Orang
Kalimantan Tengah, memang terkenal dengan watak yang pantang menyerah –isen
mulang. Jika tidak berhasil melaksanakan misi, mereka tidak akan pulang. Biarlah
nama saja yang kembali, apabila gagal merampungkan misinya. Ya… Isen Mulang Pantang Mundur Dia Tende
Nyamah Nggetu Hinting Bunu Panjang.
Kantor Gubernur Kalimantan Tengah, Jalan RTA Milono Nomor 1 - Kota Palangka Raya. |
Palangka
Raya, the heart of Borneo island
Provinsi Kalimantan Tengah adalah provinsi
terluas ketiga di Indonesia –setelah
Provinsi Papua dan Provinsi Kalimantan Timur, dengan luas wilayah mencapai
153.564 km2 –hampir sama
dengan satu setengah kali luas Pulau Jawa. Terletak di garis Khatulistiwa,
pada posisi: 111° hingga 115° Bujur Timur; dan 0º45' Lintang Utara hingga 3°30'
Lintang Selatan. Karena terletak di tengah-tengah Pulau Kalimantan, maka
Provinsi Kalimantan Tengah dapat dijadikan sebagai titik poros penghubung atau interconnection antara provinsi-provinsi
lainnya di Pulau Kalimantan. Secara administratif, Provinsi Kalimantan Tengah terdiri
dari 13 kabupaten dan 1 kota. Kabupaten/Kota tersebut, adalah: Kabupaten Barito
Selatan –beribukota di Buntok;
Kabupaten Barito Timur –beribukota di
Tamiang Layang; Kabupaten Barito Utara –beribukota
di Muara Teweh; Kabupaten Gunung Mas –beribukota
di Kuala Kurun; Kabupaten Kapuas –beribukota
di Kuala Kapuas; Kabupaten Katingan –beribukota
di Kasongan; Kabupaten Kotawaringin Barat –beribukota di Pangkalan Bun; Kabupaten Kotawaringin Timur –beribukota di Sampit; Kabupaten Lamandau
–beribukota di Nanga Bulik; Kabupaten
Murung Raya –beribukota di Puruk Cahu;
Kabupaten Pulang Pisau –beribukota di
Pulang Pisau; Kabupaten Sukamara –beribukota
di Sukamara; dan Kabupaten Seruyan –beribukota
di Kuala Pembuang. Sedangkan 1 kotanya, yaitu: Kota Palangka Raya –Palangkaraya. Kota Palangka Raya sendiri
–the heart of Borneo island, selain
menjadi ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, juga merupakan kota terluas di
Indonesia dengan luas sekitar 2.678 km2 –setara dengan 3,6 x luas Jakarta. Di sinilah, pada tanggal 17 Juli
1957, Presiden Soekarno meletakkan batu pertama berdirinya Palangka Raya
sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah –provinsi
ke-17 Indonesia. Kota ini dibangun dari hutan belantara yang dibuka melalui
Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan. Bung
Karno, berniat memindahkan ibukota negara dari Jakarta –pilihannya jatuh ke Kota Palangka Raya. Sejumlah insinyur dari Uni Soviet pun
didatangkan, untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan itu
berjalan dengan baik selama dua tahun –tahun
1957-1959. Namun, seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia –di awal 1960-an, pembangunan Palangka Raya
terhambat. Puncaknya pasca 1965, saat dilengserkan. Soekarno mendesain Kota
Palangka Raya berbentuk seperti sarang laba-laba yang saling berhubungan jalan
satu sama dengan lainnya, dengan pusat kotanya adalah: Bundaran Besar. Bundaran yang berada tepat di tengah kota itu –titik nol Palangka Raya, ternyata banyak
menyimpan misteri. Di depan istana, terdapat jalan silang delapan bundaran
dengan jari-jari bundarannya 2×45 meter. Konsep desain silang delapan bundaran
ini menyimbolkan “bulan” dan “tahun” Kemerdekaan RI. Delapan jalan silang
tersebut memiliki dua makna, yaitu: simbol posisi Palangka Raya pada
persimpangan “delapan” rumpun kepulauan RI –Sumatera;
Jawa; Bali; Sulawesi; Maluku; Kalimantan; Nusa Tenggara; dan Irian Jaya/Papua,
dan “delapan” sungai besar di Kalimantan Tengah –Barito; Kapuas; Katingan; Mentaya; Seruyan; Kahayan; Arut; dan Lamandau.
Bundaran Besar Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. |
Pemancangan Tiang Pertama, Kota Palangka Raya, oleh Bung Karno. |
Kantor Walikota Palangka Raya, Jalan Tjilik Riwut Nomor 98 Kota Palangka Raya - Kalteng. |
Taman
Monumen/Tugu Soekarno
Dibangun untuk memperingati pemancangan
tiang pertama Kota Palangka Raya oleh Soekarno, terletak di pusat Kota Palangka
Raya. Sebelum monumen ini berdiri, pada awalnya daerah ini bernama “Jekan” –kira-kira 3 km dari Pahandut. Lokasi
tersebut, merupakan tempat Presiden Pertama Soekarno meresmikan pembangunan
Kota Palangka Raya pada tanggal 17 Juli 1957. “Jadikanlah Kota Palangka Raya sebagai modal dan model“, kata Bung Karno saat pertama kali
menancapkan tonggak pembangunan Kota Palangka Raya. Monumen kota tersebut,
terletak di jantung Kota Palangka Raya, tepatnya di Jalan S. Parman; Kelurahan
Palangka; Kecamatan Pahandut, juga sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasinya,
persis di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Adapun Luas arealnya
kira-kira 2,5 ha, dibuka bagi semua pengunjung setiap hari. Mudah dijangkau, karena
dilintasi jalur angkutan kota –di Palangka
Raya disebut: taksi. Semua jenis kendaraan dapat mencapai lokasi tersebut,
juga bagi parapejalan kaki. Di depan Kantor Gubernur
Kalimantan Tengah, berdiri Monumen Nilai-Nilai Juang '45. Monumen yang lengkap
dengan Patung Garuda tersebut, dimaksudkan untuk mewariskan nilai-nilai
juang 1945.
Patung Garuda dan Teks Proklamasi di Monumen Nilai-Nilai Juang 1945, Kota Palangka Raya - Kalteng. |
Jembatan
Kahayan
Jembatan Kahayan merupakan landmark Kota Palangka Raya, Provinsi
Kalimantan Tengah –letaknya tak jauh dari
Taman Wisata Kum Kum. Dulu, ikon Palangka Raya adalah Bundaran Besar. Pembangunan
Jembatan Kahayan, dimulai pada tahun 1995 dan selesai tahun 2001. Peresmian
jembatan dilakukan pada tanggal 13 Januari 2002, oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri. Jembatan Kahayan membelah Sungai Kahayan dan menghubungkan Kota Palangka
Raya dengan Kelurahan Pahandut Seberang dan tembus ke tujuh kabupaten –Kabupaten Pulang Pisau; Gunung Mas; Kapuas; Barito
Selatan; Barito Timur; Barito Utara; dan Kabupaten Murung Jaya. Jembatan
sepanjang 640 meter dan lebar 9 meter ini, memiliki bentang busur berwarna
merah sepanjang 150 meter dan tinggi 36 meter –berada tepat di atas jalur pelayaran Sungai Kahayan. Jembatan
Kahayan bisa dijangkau dengan sangat mudah, karena letaknya yang hanya sekitar
1 km dari pusat Kota Palangka Raya. Kita bisa berjalan kaki menuju Jembatan
Kahayan ini dari Kota Palangka Raya, sambil menikmati pemandangan Kota
Palangkaraya sepanjang perjalanan. Untuk menyusuri Sungai Kahayan, kita dapat
menggunakan kapal kecil, seperti: jukung; getek; dan klotok. Umumnya,
klotok-klotok tersebut digunakan warga untuk mencari ikan air tawar yang banyak
dijumpai di Sungai Kahayan –seperti: ikan
baung; ikan lais; ikan patin sungai; ikan tapah; hingga ikan jelawat yang
terkenal lezat. Klotok-klotok
tersebut tertambat di tiga dermaga, yakni: di Dermaga Rambang; Dermaga
Flamboyan; serta di Dermaga Tugu Soekarno. Di persimpangan Sungai Kahayan dan
Sungai Rungan, terdapat situs sejarah berupa: Tajahan –namanya Tajahan Tjilik Riwut. Tajahan merupakan lokasi keramat yang
sangat disucikan oleh suku Dayak, khususnya yang berkeyakinan Kaharingan. Jika
mempunyai keinginan yang ingin terkabul, warga Dayak biasanya menaruh kain
kuning dan sesaji di Tajahan. Di sekitar Tajahan tersebut, terdapat enam buah
rumah mini yang isinya ditemui beberapa telur dan tulang untuk sesajen.
Jembatan Kahayan di Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. |
Menyusuri Sungai Kahayan dengan perahu klotok |
Perahu klotok di Sungai Kahayan, Kota Palangka Raya - Kalteng. |
Lanskap di sekitar Sungai Kahayan, Kota Palangka Raya. |
Jembatan Kahayan, ikon Kota Palangka Raya - Kalteng. |
Sungai Kahayan sendiri
memiliki banyak nama lainnya, seperti: sungai Batang Biaju Besar; sungai
Dayak Besar; Groote
Daijak-rivier; Great Dajak
atau Great Dyacs. Sungai yang memiliki
panjang 250 km ini, mengaliri tiga kabupaten/kota, antara lain: Kota Palangka
Raya; Kabupaten Gunung Mas; dan Kabupaten Pulang Pisau, serta bermuara di Laut
Jawa. Sejarah
mencatat, cikal-bakal Kota Palangka Raya –yang
sebelumnya bernama Kampung Pahandut berawal dari kehidupan di sisi Sungai
Kahayan ini. Notulen Perjanjian Tumbang Anoi Tahun 1894 menyebutkan, di Kampung
Pahandut pada masa itu telah berdiri sebanyak delapan buah Huma/Rumah
Betang –rumah khas tradisional Suku Dayak
Kalimantan Tengah. Sebagian besar rumah Betang tersebut, berada di
pinggiran Sungai Kahayan.
Museum
Balanga
Berlokasi di Jalan Tjilik Kriwut Km 2,5 dengan
luas kurang-lebih lima ha, merupakan destinasi wisata yang terletak paling
dekat dengan pusat Kota Palangka Raya. Pada mulanya, sejak didirikan oleh Pemda
Kalteng pada tahun 1973, status Museum Balanga tersebut sebagai: museum daerah.
Seiring
dengan kebijakan pemerintah pusat bahwa setiap provinsi memiliki museum yang
menampilkan keunikan kebudayaan dan kekayaan alam setempat, maka pada tahun
1990, Museum Balanga menjadi museum provinsi. Museum Balanga ini berfungsi
sebagai lembaga pelestarian; pendokumentasian; serta penyajian berbagai koleksi
peninggalan budaya suku Dayak. Selain itu, di museum ini juga disimpan segala
yang berkaitan dengan sejarah kehidupan suku Dayak, seperti: ethnografika;
barang-barang warisan leluhur Dayak yang banyak memiliki kekuatan magis; berbagai
alat tradisional yang biasa dipakai oleh suku Dayak pada jaman dahulu seperti
Mihing –penangkap ikan tradisional;
baju Sakarut atau baju Karungkong Sulau, atau juga baju Basurat yang biasa
dipakai pada upacara ritual; senjata-senjata suku Dayak seperti Mandau,
Sumpitan, dan Duhung. Memasuki
museum, kita akan menemukan ruangan luas yang terdapat banyak sekat. Di sini
juga, terdapat: Penyang –sebuah kalung
milik warga Dayak jaman dulu, yang diyakini sebagai penangkal dari bahaya musuh.
Kalung kuno tersebut, dihiasi oleh jejeran gigi beruang –seukuran jari kelingking orang dewasa.
Museum Balanga |
Taman
Wisata Kum-Kum
Berjarak sekitar 5 km dari pusat kota,
Taman Wisata Kum-Kum menggabungkan kebun binatang mini dan restoran. Taman
wisata ini letaknya di pinggir sungai Kahayan, dengan pondok-pondok menyerupai
rumah panggung yang dikelilingi oleh rindangnya pohon karet. Pohon-pohon
rindang, tak hanya menghilangkan bulir-bulir keringat ditubuh, namun juga
memberikan sensasi damai pada jiwa. Jalan yang menghubungkan tempat satu dengan
yang lainnya, dibangun di atas Sungai Kahayan menggunakan papan kayu. Di
pinggir jalan papan kayu ini juga, tersedia tempat duduk yang bebas untuk digunakan.
Di obyek wisata ini tersedia ragam hidangan lezat, seperti: ikan bakar; ayam
bakar; dan es kelapa. Sejumlah satwa koleksi yang menempati kebun binatang mini
ini, seperti: monyet; buaya; kuskus; burung rangkong; burung tingang/enggang; dan
beruang madu.
Dari
Pahandut ke Palangka Raya
Menurut Staatsblad van Nederlandisch
Indië tahun 1849, wilayah Dayak Besar –termasuk daerah Palangka Raya ini,
merupakan bagian dari zuid ooster afdeeling berdasarkan Bêsluit van den
Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie No. 8 pada 27 Agustus 1849. Terbentuknya
Provinsi Kalimantan Tengah melalui proses yang cukup panjang hingga mencapai
puncaknya pada tanggal 23 Mei 1957 dan dikuatkan dengan Undang-Undang Darurat
Nomor 10 tahun 1957, Lembaran Negara Nomor 53 berikut penjelasannya (Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1284), yaitu tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat
I Kalimantan Tengah. Sejak saat itu, Provinsi Kalimantan Tengah resmi sebagai
daerah otonom –sekaligus sebagai hari
jadi Provinsi Kalimantan Tengah. Tiang pertama pembangunan Kota Palangka
Raya, dilakukan oleh Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957 dengan ditandai
peresmian Monumen/Tugu Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah di Pahandut. Kemudian
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958, Ibukota Provinsi yang dulunya Pahandut berganti nama menjadi: Palangka Raya. Berdasarkan UU No. 21
Tahun 1958 tersebut, Parlemen Republik Indonesia pada tanggal 11 Mei 1959
mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 yang menetapkan pembagian Provinsi
Kalimantan Tengah dalam lima kabupaten dan Palangka Raya sebagai Ibukotanya.
Dengan berlakunya UU No. 27 Tahun 1959 serta Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1959 Nomor Des. 52/12/2-206, maka
ditetapkanlah pemindahan tempat dan kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan
Tengah dari Banjarmasin ke Palangka Raya terhitung tanggal 20 Desember 1959.
Bandara Tjilik Riwut, Kota Palangka Raya - Kalteng. |
Setelah Kotapraja Administratif Palangka
Raya mempunyai empat kecamatan (Kecamatan
Pahandut di Pahandut; Kecamatan Palangka di Palangka Raya; Kecamatan Bukit Batu
di Tangkiling; dan Kecamatan Petuk Katimpun di Marang Ngandurung Langit), serta
memiliki tujuh belas kampung –yang
berarti ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan untuk menjadi satu
Kotapraja yang otonom sudah dapat dipenuhi maka disyahkanlah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1965, Lembaran Negara Nomor 48 tahun 1965 tanggal 12 Juni 1965
yang menetapkan Kotapraja Administratif Palangka Raya. Dengan demikian,
terbentuklah Kotapraja Palangka Raya yang otonom. Upacara peresmian Kotapraja
Otonom Palangka Raya, dilaksanakan pada tanggal 17 Juni 1965. Pada hari itu
juga, dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Bapak Tjilik Riwut ditunjuk selaku Penguasa
Kotapraja Palangka Raya dan oleh Menteri Dalam Negeri diserahkan lambang
Kotapraja Palangka Raya. Selain itu, pada upacara peresmian Kotapraja Otonom
Palangka Raya tersebut, Penguasa Kotapraja Palangka Raya –Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah, menyerahkan
Anak Kunci Emas –seberat 170 gram
melalui Menteri Dalam Negeri kepada Presiden Republik Indonesia, kemudian
dilanjutkan dengan pembukaan selubung papan nama Kantor Walikota Kepala Daerah
Kotapraja Palangka Raya. Nama Tjilik Riwut yang berjasa membangun Kalimantan
Tengah, diabadikan menjadi bandara di Palangka Raya, yakni: Bandar Udara Tjilik
Riwut –dulu bernama Bandar Udara Panarung
merupakan bandar udara yang menghubungkan Kota Palangka Raya dengan kota-kota
di pedalaman serta antarprovinsi di Indonesia.
Tetek
Tatum
Dalam puisi “Tetek Tatum” disebutkan
bahwa: nenek moyang orang Dayak Ngaju (Biaju) –suku asli Kalimantan Tengah, berasal dari Kerajaan Langit,
diturunkan dengan “Palangka Bulau” di empat lokasi, yakni: Tatan Puruk Pamatuan;
Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting; Datah Takasiang; dan Puruk Kambang Tanah
Siang. Orang Dayak Ngaju ini merupakan ciptaan langsung Ranying Hatalla Langit
–Tuhan YME, yang ditugaskan untuk
menjaga bumi beserta isinya agar tidak rusak. Orang Dayak Ngaju –yang kita kenal sekarang, dalam
literatur-literatur pada masa-masa awal, disebut dengan: Biaju. Terminologi
Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju tetapi berasal dari bahasa orang
Bakumpai yang secara ontologis merupakan bentuk dari: “bi” dan “aju”, yang
artinya: ”dari hulu” atau ”dari udik”. Karena itu, di wilayah aliran sungai
Barito –dimana banyak orang Bakumpai,
orang Dayak Ngaju disebut dengan Biaju, yang artinya: orang yang berdiam di bagian
hulu sungai.
Tempat Pertama, di Tatan
Puruk Pamatuan –di perhuluan
Sungai Kahayan dan Sungai Barito, Kalimantan Tengah, maka inilah seorang
manusia yang pertama yang menjadi datuknya orang-orang Dayak yang diberi nama
oleh Ranying sebagai: Antang Bajela Bulau –Tunggul
Garing Janjahunan Laut. Dari Antang Bajela Bulau maka terciptalah
dua orang laki-laki yang gagah perkasa yang “menteng ureh mamut” bernama: Lambung –Maharaja Bunu dan Lanting –Maharaja Sangen.
Tempat Kedua, di Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting –Bukit Kaminting, Kalimantan Tengah, oleh Ranying terciptalah seorang yang maha sakti, bernama: Kerangkang Amban Penyang –Maharaja
Sangiang.
Tempat Ketiga, di Datah Takasiang –di perhuluan Sungai Rakaui/Sungai Malahui, Kalimantan Barat, oleh Ranying terciptalah empat orang
manusia –satu laki-laki dan tiga
perempuan. Yang laki-laki bernama Litih
–Tiung
Layang Raca Memegang Jalan Tarusan Bulan Raca Jagan Pukung Pahewan,
yang seketika itu juga menjelma menjadi “Jata” dan tinggal di dalam tanah di negeri yang bernama Tumbang Danum Dohong. Sedangkan ketiga
puteri, bernama: Kamulung Tenek Bulau;
Kameloh Buwooy Bulau; dan Nyai Lentar Katinei Bulau.
Tempat Keempat, di Puruk Kambang Tanah Siang –di perhuluan Sungai Barito, Kalimantan
Tengah, oleh Ranying
terciptalah seorang puteri bernama Sikan
–Nyai
Sikan di Tantan Puruk Kambang Tanah Siang Hulu Barito.
Dayak
Yang dimaksud dengan Dayak, adalah:
Sungai. Kata Dayak yang artinya “sungai” tersebut, terdapat pada salah satu anak
Suku Benuaq –di Kalimantan Timur
serta bahasa suku lokal di Kalimantan Barat dan Serawak.
Pada awal abad XIX, seorang ilmuwan Barat
–sekaligus Missionaris, telah
melakukan perjalanan panjang selama bertahun-tahun untuk suatu penelitian
tentang suku bangsa dan budaya penduduk yang mendiami Pulau Borneo. Pada saat
itu, sungai merupakan satu-satunya prasarana perhubungan dari satu kampung ke
kampung lainnya. Disetiap aliran sungai, ilmuwan tersebut menyusuri sungai
dengan menggunakan perahu yang didayung oleh tenaga upahan dari penduduk
setempat. Apabila sampai pada suatu kampung, ia bertanya kepada pengantarnya –guide tentang nama kampung dan suku
bangsa apa yang mendiami tempat itu. Namun sampai berakhirnya seluruh
perjalanan penelitian tersebut, ternyata bahwa semua suku bangsa yang di
temuinya: “belum mempunyai nama”. Oleh karena itulah, didalam tulisan, akhirnya
ilmuwan tersebut menyimpulkan: bahwa suku bangsa yang mendiami Pulau Borneo
diberikannya nama: suku bangsa “Dayak”, yang artinya: suku bangsa “yang bermukim di sepanjang tepi sungai”.
***