangga menuju ke Wisma Menumbing. Tangga ini
diapit oleh dua punuk tanah di kedua sisinya yang berwarna kehijauan karena
ditumbuhi oleh rumput. Ada beberapa pohon kelapa yang nampak di sisi tangga
hingga ke bagian luar dari Wisma Menumbing. Hanya ada satu sisi dari tangga
menuju ke wisma yang dilengkapi dengan pegangan tangan. Jika tidak terbiasa
menaiki tangga yang tinggi, maka bisa berjalan sambil berpegangan di sisi
tersebut. Bangunan utama Wisma Menumbing, terdiri dari 6 kamar. Selain itu, ada
tambahan dua bangunan lain yang terpisah berturut-turut mempunyai 6 dan 7
kamar. Di Wisma Menumbing juga disimpan mobil berwarna hitam yang biasanya
dikendarai oleh Soekarno pada saat pengasingan. Mobil tersebut bermerek Ford De
Luxe, empat pintu, dan bermesin 8 silinder buatan tahun 1948. Mobil Ford
tersebut mempunyai plat nomor BN 10. Plat nomor dengan awalan BN hingga kini
masih digunakan untuk daerah Bangka. Di masa lalu, mobil inilah yang digunakan
oleh Soekarno untuk mengunjungi beberapa orang di Kota Muntok dan kota lainnya
di Pulau Bangka.
Bekas galian timah di Pulau Bangka, dilihat dari udara. |
Museum
Timah Muntok
Museum Timah di Muntok –Mentok Pangkal Pinang, Bangka
Belitung. Museum Yang dulunya rumah dinas Hoofdt Administrateur Banka
Tin Winning Bedrijft (BTW) tersebut beralamat di Jalan Ahmad Yani No. 179,
Pangkalpinang. Didirikan tahun 1958 diresmikan pada 2 Agustus 1997, Museum
Timah Indonesia adalah satu-satunya museum timah di Indonesia dan bahkan di
Asia dimana kini dikelola PT. Tambang Timah (Persero) Tbk. Pada tanggal 6
Februari 1949 gedung ini menjadi tempat tinggal pemimpin-pemimpin Republik, diantaranya:
Bung Hatta; Bung Karno; dan Haji Agus Salim, ketika mereka diasingkan ke Bangka
sebelum dipindahkan ke Menumbing Muntok setelah Ibukota Republik Indonesia
Yogyakarta diduduki Belanda dengan Agresi Militer (19 Desember 1948). Gedung ini
juga pernah menjadi lokasi perundingan pra Roem-Royen oleh tokoh-tokoh penting,
diantaranya: Bung Karno; Bung Hatta; dan Haji Agus Salim. Awalnya perundingan
ini dilangsungkan di Bukit Menumbing Muntok, lalu dipindahkan ke Pangkal Pinang
–karena perundingan ini dihadiri juga
oleh pejabat Komisi Tiga Negara, sehingga lahirlah Roem-Royen Statement
pada 7 Mei 1949.
Museum Timah Muntok, Pangkal Pinang - Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. |
Tanpa pembicaraan-pembicaraan awal
antara Soekarno-Hatta dan utusan dari komisi tiga negara atau KTN (Belgia,
Australia, Amerika Serikat) di tempat pengasingan mereka di Muntok, perundingan
Roem-Royen di Jakarta (22 April 1949) serta Konferensi Meja Bundar (29 Oktober
1949) di Den Hag mungkin saja tidak menelurkan pengakuan kedaulatan seperti
yang akhirnya bisa kita baca dalam sejarah.
Pada suatu waktu ketika kami datang ke Pangkal
Pinang bertemu KTN yang datang dari Jakarta, Mr Gafar Pringgodigdo berkata, “Aku merasa ada dua sumber percaturan
internasional di dunia ini, yaitu: (di) United Nations dan Bangka”. (Memoir
Mohammad Hatta, 2002:549)
***