Anak adalah generasi muda penerus
cita-cita bangsa, ia memiliki peran strategis yang diharapkan dapat menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Anak seharusnya
dibiarkan tumbuh berkembang sehat sehingga dapat memperoleh pendidikan dan
jaminan kesehatan yang baik sampai usia dewasa, setelah itu barulah ia
disiapkan menjadi pekerja. Karena itu,
sebenarnya penentu pilihan ada pada kita sendiri. Apakah anak akan kita jadikan
sebagai aset di masa depan dengan segala persiapannnya, ataukah ia hanya sebagai
liabilitas (social cost) di
hari esok.
Pendahuluan
Pekerja anak di Indonesia, semula lebih
berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orangtua. Sebagian besar orangtua
beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak-anak merupakan upaya proses
belajar, seperti: belajar menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain dapat
melatih dan memperkenalkan anak kepada dunia kerja, mereka juga berharap dapat
membantu mengurangi beban ekonomi keluarga. Pendapatan orangtua yang sangat
sedikit sehingga tidak mampu lagi menutupi kebutuhan hidup keluarga, memaksa anak-anak
mereka untuk ikut bekerja. Di pihak lain, biaya pendidikan di Indonesia yang
relatif masih tinggi telah ikut memperkecil kesempatan anak-anak untuk
mendapatkan pendidikan. Selain itu, masih banyak pekerja anak yang
kadang-kadang harus melakukan pekerjaannya di luar batas waktu kerja normal dan
batas kemampuannya. Kondisi ini menyebabkan pekerja anak kehilangan kesempatan
yang seharusnya mereka alami pada masa kecilnya, seperti: kesempatan bermain
dan belajar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya pasar kerja anak, dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Dari
sisi Penawaran (Supply), ketersediaan tenaga kerja anak sangat tergantung pada
partisipasi anak di sekolah dan ketersediaan waktu luang mereka –terutama untuk anak-anak yang bekerja paruh
waktu. Selain itu, faktor orangtua sangat menentukan pula keputusan anak
untuk bekerja. Sedangkan dari sisi Permintaan (Demand), permintaan terhadap
pekerja anak sangat ditentukan oleh adanya kebutuhan perusahaan. Sebagian besar
industri yang mempekerjakan anak, ternyata memiliki alasan karena upah mereka
yang relatif murah dan kecenderungan dari sikap mereka yang penurut –tidak banyak menuntut.
Di beberapa kawasan Asia, hak-hak dan
perlindungan terhadap pekerja anak masih tidak diperhatikan. Status sebagai
pekerja anak, terkesan sebagai: “buruh yang terpasung”. Mereka tidak memperoleh
jaminan-jaminan normatif sebagai layaknya pekerja pada umumnya. Kalaupun
diperoleh, jaminan itu tidak sama besar dengan yang diterima oleh pekerja
dewasa.
Jika
dilihat dari faktor usia, batasan anak diatur dalam beberapa ketentuan: Pertama, dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor
23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Kedua, dalam Pasal 1 angka 26 UU Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa: “Anak adalah setiap orang yang berumur
di bawah 18 tahun”. Jadi, dari segi usia, dapat ditetapkan bahwa
siapapun yang berusia dibawah 18 tahun, dikategorikan sebagai anak.
Namun fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, masih banyak anak berusia
kurang dari 18 tahun harus bekerja dan mengumpulkan uang untuk menyambung
hidup. Jumlah pekerja anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, terdapat 2,5 juta pekerja anak di
seluruh Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan karena harus bekerja.
International
Labour Organization
(ILO), memperkirakan bahwa terdapat 152 juta pekerja anak yang berusia antara 5
hingga 14 tahun. Sebagian besar dari anak-anak ini berasal dari
kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat dan datang dari keluarga
yang hidup dalam kemiskinan. Di saat bersamaan, sekitar 67 juta anak tidak
terdaftar di sekolah dasar dan jumlah yang sama tidak terdaftar di tingkat
sekolah menengah pertama. Dengan kecenderungan saat ini, masyarakat
internasional akan menemukan kegagalan dalam memenuhi Tujuan Pembangunan Milenium
yaitu mencapai pendidikan dasar universal pada tahun 2015.
Dalam bulan Mei 2010, Konferensi Pekerja
Anak Global –dihadiri oleh perwakilan 97
negara, menyepakati sebuah roadmap
untuk mencapai penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak pada tahun 2016.
Tindakan-tindakan untuk meningkatkan akses ke pendidikan bebas biaya, wajib,
berkualitas untuk semua anak, merupakan bagian pokok dari roadmap tersebut.
Indonesia
telah meratifikasi Konvensi ILO 138 tentang Batasan Usia Minimum untuk Bekerja,
dan Konvensi ILO 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk
Anak. Indonesia juga telah memiliki Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Terburuk Pekerjaan untuk Anak. Dengan ratifikasi ini, sesungguhnya pemerintah
Indonesia terikat untuk melakukan pelarangan terhadap keberadaan pekerja anak.
Mempekerjakan anak, termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) –karena kedua konvensi ILO tersebut adalah
instrumen internasional tentang HAM. Namun kenyataannya, tingginya jumlah
anak-anak yang bekerja yang sebagian besar di bawah usia 15 tahun –baik di sektor formal maupun informal,
masih kerap kita temui.
|
Mensos RI, Salim Segaf Al-Jufri. |
Intervensi
Problem
pekerja anak, juga merupakan persoalan global yang dihadapi oleh setiap negara. Oleh karena
itu, penanggulangan masalah pekerja anak pun menuntut intervensi dari berbagai
pihak.
1.
Memperluas
Akses Pendidikan
Tujuan utama dari intervensi ini adalah
untuk memperkuat keterkaitan tingkat kebijakan antara kerja-kerja terkait
dengan pekerja anak dengan pendidikan, yang mengarah ke tindakan yang akan
meningkatkan peluang bagi mereka yang terlibat dalam pekerja anak ataupun
mereka yang rentan menjadi pekerja anak, guna memperoleh manfaat dari
pendidikan. Hal ini dapat dicapai khususnya melalui: (a) Mengintegrasikan
perhatian ke pekerja anak dalam perencanaan dan diskusi program sektor
pendidikan; (b) Inisiatif untuk mengatasi pekerja anak melalui pendidikan dan
untuk mengintegrasikan pengetahuan intervensi pengetahuan atas
intervensi-intervensi yang berhasil dalam diskusi-diskusi kebijakan; dan (c) Membangun
kapasitas pemangku kepentingan untuk terlibat secara aktif dalam advokasi
mengenai pekerja anak dan keterkaitan pendidikan.
Strategi yang dapat dijalankan:
A. Mempromosikan
perhatian bagi pekerja anak dalam rencana sektor pendidikan nasional
Tujuan utama
dari kebijakan pendidikan seharusnya adalah untuk memperluas akses atas
pendidikan berkualitas untuk anak laki-laki dan perempuan. Upaya mengatasi
pekerja anak akan membawa lebih banyak anak-anak ke sekolah, dan meningkat aksesibilitas;
kuantitas; dan kualitas pendidikan, akan membantu mencegah pekerja anak –sebuah situasi yang sama-sama menguntungkan
bagi negara. Kerangka utama untuk perencanaan pendidikan adalah rencana
sektor pendidikan. Strategi ini akan membantu menghasilkan momentum guna
memasukkan target-target anak-anak dalam pekerja anak ataupun anak-anak yang
rentan menjadi pekerja anak dalam proses-proses perencanaan sektor pendidikan. Dalam
sepuluh tahun terakhir ini, basis pengetahuan mengenai pekerja anak telah dikembangkan
secara signifikan. Namun, saat ini, hanya sedikit hubungan antara analisis data
mengenai pekerja anak yang dikumpulkan melalui survei rumah tangga dan
pertimbangan perencanaan pendidikan. Kemungkinan untuk memanfaatkan data ini
lebih baik guna mendukung perencanaan pendidikan, semakin diakui dan kerja ini
akan dikembangkan melalui strategi ini.
B. Membangun
kapasitas mitra
Strategi ini
akan membantu para mitra nasional guna meningkatkan pemahaman atas pekerja anak
dan keterkaitan pendidikan, dan memperkuat kapasitas untuk berpartisipasi
secara efektif dalam diskusi dan tindakan-tindakan terkait dengan
persoalan-persoalan ini. Upaya menghapus pekerja anak –anak-anak yang bekerja khususnya dengan
menangani penyebab eksploitasi ekonomi anak melalui akses pendidikan dan
penghapusan kemiskinan.
Kegiatan ini akan bekerja dengan jejaring sektor pendidikan lokal; mitra-mitra
sosial; organisasi masyarakat sipil; dan lainnya, untuk mengembangkan sistem monitoring pekerja anak yang
komprehensif dengan
pandangan untuk membangun kapasitas mitra-mitra tersebut untuk terus melakukan
kerja-kerjanya dalam bidang ini. Kegiatan ini juga akan mendukung sejumlah komunikasi
dan pertukaran antarnegara berkembang.
C. Memperkuat
program pelatihan keterampilan
Tanpa akses ke
pendidikan dasar, anak-anak dapat menjadi rentan. Namun bagi anak-anak yang
lebih tua dan putus sekolah, kembali ke sekolah mungkin bukanlah sebuah pilihan.
Anak-anak ini, remaja yang telah mencapai usia minimum untuk bekerja, mungkin
akan lebih tertarik pada peluang untuk mengembangkan keterampilan kerja dan
hidup melalui pelatihan kejuruan. Berdasarkan pada pengalaman dalam pelatihan
kejuruan, strategi ini akan mengembangkan materi-materi baru guna menyediakan
panduan bagi mereka yang peduli untuk mengembangkan program-program
pengembangan keterampilan bagi anak-anak putus sekolah yang lebih tua.
Implementasi Program Aksi:
A. Menyediakan
peluang pendidikan bagi Pekerja Anak (Pemulung) di Komunitas TPA Antang di
Sulawesi Selatan (Badan Pelaksana: Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan).
B. Meningkatkan
Kualitas Layanan Pendidikan untuk Anak-anak Jalanan melalui Pusat Belajar
Masyarakat dan Keterlibatan Pekerja Sosial (Badan Pelaksana: Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia).
C. Mencegah Pekerja
Anak di Kabupaten Sukabumi melalui Pendidikan Inklusif, Keterampilan Pribadi
dan Sosial serta Pemantauan Berbasis Masyarakat (Badan Pelaksana: Dinas
Pendidikan Sukabumi).
D. Memperkuat
kerjasama antarnegara berkembang dalam mengentaskan pekerja anak (Badan
Pelaksana: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).
2.
Tanggungjawab
Sosial Perusahaan
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan
basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis
dengan masyarakat. Secara teoritis, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung
jawab moral suatu perusahaan terhadap para stakeholders, terutama komunitas
atau masyarakat di sekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang
perusahaan sebagai: agen moral.
Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah
perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu
perusahaan dalam sudut pandang CSR, yakni mengedepankan prinsip moral dan etis.
Salah satu prinsip moral yang sering digunakan, adalah: golden rules. Prinsip ini mengajarkan agar seseorang atau suatu
pihak memperlakukan orang lain, sama seperti apa yang mereka ingin
diperlakukan. Perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan
etis, akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
Keberlanjutan perusahaan hanya akan
terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup.
CSR akan menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan
lingkungan. Hal itu diwujudkan melalui perilaku yang transpanran dan etis yang
konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Tak
ketinggalan memperhatikan kepentingan dari para stakeholders, sesuai hukum yang
berlaku, dan konsisten dengan norma-norma internasional. Di samping itu, juga
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, meliputi: kegiatan; produk;
maupun jasa.
Penerapan CSR di perusahaan, akan
menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan
komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, dan stakeholders yang
lain juga lebih mendukung perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial
sehingga meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala
kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang
lebih baik serta keuntungan yang meningkat. Saat ini belum tersedia formula
yang dapat memperlihatkan hubungan praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan.
Akibatnya, banyak kalangan dunia usaha yang bersikap skeptis dan menganggap CSR
tidak memberi dampak atas prestasi usaha. CSR hanya dipandang merupakan
komponen biaya yang mengurangi keuntungan.
Praktik CSR akan berdampak positif, jika
dipandang sebagai investasi jangka panjang. Dengan melakukan praktik CSR yang
berkelanjutan, perusahaan akan mendapat tempat di hati masyarakat. Salah satunya adalah kemitraan dalam bidang pendidikan,
seperti yang dilakukan oleh: Indofood/Kalbe Farma/Agung Auto Mall/Bank Niaga
dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang didukung oleh instansi
pemerintah terkait yakni Departemen Pendidikan Nasional beserta seluruh
jajarannya.
CSR
Award 2013
Pada acara Malam Apresiasi CSR Award
2013 yang digelar Koran SINDO di Jakarta, 15 November 2013, yang menjalin
kemitraan strategis dengan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat –Kemenko Kesra; Kementerian Sosial; dan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak –Kemeneg PP dan PA, mengumumkan perusahaan
peraih CSR AWARD berjumlah 27 perusahaan.
|
Wanda Hamidah, pemerhati masalah anak. |
Penutup
Keseriusan ILO terhadap penanganan
pekerja anak, lebih dipertegas lagi melalui program khusus yang disebut dengan “The
International Programme on the Elimination of Child Labor (IPEC)”. Program
ini diluncurkan pada tahun 1990 dengan bantuan dana dari Pemerintah Jerman.
Program IPEC dimulai dengan 6 negara peserta, yaitu: Indonesia, India,
Thailand, (di Asia), Turki (Eropa/Asia), Brazilia (Amerika Latin), dan Kenya
(Afrika). Realisasi program IPEC di Indonesia dimulai sejak 1992 sejak
ditandatanganinya MOU antara pemerintah Indonesia dengan Direktur Jenderal ILO.
Dalam pelaksanaannya program di masing-masing negara, ILO/IPEC dalam hal ini
bertindak sebagai catalyst saja. ILO/IPEC percaya bahwa penanganan dan
penanggulangan secara tuntas masalah pekerja anak ini hanya dapat dilakukan
oleh negara dan masyarakat. ILO/IPEC hanya membantu menciptakan suatu iklim
yang kondusif bagi tumbuhnya berbagai program model penanggulangan pekerja
anak, serta terciptanya suatu peraturan dan program strategi yang tepat bagi
penanggulangan pekerja anak di masing-masing negara dengan mengacu pada standar
internasional yang telah disepakati.
Pemerintah tidak bisa sendirian berupaya
mengentaskan masalah pekerja anak; kemiskinan; dan masalah sosial lainnya.
Untuk itu, diperlukan kemitraan dengan dunia usaha dan unsur masyarakat. Melalui
program CSR, yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk kegiatan filantropi –kedermawanan sosial, perusahaan dapat
mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk membantu korban bencana alam dan
sosial, serta membantu berbagai persoalan sosial yang dihadapi masyarakat. Kemenko
Kesra telah meluncurkan Gerakan Prakarsa Masyarakat Membangun Indonesia
Sejahtera (Gema Mitra) dengan moto ”Kami Peduli Kami Bermitra”, dengan tujuan
untuk melakukan jejaring kemitraan antar-elemen masyarakat dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Juga telah menandatangani MoU dengan
dunia usaha, dalam hal ini Corporate Forum for Comdev (CFCD), serta antara CFCD
dan pemerintah kabupaten/kota. Hal ini penting, mengingat perusahaan itu
keberadaannya di tengah masyarakat dan faktanya masyarakat juga lebih menyukai
perusahaan yang aktif berkomunikasi dengan sekitarnya.
***